“Siapa yang mengirim pesan padamu? Rajin sekali? Apakah Ed?” Lori yang penasaran, berubah menggoda.“Ah, tidak. Itu… ayahku.” Ruby ingin menyebut botak brengsek, tapi masih bisa menahan diri. Meski setelah itu lidahnya terasa gatal. Esli mengirim pesan yang menyuruh Ruby bersiap menerima perintahnya. Esli akan segera menggantikan dirinya dengan Liz yang asli. Tanpa perlu diyakinkan oleh Ruby, Esli bisa melihat kalau Ed memiliki perasaan lebih. Ruby tidak membalas pesan itu tentu.“Ah, Esli Ramos. Aku dengar ayahmu akan mencalonkan diri menjadi walikota. Kata ayahku jalannya mulus karena banyak pengusaha yang mendukungnya. Kau tahu bukan, politik dan uang biasanya sangat dekat. Menjijikkan tapi ya begitulah.”Lori akhirnya mengalihkan pandangan dari jendela mobil dan menatap Ruby.“Kata ayahku pernikahanmu mirip pernikahan politik, karena Ed jadi mendukung ayahmu, tapi aku membantah itu. Kalian cukup mesra.” Lori memberi penilaian sendiri, dan sejujurnya Ruby sedikit gembira, hanya ti
“Ini sangat tidak umum.” Angelo tadi dengan sopan tidak mengeluh saat Ruby memintanya bertemu di luar rumah sakit, tapi saat dengan terpaksa harus mengambil darah Ruby di ruang terbuka, tentu Angelo mengeluh. Masih terdengar sopan tapi. Cekikan Ed yang dulu masih membuatnya segan dengan siapapun anggota keluarga Rosas.“Sekali lagi maafkan aku.” Ruby menganggukan kepalanya dengan penuh penyesalan. Ini kesekian kali ia meminta maaf.“Aku tidak tahu harus meminta tolong pada siapa lagi,” kata Ruby.“Saya tidak ingin ikut campur, tapi menurut pengalaman akan lebih baik kalau Anda jujur tentang apapun—maksud saya tentang hasil tes ini. Tidak harus merahasiannya,” kata Angelo, sambil melepaskan pengikat pada lengan atas Ruby, sambil terus menekan bekas tusukan yang ada pada siku bagian dalam. Alkohol usap itu terasa dingin di kulit Ruby, sementara ia terus menatapnya. Ruby tidak bisa berjanji akan melakukan apa yang diusulkan Angelo itu.“Tidak semudah itu,” gumam Ruby.“Tentu tidak muda
"Apa yang membuatmu malas ke dokter? Aku hanya ingin kejelasan. Kau sakit apa atau kenapa."Teguran yang tentu saja berasal dari Ed—lewat panggilan telepon. Otiz mungkin menyerah membawa Ruby ke dokter, tapi ia tetap mengadu. Ruby mengeluh dalam hati sambil bergerak duduk setelah tadi hanya berbaring tanpa tujuan. “Aku tadi hanya mabuk darat. Pergi terlalu jauh,” kata Ruby. “Kau tidak seharusnya terlalu menurut pada Lori. Kalau memang tidak sehat, jangan mengikuti keinginannya.” Ed langsung mengira kalau Ruby keluar karena bujukan Lori.“Aku yang ingin keluar. Bukan Lori. Aku hanya bosan di rumah.” Ruby memperbaiki, tidak ingin Lori mendapat kebencian tiak perlu.“Aku sekarang akan istirahat di rumah.” Ruby berjanji dengan serius, agar Ed tidak lagi tertarik dengan keadaannya. “Memang seharusnya. Dan jangan dengarkan Tia. Kau tidak perlu memikirkan apa pun yang dikatakannya.”“Ya.” Ruby menjawab dengan suara sedikit serak, menahan tangis. Tentu saja karena terharu. Hinaan Mia tidak
“TINGGALKAN TEMPAT INI!” Ed berseru sambil bertiarap di atas jog belakang dan memegang telinganya yang berdarah. Perluru itu tidak sangat meleset, tapi belum sampai mengenai sasaran dengan tepat. Sudah pasti yang diincar Ed, dan sedikit lagi akan tepat.Kalau ia duduk tegak dan tidak bersandar, mungkin peluru itu akan menembus bagian belakang kepalanya.“Lebih dari satu!” Otiz berseru panik, karena bagian samping belakang kaca mobil juga sudah pecah sekarang.Arah tembakan yang berbeda itu memberitahu kalau musuh mereka tidak hanya mengintai dari arah belakang tapi juga samping. Mereka telah mengintai sejak awal.Tapi satu yang pasti mereka tidak memakai mobil saat ini, karena satu-satunya mobilnya ada di jalan itu hanya yang ditumpangi Ed.Karena itu Ed menyuruh Otiz segera meninggalkan jalan itu, agar tidak lagi berada dalam sasaran tembak musuh.Tapi tentu tetap tidak mudah menyetir sambil sekaligus menghindari terjangan peluru. Mobil itu sasaran bergerak, tapi kalau sampai bisa m
Ed mengeluh, karena merasakan hantaman di pinggang, sementara lebih banyak lagi kaca pecah berhamburan menghujaninya.Ed menggeliat karena tubuhnya terhimpit kursi, rapi berhasil melepaskan diri.“Otiz? Otiz!” Ed mengguncang bahu Otiz tapi tidak ada jawaban. Ed tentu saja ingin memeriksa apakah Otiz selamat dan memberi pertolongan, tapi ia harus melakukan hal lain, yaitu keluar dari mobil itu.Kapan saja orang yang mengincarnya itu akan datang dan memeriksa apakah sasarannya telah tewas. Tapi Ed menyempatkan diri mengambil ponsel dan mengirimkan lokasi tempatnya berada.Ada anak buahnya di sekitar situ, karena tentu mereka perlu menjaga isi ladangnya dari pencuri.“Otiz.” Ed sekali lagi mengguncang bahu Otiz, tapi kepalanya tetap terkulai lemas. Ed tidak tahu apakah ia masih hidup atau tidak, dan saat ini ia tidak punya waktu untuk memeriksa. Ed membuka paksa pintu mobil dengan menendang dan merangkak keluar. “Sialan.” Ed bergumam saat mendengar suara besi beradu. Ada tembakan lain.
“TITA!” Ruby memanggil lagi, tapi pandangan Ruby terputus saat Pedro dengan cepat menutup pintu. Ruby kembali terjebak. Ia menggeleng sambil beringsut mundur dan menatap Pedro yang sudah kembali bisa tersenyum. Meski bercampur desis kesakitan, ia tidak bisa menyembunyikan senyum kemenangan di wajahnya. “Jangan mendekat!” jerit Ruby. “Kenapa tidak? Kau kemarin setuju.” Pedro mendekat sambil mengernyit. “Kau lupa atau…” “Jangan sentuh!” Ruby menepis tangan Pedro yang terulur, lalu menyeret tubuhnya agar berdiri. Ruby berlari menjauh sementara tangannya menyambar apapun yang bisa dijadikan senjata. Tapi ruangan itu adalah ruang kerja Ed. Hanya ada buku dan pena di atas meja. Ruby melempar semuanya ke arah Pedro, tapi hanya berbalas tawa. Pedro bahkan tidak berusaha mengejar saat Ruby berlarian dengan panik. Ia cukup memastikan Ruby tidak mendekati pintu. “Tidak ada gunanya kau lari,” kata Pedro, kembali tertawa terkekeh saat Ruby akhirnya berhenti, diam berdiri sambil menatap
“Ed, tunggu!... Tungu!” Pedro menyeret tubuhnya menjauh, saat Ed melangkah mendekatinya. “Aku membiarkan mu ada di sini karena Tia. Hanya alasan renda seperti itu, dan sekarang kau berani bermain api?” desis Ed, sambil meraih ponsel Ruby yang ada di lantai dan mematikannya. Benda itu menjadi saksi penting. “Tidak berani! Aku hanya bercanda!” Pedro membela diri seadanya, mengiba dan menjerit saat Ed mencengkram kepalanya, Ed menjambak rambut Pedro, menyeretnya mendekati Ruby yang menelungkup dengan bahu terguncang. Menangis. Keadaan yang mengenaskan. “KAU ANGGAP ITU BERCANDA?!” bentak Ed, melempar tubuh Pedro sampai menghantam sofa. “Ya… Sungguh. Kau tidak mengerti, Ed. Aku sudah berusaha menolak, aku tidak ingin. Aku punya Mia. Untuk apa aku mencari yang lain? Tapi Liz menggodaku! Aku… aku tidak ingin sungguh!” Pedro mengiba sambil menyentuh kaki Ed. Tapi kaki itu dengan sangat cepat menendang kepalanya lagi, Ed kembali menjambak rambut Pedro, memaksanya mendongak menatapnya. “
Ruby sama sekali tidak bisa bicara maupun bertanya saat perjalanan itu, karena Mia menyetir tanpa peduli dengan apa pun asalkan sampai.Keadaan Ruby yang memang sudah tidak seratus persen sejak awal, semakin buruk. Ruby membuka pintu mobil begitu Mia mengerem dan memuntahkan teh di tanah.“Kau itu kenapa?! Ayo, cepat!” Mia sepertinya memang buta, karena tidak peduli sama sekali dengan keadaan Ruby yang amat payah dan kembali menariknya untuk masuk.“Sebentar!” Ruby akhirnya membentak, dan melepaskan tangannya dari Mia setelah hampir terjerembab jatuh. Bangunan yang mereka masuki terlihat seperti gudang.Bangunan luas dengan atap tinggi, terang, berisi banyak box entah berisi apa, dan lantainya tidak terlalu rata. Ruby kesulitan berjalan karenanya.“Kau itu kenapa?” Mia yang tidak sabar akhirnya berbalik, melotot pada Ruby yang membungkuk sambil menghela nafas panjang beberapa kali.“Aku harus ke sini untuk apa?” Ruby masih bingung.Ia ingat apa yang dilakukan Pedro, dan bagaimana Ed
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad