Ed mengeluh, karena merasakan hantaman di pinggang, sementara lebih banyak lagi kaca pecah berhamburan menghujaninya.Ed menggeliat karena tubuhnya terhimpit kursi, rapi berhasil melepaskan diri.“Otiz? Otiz!” Ed mengguncang bahu Otiz tapi tidak ada jawaban. Ed tentu saja ingin memeriksa apakah Otiz selamat dan memberi pertolongan, tapi ia harus melakukan hal lain, yaitu keluar dari mobil itu.Kapan saja orang yang mengincarnya itu akan datang dan memeriksa apakah sasarannya telah tewas. Tapi Ed menyempatkan diri mengambil ponsel dan mengirimkan lokasi tempatnya berada.Ada anak buahnya di sekitar situ, karena tentu mereka perlu menjaga isi ladangnya dari pencuri.“Otiz.” Ed sekali lagi mengguncang bahu Otiz, tapi kepalanya tetap terkulai lemas. Ed tidak tahu apakah ia masih hidup atau tidak, dan saat ini ia tidak punya waktu untuk memeriksa. Ed membuka paksa pintu mobil dengan menendang dan merangkak keluar. “Sialan.” Ed bergumam saat mendengar suara besi beradu. Ada tembakan lain.
“TITA!” Ruby memanggil lagi, tapi pandangan Ruby terputus saat Pedro dengan cepat menutup pintu. Ruby kembali terjebak. Ia menggeleng sambil beringsut mundur dan menatap Pedro yang sudah kembali bisa tersenyum. Meski bercampur desis kesakitan, ia tidak bisa menyembunyikan senyum kemenangan di wajahnya. “Jangan mendekat!” jerit Ruby. “Kenapa tidak? Kau kemarin setuju.” Pedro mendekat sambil mengernyit. “Kau lupa atau…” “Jangan sentuh!” Ruby menepis tangan Pedro yang terulur, lalu menyeret tubuhnya agar berdiri. Ruby berlari menjauh sementara tangannya menyambar apapun yang bisa dijadikan senjata. Tapi ruangan itu adalah ruang kerja Ed. Hanya ada buku dan pena di atas meja. Ruby melempar semuanya ke arah Pedro, tapi hanya berbalas tawa. Pedro bahkan tidak berusaha mengejar saat Ruby berlarian dengan panik. Ia cukup memastikan Ruby tidak mendekati pintu. “Tidak ada gunanya kau lari,” kata Pedro, kembali tertawa terkekeh saat Ruby akhirnya berhenti, diam berdiri sambil menatap
“Ed, tunggu!... Tungu!” Pedro menyeret tubuhnya menjauh, saat Ed melangkah mendekatinya. “Aku membiarkan mu ada di sini karena Tia. Hanya alasan renda seperti itu, dan sekarang kau berani bermain api?” desis Ed, sambil meraih ponsel Ruby yang ada di lantai dan mematikannya. Benda itu menjadi saksi penting. “Tidak berani! Aku hanya bercanda!” Pedro membela diri seadanya, mengiba dan menjerit saat Ed mencengkram kepalanya, Ed menjambak rambut Pedro, menyeretnya mendekati Ruby yang menelungkup dengan bahu terguncang. Menangis. Keadaan yang mengenaskan. “KAU ANGGAP ITU BERCANDA?!” bentak Ed, melempar tubuh Pedro sampai menghantam sofa. “Ya… Sungguh. Kau tidak mengerti, Ed. Aku sudah berusaha menolak, aku tidak ingin. Aku punya Mia. Untuk apa aku mencari yang lain? Tapi Liz menggodaku! Aku… aku tidak ingin sungguh!” Pedro mengiba sambil menyentuh kaki Ed. Tapi kaki itu dengan sangat cepat menendang kepalanya lagi, Ed kembali menjambak rambut Pedro, memaksanya mendongak menatapnya. “
Ruby sama sekali tidak bisa bicara maupun bertanya saat perjalanan itu, karena Mia menyetir tanpa peduli dengan apa pun asalkan sampai.Keadaan Ruby yang memang sudah tidak seratus persen sejak awal, semakin buruk. Ruby membuka pintu mobil begitu Mia mengerem dan memuntahkan teh di tanah.“Kau itu kenapa?! Ayo, cepat!” Mia sepertinya memang buta, karena tidak peduli sama sekali dengan keadaan Ruby yang amat payah dan kembali menariknya untuk masuk.“Sebentar!” Ruby akhirnya membentak, dan melepaskan tangannya dari Mia setelah hampir terjerembab jatuh. Bangunan yang mereka masuki terlihat seperti gudang.Bangunan luas dengan atap tinggi, terang, berisi banyak box entah berisi apa, dan lantainya tidak terlalu rata. Ruby kesulitan berjalan karenanya.“Kau itu kenapa?” Mia yang tidak sabar akhirnya berbalik, melotot pada Ruby yang membungkuk sambil menghela nafas panjang beberapa kali.“Aku harus ke sini untuk apa?” Ruby masih bingung.Ia ingat apa yang dilakukan Pedro, dan bagaimana Ed
“Jangan menyentuhnya!” Ed menjauhkan Mia dari Pedro dan ia mulai menangis.“Aku mohon jangan begini, Ed. Dia tidak mungkin…”“Diam.” Ed menggeram, lalu berdiri di hadapan Pedro, mengulurkan tangan, meminta pada Ruby untuk mendekat.Ruby masih bingung, tapi tetap mendekat. Satu-satunya orang yang bisa dikenalnya di ruangan itu adalah Ed–selain Pedro dan Mia. Ia merasa lebih aman berada di dekat Ed.“Aku mendengar Liz mengatakan kau sudah berusaha menggodanya semenjak ia datang ke rumah.” Ed mendengarnya. Teriakan Ruby cukup keras tadi, dan semua bentakannya memantul di area sekitar.“Aku… tidak…” Pedro tampak menggeleng sementara matanya yang sudah bengkak dan lebam, tampak berusaha mengedip. Lalu air matanya turun menyusuri pipi yang juga sudah tidak berwarna coklat lagi, tapi ungu dan biru.“Semua itu…tidak…”“Apa kau masih akan menyebut aku menggodamu?!” Ruby memotong karena merasakan Pedro akan membela diri dengan berbohong lagi.Tadinya Ruby merasa kasihan melihat keadaan Pedro ya
“Senora? Anda bisa mendengar saya?”Ruby sedang berusaha membuka mata saat ada yang menepuk bahunya.“Mm.. ya.” Ruby mengedipkan mata dengan cepat. Sedikit bingung, karena merasa ada banyak tangan menyentuhnya.“Syukurlah. Tolong jangan panik. Anda ada di rumh sakit, dan kami sedang memeriksa keadaan Anda.”Ruby melihat dengan jelas dan sadar kalau orang yang bicara padanya tadi adalah dokter.“Tidak!” Ruby menarik tangannya, dan menepis tangan yang baru saja akan menusuknya dengan jarum. Ia tidak ingin ada dokter yang menyentuhnya.“Eh? Senora, Anda dibawa dalam keadaan pingsan. Kami harus tahu apa yang membuat Anda pingsan.” Dokter itu heran, sekaligus ingin memaksa pastinya.“Tidak. Saya baik-baik saja. Saya ingin pulang.” Ruby kembali menyingkirkan tangan yang berusaha menyentuh, dan duduk.“Ada apa denganmu?”Ruby tersentak, dan berpaling. Ed rupanya ada di sana, tapi berdiri sedikit jauh. Ruby menunduk sambil mencengkram selimut yang menutupi separuh tubuhnya, menyembunyikan pan
“Apa Otiz terluka?” tanya Ruby, mengalihkan perhatian agar tidak menangis.“Ya, dan memerlukan operasi di kepalanya.” Ed mengangguk.“Oh? Apa sangat parah?” Ruby sejenak mengkhawatirkan orang lain, bukan keadaannya sendiri.“Ya, karena itu aku sangat marah pada Pedro dan Marco. Kesalahan mereka terlalu besar untuk dimaafkan. Berani sekali mereka tidak mendengar peringatanku.” Ed mendesis, lalu meraih ponselnya. Menghubungi seseorang, membahas Marco Reyes dengan nada berapi-api.Ruby memalingkan wajah. Itu alasannya. Ruby menemukannya. Ia tidak tahu apakah Ed bisa memaafkannya.Kemarahan itu membuat Ruby sadar kalau saat ini yang terpenting bukan dirinya sendiri tapi bayi yang ada dalam kandungannya. Anak itu harus selamat. Ruby tahu ia tidak akan bisa melawan kalau Ed memutuskan tidak menginginkannya.“Kalau kau sibuk, pergi saja. Aku akan tidur setelah ini,” kata Ruby, masih lancar karena keputusannya sudah bulat.“Kau akan ada di sini sendiri.” Ed menolak tentu.“Aku… menghubungi ay
“Buku? Astaga, membosankan sekali! Hobinya seperti orang tua.” Liz menanggapi dengan ketus sambil menggelengkan kepala. “Dengarkan!” Esli menyuruhnya diam. Ruby yang sudah sulit bicara, berterima kasih dalam hati. Ia tidak membutuhkan interupsi yang membuatnya tidak rela. Mengembalikan Ed pada Liz saja sudah sulit, melihat Liz mencela Ed membuatnya lebih tidak rela lagi. Tapi Ruby terus mengingatkan diri kalau saat ini ada nyawa lain yang harus diperhitungkan. “Ed juga sangat menyukai kopi, tapi katanya ia mencoba untuk lebih menyukai teh.” Hanya fakta random kecil, tapi Ruby kembali tercekat, kali ini air matanya turun. Ruby menunduk, berpura-pura memperbaiki tali mantel agar tidak terlihat. “Ed juga suka menunggang kuda. Ia mungkin akan sering berada di pantai. Untuk menghibur diri karena kematian Javier.” Air mata Ruby semakin deras, karena teringat kebaikan lain yang diterimanya saat ada di rumah itu. Meski singkat ia menerima kasih sayang dari Javier, Tita bahkan dua pelay
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad