“Maaf, tapi apakah ada riwayat penyakit tertentu dalam keluarga Anda?” tanya dokter itu dengan sopan. Dokter pria itu juga tampak berhati-hati.“Tidak ada, dokter… Shelby.” Ruby membaca nama yang ada di kartu yang menggantung di lehernya. Dokter setengah baya itu ramah sejak awal merawat AJ, dan terlihat sangat kompeten.“Oh, ibu saya menderita Alzaimer. Apa ini yang Anda maksud?” Ruby masih bingung, tapi berusaha menjawab selengkap mungkin.“Saya turut berduka, tapi bukan itu yang saya maksud.” Shelby menggeleng sambil tersenyum.“Bagaimana dengan ayahnya? Apa mungkin memiliki riwayat penyakit tertentu?”Shelby bertanya hal unik yang Ruby tidak tahu jawabannya, sekaligus membuat Ruby semakin panik.“Maaf, saya tidak tahu. Tapi kenapa ini?” Ruby menggeleng.“Apa ada kemungkinan Anda bisa mencari tahu?”“Itu… akan sulit.” Ruby menggeleng semakin kuat. Bukan hanya sulit, tapi hampir mustahil. Ruby mengusir ayah AJ untuk selamanya malam kemarin.“Oh, begitu.” Shelby tampak mengangguk, da
Ruby menarik tangannya yang gemetar, menutup wajahnya agar tidak berteriak. Keadaan itu terlalu kejam. “Maaf, tapi apa AJ memiliki saudara?” tanya Shelby. Ruby menggeleng. “Ayah AJ masih hidup?” Shelby semakin berhati-hati. Ruby mengangguk perlahan, semakin tidak ingin bicara. Tapi itu kabar gembira bagi Shelby. “Kalau begitu, Anda mungkin bisa menghubunginya. Kemungkinan besar AJ akan memiliki kecocokan dengannya. Masih harus diperiksa, tapi saya rasa akan cocok. Kalau AJ memiliki saudara, maka saya akan menyarankan saudara, tapi ayahnya juga bisa.” Shelby menepuk pahanya sendiri untuk menyalurkan kelegaan. Keadaan yang jauh berbeda diderita Ruby. Ia kembali dipaksa menghadapi kenyataan penuh ironi. Ia harus menjilat ludahnya sendiri yang bahkan belum kering. “Bagaimana dengan donor lain? Apa tidak bisa?” Ruby berharap bisa, tapi Shelby menggeleng pelan. “Mungkin ada, tapi akan sulit menemukan yang cocok kalau bukan dari keluarga, dan kemungkinan akan lama kalau harus mencari.
Ada beberapa orang yang pernah berlutut dan memohon padanya, tapi biasanya Ed tahu apa sebabnya, yang ini terlalu random.“Ruby… “ Ed berusaha melepaskan tangannya, tapi Ruby mencengkram dengan sangat kuat.“Jangan pergi!” Ruby tidak akan melepaskannya.“Mrs. Herrera, maaf. Tapi jangan di sini.” Otiz yang sudah menyusul, akhirnya memaksa Ruby untuk berdiri. Ed dan Ruby terlalu banyak menarik perhatian dan itu tidak bagus, terutama kalau ada petugas keamanan yang terlibat.“Aku…” Ruby melawan Otiz, tapi Ed menunduk dan mendesis di telinganya.“Aku tidak tahu kau menginginkan apa, tapi jangan membuat drama di hadapan umum.” Ruby langsung diam, dan mengikuti Ed yang melangkah keluar dari ruang tunggu itu. Ruby tidak tahu kemana, hanya menurut saja, sampai akhirnya masuk ke dalam chapel kecil di bandara itu. Ruangan yang tentu saja sepi. Hanya ada satu orang yang tampak menunduk berdoa, lalu keluar saat melihat rombongan masuk.“Apa yang kau inginkan?” tanya Ed sambil duduk di salah sat
Kaki Ed seperti melayang kehilangan pijakan. Ia meraih Otiz yang ada di sampingnya agar tidak oleng, sebelum akhirnya mampu melangkah dan berdiri di hadapan Ruby. Menunduk menatap mata kecoklatan yang penuh air mata itu. “Maaf… maafkan aku…” Ruby merintih, dan memejamkan mata saat melihat tangan Ed bergerak, terulur ke arahnya. Ruby akan menerima apa pun, bahkan jika tangan itu mencekik, ia akan diam dan tidak meronta.Tapi Ruby tersentak, karena tangan itu mengusap pipinya. Ujung jari Ed yang hangat tidak menyakiti, tapi mengelus seluruh wajahnya. Mengusap air matanya.Ruby membuka mata, dan mata hijau itu masih menatapnya. Namun, Ruby terpaksa memejam saat Ed mengusap kelopak matanya. Ed seakan ingin merasakan seluruh detail wajahnya. Kemiripan yang kemarin dianggapnya keajaiban rupanya menyimpan sesuatu.“Ed…” Ruby memanggil dengan takut-takut saat perlahan tangan itu turun.“Teh… kau teh yang itu.” Ed bergumam, kembali menyatukan uraian titik yang tadi salah tempat. Kesimpulan ya
Ruby tersentak saat pintu kamar rawat AJ tiba-tiba terbuka, tapi langsung lega saat melihat Ed melangkah masuk bersama Otiz. “Kau datang…” Ruby nyaris tersenyum, tapi luruh karena Ed bahkan tidak memandangnya. Ed hanya lewat dan menghampiri ranjang AJ. Anak itu sedang pulas tertidur. Taksi yang Ruby tumpangi berhasil mengikuti taksi Ed, jadi Ruby tahu Ed ada di rumah sakit itu. Hanya Ruby tidak tahu dimana. Ia tadi langsung kembali pada AJ—berharap Ed akan ada di kamar AJ. Ruby tentu panik saat melihat Ed tidak ada di kamar itu, tapi memutuskan untuk menunggu. Keputusan itu benar, Ed pada akhirnya datang—meski menganggapnya seperti angin. “Ed, aku…” Ruby terdiam. Lirikan mata Ed yang membuatnya diam. Bibir Ed tidak perlu terbuka maupun bersuara, Ruby bisa mengartikan pandangan mata itu. Ed tidak datang untuk mendengar apa pun. Ia ada untuk AJ, bukan Ruby. “Don Rosas akan menjalani pemeriksaan untuk memastikan kecocokan sebagai donor.” Otiz yang menjelaskan. “Oh…” Ruby menutup bib
“WUAAA! Itu besar sekali!”AJ berseru girang. Matanya membuka selebar mungkin, seakan ingin menyaingi besarnya fosil dinosaurus yang ada di depannya. Tulang-belulang tua yang membentuk sosok makhluk purbakala itu tentulah menakjubkan di mata AJ.Museum Saurier, adalah museum dengan koleksi fosil dan replika terlengkap yang ada di Zurich—Swiss. Tujuan kunjungan khusus yang dipilih Ed untuk menghibur AJ tentu.Tapi mereka ada di Swiss bukan hanya untuk mengunjungi museum. Negara itu memiliki fasilitas kesehatan paling baik katanya. Ed mengejar itu, dan sudah mengatur agar AJ dirawat di sana.“Itu benda terbesar yang pernah aku lihat!” AJ berseru lagi.Kalau saja tidak ingat kakinya saki
Ruby mengusap keningnya yang berkeringat, lalu melepaskan mantel yang tadi dipakainya selama perjalanan. Udara lembab dan langit mendung adalah yang pertama menyambut Ruby saat menginjakkan kaki di Mexico lagi setelah sekian lama. Ruby memasang topi yang memang sudah disiapkannya, lalu berjalan pelan keluar dari bandara. Ruby juga memakai kacamata hitam. Wajahnya benar-benar tersembunyi, karena memutuskan untuk berhati-hati. Begitu kakinya menginjak negara itu, kehidupannya sangat lain. Ia kini menjadi ‘musuh’ dari dua orang yang mengerikan. Yang satu akan dengan senang hati membunuhnya kalau tahu—Esli, yang satu lagi… Ruby masih berharap Ed tidak akan langsung membunuhnya. Paling tidak Ed tidak langsung mencekiknya saat di chapel kemarin. Meski setelah itu Ed membuatnya ingin mati dengan mengambil AJ, tapi
“R… Ruby…”Lori masih butuh beberapa saat untuk percaya. Ia melakukan hal yang sama, dengan Ed juga. Meraba wajah Ruby, sampai akhirnya mencubit pipinya.“Astaga! Kau benar-benar bukan Liz?!” Lori memekik.“Ssst!” Ruby meminatanya untuk tidak menjerit tentu.“Kau bukan Liz?” Lori mengulang lebih pelan, tapi masih sambil mencubit pipi Ruby.“Apa pipiku terasa berbeda?” Ruby heran melihat Lori meyakinkan diri dengan mencubit pipinya.“Bukan itu! Tapi Liz akan menamparku kalau terus mencubit pipinya.” Lori memakai cara paling mudah untuk membedakan keaslian pernyataan Ruby.
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad