Ruby tersentak saat pintu kamar rawat AJ tiba-tiba terbuka, tapi langsung lega saat melihat Ed melangkah masuk bersama Otiz. “Kau datang…” Ruby nyaris tersenyum, tapi luruh karena Ed bahkan tidak memandangnya. Ed hanya lewat dan menghampiri ranjang AJ. Anak itu sedang pulas tertidur. Taksi yang Ruby tumpangi berhasil mengikuti taksi Ed, jadi Ruby tahu Ed ada di rumah sakit itu. Hanya Ruby tidak tahu dimana. Ia tadi langsung kembali pada AJ—berharap Ed akan ada di kamar AJ. Ruby tentu panik saat melihat Ed tidak ada di kamar itu, tapi memutuskan untuk menunggu. Keputusan itu benar, Ed pada akhirnya datang—meski menganggapnya seperti angin. “Ed, aku…” Ruby terdiam. Lirikan mata Ed yang membuatnya diam. Bibir Ed tidak perlu terbuka maupun bersuara, Ruby bisa mengartikan pandangan mata itu. Ed tidak datang untuk mendengar apa pun. Ia ada untuk AJ, bukan Ruby. “Don Rosas akan menjalani pemeriksaan untuk memastikan kecocokan sebagai donor.” Otiz yang menjelaskan. “Oh…” Ruby menutup bib
“WUAAA! Itu besar sekali!”AJ berseru girang. Matanya membuka selebar mungkin, seakan ingin menyaingi besarnya fosil dinosaurus yang ada di depannya. Tulang-belulang tua yang membentuk sosok makhluk purbakala itu tentulah menakjubkan di mata AJ.Museum Saurier, adalah museum dengan koleksi fosil dan replika terlengkap yang ada di Zurich—Swiss. Tujuan kunjungan khusus yang dipilih Ed untuk menghibur AJ tentu.Tapi mereka ada di Swiss bukan hanya untuk mengunjungi museum. Negara itu memiliki fasilitas kesehatan paling baik katanya. Ed mengejar itu, dan sudah mengatur agar AJ dirawat di sana.“Itu benda terbesar yang pernah aku lihat!” AJ berseru lagi.Kalau saja tidak ingat kakinya saki
Ruby mengusap keningnya yang berkeringat, lalu melepaskan mantel yang tadi dipakainya selama perjalanan. Udara lembab dan langit mendung adalah yang pertama menyambut Ruby saat menginjakkan kaki di Mexico lagi setelah sekian lama. Ruby memasang topi yang memang sudah disiapkannya, lalu berjalan pelan keluar dari bandara. Ruby juga memakai kacamata hitam. Wajahnya benar-benar tersembunyi, karena memutuskan untuk berhati-hati. Begitu kakinya menginjak negara itu, kehidupannya sangat lain. Ia kini menjadi ‘musuh’ dari dua orang yang mengerikan. Yang satu akan dengan senang hati membunuhnya kalau tahu—Esli, yang satu lagi… Ruby masih berharap Ed tidak akan langsung membunuhnya. Paling tidak Ed tidak langsung mencekiknya saat di chapel kemarin. Meski setelah itu Ed membuatnya ingin mati dengan mengambil AJ, tapi
“R… Ruby…”Lori masih butuh beberapa saat untuk percaya. Ia melakukan hal yang sama, dengan Ed juga. Meraba wajah Ruby, sampai akhirnya mencubit pipinya.“Astaga! Kau benar-benar bukan Liz?!” Lori memekik.“Ssst!” Ruby meminatanya untuk tidak menjerit tentu.“Kau bukan Liz?” Lori mengulang lebih pelan, tapi masih sambil mencubit pipi Ruby.“Apa pipiku terasa berbeda?” Ruby heran melihat Lori meyakinkan diri dengan mencubit pipinya.“Bukan itu! Tapi Liz akan menamparku kalau terus mencubit pipinya.” Lori memakai cara paling mudah untuk membedakan keaslian pernyataan Ruby.
“Ok, thank you so much.” Lori mengucapkan terima kasih pada petugas administrasi rumah sakit yang sejak tadi melayani pertanyaannya. Ia sangat kooperatif, sayang hasilnya tidak memuaskan. AJ tidak ada di rumah sakit itu.“Masih ada enam lagi di area ini. Yang terdekat… Ruby? Kau baik-baik saja?” tanya Lori, sambil kembali mundur. Ia rupanya hanya melangkah sendiri, sementara Ruby tertinggal di teras rumah sakit.“Ya, aku hanya berpikir.” Ruby bersandar sejenak di tembok rumah sakit, lalu kembali berdiri menghampiri.“You look like shit. Maaf, tapi kau pucat sekali.” Lori menggeleng sambil mengusap pipi Ruby yang tampak cekung.“Kapan terakhir kau tidur nyenyak?” tanya Lori.“Mm… tadi malam.” Ruby berbohong tentu. Ia tidak ingat kapan terakhir ia tidur dengan benar. Mulai dari semenjak AJ dibawa oleh CPS, Ruby sama sekali tidak bisa tidur nyenyak.“Benarkah? Kau juga sama sekali tidak tidur saat penerbangan kemarin. Kau bahkan juga tidak makan dengan benar. Croissant satu saja kau masi
“Apa… siapa?” Ed bingung. Mereka ada di Swiss. Tidak seharusnya ada gangguan apa pun. “Itu… sebaiknya Anda menemuinya sendiri.” Otiz menunduk. “Ada apa denganmu? Akh…” Ed turun dari ranjang AJ separuh melompat. Lupa kalau keadaan tubuhnya belum pulih. Efek samping itu tentu bukan hanya dialami AJ. Tubuh Ed juga belum pulih sepenuhnya. Punggung dan pinggangnya masih nyeri, bahkan seharusnya ia belum boleh beraktivitas. Ed memaksakan diri karena tidak ingin meninggalkan AJ sendiri. “Siapa yang ingin menemuiku?” Ed melangkah pincang keluar, menggerutu sekaligus heran. Otiz biasanya akan langsung mengusir saat ada tamu tidak penting, dan saat ini Ed menganggap siapa saja tidak penting. “Ada di sana.” Otiz menunjuk ke arah ruang tunggu yang lebih mirip ruang tamu. Masing-masing ruang di rumah sakit itu memang lebih mirip apartemen dengan fasilitas lengkap. Ed kembali melangkah. Masih dengan bingung karena sikap Otiz aneh, tapi kemudian jelas lah apa penyebabnya saat Ed melihat Ruby b
“Kami tidak…” “Apa aku menyuruhmu menyakitinya?!” bentak Ed. Masih melotot memandang mereka berdua. “Kau yang menyakitinya! Ruby tidak makan maupun tidur berhari-hari!” Lori yang membentak. Ia bukan tidak lagi takut, tapi gemas melihat amarah Ed yang tidak jelas. Ia sendiri yang mengusir Ruby, aneh sekali melihatnya marah saat Ruby pingsan. “Aku tidak…” Keinginan Ed untuk berdebat langsung lenyap. Tidak berminat lagi karena tangannya bisa merasakan tubuh Ruby sangat hangat padahal ada hujan yang membasahinya. “Ruby?” Ed menepuk pipinya, dan Ruby sama sekali tidak merespon. “SAYA SAJA!” Otiz berseru sambil berlari menghampiri Ed saat melihatnya mencoba mengangkat tubuh Ruby. Ed bukan tidak mampu, tapi seharusnya ia belum boleh beraktivitas. “Jangan menyentuhnya.” Ed mendesis, dan sudah mengangkat tubuh Ruby sendiri. Pinggangnya terasa menyengat, tapi Ed hanya menggertakkan rahang. Ia menggendong Ruby masuk, dan untungnya tidak perlu lama. Mereka ada di rumah sakit—meski lebih mir
“Makan. Kau harus makan. Bahkan aku saja tidak akan mengizinkanmu menemui AJ kalau belum makan.” Lori tidak bergeming dan tetap mengangkat mangkuk berisi bubur encer bertabur daging cincang dan daun bawang ke depan hidung Ruby. Ini usahanya ketiga kali membujuk Ruby untuk makan. Dua kali ditolak Lori masih mundur, tapi tidak untuk ketiga kalinya. “Aku ingin tahu keadaan AJ.” Ruby bersikeras. Ingin turun dan menemui AJ. “Begini, Ruby. Pertama, Ed belum tentu membiarkannya, yang kedua. Kau sendiri sakit. Kau ingin menemuinya dalam keadaan seperti ini? AJ sedang sakit dan kau ingin ia melihatmu dalam keadaan sakit juga? Demammu bahkan belum turun!” Lori sedikit menekan kening Ruby. Selain untuk memeriksa suhu, juga untuk memaksa Ruby bersandar, agar bisa makan dengan tenang. “Makanlah. Demammu tidak akan turun kalau kau tidak makan.” Lori mengangkat sendok dan menempelkannya pada bibir Ruby. Matanya tampak menyipit. Ia tidak akan mundur. Ruby menghela napas, dan akhirnya membuka bib
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad