“Mama!” Ruby menghambur memeluk ibunya. Apapun agar jeritannya berhenti.“Mama, tidak ada lagi. Tenanglah,” bujuk Ruby, sambil menahan rontaan tubuh Jade.“Tapi… Kau Ruby… Gemma!? Kau dimana?! Gemma!” Jade berputar dengan panik, mencari.“Kakakmu! Dia dimana?! Cari Ruby! Jangan berpisah !” Jade memekik dengan suara putus asa yang jelas.“Mama, tenang dulu. Gemma…”“Aku di sini.” Liz yang sejak tadi menonton kebingungan, menyahut sambil perlahan mendekat. Wajahnya tampak pucat dan sedikit gemetar karena shock, tapi melangkah maju.“Aku di sini.” Liz mengulang dengan lebih kuat. Jade berpaling, matanya kembali fokus.“Gemma…” Suara Jade serak tidak percaya, lalu berpaling menatap Ruby. “Aku Ruby.” Ruby menegaskan kalau mereka ada dua. Bukan hanya satu.“Gemma…” Suara Jade pecah bercampur tangis. Tangannya menggapai ke arah Liz, berusaha melangkah tapi terlalu lemas.“Gemma… Gemma… Kau bebas… Gemma…” Jade merengkuh Liz dengan susah payah, lalu memeluknya dengan erat.“Gemma… maafkan ak
Jade tidak pernah sedikitpun menyebut Gemma, Esli atau yang lain, tapi Ruby pernah melihat Jade menangis untuk mereka.Tangisan yang bagi Ruby dulu misteri. Tidak paham apa yang membuat ibunya terisak tanpa alasan seperti itu. Ruby ingin menghibur, tapi tidak tahu harus bagaimana. Ia tidak tahu sebabnya apa dulu.Air mata itu rupanya rasa bersalah pada Gemma, entah karena apa. Ibunya menyesal mereka berdua terpisah. Ruby ingin Liz lebih mengerti dan memberi ibunya ruang bernapas.“Kau bodoh!” Liz mengusap pipinya yang juga basah lalu berbalik dan melangkah pergi.Ruby tidak mengejar, membiarkannya pergi adalah yang terbaik. Ia tahu pertengkaran mereka akan semakin menjadi kalau terus saling memandang. Mereka perlu menenangkan diri.“Ruby, duduklah.” Sentuhan lembut dan usapan pada punggung Ruby dengan cepat menenangkan. Nafas Ruby perlahan menjadi lebih teratur. Dengan bantuan Ed, Ruby duduk.“Dia yang bodoh. Bukan aku.” Ruby memuntahkan sedikit amarahnya.“Aku percaya.” Ed mengangguk
“Kita kemana, Mommy?” AJ tidak mengenali area yang didatanginya bersama Ruby itu.Ruby saja juga asing, tapi Otiz dengan yakin melangkah di depan mereka. Ia yang sejak tadi menjadi petunjuk jalan karena memang hanya Otiz yang tahu. Mereka ada di salah satu mall besar yang ada di Guadalajara.“Mommy ingin mengajakmu bertemu seseorang.” Ruby mengusap kepala AJ, untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia tidak yakin menemui Liz adalah ide bagus, tapi harus. Ia harus membawanya menemui Jade hari ini. Mengenalinya atau tidak, Ruby bersiap seandainya Jade meminta Gemma kagi.Ruby tahu ia harus datang dan menemui Liz langsung untuk membujuknya. Ia tidak mungkin rela ikut setelah pertengkaran mereka kemarin.“Siapa?” tanya AJ, sambil menggandeng tangan Ruby agar tidak terpisah. Mall itu ramai.“Mommy punya kakak, dan aku ingin kau bertemu dengannya,” jelas Ruby.“He?!” AJ kaget tentu. Ini pertama kali ia mendengar.“Ia tinggal di sini?” AJ menatap sekitar dengan takjub. Tentu mall itu menjadi ruma
“Maaf, apa yang bisa saya bantu?” Terlihat wanita dengan kacamata tebal dan rambut terikat rapi muncul dan memandang tiga orang yang terlibat drama itu.“Apa kau tidak becus mengelola toko? Pegawaimu memukulku!” Teman yang tadi ditepis menunjukkan tangannya.“Astaga! Liz, apa ini benar?” Manager itu memandang Liz yang masih mengepalkan kedua tangan di samping tubuh.“Dia menyentuhku terlebih dulu!” desis Liz. Ingin membela diri.“Kami hanya menunjukkan kalau rambutnya sedikit berantakan. Standar toko ini sangat tinggi, kau tidak bisa punya pegawai yang terlihat berantakan bukan? Aku mengingatkan untuk kebaikan kalian sendiri, seharusnya tidak usah tersinggung.” Teman Liz itu kembali bermain seperti korban, dan sayangnya dipercaya.“Liz, aku sudah sangat memberi kelonggaran padamu, karena konsumen banyak yang menyukai rekomendasi gaya darimu, tapi aku tidak bisa bertoleransi selamanya! Kau tidak boleh kasar pada…”“Aku tidak kasar tanpa alasan! Mereka yang memulai terlebih dulu!” benta
“Kau yakin tidak masalah? Kau tidak punya pekerjaan lagi.” Ruby bertanya dengan resah, sambil mengikuti Liz melangkah cepat menuju kamar Jade. Selama perjalanan Ruby diam karena menyesal.Ruby tadi melawan keras, dengan harapan manager itu akan mempertimbangkan kalau Liz tidak bersalah, bukan malah memperburuk dengan membuat Liz kehilangan pekerjaan.“Masalah, karena aku akan kehilangan bayaran, tapi bagus juga. Aku sudah malas bekerja di sana. Barangnya terlalu ketinggalan mode.” Liz mengedikkan bahu. Terlihat tidak peduli, tapi Ruby tahu hal itu mengkhawatirkan.Ruby tahu benar bagaimana rasa putus asa saat kehilangan pekerjaan. Ia berpengalaman dipecat tanpa keadilan, dan betapa tidak mudahnya mencari pekerjaan baru.“Mommy, aku ingin ke kamar mandi.” AJ menyahut tiba-tiba, mengguncang tangan Ruby.“Akan saya antar.” Otiz mengulurkan tangannya, dan AJ setuju saat itu juga.Liz baru bicara begitu AJ jauh. “Aku masih punya sekitar…” Liz menghitung dengan jarinya. “Tujuh hari sebelum
Dan kegembiraan itu langsung ternoda. Senyum itu seakan tersaput angin badai ingatan buruk.“Tidak… malu, aku tidak mau! Kalian ada dan cukup!” Jade menarik tangannya, menghindar dan menunduk.“Tidak perlu. Gemma!” Jade tiba-tiba saja tersentak dan melompat turun dari ranjang. Dengan panik memandang pintu.“Ruby! Kunci pintu!” perintahnya, lalu menarik Liz, menyeretnya ke sudut kamar, menyuruhnya menunduk di balik pot tanaman.“Apa dia akan datang? Dia akan mengambilmu? Kau harus bersembunyi! Jangan sampai terlihat!” seru Jade.“Siapa yang akan datang? Tidak ada yang akan mengambilku.” Liz menunduk tapi berusaha menjelaskan. “Ya, Mama. Tidak ada yang akan mengambil Gemma lagi. Dia bisa setiap hari menemuimu.” Ruby tersenyum, mencoba mengalahkan kepanikan Jade dengan keceriaan.“Tidak, Ruby! Dia akan berusaha mengambilmu juga kalau aku melawan! Aku tidak bisa mengambil Gemma! Dia akan mengambilmu juga!” Dengan langkah tertatih, Jade mendekati pintu, berusaha menguncinya.“Siapa? Siapa
Ed mengambil mantel yang ada di kursi dan bersiap pulang. Hari baru berganti malam, tapi Ed tergesa karena tadi Otiz mengabarkan kalau keadaan Ruby tidak terlalu bagus. Ini yang membuat Ed merasa harus cepat pulang.“Don Rosas!” Ed belum sampai pintu depan dan salah satu anak buahnya memanggil sambil berlari.“Ada apa lagi? Kau tahu aku akan pulang!” tegur Ed.“Ada yang ingin bertemu Anda!” serunya sambil terengah.“Kau pikir aku ingin menemuinya?!” bentak Ed. Ia tidak punya janji, dan tidak akan ingin menemui siapapun saat ini.“Tapi katanya Anda sedang mencarinya.” Anak buahnya sudah mundur ketakutan.“Hm?” Ed bingung. “Namanya Mendez.” Amarah Ed langsung surut seketika. “Ulangi!” Ed tidak salah dengar, tapi kurang percaya.“Mendez. Dia ada di depan.Ed harus mengakui kalau ia sama sekali tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Biasanya siapapun orang yang dicarinya akan menghindar sejauh mungkin, bukan malah datang dengan senang hati.“Bawa ke dalam.” Ed berbalik, dan m
“Setan menjijikkan!” desis Ed. Ia tidak terlalu menghujat ‘selera’ Esli sebelum ini, tapi langkahnya itu pantas untuk dihina. Esli membuat Jade terikat perkawinan hanya untuk menutupi ketidaknormalannya itu. Sempurna memang, ia mendapat nama, terlihat baik-baik saja dan normal.“Lalu siapa ayah mereka berdua?” Ed bertanya dengan hati yang lebih lega. Ia tahu Ruby akan gembira menerima berita ini. Esli ayahnya adalah beban dari segala beban yang tidak ingin diingat Ruby.“Hans. Hans Dominguez. Dia bekerja untuk Senor Ramos sebelum saya.” Mendez masih menunduk.“Asisten Esli sebelum dirimu?” Ed menegaskan.“Benar.” “Lalu dimana…”“Mati.” Jawaban singkat yang sebenarnya sudah sangat mudah ditebak. Esli tidak mungkin membiarkan Hans hidup. Alasan asli menghabisi pria malang itu tentu bukan karena cemburu, kemungkinan besar hanya karena ingin menjaga nama baiknya.“Hina sekali. Ia membunuh pria yang bersama Jade sedangkan dia sendiri tidak pernah menyentuhnya.” Ed menggeram kesal. Ia k
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad