Ed membuka botol pil yang diberikan Diego, masih ada beberapa sisa. Ed tidak lagi meminumnya setelah sampai di New York. Obat itu hanya untuk rasa sakit di wajahnya dan tidak ada lagi rasa sakit.Obat untuk depressi dan lainnya, tidak lagi diresepkan oleh Diego selama beberapa bulan ke belakang. Menurutnya keadaan Ed sudah membaik. Seiring semakin tidak peduli pada Liz, keadaan Ed membaik.“Salah…semua salah…” Ed bergumam. Ed tidak menyalahkan Diego. Ia bertindak dan mengambil kesimpulan berdasar keadaan yang diceritakan Ed. Dasar cerita salah, tentu kesimpulannya salah.Ed menuang seluruh obat yang tersisa ke dalam wine yang tadi diminumnya. Masih tersisa separuh di dalam gelas. Seluruh pil itu tenggelam, tidak langsung larut, tapi tidak mungkin bisa dikonsumsi lagi.Ed tidak ingin mengkonsumsinya lagi. Sudah cukup. Seharusnya ia tidak memerlukannya lagi.Ed kembali duduk dan memandang ke arah tangga. Hanya menatap, karena masih tidak tahu harus memutuskan apa untuk menenangkan hatin
Ed menurunkan cangkirnya, memutar jarinya pada bibir cangkir. Memilih kata karena tidak terlalu ingin mengakui pikiran konyol itu. “Aku dulu hanya menyukai kopi. Pahit, asam, harum dan menurutku cukup. Tapi ada yang membuat teh untukku. Aku tidak tertarik, tapi aku mencoba, dan ternyata… rasanya tidak buruk. Harum yang lebih tenang, pahit yang lebih halus… aku juga menyukainya.” Ruby mendengar semua penjelasan itu, tapi masih belum bisa meletakkan penjelasan itu sebagai jawaban. “Kau… teh itu adalah dirimu. Kau seperti teh! Karena itu aku memilih daun teh untuk ponsel itu!” Ed akhirnya menyebut dengan jelas, karena Ruby tidak juga paham. “Oh… Ooo… begitu.” Ruby mengangguk, dan membatin apa yang membuat Ed harus memutar jauh saat menjelaskannya. Ia hanya harus menyebut dengan mudah. Pipi Ruby perlahan bersemu. Jawaban itu yang membuatnya memerah. Teh yang menjadi misteri itu ternyata sederhana. Tapi tidak meninggalkan rasa yang sederhana dalam hatinya. Itu semua pujian. Tidak langs
“Aku hanya bertanya. Aku boleh tahu bukan? Ini masa depan AJ.” Ruby bukan tidak khawatir pada amarah Ed, tapi masalah itu harus mereka bicarakan.“Boleh, dan kau sudah tahu jawabannya. AJ akan ikut denganku. Aku berhak…”“Aku tidak berhak? Aku ibunya.” Ruby tidak ingin Ed melupakan kalau ia bertaruh nyawa untuk AJ.“Aku tahu. Lalu apa yang kau inginkan? AJ juga adalah anakku. Kau ingin merampok hak itu lagi? Kau ingin menjauhkannya lagi? Aku tidak pantas ada untuknya?”Perlawanan tanpa amarah. Apa yang diucapkan Ed kurang lebih sama dengan apa yang diserukannya saat hari hujan kemarin—saat Ed mengusir Ruby. Tapi nadanya jauh berbeda. Tidak ada teriakan, atau pun bentakan. Ed menyebut fakta sambil memandang Ruby tepat di matanya. Ed bukan menuntut, tapi meminta apa yang memang seharusnya menjadi miliknya. Tidak ada yang salah dari keduanya.Pembicaraan yang terdengar lebih tenang, tapi terasa lebih melukai. “Aku tidak bisa hidup tanpa AJ. Aku… aku hanya hidup untuknya—dan ibuku. Aku
“Bagaimana kalau kau yang hidup di New York?” Ruby bertanya balik. Ia berani karena sejak tadi Ed tidak menunjukkan amarah.Terdengar tawa, tapi hanya sesaat. Ed diam setelah sadar Ruby tidak bercanda.“Oh, kau serius?” Ed mengira Ruby tengah membuat lelucon.“Ya.” Ruby tahu kemungkinan Ed setuju hanya nol koma sekian persen, tapi tidak ada salahnya mencoba.“Kau tahu siapa Rosas bukan?” Ed memastikan. Akan menjelaskan kalau Ruby belum mengerti.“Ya. Aku tahu.” Ruby tahu kenapa panggilan Ed adalah ‘Don’, bukan Senor seperti yang lain. Panggilan Don sudah sangat jarang dipakai karena mengajuk pada bangsawan. Panggilan itu istimewa karena memang Ed memiliki kekuasaan yang tidak dimiliki orang ‘normal’ lainnya.“Aku tidak bisa meninggalkannya. Itu keluargaku. Aku harus ada di sana.”Jawaban yang persis ada dalam bayangan Ruby, dan kemungkinan kecil akan bisa mengubahnya. Keluarga Rosas sudah berada disana berpuluh-puluh tahun, Ruby tahu kepergian Ed tidak akan berakibat sederhana.“Apa
Ruby memandang sekitar. “Ed?” Ia panik dan mencari bantuan. Ruby sama sekali tidak punya bayangan harus mengatakan apa. “Saya akan memanggil Don Rosas kalau memang Anda memerlukannya.” Otiz langsung mengusulkan. “YA! Ya, sekarang!” Ruby bahkan tidak mencoba menjawab AJ. Ia menghindari pandangannya, “Mommy…” “Kita akan mencarinya. Beast… maksudku… dia… Kita akan mencarinya.” Ruby sudah kacau sama sekali dan hanya bisa terbata sambil terus berjalan menggandeng AJ. Ia mengikuti Otiz yang akhirnya menemukan Ed. “Beliau ada di sana.” Otiz menunjuk area sudut museum tidak jauh dari pintu masuk. Ed sedang berbicara dengan seseorang yang membuat Ruby mengedipkan mata dua kali. Ruby hanya melihat profil samping, tapi tahu kalau ketampanan pria itu di atas rata-rata. Matanya sangat biru sampai seperti buatan. “Siapa…” Otiz menggeleng sambil tersenyum meminta maaf. “Saya tidak bisa mengatakannya pada Anda.” Ruby tidak mendesak lagi, tapi paham kalau kemungkinan Ed sedang mengurus ses
“Sungguh!” Otiz menggeleng meyakinkan. Ed mendecak lalu melirik ke arah Ruby yang sudah pucat. Bisa terlihat kalau Ruby sama sekali tidak tahu harus menjawab apa. Ed pun sebenarnya tidak tahu harus menjelaskan bagaimana, tapi tidak menghindar. Ed sedikir menarik AJ agar tidak menghalangi jalan, dan berjongkok di hadapannya. “Kapan kau mendengar ini?” tanya Ed. “Kemarin. Tita bicara pada Otiz.” AJ menunjuk dengan sangat yakin. Ed kembali melirik, dan kali ini Otiz menunduk menyesal. Langsung ingat. Ia memang mengobrol bersama Tita, tapi tidak menyangka AJ akan mengerti dan mendengar. Jarak mereka cukup jauh, dan pembicaraan itu seharusnya rumit. “Kita ke bagian triceratops dulu.” Ed menggandeng AJ, mengalihkan perhatiannya. Berharap anak itu lupa nanti “Kau mengatakan apa?” tanya Ruby pada Otiz, dalam desisan, sambil mengikuti mereka. “Tita bertanya apakah Anda berdua akan kembali bersama, dan saya menyebut tidak tahu. Lalu Tita menyebut seharusnya begitu, karena… ada AJ. Maaf.”
Ed mendengar suara pintu terbuka, dan melihat Ruby keluar dari kamar AJ. Ruby memang biasanya mengantar AJ tidur, mengucapkan selamat malam, membaca cerita dan lainnya. Tapi tidak pernah sampai berjam-jam seperti saat ini. “AJ tidak bisa tidur?” tanya Ed, sambil meletakkan minumannya. Ruby hanya menghela napas dan duduk di lantai, di dekat meja pendek yang dipakai Ed untuk minum, dan bersandar di sana. “AJ mengajukan banyak pertanyaan sulit,” gumam Ruby. “Ini.” Ed menyerahkan gelas lain yang telah berisi wine. Ruby terlihat membutuhkannya. “Aku tidak yakin ini ide bagus.” Ruby tetap menerima gelas itu tapi. Sudah cukup lama ia tidak minum alkohol. Tapi mungkin memerlukannya saat ini. Lehernya terasa kaku karena tegang seharian ini. “Aku juga tidak yakin ini ide bagus.” Ed mengulang. Baru beberapa hari ini ia menyentuh wine, jadi toleransinya pada alkohol mungkin berubah. Sebelumnya Ed menghindar karena sadar kalau campuran obat dari Diego dan alkohol adalah fatal. Setelah hari p
“RUBY!” Ed berseru saat menerobos gerbang pagar kayu yang juga sudah terbuka. Sudah jelas memang Ruby keluar, yang menjadi masalah adalah kemana. Area rumah itu tenang, tapi tidak sepi. Ada beberapa pengunjung yang berjalan menikmati danau saat malam. Ruby bisa bertemu siapa saja. Ed berlari ke arah keramaian. Berharap Ruby tertarik pada hal yang sama. Pada ujung jalan itu, terdapat air mancur yang menarik perhatian pengunjung dengan lampu dan mitosnya. Semacam versi murahan dari Trevi Fountain di Italy. Banyak pengunjung melemparkan uang dan membuat permohonan. “Oh, syukurlah.” Ed berseru lega saat melihat Ruby berdiri di depan air mancur itu. Untungnya tidak pergi terlalu jauh. “Ruby… Jangan!” Ed berseru panik, saat melihat Ruby tiba-tiba melangkah masuk ke dalam kolam. Beberapa orang yang ada di sana juga mencegah, tapi Ruby memberontak. “Aku ingin mengambil itu! Bersinar! Cantik!” Ruby menunjuk ke dalam kolam. Koin yang dilempar pengunjung memantulkan lampu yang menerangi k
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad