Dah kawin aja kalian :))
Ed mendengar suara pintu terbuka, dan melihat Ruby keluar dari kamar AJ. Ruby memang biasanya mengantar AJ tidur, mengucapkan selamat malam, membaca cerita dan lainnya. Tapi tidak pernah sampai berjam-jam seperti saat ini. “AJ tidak bisa tidur?” tanya Ed, sambil meletakkan minumannya. Ruby hanya menghela napas dan duduk di lantai, di dekat meja pendek yang dipakai Ed untuk minum, dan bersandar di sana. “AJ mengajukan banyak pertanyaan sulit,” gumam Ruby. “Ini.” Ed menyerahkan gelas lain yang telah berisi wine. Ruby terlihat membutuhkannya. “Aku tidak yakin ini ide bagus.” Ruby tetap menerima gelas itu tapi. Sudah cukup lama ia tidak minum alkohol. Tapi mungkin memerlukannya saat ini. Lehernya terasa kaku karena tegang seharian ini. “Aku juga tidak yakin ini ide bagus.” Ed mengulang. Baru beberapa hari ini ia menyentuh wine, jadi toleransinya pada alkohol mungkin berubah. Sebelumnya Ed menghindar karena sadar kalau campuran obat dari Diego dan alkohol adalah fatal. Setelah hari p
“RUBY!” Ed berseru saat menerobos gerbang pagar kayu yang juga sudah terbuka. Sudah jelas memang Ruby keluar, yang menjadi masalah adalah kemana. Area rumah itu tenang, tapi tidak sepi. Ada beberapa pengunjung yang berjalan menikmati danau saat malam. Ruby bisa bertemu siapa saja. Ed berlari ke arah keramaian. Berharap Ruby tertarik pada hal yang sama. Pada ujung jalan itu, terdapat air mancur yang menarik perhatian pengunjung dengan lampu dan mitosnya. Semacam versi murahan dari Trevi Fountain di Italy. Banyak pengunjung melemparkan uang dan membuat permohonan. “Oh, syukurlah.” Ed berseru lega saat melihat Ruby berdiri di depan air mancur itu. Untungnya tidak pergi terlalu jauh. “Ruby… Jangan!” Ed berseru panik, saat melihat Ruby tiba-tiba melangkah masuk ke dalam kolam. Beberapa orang yang ada di sana juga mencegah, tapi Ruby memberontak. “Aku ingin mengambil itu! Bersinar! Cantik!” Ruby menunjuk ke dalam kolam. Koin yang dilempar pengunjung memantulkan lampu yang menerangi k
“Ughh…” Erangan Ruby panjang dan lebar karena kepalanya sangat sakit. Seperti baru saja ada yang memukul dengan palu berulang kali.“Sakit…” keluh Ruby, sambil berusaha bangun. “Jam!” Ruby mengangkat tangan untuk melihat arloji di tangannya. Ingin tahu apakah ia kesiangan atau tidak. Tapi tidak ada apa pun di tangannya.“Eh?” Ruby mengelus lengannya yang kosong, lalu melirik meja yang ada di samping ranjang. Arlojinya juga tidak ada di sana. Ruby mengernyit, mengingat-ingat apa yang terjadi. Biasanya ia tidak pernah jauh dari arloji itu karena harus tahu waktu.“Wine.” Ruby ingat ia minum wine di ruang depan bersama Ed. Ruby akan mencarinya di depan kalau begitu.“Jam…jam…” Ruby bergumam, sambil meraba tubuhnya.“Oh?” Keanehan lain. Ruby hanya memakai pakaian dalamnya. Ia tidak ingat kapan melepas gaun selutut yang dipakainya kemarin, tapi mungkin sebelum tidur. Ruby mengangkat bahu.“Jam…” Ruby kembali meraba sekitarnya, sambil mendesis menahan sakit kepala. Ia mencari ponsel. Penu
“WAH! Itu kapal!” AJ berlari saat melihat benda apa yang menjadi kejutan Ed. Yacht berukuran sedang berwarna putih dengan layar krem mengembang. Tentu saja AJ langsung melupakan apa pun perasaan yang menganggu. Ia menghampiri Ed yang menunggu di samping kapal layar itu. “Apa ini milikmu?” tanya AJ. “Bukan, aku menyewa. Tapi kalau kau suka, aku akan membelinya.” Ed belum pernah merasa perlu memiliki yacht, jadi tidak pernah ingin membelinya. “Aku suka!” AJ tentu menerima penawaran empuk itu. “Tidak perlu kalau hanya memakainya sesekali.” Ruby tidak mungkin membiarkan permintaan semena-mena itu. “Tapi… tapi…” AJ mulai cemberut. Penolakan Ruby membuatnya melangkah dengan enggan saat meniti jembatan yang menghubungkan dermana dengan bibir kapal itu. Ed melirik ke arah Ruby. Meminta agar setuju dengan isyarat mata. “Mahal.” Ruby berbisik saat melewati Ed. Sangat tidak terbiasa mengabulkan keinginan AJ yang semahal itu. “Tidak akan percuma. Kita bisa memakainya di Puerto Valarta.”
“Ew! Mommy! Jijik!” AJ menunjuk sambil tertawa. Wajah Ruby yang berantakan sangat menghiburnya.“Hm?” Ruby belum menyadarinya, menoleh memandang AJ.“Ini.” Ed akhirnya bergeser, dan mengusap hidup Ruby dengan serbet di tangannya.Perhatian Ruby kembali pada Ed. Tapi hanya memandang dengan pikiran kosong, saat Ed membersihkan kekacauan di wajahnya. “Sudah?” tanya Ed, bukan pada Ruby, tapi AJ. Memintanya menilai apakah wajah Ruby sudah kembali bersih. Tahu benar pikiran Ruby sedang tidak berfungsi normal dari pandangan kosong itu.“Sudah.” AJ mengangguk setuju setelah memandang Ruby. Masih sedikit merah, tapi tidak ada lagi cairan apa pun.“Apa kau sudah siap? Kita akan mencoba memancing sekarang,” kata Ed.“YEAH!” AJ kembali melompat turun dari kursi. Bagian memancing itu memang sangat menarik hatinya sejak tadi.AJ menyambar tangan Ed, mengajaknya untuk turun. Ruby bahkan belum bisa mengikuti. Ia hanya memandang saat mereka berdua menghilang dari pandangan.Ruby sejenak meraba wajahn
“AJ sudah tidur? Secepat itu?” Ed heran melihat Ruby sudah ada di teras belakang, tidak sampai lima menit setelah Ruby mengantar AJ ke kamarnya. “Ya, dia sangat lelah.” Ruby bahkan melihat AJ hampir tertidur saat mengunyah, padahal ia begitu bersemangat karena ikan goreng hasil masakan Tita memang lezat. “Syukurlah.” Ed lega. AJ yang bisa tidur nyenyak tanpa banyak memprotes atau pertanyaan tentu adalah kemajuan yang memang mereka cari. Tanda positif. “Tidak ada alkohol malam ini.” Ed mengulurkan jus anggur yang mirip sekali dengan wine warnanya. Tapi rasanya jauh berbeda. “Aku juga lebih menyukai ini.” Ruby tersenyum masam, saat menerima gelas dari Ed. Ia tidak ingin mabuk dengan sengaja sampai beberapa tahun ke depan paling tidak. Ruby kembali menatap ke arah danau, tapi tidak mungkin tenang. Ia melirik ke arah Ed yang bersandar di pagar pembatas teras setiap menit sekali. “Kau ingin bertanya sesuatu? Aku tidak akan tahu apa yang kau pikirkan dengan diam.” Ed sudah menghabisk
“Seharusnya ini tidak terlalu keras. Milik Tita.” Ed menyerahkan botol berisi pil kepada Ruby yang tengah membungkuk di atas kursi karena kepalanya sakit. Ruby mungkin mengeluarkan seluruh cairan di kepalanya saat menangis tadi, terlalu banyak, karena kepala Ruby kembali sakit. Ia memulai hari dengan hangover, dan akhir harinya kurang lebih sama.Ruby menerima dan mengambil satu. Meminumnya memakai jus anggur yang belum sempat diminumnya. Ruby lalu bersandar di kursi panjang yang ada di sana, sambil memejamkan mata tapi. Matanya terlalu sakit untuk memandang sesuatu.“Aku rasa kau harus tidur.” Ed menyimpan kembali obat itu dan duduk di samping Ruby.“Tidak mau.” Ruby langsung membuka mata, ingin terlihat baik-baik saja.“Kenapa?” Ed heran. Sudah jelas Ruby membutuhkannya.“Aku… masih ingin di sini.” Ruby menggeleng.“Kalau begitu, aku yang pergi.” Ed berdiri.“Jangan!” Ruby menyambar tangan Ed, dan tentu mengundang tawa Ed. Ia kembali duduk. Ed tidak benar-benar ingin pergi. Hanya
“Aku tidak bisa bertemu denganmu tanpanya.” Ruby mengingatkan kalau takdir mereka mungkin tidak akan pernah bersilang kalau bukan karena kelicikan Esli. Ruby seumur hidup akan ada di Veracruz. Kecil kemungkinan akan bertemu Ed. “Kita bertemu karena memang jalannya seperti itu. Kalau bukan lewat Esli, aku yakin kita akan tetap bertemu. Mungkin malah dalam keadaan lebih baik, tidak diawali dengan langkah yang salah.” Ed menolak mengakui kalau pertemuan mereka karena jasa Esli. Ia lebih suka membayangkan nasib lain—mungkin ia dan Ruby bertemu di jalan, tanpa sengaja. Yang sederhana tanpa drama melelahkan. “Ya. Aku juga lebih menyukainya.” Ruby bergumam sementara matanya semakin berat. Obat itu mulai bekerja. “Ruby?” Ed memanggil perlahan, lalu mendesah saat melihatnya telah nyenyak. “Nyenyak sekali,” keluh Ed. Mendadak teringat saat Ruby tertidur di teras setelah memamerkan tubuhnya tanpa sengaja. Kenangan yang kurang lebih mirip dengan keadaannya saat ini. Ed sedikit iri melihat R
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad