Cocoa CafeMelissa menyalakan ponselnya setelah seharian ini dia mematikannya. Puluhan panggilan dari Rio dan Erlangga memenuhi layar ponselnya. Dia tidak terkejut sama sekali. Gadis itu memilih untuk mengabaikannya. Dia lalu menatap jam tangannya, sudah hampir jam sepuluh malam. Dia harus pulang. Seketika tubuhnya menjadi tidak bersemangat. Dia malas membayangkan bila nanti bertemu dengan Erlangga.“Selamat malam nona,”Melissa menolehkan kepalanya dan terkejut melihat sosok pelayang kafe yang berdiri di hadapannya.“Kafe kami akan tutup sebentar lagi, maaf bukan tidak sopan tetapi–”“Ah… aku mengerti. Tidak apa-apa, aku akan pulang sekarang, terima kasih tidak mengusirku sejak siang.” Ucap Melissa dengan candaan.“Kami tidak akan mengusir anda. Datanglah lagi besok bila anda berkenan.” Ucap pelayan tersebut dengan ramah.“Aku pasti akan datang, tempat ini sangat menyenangkan.” Ucap Melissa.Melissa lalu berdiri dari kursinya, dia menyiapkan uang untuk membayar pesanannya. Rasanya be
“Hallo, ibu?” sapa Erlangga.“Oh? Erlangga? Di mana Melissa?” tanya suara dari seberang telepon.“Melissa sudah tidur, ada yang perlu disampaikan? Aku akan memberitahu Melissa kalau dia bangun.” ucap Erlangga.“Ah tidak apa-apa. Besok pagi saja aku menelpon lagi, terima kasih Erlangga Lanjutkan istirahatmu.” Ucap Ibu Melissa.“Iya,” balas Erlangga lalu mematikan ponsel.Erlangga lalu memasukkan kembali ponsel Melissa ke dalam tas. Erlangga lantas duduk di atas ranjang. Ingatannya berputar pada pertemuan singkatnya dengan Marissa tadi di kantor.“Ibunya menelpon malam-malam begini sudah pasti ada kaitannya dengan kembalinya Marissa.” Ucap Erlangga. Wajahnya berubah dingin seketika. Aneh rasanya bahwa dia bahkan tidak senang sedikit pun dengan kehadiran Marissa.Lima belas menit berlalu. Melissa belum juga keluar dari kamar mandi, apakah gadis itu baik-baik saja?Ceklek!“Aku sudah selesai, kau mau mandi?” tanya Melissa yang baru saja keluar dari kamar mandi.Erlangga mengangkat kepalan
Pagi HariRumah Keluarga ErlanggaMelissa sudah bangun pagi-pagi sekali. Faktanya dia justru tidak bisa tertidur dengan nyenyak semalaman. Perasaan was-was selalu menghantuinya sehingga membuatnya sering terbangun dari tidurnya. Kesal karena tak bisa melanjutkan lagi tidurnya, sejak pukul lima subuh dia sudah bangun.“Kau yang menyiapkan semua sarapan ini?” sebuah suara berujar dari arah pintu masuk ruang makan.Melissa membalikkan tubuhnya dan tersenyum ramah pada Mia. “Hmm, hari ini aku libur bekerja.” ucap Melissa.“Aku berharap bisa pandai memasak sepertimu.” Ucap Mia.“Aku tidak pandai memasak, aku hanya suka memasak.” Balas Melissa.“Sialnya masakanmu selalu enak, tidak heran Rio sangat suka membanggakanmu.” Ucap Mia. Sedetik kemudian dia menyadari ucapannya yang tak pantas untuk dilontarkan dengan status Melissa yang kini adalah istri kakaknya.“Maaf~”“Tidak apa-apa,” balas Melissa kikuk.“Hubunganmu dan Erlangga lancar, kan?” tanya Mia.“Lancar bagaimana? Kau tahu aku tidak p
Melissa berjalan menuju rumahnya dengan santai. Sejak menikah dengan Erlangga, dia jarang datang ke sini. Dia juga bersyukur karena keluarga Erlangga mengurangi porsi kerja ibunya. Dulu ibu Melissa mengurus segala keperluan rumah tangga keluarga Erlangga. Semenjak menikah, ibu Melissa diberi tanggung jawab untuk mengurus taman bunga dan kebun buah milik keluarga Erlangga saja.Tok Tok TokMelissa mengetuk pintu rumah lalu membuka pintu tersebut karena tidak terkunci. Suasana rumah yang terasa dingin membuat Melissa merasa tidak nyaman. Biasanya saat masuk ke sini perasaannya akan menghangat tetapi tidak dengan saat ini, mungkin karena dia sudah jarang datang ke sini.“Kau sudah datang?”Melissa berdiri mematung saat dia melihat sosok yang selama ini menghilang dan meninggalkan banyak masalah untuk keluarganya dan keluarga Erlangga.Marissa berdiri dengan dress merah anggunnya. Gadis itu melempar senyum tipis pada Melissa.“Marissa? Kak Marissa?” ucap Melissa saat dia melihat Marissa b
“Belum.” Balas Marissa datar. Dia membohongi Melissa.“Kenapa kau belum menemuinya?” tanya Melissa bingung.“Dia pasti akan menolakku.” Balas Marissa. Melissa tidak tahu bahwa Marissa sudah menerima penolakan itu.“Lalu kau akan melakukan apa?” tanya Melissa.Marissa menatap Melissa dengan dalam, gadis itu meraih kedua tangan Melissa lalu menggenggamnya dengan erat. Melissa merasa gelisah dengan tatapan Marissa.“Tinggalkan Erlangga, Melissa.” Ucap Marissa.“Apa?” tanya Melissa.“Tinggalkan Erlangga seperti apa yang aku lakukan padanya.” Balas Marissa. “Aku mohon bantu aku.” Tambah Marissa.“Apa? Tidak mau! Kau gila, kita hanya akan membuat dirinya kembali tersakiti. Maksudku bukan aku tidak ingin meninggalkan Erlangga dan pernikahan sialan ini tetapi aku tidak mau meninggalkan dia dengan cara bodoh seperti apa yang kau lakukan.“Dia akan semakin membenci keluarga kita terutama kau dan aku!” balas Melissa. Dia mungkin akan membunuhku, menyakitiku sampai ke tulang. Tambah Melissa dalam
Melissa menarik seleting jaketnya lalu mengeratkan lagi syal di lehernya. Gadis itu memeluk tubuhnya dengan erat. Cuaca dingin Seoul akhir-akhir ini sangat ekstrim. Dia bingung ke mana dia akan pergi pagi-pagi begini. Berada di rumah keluarga Erlangga hanya membuat perasaannya semakin tertekan. Belum selesai kepalanya dibuat pusing oleh Erlangga, sekarang kakaknya justru menambah beban pikirannya.“Benar apa yang Mia katakan, kembalinya Marissa hanya menambah masalah.” Gumam Melissa. Melissa mulai kesal karena bus yang ia tunggu tak juga muncul, sejujurnya dia paham betul bahwa kekesalannya bukan karena bus yang tak kunjung muncul. Yang benar saja ini baru sepuluh menit.Marissa. Erlangga. Marissa. Erlangga .“Arghh! Ini membuatku gila!” ucap Melissa sambil mengacak rambut.TREEETTSuara klakson bus membuat Melissa terkejut, gadis itu segera berlari menuju pintu bus. Segera setelah pintu bus terbuka, Melissa menaiki tangga bus dan mulai mencari kursi kosong. Semua kursi hampir terisi
“ Apa? Tidak ! Aku juga memiliki kekasih saat menikah dengan Erlangga.” Balas Melissa. “Lantas?” “Apakah aku bisa menceritakan ini padamu? Meskipun kau sahabat Erlangga tapi aku sedikit ragu.” Balas Melissa lalu melipat kedua tangannya di depan dada. “Tidak apa-apa kau tidak perlu memberitahuku alasannya. Erlangga juga tidak menceritakan perihal pernikahannya denganmu. Sayang sekali saat hari pernikahan kalian aku harus kembali ke Thailand, kakakku melahirkan jadi aku ingin melihat keponakanku.” Balas Lee. “Wah pasti menyenangkan memiliki anggota keluarga baru. Ngomong-ngomong kau orang Thailand?” Tanya Melissa. “Ya, Ayahku Korea dan Ibuku Thailand.” Balas Lee. “Thailand seperti apa?” “Lebih panas, tidak ada salju di sana.” Balas Lee singkat. “Kalau aku punya uang yang banyak aku akan ke sana.” Ucap Melissa. “Tidak perlu uang yang banyak, kalau kau mau aku bisa mengajakmu ke sana.” Balas Lee. “Whoaa! Kau baik sekali.” Ucap Melissa. “Kau akan ke mana naik bus ini?” Tanya Lee.
“Justru karena aku kasihan padanya. Dia memiliki Rio yang sangat ia cintai. Melissa mengatakan tersiksa dengan pernikahannya denganmu. Dia merasa terkurung dengan pernikahan kalian. Lagi pula sejak awal dia tak menginginkan pernikahan ini. Jadi kau bisa meninggalkan Melissa. Kasihanilah dia.” Ucap Marissa yang semakin mengeratkan pelukannya pada Erlangga. “Lalu bagaimana dengan diriku? Apakah kau hanya memandangku sebagai objek?” Tanya Erlangga. “Apakah kau tidak kasihan padaku juga? Apakah kau pikir hidup kita ini adalah sebuah permainan. Di mana kau bisa memutuskan untuk pergi lalu kemudian kembali, lalu membuang adikmu untuk meraih kebahagiaanmu?” Tanya Erlangga. “Tapi Melissa tidak bahagia dengan pernikahan kalian!” ucap Marissa. “Tapi aku bahagia dengan pernikahanku dengan Melissa.” Balas Erlangga. DEG! Marissa membulatkan matanya, tangannya semakin erat merengkuh tubuh Erlangga. Perasaannya berubah menjadi kalut. Dia ketakutan sekarang. “Apa maksudmu, Erlangga?” Tanya Mariss
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Matanya tertuju pada salah satu spot di mana sosok itu berada. Ya, dia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunannya. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Ia menggunakan pakaian serba hitam. Sayangnya, Dikta tak bisa melihat sorot mata yang tertutup oleh bayangan topi yang dikenakannya. Tak hanya dia yang puas, melainkan sosok mereka yang ada disitu pun ikut merayakan kekalahan Dikta. Ya, walaupun sementara mereka sangat yakin itu bisa menjadi peringatan agar Dikta bisa mundur dari jabatannya. Agaknya dalam hati mereka masing-masing silih berganti menghina Dikta. Atau mungkin ada yang menertawakan Dikta juga. Entahlah, pikiran Dikta berkecamuk. Bukan karena masalah diseret tapi siapa lagi yang bermain drama dengannya saat ini. Perlahan namun pasti Dikta meninggalkan kantor utamanya dengan tangan diborgol. Keluar
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Ia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunan. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Mereka sangat puas melihat Dikta, yang diseret paksa bak tersangka sesungguhnya. Agaknya Dikta berat sekali melangkahkan kakinya. Hanya saja Dikta tak bisa menangkapnya dengan jelas, karena polisi lebih dulu menyuruh Dikta untuk masuk ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalanan Dikta benar-benar pasrah. Bahkan ia tak berbicara sepatah kata apapun. Diam. Dan mengikuti alur mereka inginnya seperti apa. Namun di balik diamnya Dikta, ia terus mengamati sosok itu dari belakang. Mengingat kembali semua yang dikatakan oleh mereka. Harap-harap ada klu yang menyudutkan pada sosok tersangka. Dikta juga masih ingat siapa saja yang ikut andil di dalam sana. Sehingga Dikta bertekad akan kebebasannya akan menelusuri siapa mereka. Apakah benar yang
Tampak nafas pria itu benar-benar tersenggal. Kentara sekali ia sangat kelelahan agaknya. "Ada apa? Minum dulu!" sosor Dikta seiring memberikan segelas air minum. Mengambil dan meneguk airnya dengan rasa tamak. Agaknya ia sangat kelelahan. Baik Sierra maupun Dikta masih menunggu apa yang ingin dikatakan olehnya itu. "Ada apa?" Hosh! Hosh! "Anu, Pak. Itu kantor—" Mata Dikta membulat sempurna mendengarkan hal itu. Kini tatapannya mulai menatap lekat untuk membenarkan rasa jujurnya itu. Sehingga batin Dikta dili seperti sudah dikejar seseorang. Memperhatikan keadaan kamar di manan Sierra berada. Dikta berusaha mencerna kembali 11 "Pak gawat kantor kena sidik oleh pihak terkait dan investor!" sosornya terburu-buru. "Jangan bercanda! Ini tidak lucu!" sanggah Dikta geram. Menelan salivanya kuat-kuat. Sierra hanya bisa menatapnya datar. Karena hal ini sering terjadi. Sierra hanya busa menonton kejadian klasik ini. Ia yakin Dikta pasti terkejut akan apa yang terjadi. Walaupun Sierr
Mengangguk. Ia ingin merangkul Sierra, hanya saja lengannya benar-benar tak kuasa menahan nyeri karena luka itu. Ditambah Dikta dihantam berkali-kali saat melawan Sony yang membuat salah satu tangannya kebas.“DIKTA TANGANMU TERLUKA! PAK CEPAT KE RUMAH SAKIT!”Sang pengawal pun langsung menginjak pedal gasnya begitu saja. Sierra benar-benar panik akan apa yang terjadi. Dikta hanya terkekeh melihat tingkah Sierra yang terlalu berlebihan ini. Padahal lukanya tak seberapa dengan rasa khawatirnya itu.Sesampainya di rumah sakit, malah bukan Dikta yang dilarikan untuk di tangani. Tapi malah Sierra yang dilarikan ke ruang UGD. Dikta memboyong tubuh wanita yang merintih kesakitan itu.“Sus, tolong!”Dengan sigap para perawat itu membawa Sierra berlalu menuju ruang UGD. Dikta hanya bisa menunggunya di depan ruangan dengan harap-harap cemas. Ia tak peduli lagi dengan rasa sakit yang diembannya saat ini.Ya, perjalanan yang cukup terjal dari tempat kejadian membuat Sierra mengalami pendarahan d
Tapi Bella malah menarik paksa pria itu dalam pelukannya. Pelukan yang selama ini ia elu-elukan setiap malam. Jujur saja, Bella sangat merindukan Dikta kala ini. Ya, dia sangat menginginkan Dikta kembali dalam pelukannya. Kembali merajut dunia yang telah lama hilang. Ternyata Bella baru menyadari, jika Diktalah yang berhasil membangun dunianya terasa megah. Atau bisa dikatakan hanya Dikta yang bisa mengerti segala keinginannya. Bukan Noah maupun kedua orangtuanya. Bahkan bisa dikatakan jika Diktalah yang berhasil membuatnya menjadi istri yang layak. Dia berhasil mengagungkan Bella dengan segala perjuangannya yang tulus itu. Dan tak pernah Bella temukan pada Noah hingga saat ini. Andai saja waktu bisa diputar kembali, mungkin Bella takan pernah melakukan itu. Dan mungkin saja anaknya masih hidup sampai saat ini kan?Dikta menepis segala rayuan Bella yang mulai menjalari tubuhnya. Sungguhpun, Dikta jijik dan muak sekali. “Bella! Lepaskan! Kenapa kau mau menjadi jalang seperti ini,
Dari root top bangunan di seberang jalan, tepatnya di seberang kosan Sony, seorang pria mengawasi Sony yang sedang dikepung oleh Dikta dan pengawalnya.Pria itu sudah siap dengan senapan laras panjangnya, bersiap membidik target. Saat itu Dikta menanyai Sony, tapi dia diam ... tidak mau berkata jujur. Setelah dihajarpun Sony ditanya kembali oleh Dikta. “Sekarang!” perintah wanita dari telepon, kepada pria yang menggunakan penutup kepala dengan earpiece di telinganya. Dan ... DOR! Dikta dan ketiga pengawal terkejut, mereka menoleh sekeliling dan mencari sumber suara. Setelah beberapa menit barulah Dikta tahu, seseorang mencoba lari dari rooftop rumah di seberang kostan yang ditinggali oleh Sony. “Di sana! Tangkap!” perintah Dikta menunjuk ke bangunan di seberang kostan, dua pengawal langsung bergerak untuk mengejar penembak Sony. “Urus mayatnya,” titah Dikta pada dua pengawal yang sedari awal memegangi tubuh Sony, dan sekarang dua pengawal itu sedikit gemetar yang mereka
Satu persatu masalah menghampiri Dikta, hampir tak berkesudahan, satu masalah selesai satu lagi muncul. Dia hampir gila, merasa ingin menyerah saat ini karena salah satu dari masalah tersebut adalah Sierra. Istrinya itu adalah kekuatannya, harta yang ia punya satu-satunya. Sedang mengandung buah hati mereka, tapi karena termakan hasutan orang dia lebih memilih pergi meninggalkannya. Dikta tidak tahu harus mencari Sierra ke mana. Ponselnya juga tak aktif, tidak bisa dihubungi sama sekali. Dikta juga tak mendapati istrinya ada di rumah kakeknya. Dia tak tahu apakah ada tempat tinggal Sierra yang lain atau istrinya itu hanya tidur di hotel. Dikta akhirnya membiarkan istrinya itu menenangkan diri dan dia berjanji akan mengurus masalahnya supaya cepat selesai. Pagi ini Dikta pergi ke kantor seperti biasanya, hari ini kakek sudah bilang tidak akan mampir ke kantornya, kakek membantu Dikta mencarikan investor baru untuk perusahaan yang dipimpin oleh Dikta itu, pria itu bersyukur sekali.
Dikta menerima telepon dari kakek Sierra, menyuruhnya untuk segera datang ke rumah orangtua Bella. “Aku ada di apartemen, Kek,” ucap Dikta, dia seketika teringat amanah dari ayah Bella yang merupakan mertuanya dulu. “Kau harus bawa mayatku juga istriku. Tolong kebumikan kami dengan layak. Aku yakin hidupku sudah tak bisa bertahan lebih lama lagi,” ucap ayah Bella sesaat sebelum dia tewas karena peluru yang bersarang di kepalanya. Dikta tak bisa untuk tidak sedih, marah dan kecewa, perasaan itu campur aduk di dalam hatinya sekarang. Karena sudah ditunggu oleh kakek, dia segera turun dan menuju ke rumah Bella lagi. Beberapa menit kemudian Dikta sampai di kediaman orangtua Bella, bunga duka sudah berjejer rapi di depan gerbang rumah, banyak mobil yang juga berderet-deret memenuhi tepi jalan. Dikta memarkirkan mobilnya, agak jauh dari kediaman mantan mertuanya itu. Dia turun kemudian melangkah masuk ke sana, orang-orang sudah datang untuk melawat. Dikta melihat ada Bella di sana y
Dikta terperangah, dia membelakakkan matanya sekarang. Kedua mantan mertuanya itu terkapar, dan malangnya di depan matanya ayah mertuanya dihabisi begitu saja. Dikta yang geram berusaha mengejar siapa penembak yang bersembunyi di gudang tadi. Dikta berlari kencang, melawan rasa sakit kepalanya akibat hantaman tongkat baseball yang mengenai kepalanya. Pria itu kabur, melesat dengan cepat berlari dari arah gudang ke depan. Dari belakang Dikta menyusul berlari kencang, seperti mengenal sosok tersebut, dia mempercepat langkah kemudian menarik jaket hitam yang dikenakan pria yang akan kabur itu. Dikta menarik dengan kedua tangannya hingga pria itu terjerembab. Pria itu menggunakan pakaian serba hitam yakni pakaian serba hitam, sepatu hitam, bertopi hitam, masker hitam dan tak lupa kedua tangannya menggunakan sarung tangan. Dikta menarik masker dan topi pria itu, membuangnya asal, dan ketika semuanya terlepas pria itu tertawa. “Hahaha ... Sudah pas bukan waktunya?” ujar Noah, dia seakan