Amora celingak-celinguk mencari orang yang sedari tadi ia cari. Biasanya Frans akan lewat ruangannya setiap pagi, tapi hari ini nampaknya pria itu tak memperlihatkan batang hidungnya di rumah sakit.
Padahal sedari tadi Amora menunggu pria itu untuk meminta izin beberapa hari tidak masuk karena harus mempersiapkan kerja sama proyek Aksen atas permintaan Pramono kemarin.Sebenarnya ia sangat malas terjun ke dunia bisnis untuk saat ini. Amora lebih suka menghabiskan waktu untuk mengobati para penderita gangguan jiwa di rumah sakit.Namun harus bagaimana lagi jika ia tak menyetujui keinginan Pramono, Aksen akan kehilangan proyek rancangannya yang sudah ia impi-impikan dari dulu. Setidaknya meskipun lelaki itu terus menyakiti hatinya, ia tetap akan memperlakukannya dengan baik.Setelah menunggu lama berdiri, Amora akhirnya memutuskan untuk ke ruangan Frans saja semoga pria itu ada di ruangannya. Hanya membutuhkan tiga menit ia berjalan dari ruangannya ke ruangan Frans. SAksen dan Amora sudah sampai di tempat yang telah direncanakan untuk melanjutkan proyek Aksen yang kemarin sempat tertunda. Setelah mereka keluar dari mobil, beberapa kliennya ternyata sudah menunggu kedatangan mereka.Satu persatu dari mereka berjabat tangan dengan senyum merekah kepada keduanya. Alih-alih mendengarkan sapaan Aksen, mereka malah memperhatikan wajah Amora sedari tadi, Aksen menyadari itu dan dia sangat kesal.“Mari, silakan duduk!” ujar Aksen mengalihkan perhatian mereka yang sibuk memuja istrinya.Amora iku mendudukan dirinya tepat di samping Aksen. Wajar saja jika semua orang memperhatikan Amora saat ini, pasalnya hanya dirinya seorang wanita yang ikut andil dalam pertemuan tersebut. Ditambah lagi kecantikan wanita itu dengan polesan make up tipis membuat siapapun tersihir oleh senyum manisnya. Aksen menyadari itu sejak lama, hanya saja ia banyak menghindar karena menurutnya Amora selalu menyebalkan jika tengah bersamanya.
Suara-suara tidak terdengar begitu jelas. Sangat berisik juga sunyi, sedang berada dimana ia kini. Amora menormalkan napasnya yang serasa menghimpit dadanya. Mata yang sedari terpejam kini membuka sempurna dengan penglihatan sedikit samar. Cahaya temaram itu menghiasi bangunan yang sudah lapuk di sampingnya.Amora membuka matanya dengan tenaga yang masih belum terkumpul sempurna. Ia menyadari sekarang ia berada di tempat yang tak ia kenali. Udaranya pun tidak bersahabat dengan hidungnya.Setelah kesadarannya cukup terkumpul, Amora sadar ia tengah disekap di tempat sepi dengan keadaan duduk di sebuah kursi. Tangannya terikat kencang di belakang tubuhnya. Kakinya diikat pula di depan dan mulutnya diikat kain berwarna merah.“Hmpp ...” teriaknya tertahan.Mencoba melepaskan saja ia tak mampu dengan tenaganya yang sangat minim. Keringat membanjiri pelipisnya hingga jatuh sampai ke bahu. Ditambah lagi hari ini ia memang tidak dalam keadaan se
Anna, Vincent beserta Diego sudah ada di depan sebuah gedung tua yang telah usang dan lapuk. Beberapa halamannya sudah hampir tak terlihat dengan rumput-rumput yang tumbuh lebat menambah suasana angker rumah itu sendiri.Anna yang tak sabar dan khawatir terhadap kondisi Amora, segera berlari mendahului Vincent dan Diego. Mereka akhirnya bisa masuk ke gedung tua itu meskipun harus melewati banyak rumah laba-laba yang sudah berwarna hitam.“Am! Amora! Kau dimana?!” teriak Anna mencari-cari keadaan sahabatnya.“Apa kau yakin ini tempatnya, Diego? Ini sangat sepi sekali,” ucap Vincent tak percaya. “Ya, aku tidak mungkin salah!”Diego terus masuk ke dalam dan menyusuri satu persatu anak tangga untuknya sampai bisa ke lantai berikutnya. Anna semakin tak tenang, ia mengedarkan pandangannya kesana kemari untuk mencari keberadaan sahabatnya.Tiba-tiba saja dua orang preman menghadang mereka. Untung saja dalam keadaan siap, akhirnya Diego
Aksen berjalan kesana kemari dengan wajah cemas tak bisa ia sembunyikan. Di depannya kini ada ruangan yang bertuliskan IGD di atas pintunya, seorang wanita yang ia cintai tengah berada di ruangan tersebut dengan luka perut lumayan dalam.Terlintas pula dalam pikirannya bagaimana keadaan Amora sekarang, apakah wanita itu baik-baik saja? Tak bisa dipungkiri dalam hati kecil Aksen, rasa khawatir terhadap keadaan Amora juga kini mengisi sebagian otak dan hatinya.Setelah ia pergi dari gedung tua itu, Amora pun tidak sedang baik-baik saja. Dia tidak melihat peristiwa penusukan itu, tapi anehnya Aksen tersulut emosi dan hanya memojokkan Amora yang ada satu-satunya orang disana selain Aurelia yang menjadi korban.Pisau yang berlumuran darah itu kebetulan juga berada tepat di hadapan Amora yang sedang terduduk seraya sibuk mengatur napas dan menopang bobot tubuhnya oleh kedua tangannya. Pikiran Aksen yang kalut dengan keadaan Aurelia, langsung saja menyalahkan sia
Aksen terdiam seribu bahasa seraya mengamati secarik kertas yang diberikan Dokter kepadanya setelah melakukan tes golongan darah. Tidak banyak bicara, Dokter itu hanya mengatakan kalau ia tidak segolongan darah dengan Aurelia. Juga bukan dari golongan darah yang bisa mendonorkan darahnya kepada yang selain dari jenisnya.“Bagaimana mungkin?” gumamnya tak percaya.“Apa ada yang mengganjal, Pak?” tanya Dokter di depannya.“Apakah saya boleh bertanya tentang satu hal Dok?” Aksen menatap Dokter itu dengan sedikit penasaran dalam lubuk hati.“Ya?”“Bukankah jika kita hendak melakukan donor organ itu harus satu golongan darah, tapi kenapa dulu Aurelia bisa mendonorkan ginjalnya untuk saya?” tanya Aksen terus mengamati wajah Dokter itu dengan seksama.Dokter itu mengerutkan keningnya. “Apa anda yakin Nona Aurelia yang mendonorkannya?” Aksen mengangguk pasti. Waktu itu setelah ia melakukan operasi, Aurelia berada di bangsal sam
Amora mengerjap-ngerjapkan matanya ketika merasa ada seberkas cahaya yang menyusup. Dari tadi sebenarnya ia sudah siuman, tapi tidak tahu mengapa rasanya ia sangat lemas dan lelah. Rasa sakit di wajahnya pun tak kalah menyakitkan membuatnya tidak nyaman untuk sekedar membuka mata.Kali ini ia berniat membuka mata dengan perlahan karena kepalanya sangat pusing jika ia meneruskan tidurnya lagi. Setelah matanya terbuka sempurna, dua pasang mata begitu terlihat tengah memperhatikan gerak-geriknya. “Amora!” panggil pelan Anna seraya menggenggam erat tangan kanan wanita itu. Amora memerhatikan satu persatu netra mata yang keduanya menatap lekat terhadapnya. Kemudian terbesit pikirannya kepada kejadian kemarin yang hampir membuatnya mati. Tatapan Amora menjadi kosong setelah mengingat kembali ucapan Aksen yang menyakitkan hatinya. Ia menghela napas beberapa kali untuk menghilangkan rasa sesak yang bersemayam di dalam hatinya itu.Dengan mudah
Aksen sudah sampai di kediaman ibunya. Aksen menghela napas sebelum masuk ke dalam rumah yang sudah lama tak ia kunjungi. Suasananya masih sama, sepi dan tak banyak yang lewat di depan pekarangannya.Wajar saja, Rina adalah seorang wanita karir meskipun ia sudah berumur dan mempunyai anak yang sukses, jadi tak sempat ia berdiam diri di rumah untuk menghangatkan rumah yang besar nan megah itu.Namun ketika ia hendak masuk, ia melihat pembantu rumah ibunya yang berada di taman samping rumah. Sebelum masuk, Aksen memastikan dulu bertanya kepada pembantu ibunya itu jika Rina ada di rumah atau tidak.“Bi!” panggilnya berhasil membuat wanita paru baya itu menengok ke arahnya.“Iya, Den. Tumben mampir, ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita itu kepada Aksen.“Apa ibu ada di rumah?” tanyanya.Wanita itu menerawang sebentar. “Ah, ya. Nyonya sedang pergi ke pemakaman, Den,” jawab wanita itu.Aksen mengernyitkan dahinya. “Pemakaman? Siapa yang meninggal?” tanyanya.“Kalau tidak salah, tadi nyon
“Am, kau baik-baik saja?” Anna menepuk-nepuk pelan bahu Amora yang sedikit bergetar. Perempuan itu memeluk lututnya dan menenggelamkan wajahnya di kedua lutut tersebut.Setelah mendengar kabar buruk tentang Frans, Anna langsung pergi ke rumah sakit dengan perasaan khawatir. Jika Amora mendengar itu pasti sangat terpukul, secara Frans adalah sahabat dekatnya sendiri selama ini.Dan benar saja, sekarang Amora terlihat terpukul sekali. Anna yakin sahabatnya itu setidaknya pasti telah mendengar rumor tentang penangkapan Frans atas kasus malpraktik kepada kakeknya.Namun sepertinya Frans sudah merencanakan hal itu dari jauh-jauh hari. Buktinya sekarang ia dengan mudah melarikan diri tanpa ada jejak yang bisa polisi selidiki. Lelaki itu benar-benar licik, dikira membantu malah menjadi sumber luka yang mematikan untuk Amora.“Bagaimana keadaannya?” tanya Vincent yang baru saja datang dengan terburu-buru juga.Anna menggeleng pelan. “Sepertinya kita harus keluar dulu, mungkin Amora masih butu
Amora termenung di depan gerbang setelah ia keluar dari bangunan itu dan meninggalkan dua orang yang paling Amora benci di dunia. Baron dan Frans sudah divonis hukuman mati oleh pengadilan sesuai tuntutan keluarga korban dan hukum yang berlaku.Setelah ini Amora akan belajar ikhlas atas semuanya. Ayah, ibu, kakek, semua keluarganya sudah tiada. Dan yang sekarang bisa menemaninya hanya keluarga dari sang suami. Mereka begitu terlihat peduli kepada Amora bahkan di kala perempuan itu dalam kesulitan.“Ayo, pulang!” Aksen merangkul pundak Amora dengan lembut.Amora kemudian menoleh. Perempuan itu tersenyum tipis membuat Aksen semakin erat memeluknya. Tak akan pernah Aksen lepaskan lagi seorang istri yang begitu berharga ini dalam hidupnya. Tak akan pernah.Amora kini merasa aman. Bersama orang-orang yang begitu menyayanginya. Seorang suami yang rela berbuat apapun demi menyenangkan hatinya, saudara-saudara yang selalu membuatnya tertawa dan seorang ibu mertua yang mementingkan kebutuhanny
“Aku sudah tahu tempat persembunyian para bajingan itu!” Aksen mengepalkan tangan kirinya dengan erat setelah mengetahui beberapa hal yang membuatnya sangat jengkel. Sudah beberapa hari Aksen mencoba melayangkan senjata kepada dua bajingan itu tapi entah kesaktian apa yang mereka punya sampai selalu lolos dari segala rencananya.Tapi tidak untuk hari ini. Aksen, Diego, Anna, Riri dan Amora akan menyatukan rencana untuk menjebak Baron dan Frans itu. Amora sudah berangkat dengan beberapa pengawalnya menuju gedung tak terpakai yang beberapa tahun lalu terbakar.Benar sekali, di tengah jalan, Amora diculik oleh dua orang dengan topengnya. Amora berpura-pura pingsan untuk mengelabui musuhnya itu. Terdengar jelas di telinga Amora tawa renyah Frans Baron memenuhi ruangan kedap suara. Ingin sekali Amora menyumpal mulut sialan itu. Tapi ia harus menahan itu semua dan berpura-pura pingsan dulu untuk sementara waktu.“Am, kau merindukan panggilan itu, bukan?” tanya Frans dengan wajah berseri.
Beberapa orang suruhan Diego dan Amora berhasil disebarkan untuk mencari keberadaan Aksen. Meskipun Amora nampak berdiam diri saja di rumah, tapi otak dan bawahan-bawahannya tidak pernah diam untuk terus menggali informasi perihal Aksen.Sehari berlalu, Amora belum mendapatkan kabar apapun dari Aksen. Hatinya semakin tak tenang dan otaknya sudah buntu tak bisa berpikir lagi. Apalagi ketika mendengar kabar terbaru dari televisi yang mengabarkan jika Baron dan Frans tidak terlacak kembali keberadaannya.Diego yang beberapa kali mencoba menghubungkan koneksi pelacak pun tetap tidak berhasil. Baron dan Frans sepertinya telah menyusun segala cara sebagus mungkin untuk hari ini dan hari-hari berikutnya demi menangkap Amora. Beberapa kali Diego berpesan untuk Amora tetap berjaga-jaga meskipun ia berdiam diri di rumah.Malam ini seperti biasa Amora tak berhasil memejamkan matanya. Pikiran yang terus berkecamuk dan kepala yang terasa pusing semakin membuatnya tak bisa tidur. Sesekali Amora men
Amora mondar mandir tidak jelas sejak tadi karena pikirannya yang mulai kacau semenjak acara televisi menyajikan berita tentang berkeliarannya dua orang buronan yang kabur dari keamanan. Tentu saja mereka itu adalah Baron dan Frans.Sesuatu yang begitu mengoyakkan hati Amora kala ia mengetahui jika kedua orang itu merupakan ayah dan anak. Frans merupakan anak Baron sebelum ia menikahi ibunya Aurelia. Sungguh sangat lembut permainan Frans waktu itu, hingga membuat Amora tidak bisa melihat mana rekayasa mana nyata.Tentulah sekarang Amora paham mengapa Frans begitu jahat padanya. Ya, semua itu karena Baron dan dirinya menginginkan harta kakeknya Amora yang begitu banyak dan melimpah. Namun tidak semudah itu, setelah membunuh Artha mereka juga mesti menyingkirkan Amora terlebih dahulu untuk mendapatkan harta itu.Amora menggigit jari telunjuknya mencoba menenangkan diri. Meski dirinya sekarang berada di tempat yang aman yaitu di rumah ibu mertuanya. Tapi yang lebih membuat Amora panik ad
“Amora kau harus mati!”“Amora kau harus mati!”“Amora kau harus mati!”“Huaa ...” Dada yang kembang kempis tak beraturan begitu terlihat disertai wajah ketakutan Amora. Perempuan itu menoleh ke samping dimana ada suaminya tengah memandang khawatir padanya. Bahkan tangan Aksen masih menjadi bantalan kepala istrinya.Untung saja semua itu hanya mimpi. Seseorang mendatanginya bahkan terbawa ke alam bawah sadarnya. Dia datang ingin merenggut nyawa dengan tanpa alasan. Amora sungguh ketakutan hingga tak sadar tangannya menggenggam lengan Aksen. “Ada apa, Mora?” Aksen mencoba menyadarkan istrinya yang terlihat kebingungan selepas sadar dari pingsannya.Menyadari dirinya begitu menempel ke tubuh Aksen, Amora segera berusaha duduk dan membenarkan posisinya. Meskipun dalam keadaan tak baik-baik saja, ia tak akan memperlihatkannya kepada Aksen. Saking gengsinya ia tak akan pernah merendahkan harga dirinya lagi di depan Aksen. “Mora, kau baik-baik saja?”Amora menghela napas panjang beberapa
“Katakan, apa maumu? Aku tidak mempunyai waktu luang cukup lama untukmu,” ujar Amora langsung pada intinya ketika mereka sudah dihidangkan beberapa makanan di atas meja.“Mora, aku bukan klienmu. Sekarang ini aku berperan sebagai suamimu, apa pantas bicara begitu?”Amora menatap tanpa ekpresi ke arah suaminya. Aksen kini selalu menyebalkan di depan matanya. “Aku tak suka bertele-tel-““Makan dulu,” potong Aksen seraya menyodorkan sepotong beefsteak ke mulut Amora hingga perempuan itu terdiam.Melihat istrinya yang sama sekali tidak membuka mulut untuk melancarkan suapannya, Aksen menaikkan sebelah alisnya seolah bertanya dengan isyarat. Beberapa detik kemudian Amora mengambil garpu yang dipegang Aksen kemudian menyuapkan potongan daging itu oleh tangannya sendiri.Aksen hanya tersenyum menanggapinya.“Tidak ada hal penting, aku hanya ingin makan siang bersamamu.” Aksen mulai menyuapkan potongan daging kepada mulutnya.Amora terdengar menghela napas panjang. Wanita itu tiba-tiba berdi
Paginya, Aksen harus terganggu dengan kedatangan Diego ke rumah ibunya. Apalagi ketika melihat lelaki itu begitu akrab mengobrol dengan Amora membuat hatinya memanas. “Senang melihatmu baik-baik saja, Amora,” ujar Diego seraya menampilkan senyum tipisnya.“Aku selalu baik-baik saja,” balas Amora. Sementara Aksen berlalu begitu saja melewati mereka yang sedang mengobrol di ruang tamu. Dengan wajah masam itu, Diego menyadari jika Aksen memang tidak suka dirinya ada di rumah Rina. Apalagi ngobrol akrab dengan istrinya.Namun justru karena itu, Diego semakin gencar mengajak Amora mengobrol ria agar Aksen kesal. Pria itu paling suka melihat sepupunya marah. Aksen pergi ke dapur dan mengambil jus jeruk dingin dari kulkas. Aksen menuangkan jus itu ke gelas panjang kemudian meneguknya hingga tandas. Sisanya ia bawa ke ruang tamu seraya mendudukan dirinya begitu dekat dengan istrinya. Seakan memperlihatkan kepada Diego kalau Amora adalah miliknya.Diego yang paham dengan sikap Diego hanya m
TikPria beralis hitam tebal itu membuka seat belt yang selama hampir dua jam melilit dadanya. Napas lega begitu terdengar jelas dari mulut Aksen dengan diakhiri senyum tipis khas-nya.Setelahnya ia menoleh kepada perempuan yang masih terbaring nyaman di atas alat tidur portable di kursi samping yang direndahkan posisinya. Aksen merangkak mendekati Amora kemudian mengelus pelan pelipis wanita itu.Wanita itu terlihat nyaman bahkan tidak merasa terganggu sedikitpun ketika Aksen menyentuh pelipis dan hidungnya. Aksen terlalu gemas hingga beberapa kali mencubit hidung Amora seraya terkekeh pelan. Ditambah lagi, pipi Amora nampak sedikit berisi setelah ia mengandung.Aksen kembali melihat ke arah depan, mengedarkan pandangan kemudian tersenyum tipis. Terhalang kaca mobil, sebuah danau luas terhampar di depannya. Ya, Aksen ternyata mengajak Amora ke tempat yang tidak asing. Sebuah pulau yang dahulu kala adalah tempat mereka mengukir cerita yang hampir saja ingin Aksen lupakan. Jika mengi
“Gak mungkin anakku mati! Gak mungkin!!!”Teriakan ibunya Aurelia terdengar dari ruang IGD sampai ke tempat registrasi dimana Amora dan Aksen baru saja sampai untuk menjenguk mayat Aurelia yang baru saja ditemukan.Amora melirik sebentar ke wajah Aksen yang tengah tersenyum tipis ke arahnya. Aksen sengaja bersikap begitu dan memperlihatkan wajah tidak panik supaya Amora tidak merasa takut dan tidak sama-sama panik.Padahal dalam hatinya, Aksen kelimpungan sendiri. Takutnya ibunya Aurelia akan nekat melakukan hal buruk kepada Amora apalagi istrinya itu sekarang tengah hamil. Tapi bagaimanapun situasinya, Aksen sudah berjanji akan melindungi Amora dari serangan apapun.Menyadari Amora tidak maju juga dari tadi ke IGD, Aksen merengkuh bahu istrinya dengan tangan kanan kemudian merapatkan kepada tubuhnya. Amora kembali menoleh dan Aksen mengangguk meyakinkan.“Apa aku akan baik-baik saja?”Ini pertama kalinya Aksen mendengar kalau Amora sangat khawatir dan bertanya lebih dulu kepadanya. B