“Papa tidak mau tahu! Secepatnya putuskan siapa yang akan menjadi ayah dari anakmu.”
Ruang keluarga yang biasanya menjadi tempat favorit Khansa, kali ini tidak lagi. Hampir satu pekan perdebatan antara Kak Yasmine dengan papa dan mama terjadi. Semua diawali kondisi Kak Yasmine yang saat ini diketahui positif hamil, namun dia sendiri bingung siapa ayahnya.Kak Yasmine menjalin hubungan dengan dua pria di saat yang bersamaan. Sampai sejauh mana tidak ada yang mengetahuinya, namun kini papa mengetahui kehamilannya. Khansa hanya mengenal Kak Brian, sedangkan Kak Prasetya, nama yang kadang disebut-sebut dalam perdebatan sepertinya jarang diajak kakak ke acara keluarga.Khansa hanya bisa mencuri dengar dari ruang makan. Dia takut jika kemarahan papa akan berimbas padanya. Saat ini dia harus berkonsentrasi pada ujian sekolah yang akan dilaksanakan tiga bulan lagi.Mimpinya menjadi mahasiswi di Kampus Dwi Aksara menjadi salah satu motivasi untuk mengikuti ujian dengan nilai yang terbaik. Dia berharap nanti akan mendapatkan beasiswa pendidikan. Dibalik itu juga Khansa memiliki tujuan yang lain.“Tapi pa… Aku masih tidak tahu siapa ayah kandungnya? Aku takut salah memilih,” ucap Kak Yasmine diantara isak tangisnya.“Kalau perlu tes DNA lakukan!” tegas papa sambil meninggalkan ruang keluarga menuju ruang kerjanya.Khansa menutup telinganya saat mendengar suara pintu yang dibanting. Papa masih marah, walau sudah berkali-kali mama mencoba meredam kemarahan papa dengan berbagai cara. Tapi rasanya papa bukan hanya marah, papa sudah murka dengan apa yang dilakukan Kak Yasmine.Khansa menarik napas panjang. Di satu sisi dia menyalahkan kakaknya, namun di sisi lain Kak Yasmine pasti memiliki alasan dibalik semua peristiwa ini. Dia harus bersikap positif, tidak hanya menyalahkan kakaknya. Semoga saja apa yang diputuskan nanti adalah yang terbaik untuk Kak Yasmine dan anaknya kelak.Pagi ini Khansa merasakan suasana yang tak seperti biasanya. Kak Yasmine terlihat sangat tertekan, walau senyum coba dipaksakan. Khansa merasakan akan ada peristiwa besar yang terjadi. Terlebih, saat melihat raut wajah Kak Yasmine."Ada apa kak? Sepertinya ada yang ingin kakak sampaikan," ujarnya sekaligus bertanya."Khansa...!"Suara papa menggelegar dari ruang kerja menuju ruang makan. Mereka berdua terkesiap mendengarnya. Sepertinya papa marah lagi, entah apa yang terjadi kini hingga papa semarah itu. Suara langkah kaki papa yang terburu-buru terdengar menuju arah mereka. Juga langkah kaki mama yang turun dari tangga."Pras tidak tahu diri, beraninya dia memulai perang denganku!" teriakan papa menggema di ruang makan."Pa, ada apa?" tanya Khansa pelan.Kak Yasmine menarik tangannya. Itu artinya kakak meminta agar jangan banyak bertanya pada papa. Mereka berdua memutuskan untuk diam, menunggu hingga papa sendiri yang mengatakannya. Mama yang tiba setelah mendengar teriakan papa menatap kami bergantian. Keheningan seketika terjadi.“Pa, Yasmine akan menyelesaikan masalah ini. Jangan libatkan Khansa, Pa. Bagaimana pun aku penyebab semua masalah ini,” ucap Kak Yasmine menatap papa dengan berani.Papa mendengus kesal dan beranjak meninggalkan ruang makan. Khansa berdiri kaku, bingung mendengar teriakan papa tadi. apa yang sebenarnya terjadi pada Keluarga Yudhatama?“Khansa, berangkatlah ke sekolah. Biarkan ini menjadi urusan papa dan mama,” ucap mama sambil membereskan piring di meja.Kak Yasmine sudah beranjak menyusul papa ke ruang kerjanya. Khansa bersiap berangkat dan hanya pamit pada mamanya yang akan membawa piring ke dapur untuk dibersihkan.Khansa sengaja berjalan pelan, terlebih saat melewati ruang di mana kakak dan papanya sedang berbincang berdua. Pintu yang separuh terbuka, ditambah suara mereka yang cukup kuat membuat telinganya mendengar percakapan mereka.Karena penasaran, Khansa pun memutuskan untuk menghentikan langkahnya dan mencuri dengar.“Jadi, semua yang diucapkan Pras itu bukan hanya ancaman, Pa?” Itu suara Kak Yasmine yang bertanya pada papa.“Pras memang keterlaluan! Hari ini satu kontrak yang dia putus, besok dia pasti akan memutus kontrak lainnya sebelum permintaannya dipenuhi!”Khansa mengerutkan dahi, menebak-nebak permintaan apa yang diminta Prasetya. Apa Kak Yasmine sudah memilih Brian, dan mencampakkan Prasetya, sehingga pria itu marah dan menuntut hal lain?“Tapi, apakah papa tega menjadikan Khansa solusinya? Bagaimana pun, dia masih kecil, Pa.”Jantung Khansa serasa berhenti berdetak kala mendengar namanya disebut-sebut bisa menjadi solusi dari masalah ini. Memangnya, apa yang bisa dia bantu? Namun, detik berikutnya sebuah ucapan mencengangkan keluar dari bibir papa.“Kenapa tidak? Sudah beruntung kita mau mengurusnya selama ini. Jika tidak, dia sudah jadi gembel di jalanan. Mama saja yang selalu memanjakannya, padahal keluarganya berhutang banyak pada kita. Anggap saja ini bayar hutang keluarganya dahulu.”Khansa terdiam di balik pintu, apa dia yang dimaksud papa? Jadi, dia bukan bagian dari keluarga ini? Jadi selama ini kasih sayang yang mereka berikan hanya karena terpaksa?Entah apa yang harus dilakukannya saat ini. Sebuah fakta yang sangat menyakitkan baru saja diketahuinya. Tak terasa butiran bening menetes dari sudut matanya. Apa yang harus dilakukannya kini.Ucapan papa kembali terngiang, mungkin benar apa yang dikatakannya. Diingatnya kembali perlakuan mereka padanya selama ini. Meskipun dia bukan anak kandung di Keluarga Yudhatama, tapi mereka memperlakukannya sangat baik, tidak pernah pilih kasih.Khansa memutuskan untuk tetap berangkat ke sekolah, walaupun sepanjang langkah menuju teras dia berusaha keras menghentikan isak tangisnya. Tangannya sibuk menghapus jejak butiran bening yang masih mengalir pelan. Khansa berharap bisa melupakan apa yang tadi didengarnya.***“Khansa?” suara bariton seorang pria memanggil namanya saat dia akan meninggalkan gerbang sekolah.Khansa menghentikan langkahnya dan memastikan jika pria dewasa dengan pakaian yang rapi itu memang memanggilnya. Matanya masih tergugu, tetapi kepalanya refleks mengangguk mengiyakan.Di sinilah Khansa sekarang, duduk di hadapan pria bernama Prasetya dengan gelisah. Dengan alasan jika pria ini akan menyampaikan pesan dari Kak Yasmine, Khansa meminta sopir menunggu sebentar di sekolah.Apa yang pertama kali harus ditanyakan padanya? Pikiran itu terus-terusan berputar di otak Khansa. Saat pikirannya berkelana jauh, suara bariton itu membawanya tersadar kembali.“Sudah tahu apa yang harus kamu putuskan?” tekannya pada Khansa.“Putuskan? Mengenai apa?” tanya Khansa bingung.Khansa membelalakkan matanya, menatap kaget sosok pria dewasa di hadapannya. Hingga saat ini saja dia masih bingung untuk menyapanya. Apa panggilan yang pas? Kak—atau, Om Prasetya… ternyata jauh lebih tua dibanding yang ada di benaknya.“Kak… eh Om… aku masih belum paham,” lirihnya sambil menunduk.“Jadi mereka belum memberitahu? Oke aku yang akan memberitahu jika mereka masih menutupinya.”“Aku sudah memberi waktu tiga hari untuk memutuskan pilihan mereka, tapi ternyata mereka memilih untuk kuhancurkan,” ucapnya sambil menyeringai.“Pilihan…? Dihancurkan? Pilihan apa om?”Tatap mata Khansa dipenuhi pertanyaan yang membuatnya bertambah bingung. Diberanikannya menatap pria yang kini dipanggilnya Om… Om Pras.Ditariknya napas mencoba menenangkan diri. Paling tidak kini dia tahu sosok Prasetya. Dia ingin menanyakan ucapan papa yang didengarnya tadi pagi, jika dirinya bisa menjadi solusi.“Kamu harus menikah denganku! jika ingin perusahaan Keluarga Yudhatama tetap berdiri. Jika tidak, aku akan menghancurkannya perlahan,” ucapnya datar.“Maksud Om?” “Om? Sepertinya harus diubah panggilannya. Tidak mungkin kan suami sendiri dipanggil om?” sindirnya tajam. “Suami? Maksudnya om akan menikah dengan denganku?” tanya Khansa kaget dan binggung. “Ya, itupun jika kamu tidak ingin melihat Keluarga Yudhatama hancur bersama perusahaannya. Tapi jika kamu tidak ingin membalas budi, tidak apa. Kita bisa bekerja sama menghancurkannya,” jelasnya pelan. Khansa terdiam membeku masih tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Di satu sisi dia tak ingin berada di keluarga Yudhatama lagi, namun dia juga tak ingin menikah diusianya yang semuda ini. Khansa menggeleng pelan, berpikir keras apa yang harus diputuskannya. “Aku beri waktu hingga besok. Jika tidak ada kabar hingga pukul 12.00, maka satu lagi kontrak akan kuselesaikan. Kamu bisa menghubungi nomor Rama, asisten saya, dia yang akan mengatur semuanya.” Khansa hanya memandangi punggung Om Pras yang sudah beranjak dan melangkah menuju mobilnya. Dikejauhan dilihatnya pintu mobil y
“Pras, Khansa menyetujui keinginanmu, Bagaimana? Aku balas apa pesannya?”Seringai Pras terlihat jelas saat Rama mengabarkan Khansa mengirim pesan. Dia menuliskan jika menerima permintaannya kemarin dan akan memenuhinya. Sepertinya dua kontrak saja cukup membuat dia menyerah.“Atur pertemuan dengannya. Urus semua surat-surat yang dibutuhkannya. Aku akan melamarnya saat Yasmine menikah dengan Brian. Itu saat yang paling tepat,” selorohnya memerintah Rama untuk menyiapkan semua keperluan pernikahannya.Dikirimkan pesan pada Khansa untuk menemuinya di restoran cepat saji dekat kantor. Khansa menyetujuinya, dan mengatakan jika dia dalam perjalanan ke sana. Pras meminta Rama yang menemuinya, menyampaikan apa yang harus dilakukan Khansa, dia sendiri akan memantaunya dari kejauhan.Rama tak bisa menolak, apalagi Pras sudah memberikan semua yang dibutuhkannya. Selain sebagai asistennya Rama juga dipercaya untuk menjalankan salah satu bisnis yang dimiliki Pras. Apalagi Rama juga ingin menjadi b
Hari ini adalah hari yang dinantikan banyak orang, tapi tidak dengan Khansa. Pernikahannya dengan Om Prasetya. Tamu undangan sudah banyak yang datang, itu yang didengarnya dari perias yang sedang melakukan tugasnya. Khansa sudah selesai dirias, baju pengantin yang mama bilang sangat indah dan pas dibadannya tak terlihat keindahannya di mata Khasna.Kak Yasmine dengan perutnya yang sudah terlihat membesar datang memberi ucapan selamat. Aku hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Jika mengingat Kak Yasmine dulu adalah pacar Om Pras, sepertinya aku ingin lari dari pernikahan ini.Saat pernikahan Kak Yasmine berlangsung dua bulan yang lalu, papa menerima lamaran dari keluarga Narendra. Khansa tak bisa menolaknya karena sudah menyetujui permintaan Om Pras. Selain itu dia juga tak ingin memiliki hutang budi pada Keluarga Yudhatama yang telah memberikan kasih sayang padanya walau mereka tak pernah mengatakan jika dia bukan anak kandungnya.“Sayang, mama minta maaf jika hal ini membuatm
Jadi yang menggantikan gaunnya Om Pras? Apa benar semua yang dikatakannya, Khansa tertegun mencari jawaban dari pertanyaannya sendiri. Suara perutnya kembali berbunyi, dia bertambah kesal karena tak berhasil menebak jawabannya.Kini Khansa sedang memakan makan malamnya, duduk di sofa yang bersebrangan dengan Om Pras. Selimut yang tadi digunakannya kini menjadi pembungkus tubuh yang ikut bersamanya. Khansa tak mau hanya mengenakan kaos saja di hadapan Om Pras. Awalnya Om Pras menatapnya marah, namun saat mendengar perutnya kembali berbunyi, dimintanya untuk duduk dan makan. Khansa memilih sofa yang agak jauh untuk duduk. Sepintas dilihatnya bibir Om Pras tersenyum, namun saat mengetahui dia memperhatikannya, ditariknya kembali senyum di bibirnya dan kembali memasang wajah marahnya.Khansa sudah tak mempedulikannya. Memilih duduk dan menikmati makanannya. Dia menghabiskan dua piring makanan, entah karena lapar atau karena memang makanannya sangat enak. “Sepertinya tugas sebagai istri s
Suara pintu dibuka membuat Khansa terkejut. Dilihatnya Om Pras yang sudah berdiri di balik pintu, menatap tajam ke arahnya. Untungnya jubah mandi sudah dikenakannya saat mendengar teriakan kedua Om Pras tadi. "Kenapa sih om tidak sabar, aku kan sudah bilang lima menit lagi. Apa om tidak tahu menghitung waktu selama lima menit," sungutnya mencoba memberanikan diri. "Aku juga sudah mengatakan jangan lama-lama, ada hal yang harus aku selesaikan. Kamu harus ikut Hanny," tegasnya pada Khansa. Khansa melangkah melewatinya, kini dia tidak akan takut lagi. Khansa harus bisa menjaga dirinya sendiri meskipun itu dari Om Pras, suaminya sendiri. Dipakainya baju yang dibawanya kemarin dalam koper, namun saat ini baju-bajunya sudah tergantung rapi di lemari pakaian. Diambilnya salah satu baju yang pas digunakan untuk bepergian. Seingatnya Om Pras mengatakan akan pergi mengurus sesuatu. Setelah mengenakan bajunya, Khansa mencoba merias wajahnya agar tidak terlihat pucat. "Sarapan dahulu, sudah h
Khansa terdiam melihat Om Pras yang sudah berada di sampingnya. Dimas menatap Om Pras dan menarik tanggannya yang tadi terulur pada Khansa. "Jika ada yang ingin di sampaikan, sampaikan pada saya. Saya suami Khansa, Prasetya. CEO Kampus Dwi Aksara," ucapnya sambil mengulurkan tangan pada Dimas. Khansa terpaku mendengar ucapan Om Pras. Di tatapnya wajah Om Pras untuk mencari jawaban. Tatap mata Om Pras hanya tertuju pada Dimas. Ditariknya napas panjang sebelum mencoba menatap Dimas yang telah menjabat tangan Om Pras. Dimas membuang rasa takut pada Prasetya, walau dia adalah pemilik kampus tempat Dimas kuliah. Setelah melepaskan jabat tangannya, Dimas menatap Khansa, memastikan jika dia baik-baik saja. Khansa mengangguk, mencoba mengatakan jika dirinya aman bersama Om Pras. Tangan Khansa ditarik Om Pras yang sudah melangkah cepat menuju mobil yang terparkir. Khansa harus kembali berlari kecil untuk menyeimbangi.Sesampainya di samping mobil, Om Pras membalikkan badannya hingga wajah m
Om Pras masuk ke dalam ruangannya setelah Nadin meninggalkan mereka dengan kesal. Tak lama sekretarisnya datang, meminta maaf karena baru saja meninggalkan mejanya. Om Pras mengangguk dan menarik tangan Khansa untuk ikut masuk ke dalam. Sebelum pintu ditutup Om Pras meminta dipesankan makan siang untuk mereka. "Di tempat biasa saja, dua porsi. Jus alpukat tanpa susu juga air mineral," pesannya sebelum menutup pintu. Khansa duduk di sofa sambil matanya mengelilingi ruangan Om Pras, tadi Nadin bilang jika ruangannya di samping ruang Om Pras. Di mana ruangan asisten pribadi? "Ada pintu di dekat lemari bukalah. Di sana ruang kerjanya, jika itu yang dicari," ucap Om Pras sambil menunjuk pintu yang dimaksudnya. Khansa berdiri ingin melihat ruangan tempatnya bekerja nanti. Berjalan menuju pintu yang dimaksudnya dan membukanya. Wajahnya memerah setelah melihat isi ruangan yang disangkanya adalah ruang kerja seperti umumnya. Di hadapannya terdapat sebuah tempat tidur yang cukup besar, sofa
Om Pras berjalan menuju pintu yang sudah dibuka oleh seorang pelayan. Dilangkahkan kakinya masuk ke dalam. Khansa yang berjalan di belakangnya terkesima dengan rumah yang sangat mewah. Sebelum melangkah ke arah sofa, Om Pras meminta pelayan menyiapkan minuman untuknya dan Khasna. Khansa masih mengamati bagian dalam rumah utama. Dirasakan tangannya ditarik oleh Om Pras agar mengikutinya menuju sofa. Om Pras langsung menghempaskan tubuhnya di sofa. Dia memilih sofa yang agak jauh dari Om Pras dan perlahan duduk di sana. Nadin keluar dari kamar di bawah tangga bersama Mama Dewi yang di dorongnya. Tatapan mata Nadin seakan mengejeknya, sedangkan tatapan mata Mama Dewi menahan amarahnya. Khansa menatap Om Pras, sesaat Om Pras memberikan kode dengan meletakkan jari di depan bibirnya. Khansa mengangguk. Itu artinya dia tidak perlu menjawab atau mengeluarkan suara. Pelayan datang membawakan minuman yang diminta Om Pras, meletakkannya di atas meja bersamaan dengan Mama yang sudah ada di hada
"Apakah perhitungan keuntungan tidak sesuai dengan kontrak sebelumnya?" tanya Om Pras penasaran melihat ekspresi Brian."Bukan... bukan. Aku kira aku harus membayarkan finalti karena kesalahan yang kulakukan. Tapi...," ucapan Brian dipotong Om Pras."Brian sudah kukatakan sejak awal. Bagaimanapun kamu adalah bagian dari keluarga besar kami. Apalagi kamu sudah menyelamatkan Daniar. Anggap saja sebagian merupakan kompensasi ucapan terima kasih kami padamu. Kami harap kehidupanmu selanjutnya bisa lebih," ucap Om Pras menjelaskan."Terima kasih banyak Pak Pras, aku berjanji tak akan melakukan kesalahan lagi," ucap Brian pelan.Brian kamu akan mengeluarkan biaya pengobatan yang besar untuk Hary, Diana sudah menghubungiku untuk meminta bantuan tanpa sepengetahuanmu, Batin Prasetya sambil tersenyum pada Brian. Aku sudah berjanji pada Diana tidak akan memberitahukanmu. Selamanya ini akan kusipan baik-baik.***"Mama... Papa...!"
Khansa menyeruak kerumunan orang, tadi dia yakin elihat Kak Yasmine dan Amran. Semoga apa yang dilihatnya memang benar, batinnya meragu. Khansa tersenyum sekilas saat melihat mereka berdua memang ada di sana. Yansmin dan Daniar berjongkok di samping Brian yang terluka. Amran sedang melakukan panggilan telepon. Khansa menghampiri Kak Yasmine dan Daniar."Kak... Bagaimana?" tanyanya gugup."Khansa! Sedang apa...?" kaget suara Yasmine melihat adiknya di sini."Aku menjemput Asha dan melihat kecelakaan. Daniar...?" tanyanya kini pandangannya beralih pada Daniar yang masih menangis.Daniar menggeleng pelan sambil berucap, "Ayah... tante."Suara ambulan membelah kerumunan hingga petugas mengangkat tubuh Brian. Daniar dipeluk Kak Yasmine sambil menenangkan tangisnya yang mengeras. Amran terlihat berbincang sejenak dengan petugas ambulan, kemudian memberikan perintah pada sopirnya."Kita ke rumah sakit. Khansa sud
Khansa mendengar suara lain yang meneriakkan nama 'Daniar'. Sesaat kemudian Khansa menghentikan langkahnya setelah lebih dahulu memastikan yang dilihatnya. Sejenak Khansa memastikan sekali lagi sebelum berbalik kembali ke mobil yang membawa mereka tadi."Asha, mama bisa minta tolong?" tanya Khansa pelan.Asha yang masih shok dengan apa yang dilihatnya tadi hanya mengangguk kecil tanpa menjawab. Khansa memahami kekhawatiran Asha pada Daniar."Sayang yang tertabrak bukan Kak Daniar. Namun mama ingin memastikan kondisi kakak. Asha pulang dengan sopir ya. Mama titip Shasha. Tadi minta dibelikan es krim," ucap Khansa cepat.Tanpa menunggu anggukan kepala Asha, Khansa kini berpesan pada sopir, "Pak bawa Asha pulang dahulu, sekalian kabari Pak Prasetya. Saya menunggu di rumah sakit."Sopir yang mengerti maksud Khansa langsung menyalakan kembali mesin mobilnya dan mulai bergerak meninggalkan Khansa yang kembali menuju lokasi kecelakaan. K
"Iya mama, Daniar sudah siap bertemu ayah," jawab Daniar memastikan permintaannya. Yasmine memahami rasa sakit yang dirasakan Daniar oleh penolakan yang dilakukan Brian. Sama sakitnya karena hal itu berarti tuduhan padanya melakukan perselingkuhan dahulu. Yasmine menarik napas dalam setelah memastikannya. "Daniar, mama akan menghubungi ayah dahulu. Jika waktunya sudah disepakati, sepulang sekolah kita akan menemuinya?" ucap Yasmine dengan suara pelan. "Iya ma boleh," jawab Daniar singkat. "Baiklah, aku akan menemani kalian bertemu Brian. Aku akan menjaga jarak agar Brian nyaman bertemu Daniar, Bagaimana?" tanya Amran sekaligus permintaan untuk menemani mereka. "Sudah seharusnya. Aku juga tak akan membiarkan Daniar tanpa pengawasan. Terima kasih Amran," ucap Om Pras menyetujui permintaan Amran. Yasmine mengangguk setuju. Daniar mengucapkan terima kasih pada Papa Amran dan pamit untuk bermain kembali dengan Asha dan Shasha. *** "Pa, Rama masih cuti. Apa harus hari in
Daniar terdiam sesaat mendengar ucapan mamanya, satu hal yang ingin dilupakannya namun diucapkan dengan jelas oleh mamanya. Sesaat diingatnya saat Ayah Brian menolak mengakuinya sebagai putrinya. Mama menangis dan memohon untuk melakukan pengecakan kembali, namun ayahnya menolak. "Mama..., apakah ayah sudah mengakui Daniar sebagai putrinya?" tanyanya polos menatap Yasmine ragu. "Daniar, kamu memang putri dari Ayah Brian. Apakah mama masih belum cukup membuktikannya pada Daniar?" tanya mama menekankan."Ma, Daniar percaya pada mama, tapi ayah....?" ucapnya pelan. Daniar tak melanjutkan ucapannya. Luka yang digoreskan ayah kandungnya perlahan kembali terbuka. Penolakan yang dilakukan hingga tuduhan yang membuat mamanya menangis dahulu kembali terbersit dalam ingatannya. "Daniar, Papa Amran rasa kali ini Ayah Brian sudah mengetahui kebenarannya. Daniar mau memaafkannya bukan?" ucapan Amran membuat Daniar menoleh padanya dan menatap tak percaya. "Ayah Brian ingin bertemu dengan Daniar
"Jika kamu adalah laki-laki sejati, selesaikanlah permasalahan yang seharusnya sudah selesai. Jangan membuat orang lain menderita karena kamu tidak bertanggung jawab," ucap Om Pras menatap tajam Brian dan langsung membalikkan badannya untuk melanjutkan langkah yang tertunda.Brian terdiam mendengarnya. Sudah lama dia tak menanyakan kabar putrinya yang sempat ditolak keberadaannya. Setelah Papa Hary meminta dikirim ke luar negeri untuk proses kesembuhan ditemani Mama Pratiwi dan Diana, Brian mendapatkan informasi jika Daniar memang putri kandungnya. Yasmine sudah tak pernah mencarinya. Brian mendengar jika saat ini Yasmine bekerja di sebuah perusahaan asing dan sudah memiliki posisi yang cukup tinggi, "Apakah ini sebabnya mereka tak mencari keberadaanku?" tanya Brian dalam hati.Seketika rasa rindu menyeruak. Aku akan mencoba menemui Daniar. Pasti Daniar senang jika aku menemuinya, batin Brian dengan senyum tersungging di bibirnya. ***"Bagaimana menurutmu AMran? Apakah aku harus men
"Pras! Apa maksudmu?" seru Rama kesal mendengar ucapan Om Pras. "Pras, apa yang membuat kamu tidak menyetujuinya. Bukannya kamu selalu meminta mama merestui hubungan Nadin dan Rama?" tanya mama heran. Om Pras menatap tajam sesaat. Lama kelamaan wajahnya mengendur dan menarik napas panjang. "Aku tidak setuju jika pernikahan mereka ditunda-tunda. Seluruh persiapan dan acara pernikahan aku yang mengaturnya. Bulan depan ijab qobul dan resepsi langsung digelar!" ujar Om Pras memerintah dengan tegas.Nadin dan Rama yang mendengar berbarengan melakukan protesnya, "Bulan depan??!"Mama yang mendengar ucapan Om Pras tersenyum senang, namun akhirnya tak dapat menahan tawa melihat ekspresi Rama dan Nadin.***"Pras, bagaimana dengan proyek Brian. Hasil analisaku tidak semua yang diambil Brian merugikan. Sepertinya kita harus memilah dan memilih dengan cermat. Minimal tidak menanggung banyak kerugian," ucap Rama saat Om Pras memintanya menganalisa beberapa solusi yang akan diambil. Om Pras ha
Beberapa orang langsung bangun dari kursinya memberikan penghormatan atas kedatangan kembali Prasetya. Om Pras membalas dengan anggukan kepalanya Om Pras melangkah tegap didampingi Rama. Siapa yang tak tahu sepak terjang dua sahabat ini. Mereka langsung menduduki kursi yang kosong. "Pak Pras, akhirnya. Kami sudah lama menantikan nya," seru sebuah suara yang terdengar sangat senang. Brian menatap tak percaya. Sesekali dilirikkan matanya pada Pak Burhan. Dia ingin memastikan apakah Prasetya dan Burhan bekerja sana. Tak ada kekagetan dari wajah Burhan. Terdengar hembusan napas dalam dari Burhan hingga akhirnya mengeluarkan suara. "Siapa yang mengundangnya untuk datang? Bukankah dia bukan pemilik saham lagi?" tanya Brian geram melihat ke arah Prasetya dan Rama. Tak ada yang menjawab. Sebagian besar yang hadir di dalam ruangan sangat mengharapkan Pak Prasetya kembali memimpin Narendra. "Saya yang mengundangnya," jawab Pak Burhan berusaha tenang. "Dalam kapasitas apa mereka
Pagi ini seluruh Dewan Direksi sudah menempati kursinya, tersisa empat kursi yang kosong di bagian depan. Beberapa saling menyapa kabar masing-masing, namun juga bertanya dengan pertemuan mendadak pagi ini. "Apakah kelakuan Brian sudah diketahui Pak Burhan?" bisik seorang pada rekan di sebelahnya. "Pak Burhan dan Brian bukannya saling mendukung. Ini berarti dia akan membiarkan atau malah membuat Brian merajalela di perusahaan," bisik lainnya. "Tak ada yang mengalahkan Prasetya dalam memimpin Narendra. Dia mewarisi papanya yang bertangan besi," bisik lainnya. "Tapi sikapnya itu yang membuat Narendra maju pesat. Siapa yang tak sejalan langsung disingkirkan," kenang mereka mengenai masa lalu. "Ya..., ya. Tapi itu juga yang menghancurkannya. Kelicikan Hary mengawali semuanya...," ucapan yang tak diselesaikan namun yang mendengar mengangguk-angguk setuju. Hary yang tak puas dan iri saat itu, memecah belah dua sahabat hingga berujung perselisihan panjang. Jika saja saat itu k