Mohon maaf ada sedikit kendala saat melakukan perilisan bab 6.
Khansa terdiam melihat Om Pras yang sudah berada di sampingnya. Dimas menatap Om Pras dan menarik tanggannya yang tadi terulur pada Khansa. "Jika ada yang ingin di sampaikan, sampaikan pada saya. Saya suami Khansa, Prasetya. CEO Kampus Dwi Aksara," ucapnya sambil mengulurkan tangan pada Dimas. Khansa terpaku mendengar ucapan Om Pras. Di tatapnya wajah Om Pras untuk mencari jawaban. Tatap mata Om Pras hanya tertuju pada Dimas. Ditariknya napas panjang sebelum mencoba menatap Dimas yang telah menjabat tangan Om Pras. Dimas membuang rasa takut pada Prasetya, walau dia adalah pemilik kampus tempat Dimas kuliah. Setelah melepaskan jabat tangannya, Dimas menatap Khansa, memastikan jika dia baik-baik saja. Khansa mengangguk, mencoba mengatakan jika dirinya aman bersama Om Pras. Tangan Khansa ditarik Om Pras yang sudah melangkah cepat menuju mobil yang terparkir. Khansa harus kembali berlari kecil untuk menyeimbangi.Sesampainya di samping mobil, Om Pras membalikkan badannya hingga wajah m
Om Pras masuk ke dalam ruangannya setelah Nadin meninggalkan mereka dengan kesal. Tak lama sekretarisnya datang, meminta maaf karena baru saja meninggalkan mejanya. Om Pras mengangguk dan menarik tangan Khansa untuk ikut masuk ke dalam. Sebelum pintu ditutup Om Pras meminta dipesankan makan siang untuk mereka. "Di tempat biasa saja, dua porsi. Jus alpukat tanpa susu juga air mineral," pesannya sebelum menutup pintu. Khansa duduk di sofa sambil matanya mengelilingi ruangan Om Pras, tadi Nadin bilang jika ruangannya di samping ruang Om Pras. Di mana ruangan asisten pribadi? "Ada pintu di dekat lemari bukalah. Di sana ruang kerjanya, jika itu yang dicari," ucap Om Pras sambil menunjuk pintu yang dimaksudnya. Khansa berdiri ingin melihat ruangan tempatnya bekerja nanti. Berjalan menuju pintu yang dimaksudnya dan membukanya. Wajahnya memerah setelah melihat isi ruangan yang disangkanya adalah ruang kerja seperti umumnya. Di hadapannya terdapat sebuah tempat tidur yang cukup besar, sofa
Om Pras berjalan menuju pintu yang sudah dibuka oleh seorang pelayan. Dilangkahkan kakinya masuk ke dalam. Khansa yang berjalan di belakangnya terkesima dengan rumah yang sangat mewah. Sebelum melangkah ke arah sofa, Om Pras meminta pelayan menyiapkan minuman untuknya dan Khasna. Khansa masih mengamati bagian dalam rumah utama. Dirasakan tangannya ditarik oleh Om Pras agar mengikutinya menuju sofa. Om Pras langsung menghempaskan tubuhnya di sofa. Dia memilih sofa yang agak jauh dari Om Pras dan perlahan duduk di sana. Nadin keluar dari kamar di bawah tangga bersama Mama Dewi yang di dorongnya. Tatapan mata Nadin seakan mengejeknya, sedangkan tatapan mata Mama Dewi menahan amarahnya. Khansa menatap Om Pras, sesaat Om Pras memberikan kode dengan meletakkan jari di depan bibirnya. Khansa mengangguk. Itu artinya dia tidak perlu menjawab atau mengeluarkan suara. Pelayan datang membawakan minuman yang diminta Om Pras, meletakkannya di atas meja bersamaan dengan Mama yang sudah ada di hada
Setelah bertemu Mama Dewi Om Pras sangat kesal. Khansa tak berani menanyakannya, apa yang diucapkan Om Pras langsung diturutinya. Biarlah Om Pras yang nanti akan menjelaskannya, saat ini sebaiknya dia diam dan menuruti semua keinginannya. "Hanny, aku akan bertemu Rama di lobi. Ada beberapa berkas yang harus aku tanda tangani. Mau menemani atau menunggu di sini?" tanyanya setelah mereka selesai makan malam. "Bolehkah menunggu di sini saja?" tanya Khansa kembali. Om Pras mengangguk, dia membiarkan Khansa menunggu karena ada beberapa hal terkait informasi yang akan dilaporkan Rama berkaitan dengan masa lalunya. Om Pras beranjak melangkah menuju pintu. Khansa mengiringi di belakangnya, Sebelum keluar kamar Om Pras berbalik dan berpesan, "Jangan bukakan pintu kecuali aku yang masuk." Khansa mengangguk. Saat pintu ditutupnya, Khansa teringat ucapan Mama Dewi. Tak disangka dia akan menjadi istri yang tak diinginkan olehnya. Apakah hal ini yang membuat Kak Yasmine memutuskan memilih Kak B
Khansa tak bergeming. Ditatapnya lurus jendela di hadapannya. Hembusan napas kasarnya membuat Om Pras jengah. Dirasakan lengannya ditarik dengan kasar, hingga wajahnya menatap wajah Om Pras yang marah. "Kenapa Om, mau menghukum aku lagi? Silakan om... aku memang ada untuk dihukum bukan. Karena aku tak pantas bahagia. Aku dilahirkan hanya membuat orang lain susah!" teriaknya menantang tatapan Om Pras yang marah. Sekejap Om Pras terkesiap melihat Khansa yang begitu emosi. Dikendurkannya pegangan pada lengan Khansa yang terlihat memerah. Butir air mata mulai menggenang di sudut matanya. Kemarahan di wajahnya berkurang. "Kenapa Hanny, ada yang menyakitimu?" tanya Om Pras pelan. "Om yang menyakiti aku. Om tak menganggap aku ada, aku hanya pelampiasan kemarahan Om saja bukan?!" tanyanya sedikit berteriak. Om Pras yang awalnya ingin mengerjai Khansa dengan foto di laptopnya merasa bersalah dengan reaksi yang diberikan Khansa. Dihapusnya butiran air yang sudah jatuh, mencoba tersenyum unt
"Bagaimana? masih mau marah? Kalau tidak suka aku hapus sekarang juga," ledek Om Pras pada Khansa. "Jangan om, aku mau foto itu saja di sana. Tapi om harus menjelaskan siapa wanita yang sebelumnya ada di sana," rajuknya sambil melingkarkan tangannya di lengan Om Pras. Disandarkan kepalanya sambil memejamkan mata. Om Pras melanjutkan pekerjaannya untuk memeriksa email yang masuk dibiarkan Khansa yang bermanja di sampingnya. Huft... sepertinya dia harus banyak mengalah dengan istri kecilnya ini. Setelah selesai dan Om Pras menutup laptop serta menaruhnya di atas nakas. Diliriknya Khansa yang ternyata kembali tertidur. Dibaringkan badannya agar tidak menekuk karena tertidur saat duduk bersandar. Direbahkan tubuhnya di samping Khansa, dipeluknya tubuh Khansa hingga terasa kehangatan mengalir dan tak lama diapun ikut terpejam. "Om, bangun! teleponnya dari tadi berbunyi," ujar Khansa kesal. Om Pras mengambil ponsel dan melirik nama yang tertera di layar, Rama. Ada apa? bukannya tadi sud
"Bagaimana kabar bisnis Yudhatama, pa?" tanya Om Pras membuka percakapan."Sepertinya papa tidak bisa bertahan. Papa harus mengalah dengan pebisnis muda," keluhnya menjawab pertanyaan Om Pras. Om Pras mengangguk-angguk. Kemudian meminta maaf. " Maaf telah membuat dua kontrak di batalkan," senyum Om Pras terlihat saat melirik ke arah Khansa kemudian melanjutkan ucapannya."Khansa memintaku untuk membantu di Yudhatama karena dua proyek yang kemarin dibatalkan disebabkan olehnya. Jadi kami bermaksud mengembalikan nilai kontrak yang sama pada perusahaan papa," jelasnya.Papa menatap Khansa seakan memastikan apa yang dikatakan Om Pras adalah benar. Khansa hanya mengangguk setelah menatap Om Pras sesaat. Om Pras melanjutkan ucapannya, "Papa bisa menghubungi Rama untuk memilih dua kontrak yang senilai. Aku sudah menyiapkannya.""Wah, papa senang sekali mendengarnya. Papa jadi bersemangat kembali untuk melanjutkan bisnis ini," ucap papa sambil tersenyum penuh kemenangan. "Oh ya Pa. Kami akan
Khansa menunggu Om Pras menjawab pertanyaannya, dilangkahkan kakinya menuju sofa. Om Pras mengikuti Khansa sedangkan Rama melanjutkan kembali pekerjaannya. Mereka kini duduk di sofa, masih dengan keheningan yang mereka ciptakan. Khansa masih menunggu jawaban. "Jika aku mengatakan yang sebenarnya, apakah akan mempengaruhi hubungn kita. Surat perjanjian sudah ditandatangani tidak ada yang memaksamu saat menandatanganinya bukan?" tegas Om Pras sambil menatap tajam. "Minimal aku tahu dengan siapa aku bertarung untuk mendapatkan Mas Pras. Jika memang dia bukan lawanku aku akan mundur perlahan. Apalagi jika aku tahu mas lebih memilihnya, aku akan mengalah untuk kebahagiaan Om Pras," ucapnya pelan sambil menunduk. Om Pras tersenyum melihat Khansa yang sudah menjadi istrinya tertunduk di sampingnya. Diangkat dagunya pelan agar dia bisa menatap wajahnya, diciumnya pelan bibir yang selalu membuatnya ingin menikmatinya lagi. Awalnya Khansa membalas ciumannya, tak lama ditariknya wajahnya dan m
"Sudah Mas, saya simpan dalam laci meja di pabrik," jawab Raihan pelan."Besok antarkan padaku. Semuanya harus dipastikan sesuai sebelum Khansa menerimanya. Aku tak ingin ada kesalaha di masa depan," tekan Asyraf pada Raihan yang hanya terdiam di kursinya.Raihan tak berani memberikan komentar hanya terdiam sambil menatap lurus pada wajah kakaknya yang terlihat lebih pucat kini."Mas sebaiknya istirahat. Aku panggilkan Mba Arini sekalian pamit kembali ke pabrik," ujar Raihan tanpa meminta pesetujuan. Raihan yakin hanya Mba Arini yang kini didengar Asyraf. Jika mereka melanjutkan perbincangan sudah dipastikan akan melelahkan Asyraf. Raihan bergegas keluar ruang kerja Asyraf dan memanggil Mba Arini yang menunggu di ruang keluarga. Setelah menyampaikan keinginan Asyraf bertemu Khansa dan Prasetya, Raihan melangkah keluar. Dari sudut matanya dilihat tangan Mba Arini mengusap pipinya dan memastikan sekali lagi sebelum melangkahkan kakinya menuju ruang kerja Asyraf yang baru ditinggalkann
"Rama lihatlah dengan mata hatimu jangan melihat hanya di kulitnya saja," ucap Pak Burhan lagi sambil melangkahkan kakinya keluar ruang rapat. Rama terdiam sesaat. Dicoba mengingat apa yang dipesankan Prasetya padanya. Dari proses serah terima Prasetya tak pernah terlihat marah dengan Pak Burhan, namun kemarahannya pada saat bertatapan dengan Brian. Apakah Pak Burhan sebenarnya berpihak pada Prasetya? Bukan pada Brian? batin Rama bertanya.Rama tersenyum saat mengingat pesan Prasetya jika Pak Burhan pasti akan memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Sepertinya kini dia bisa tenang menjalankan tanggung jawabnya di Kampus Pratama. Sudah lama sekali dia tak berkunjung secara langsung. Selama ini setiap rapat dan pertemuan selalu dalam daring. Rama tersenyum lebih lebar lagi. Kini ditinggalkannya ruangan rapat yang penuh kenangan perjuangannya dengan Prasetya. ***"Raihan, bagaimana kondisi pabrik hari ini?" tanya Pak Asyraf di ponselnya."Sudah mencapai 80% pemulihan produksi pabrik,
"Jika nanti papa bukan lagi pimpinan Narendra, Hanny masih mencintai papa kan?" tanya Om Pras melanjutkan pertanyaannya tanpa menjawab pertanyaan Khansa.Khansa beranjak bangun dari pelukan Om Pras. Ditatapnya mata Om Pras dalam untuk mendapatkan kepastian dari ucapan-ucapannya. Awalnya Khansa menduga jika itu hanyalah candaan, namun saat dilihat kejujuran di mata Om Pras Khansa menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelahan. "Pa, jika memang itu yang terbaik mama akan mendukung papa. Mama hanya ingin papa sehat dan bisa bersama dengan Asha dan Shasha hingga mereka dewasa," ucapnya sambil merebahkan kembali kepalanya dalam pelukan Om Pras. Tak ada perbincangan selanjutnya hingga akhirnya terdengar hembusan nafas pelan Khansa yang tertidur. Om Pras merebahkan kepala Khansa disampingnya dan menarik selimut menutupi tubuh Khansa pelan."Hanny, papa akan menyelesaikan semua masalah Narendra terlebih dahulu. Papa tidak ingin ada orang yang mencari keuntungan dan menghancurkan Narendra
"Hanny, mengapa ke sini?" tanya Om Pras yang langsung bangun menghampiri Khansa saat mengenali suara yang baru masuk. Om Pras menarik tangan Khansa agar tak ikut masuk ke dalam. Dia tak ingin Khansa ikut terlibat dalam perseteruannya dengan Brian. "Hanny, papa akan menyelesaikan semuanya dahulu. Hanny jaga Asha dan Shasha saja ya," ujar Om Pras setelah dia memaksa Khansa duduk di ruang tunggu tamu. "Tapi, Pa!" potong Khansa cepat. Om Pras menatap Khansa dengan tajam seakan meyakinkannya jika permasalahan di perusahaan akan segera berakhir. Khansa masih meragukan apa yang dilihatnya, namun tatapan mata Om Pras membuatnya tersadar. Jika bukan karena Khansa yang datang sendiri, mungkin dia tak akan seyakin saat ini. "Hanny diantar pulang Gilang. Sekalian menjemput Asha di sekolah. Setelah urusan papa selesai, papa langsung pulang. Bagaimana?" tanya Om Pras setelah memberikan sedikit penjelasan. Khansa mengangguk setuju. Om Pras harus menjelaskan banyak hal padanya. Mama De
"Nadin, aku mohon jangan membuatku bertambah gila dengan rasa bersalah," ujar Rama menghentikan gerakan kursi roda Nadin yang beranjak meninggalkan Rama di taman.Rama tersenyum, ternyata Nadin masih memperhatikan perasaannya. Dilangkahkan kakinya hingga sampai di belakang kursi roda. Saat Rama datang tadi Nadin sedang berjalan melanjutkan terapinya. Perawat yang selalu menemaninya kini sudah berada di hadapan mereka."Mba Nadin sebaiknya melanjutkan terapi dahulu, tadi sudah berjalan lebih jauh dari biasanya!" ujar perawat sambil meletakkan air dalam baskom yagn sudah dberikan obat terapi untuk merendam kedua kaki Nadin. Rama memberi tanda agar perawat meinggalkan mereka."Nadin, biar aku yang melanjutkan terapinya," ucapnya sambil berjongkok dan mulai memijat kaki Nadin. Dahulu sebelum Nadin sadar setiap hari Rama yang melakukan terapi pijatan pada Nadin. Semenjak Nadin sadar, dia selalu menolaknya.Kini Nadin berusaha memahami semua y
"Ram, kini aku sudah tidak sama seperti dahulu. Terapi yang kujalani terasa lambat memberikan kesembuhan. Aku tak ingin menjadi bebanmu, Ram," ucap Nadin dalam hati dengan tatapan nanar.Hingga mobil Rama tak terlihat, barulah Nadin menghembuskan nafas perlahan. Digerakkan tangannya memutar roda agar bisa masuk ke dalam rumah. Mama Dewi yang memperhatikan kejadian di teras, menghampiri dan mendorong kursi roda menuju kamar Nadin. Dibantunya menjaga keseimbangan tubuh Nadin yang beranjak ke atas kasur.Tatapan mata Nadin seakan memohon untuk ditinggalkan sendiri. Namun Mama Dewi tetap berujar pelan, "Rama tak pernah berhenti mencintaimu Nadin. Yakinlah."Nadin tak membantah, namun juga tak menjawab ucapan Mama Dewi. Diperhatikannya Mama Dewi mengeser kursi ke samping tempat tidur agar nanti saat Nadin akan menggunakannya mudah dijangkau."Istirahatlah, Sayang. Mama tunggu nanti di meja makan ya!" perintah mama dengan suara lembut.
"Brian?!!" tanya handy terkejut.Brian tersenyum sekilas. Sedangkan Pak Burhan langsung memahami keterkejutan orang yang di hadapannya. Sebelum berangkat tadi Brian sudah menjelaskan jika dia mengenal beberapa orang yang akan rapat nanti. "Perkenalkan. Ini rekan saya yang selalu membantu, bisa dikatakan Brian adalah asisten saya saat ini," jawab Pak Burhan tegas sehiingga membuat Handy memundrkan langkahnya perlahan dan mempersilaan mereka berdua masuk. Om Pras dan Rama yang mendengar sekilas ucapan Handy dan Pak Burhan saling memandang sesaat dan tersenyum kecil. Sepertinya dugaan mereka tepat. Brian mencari orang yang akan digunakan sebagai rekan kerja sama untuk mencapai tujuan yang kemarin gagal. Batin Om Pras yang kni menatap Brian yang berjalan di samping Pak Burhan. Om Pras berdiri untuk menyabut salah satu dewan direksi yang dibacanya dari daftar pada berkas di hadapannya. Setelah sampai di hadapan Pak Burhan diulurkan tangannya untuk saling berjabat tangan. Pak Burhan meny
"Papa ..., aku pergi dahulu. Aku akan menemui orang yang bisa membantu memperlancar rencanaku," ucap Brian pamit pada Hary. "Brian ..., hati-hatilah. Jangan terlalu memaksa jika memang itu akan membuatmu celaka," pesan papa sebelum Brian meninggalkan Hary sendiri di rumah. Brian menatap sesaat pada papanya. Akhir-akhir ini papa sudah tak pernah mengungkit masa lalunya. Papa lebih banyak mengurung diri di kamar. Sepertinya papa kangen dengan Mama Pratiwi dan adiknya Diana. Batin Brian saat melangkah meninggalkan pintu dan menutupnya kembali. Brian masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di samping rumah sederhana yang ditinggalinya sebulan belakangan. Kali ini tujuannya adalah kantor Prasetya. Dia akan mendampingi pemegang saham baru yang akan menemui pemilik Narendra Corp. namun sebelumnya dia akan menemui Burhan, orang yang membantunya dan pesawat yang membawanya baru saja mendarat. Setibanya di Bandara Brian masih harus menunggu karena bagasi yang terlambat serta proses peng
"Gilang hati-hati!" pesan Om Pras sedikit berteriak pada Gilang yang sudah menuju ruang tamu. Gilang hanya memberikan jempolnya tanda mengerti pada Om Pras dan Khansa dari ruang tamu.Sepeninggal Gilang Om Pras elanjutkan sarapan d temani Khansa. Dalam hati Khansa ingin sekali menanyakan masalah-masalah yang terjadi akhir-akhir ini, pabrik papanya hingga kecelakaan yang dialami Nadin, namun melihat Om Pras yang makan dengan lahap diurungkan niatnya. Suara dering telepon menghentikan kegiatan makan Om Pras. Diliriknya layar yang menyala di meja."Rama," gumam Om Pras yang masih terdengar samar oleh Khansa.Khansa melirik sekilas pada Om Pras, wajahnya kini sedikit gusar. Ada kekhawatiran jika kabar yang akan disampaikan Rama bukan kabar yang diinginkannya. Diambilnya telepon dan menggeser layar untuk menjawab panggilan Rama."Ada apa Ram?" tanya Om Pras setelah mendengar suara Rama di seberang."Semalam mobil Brian dipastikan kemba