Hari ini adalah hari yang dinantikan banyak orang, tapi tidak dengan Khansa. Pernikahannya dengan Om Prasetya. Tamu undangan sudah banyak yang datang, itu yang didengarnya dari perias yang sedang melakukan tugasnya. Khansa sudah selesai dirias, baju pengantin yang mama bilang sangat indah dan pas dibadannya tak terlihat keindahannya di mata Khasna.
Kak Yasmine dengan perutnya yang sudah terlihat membesar datang memberi ucapan selamat. Aku hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Jika mengingat Kak Yasmine dulu adalah pacar Om Pras, sepertinya aku ingin lari dari pernikahan ini.Saat pernikahan Kak Yasmine berlangsung dua bulan yang lalu, papa menerima lamaran dari keluarga Narendra. Khansa tak bisa menolaknya karena sudah menyetujui permintaan Om Pras. Selain itu dia juga tak ingin memiliki hutang budi pada Keluarga Yudhatama yang telah memberikan kasih sayang padanya walau mereka tak pernah mengatakan jika dia bukan anak kandungnya.“Sayang, mama minta maaf jika hal ini membuatmu sedih. Hanya saja mama tidak memiliki kemampuan untuk melawannya,” ucap mama saat menemaninya menerima lamaran.Setelah mengetahui jika dirinya bukan bagian dari keluarga besar ini Khansa memang ingin pergi. Meninggalkan semua kebohongan yang ada. Mencoba mencari tahu siapa keluarganya sebenarnya. Dia harus menemukan kembali masa lalunya yang telah hilang.“Iya ma, Khansa memahaminya. Khansa akan menuruti semua permintaan mama, hanya karena Khansa juga sayang pada mama,” jawabnya pelan.“Terima kasih, Khansa sayang,” ucap mama sambil memeluknya erat.Mama menangis. Khansa tidak tahu apakah mama benar-benar bersedih untuknya atau hanya kepura-puraan. Dia sudah belajar dan berusaha untuk menerima apapun bentuk takdir yang akan dijalaninya nanti.“Pernikahan akan dilangsungkan satu pekan setelah Khansa selesai ujian sekolah. Keluarga Narendra yang akan mengurus dan menyiapkan semuanya. Keluarga Yudhatama hanya menghadirinya, dan memastikan Khansa hadir dipernikahannya,” ucap Om Pras saat papa menerima lamarannya.Khansa hanya bisa mendengarnya dari belakang punggung papa sambil menunduk. Dia tak berani memandang Om Pras, walau dia tahu saat ini tatapan mata Om Pras tajam tertuju padanya. Dia masih belum menerima dengan Ikhlas semua keputusan ini.Khansa menghembuskan napas jika mengingat saat lamaran kemarin. Hingga saat ini pun dia tidak pernah membayangkan masa depan yang akan dijalaninya nanti. Kepura-puraannya tidak mengetahui jika dia bukan bagian dari Keluarga Yudhatama juga masih mengganjal di hatinya. Khansa ingin sekali menguak masa lalunya agar semua menjadi jelas dimatanya.“Sa, jangan bersedih seperti itu, bagaimanapun kondisinya hari ini adalah hari pernikahan kalian. Tersenyumlah, apalagi akan ada banyak tamu nanti,” pesan Kak Yasmine melihat goresan kesedihan di matanya.Khansa tersadar dari lamunannya, mencoba manjawabnya dengan tersenyum. Sepertinya dia harus menekan jauh ke dalam rasa sakit di hatinya. Juga melupakan latar belakang serta masa lalu Om Prasetya yang akan menjadi suaminya.“Iya kak, nanti di acara aku akan berusaha untuk selalu terlihat bahagia,” ucapnya memberikan alasan.Kak Yasmine mengangguk kemudian memeluknya erat. “Maafkan kakak ya Sa,” bisiknya pelan di dekat telinga.Rasa sakit di hatinya semakin menggores, selama ini aku menganggapnya sebagai kakak yang sangat baik. Semenjak kecil dia hanya memiliki Kak Yasmine seorang. Mama dan papa sangat sibuk di kantor sehingga keseharian mereka hanya berdua. Isaknya mulai terdengar saat mengingat kedekatannya dengan Kak Yasmine.Ternyata Kak Yasmine bukan kakak kandungnya dan dia yang membawa perubahan besar dalam kehidupan Khansa. Sebenarnya Khansa masih ingin melanjutkan sekolah, namun dia harus menguburnya dalam-dalam. Seandainya saja…“Khansa, sudah selesai? Keluarga Pras sudah sampai,” suara mama membuat pelukan mereka terurai.Aku mencoba tersenyum pada mama, walau air mata masih membayang. Mama mendekatinya dan menghapus jejak kesedihan di matanya, menatapnya takjub, “Cantik sekali sayang. Mama kira mama bertemu putri dari negeri dongeng”. Ucapan mama membuat Kansa dan Kak Yasmine tersenyum.Mereka bertiga berjalan pelan setelah perias mengecek kembali semua penampilan Khansa. Tim perias mengangguk puas dengan hasil pekerjaannya. Mempersilakan Khansa yang didampingi mama dan kakaknya berjalan menuju tempat acara.Sebuah aula utama sudah didekorasi seperti istana kecil, gemerlapnya lampu tak bisa membuat hati Khansa berwarna. Satu hal yang membuatnya masih di sini adalah dia harus menikah dengan Om Pras agar dia tidak menghancurkan Perusahaan Yudhatama.Khansa duduk di samping mama dan Kak Yasmine. Papa dan Om Pras sudah duduk di meja tempat berlangsungnya akad nikah mereka. Seorang wanita paruh baya duduk dikursi roda dengan seorang wanita cantik yang selalu bersiap di belakangnya. Apakah dia mama Om Pras, seperti yang dikatakan Kak Yasmine?“Wanita itu mamanya, Tante Dewi. Dia sudah lama tidak bisa berjalan, dan di belakangnya adalah Nadin, sepupunya yang juga perawat mamanya,” bisik Kak Yasmine seakan mengetahui jalan pikirannya saat menatap ke arah seberang.Tak lama suara penghulu menanyakan pada saksi apakah sah? Kedua saksi menjawab “sah” yang diikuti ungkapan rasa syukur dari tamu undangan yang hadir. Butiran bening mulai mengalir di pipinya. Selesailah sudah, kini dia harus menjalaninya. Sendiri... Khansa berjanji tak akan menghubungi keluarha Yudhatama lagi mulai detik ini. Semakin dicoba untuk menahan butiran air matanya semakin deras alirannya.“Sa, selamat. Kini kamu sudah resmi menjadi istri Pras,” lirih suara Kak Yasmine masih bisa kudengar.Mama membimbing tangan Khansa untuk menghampiri Om Pras. Khansa tak ingin melangkah ke sana, dia tak sanggup berdiri di sana, namun mama dan Kak Yasmine berusaha keras agar Khansa melangkah perlahan. Dia merasakan kepalanya pusing, pandangannya mulai kabur.Saat ini tangan yang menggenggamnya berganti, kuat dan kokoh. Saat dia mencoba menarik ingin melepaskannya, dirasakan genggamannya semakin kuat. Sebuah cincin dirasakannya memasuki jari manisnya yang diikuti sebuah tangan lain membantunya memasukkan cincin ke jari tangan Om Pras.Tubuhnya dirasakan semakin ringan, butiran bening telah lama berhenti mengalir. Sesaat dirasakan keningnya dikecup, kekuatan kakinya seakan menghilang. Tak lagi mampu menahan beban badannya. Pandangan matanya menggelap dan didengarnya teriakan yang tetiba semua hening.Saat Khansa terbangun, dirasakan kepalanya sakit. Gaun pengantin sudah berganti dengan kaos ukuran besar yang menutupi hingga pahanya. Pasti ini kaos Om Pras, mengapa tidak diganti dengan baju yang dibawanya? batinnya.Khansa melihat sekeliling, bukan kamar tempatnya dirias pagi tadi. Kamar ini lebih luas, nuansa maskulin jelas dirasakannya. Khansa menarik napas dalam, apakah ini kamar Om Pras? Siapa yang mengganti gaunnya?Saat dia berpikir keras, suara pintu dibuka dibarengi dengan lampu di dekat pintu menyala. Khansa memutuskan untuk berpura-pura tidur kembali. Khansa takut jika Om Pras mengetahui dia sudah bangun akan ada hal yang tak diinginkannya terjadi.“Bawa saja semua hadiah ke rumah, aku akan di sini beberapa hari bersama istriku. Jangan mengganggu dengan pekerjaan kantor, banyak hal yang harus diselesaikan di sini.”Suaranya menghilang, keheningan tercipta. Khansa coba menajamkan pendengarannya, namun dia tak mendengar suara apapun. Hingga hembusan napas dirasakan dekat telinganya. Khansa semakin memejamkan matanya sambil berdoa dalam hati. Om Pras sepertinya telah menarik wajahnya, karena tak dirasakan lagi hawa panas yang tadi sempat membuatnya berdebar.“Jika memang tidak lapar, tidurlah. Jika merasa lapar aku sudah memesan makanan sebentar lagi sampai,” ucapnya diiringi suara lemari yang terbuka. Tak lama terdengar kembali suara pintu kamar mandi yang dibuka dan ditutup kembali.Khansa tak berani bergerak, didengarnya suara air yang menandakan Om Pras sedang mandi. Tak lama suara air berhenti, beberapa detik berikutnya pintu dibuka, saat aku mengintip aku melihat Om Pras hanya melilitkan handuk di pinggangnya, dada bidangnya terekspos di sana.Khansa menarik napas perlahan. Om Pras menatap ke arahnya tajam sambil mengernyit, apakah Om Pras tahu jika dia hanya berpura-pura? Suara ketukan di pintu menyelamatkannya. Om Pras menarik jubah mandi sebelum membukakan pintu.Petugas hotel menata makan malam di meja, harum makanan membuat perutnya berbunyi nyaring. Semenjak pagi belum ada makanan yang dmakannya, hingga akhirnya aku memutuskan untuk pura-pura terbangun dan duduk bersandar di kepala tempat tidur.Om Pras sudah mengenakan kaos dan celana pendeknya, benar dugaannya kaos yang dipakainya adalah kaos Om Pras, keduanya hampir sama. Khansa mendengus kesal. Om Pras menghentikan langkah kaki dan menoleh ke arahnya.“Jika mau makan bangunlah, aku tak akan mengantarkan ke tempat tidur,” ucapnya sambil menatap tajam dan berlalu.Khansa menggelengkan kepalanya sambil menatap pada separuh tubuhnya yang ditutupi selimut. Senyuman terlihat disudut bibir Om Pras. Sepertinya dia tahu apa yang dipikirkan Khansa.“Tidak perlu malu, aku sudah melihat semuanya lebih dari yang kamu kira. Lagi pula kamu kan istriku, apa yang ada di tubuhmu semua adalah milikku,” ucapnya sambil menyeringai dan melanjutkan langkahnya menuju sofa.Ucapannya berhasil membuat wajah Khansa memerah. "Melihat semuanya?" Jadi...Jadi yang menggantikan gaunnya Om Pras? Apa benar semua yang dikatakannya, Khansa tertegun mencari jawaban dari pertanyaannya sendiri. Suara perutnya kembali berbunyi, dia bertambah kesal karena tak berhasil menebak jawabannya.Kini Khansa sedang memakan makan malamnya, duduk di sofa yang bersebrangan dengan Om Pras. Selimut yang tadi digunakannya kini menjadi pembungkus tubuh yang ikut bersamanya. Khansa tak mau hanya mengenakan kaos saja di hadapan Om Pras. Awalnya Om Pras menatapnya marah, namun saat mendengar perutnya kembali berbunyi, dimintanya untuk duduk dan makan. Khansa memilih sofa yang agak jauh untuk duduk. Sepintas dilihatnya bibir Om Pras tersenyum, namun saat mengetahui dia memperhatikannya, ditariknya kembali senyum di bibirnya dan kembali memasang wajah marahnya.Khansa sudah tak mempedulikannya. Memilih duduk dan menikmati makanannya. Dia menghabiskan dua piring makanan, entah karena lapar atau karena memang makanannya sangat enak. “Sepertinya tugas sebagai istri s
Suara pintu dibuka membuat Khansa terkejut. Dilihatnya Om Pras yang sudah berdiri di balik pintu, menatap tajam ke arahnya. Untungnya jubah mandi sudah dikenakannya saat mendengar teriakan kedua Om Pras tadi. "Kenapa sih om tidak sabar, aku kan sudah bilang lima menit lagi. Apa om tidak tahu menghitung waktu selama lima menit," sungutnya mencoba memberanikan diri. "Aku juga sudah mengatakan jangan lama-lama, ada hal yang harus aku selesaikan. Kamu harus ikut Hanny," tegasnya pada Khansa. Khansa melangkah melewatinya, kini dia tidak akan takut lagi. Khansa harus bisa menjaga dirinya sendiri meskipun itu dari Om Pras, suaminya sendiri. Dipakainya baju yang dibawanya kemarin dalam koper, namun saat ini baju-bajunya sudah tergantung rapi di lemari pakaian. Diambilnya salah satu baju yang pas digunakan untuk bepergian. Seingatnya Om Pras mengatakan akan pergi mengurus sesuatu. Setelah mengenakan bajunya, Khansa mencoba merias wajahnya agar tidak terlihat pucat. "Sarapan dahulu, sudah h
Khansa terdiam melihat Om Pras yang sudah berada di sampingnya. Dimas menatap Om Pras dan menarik tanggannya yang tadi terulur pada Khansa. "Jika ada yang ingin di sampaikan, sampaikan pada saya. Saya suami Khansa, Prasetya. CEO Kampus Dwi Aksara," ucapnya sambil mengulurkan tangan pada Dimas. Khansa terpaku mendengar ucapan Om Pras. Di tatapnya wajah Om Pras untuk mencari jawaban. Tatap mata Om Pras hanya tertuju pada Dimas. Ditariknya napas panjang sebelum mencoba menatap Dimas yang telah menjabat tangan Om Pras. Dimas membuang rasa takut pada Prasetya, walau dia adalah pemilik kampus tempat Dimas kuliah. Setelah melepaskan jabat tangannya, Dimas menatap Khansa, memastikan jika dia baik-baik saja. Khansa mengangguk, mencoba mengatakan jika dirinya aman bersama Om Pras. Tangan Khansa ditarik Om Pras yang sudah melangkah cepat menuju mobil yang terparkir. Khansa harus kembali berlari kecil untuk menyeimbangi.Sesampainya di samping mobil, Om Pras membalikkan badannya hingga wajah m
Om Pras masuk ke dalam ruangannya setelah Nadin meninggalkan mereka dengan kesal. Tak lama sekretarisnya datang, meminta maaf karena baru saja meninggalkan mejanya. Om Pras mengangguk dan menarik tangan Khansa untuk ikut masuk ke dalam. Sebelum pintu ditutup Om Pras meminta dipesankan makan siang untuk mereka. "Di tempat biasa saja, dua porsi. Jus alpukat tanpa susu juga air mineral," pesannya sebelum menutup pintu. Khansa duduk di sofa sambil matanya mengelilingi ruangan Om Pras, tadi Nadin bilang jika ruangannya di samping ruang Om Pras. Di mana ruangan asisten pribadi? "Ada pintu di dekat lemari bukalah. Di sana ruang kerjanya, jika itu yang dicari," ucap Om Pras sambil menunjuk pintu yang dimaksudnya. Khansa berdiri ingin melihat ruangan tempatnya bekerja nanti. Berjalan menuju pintu yang dimaksudnya dan membukanya. Wajahnya memerah setelah melihat isi ruangan yang disangkanya adalah ruang kerja seperti umumnya. Di hadapannya terdapat sebuah tempat tidur yang cukup besar, sofa
Om Pras berjalan menuju pintu yang sudah dibuka oleh seorang pelayan. Dilangkahkan kakinya masuk ke dalam. Khansa yang berjalan di belakangnya terkesima dengan rumah yang sangat mewah. Sebelum melangkah ke arah sofa, Om Pras meminta pelayan menyiapkan minuman untuknya dan Khasna. Khansa masih mengamati bagian dalam rumah utama. Dirasakan tangannya ditarik oleh Om Pras agar mengikutinya menuju sofa. Om Pras langsung menghempaskan tubuhnya di sofa. Dia memilih sofa yang agak jauh dari Om Pras dan perlahan duduk di sana. Nadin keluar dari kamar di bawah tangga bersama Mama Dewi yang di dorongnya. Tatapan mata Nadin seakan mengejeknya, sedangkan tatapan mata Mama Dewi menahan amarahnya. Khansa menatap Om Pras, sesaat Om Pras memberikan kode dengan meletakkan jari di depan bibirnya. Khansa mengangguk. Itu artinya dia tidak perlu menjawab atau mengeluarkan suara. Pelayan datang membawakan minuman yang diminta Om Pras, meletakkannya di atas meja bersamaan dengan Mama yang sudah ada di hada
Setelah bertemu Mama Dewi Om Pras sangat kesal. Khansa tak berani menanyakannya, apa yang diucapkan Om Pras langsung diturutinya. Biarlah Om Pras yang nanti akan menjelaskannya, saat ini sebaiknya dia diam dan menuruti semua keinginannya. "Hanny, aku akan bertemu Rama di lobi. Ada beberapa berkas yang harus aku tanda tangani. Mau menemani atau menunggu di sini?" tanyanya setelah mereka selesai makan malam. "Bolehkah menunggu di sini saja?" tanya Khansa kembali. Om Pras mengangguk, dia membiarkan Khansa menunggu karena ada beberapa hal terkait informasi yang akan dilaporkan Rama berkaitan dengan masa lalunya. Om Pras beranjak melangkah menuju pintu. Khansa mengiringi di belakangnya, Sebelum keluar kamar Om Pras berbalik dan berpesan, "Jangan bukakan pintu kecuali aku yang masuk." Khansa mengangguk. Saat pintu ditutupnya, Khansa teringat ucapan Mama Dewi. Tak disangka dia akan menjadi istri yang tak diinginkan olehnya. Apakah hal ini yang membuat Kak Yasmine memutuskan memilih Kak B
Khansa tak bergeming. Ditatapnya lurus jendela di hadapannya. Hembusan napas kasarnya membuat Om Pras jengah. Dirasakan lengannya ditarik dengan kasar, hingga wajahnya menatap wajah Om Pras yang marah. "Kenapa Om, mau menghukum aku lagi? Silakan om... aku memang ada untuk dihukum bukan. Karena aku tak pantas bahagia. Aku dilahirkan hanya membuat orang lain susah!" teriaknya menantang tatapan Om Pras yang marah. Sekejap Om Pras terkesiap melihat Khansa yang begitu emosi. Dikendurkannya pegangan pada lengan Khansa yang terlihat memerah. Butir air mata mulai menggenang di sudut matanya. Kemarahan di wajahnya berkurang. "Kenapa Hanny, ada yang menyakitimu?" tanya Om Pras pelan. "Om yang menyakiti aku. Om tak menganggap aku ada, aku hanya pelampiasan kemarahan Om saja bukan?!" tanyanya sedikit berteriak. Om Pras yang awalnya ingin mengerjai Khansa dengan foto di laptopnya merasa bersalah dengan reaksi yang diberikan Khansa. Dihapusnya butiran air yang sudah jatuh, mencoba tersenyum unt
"Bagaimana? masih mau marah? Kalau tidak suka aku hapus sekarang juga," ledek Om Pras pada Khansa. "Jangan om, aku mau foto itu saja di sana. Tapi om harus menjelaskan siapa wanita yang sebelumnya ada di sana," rajuknya sambil melingkarkan tangannya di lengan Om Pras. Disandarkan kepalanya sambil memejamkan mata. Om Pras melanjutkan pekerjaannya untuk memeriksa email yang masuk dibiarkan Khansa yang bermanja di sampingnya. Huft... sepertinya dia harus banyak mengalah dengan istri kecilnya ini. Setelah selesai dan Om Pras menutup laptop serta menaruhnya di atas nakas. Diliriknya Khansa yang ternyata kembali tertidur. Dibaringkan badannya agar tidak menekuk karena tertidur saat duduk bersandar. Direbahkan tubuhnya di samping Khansa, dipeluknya tubuh Khansa hingga terasa kehangatan mengalir dan tak lama diapun ikut terpejam. "Om, bangun! teleponnya dari tadi berbunyi," ujar Khansa kesal. Om Pras mengambil ponsel dan melirik nama yang tertera di layar, Rama. Ada apa? bukannya tadi sud
"Apakah perhitungan keuntungan tidak sesuai dengan kontrak sebelumnya?" tanya Om Pras penasaran melihat ekspresi Brian."Bukan... bukan. Aku kira aku harus membayarkan finalti karena kesalahan yang kulakukan. Tapi...," ucapan Brian dipotong Om Pras."Brian sudah kukatakan sejak awal. Bagaimanapun kamu adalah bagian dari keluarga besar kami. Apalagi kamu sudah menyelamatkan Daniar. Anggap saja sebagian merupakan kompensasi ucapan terima kasih kami padamu. Kami harap kehidupanmu selanjutnya bisa lebih," ucap Om Pras menjelaskan."Terima kasih banyak Pak Pras, aku berjanji tak akan melakukan kesalahan lagi," ucap Brian pelan.Brian kamu akan mengeluarkan biaya pengobatan yang besar untuk Hary, Diana sudah menghubungiku untuk meminta bantuan tanpa sepengetahuanmu, Batin Prasetya sambil tersenyum pada Brian. Aku sudah berjanji pada Diana tidak akan memberitahukanmu. Selamanya ini akan kusipan baik-baik.***"Mama... Papa...!"
Khansa menyeruak kerumunan orang, tadi dia yakin elihat Kak Yasmine dan Amran. Semoga apa yang dilihatnya memang benar, batinnya meragu. Khansa tersenyum sekilas saat melihat mereka berdua memang ada di sana. Yansmin dan Daniar berjongkok di samping Brian yang terluka. Amran sedang melakukan panggilan telepon. Khansa menghampiri Kak Yasmine dan Daniar."Kak... Bagaimana?" tanyanya gugup."Khansa! Sedang apa...?" kaget suara Yasmine melihat adiknya di sini."Aku menjemput Asha dan melihat kecelakaan. Daniar...?" tanyanya kini pandangannya beralih pada Daniar yang masih menangis.Daniar menggeleng pelan sambil berucap, "Ayah... tante."Suara ambulan membelah kerumunan hingga petugas mengangkat tubuh Brian. Daniar dipeluk Kak Yasmine sambil menenangkan tangisnya yang mengeras. Amran terlihat berbincang sejenak dengan petugas ambulan, kemudian memberikan perintah pada sopirnya."Kita ke rumah sakit. Khansa sud
Khansa mendengar suara lain yang meneriakkan nama 'Daniar'. Sesaat kemudian Khansa menghentikan langkahnya setelah lebih dahulu memastikan yang dilihatnya. Sejenak Khansa memastikan sekali lagi sebelum berbalik kembali ke mobil yang membawa mereka tadi."Asha, mama bisa minta tolong?" tanya Khansa pelan.Asha yang masih shok dengan apa yang dilihatnya tadi hanya mengangguk kecil tanpa menjawab. Khansa memahami kekhawatiran Asha pada Daniar."Sayang yang tertabrak bukan Kak Daniar. Namun mama ingin memastikan kondisi kakak. Asha pulang dengan sopir ya. Mama titip Shasha. Tadi minta dibelikan es krim," ucap Khansa cepat.Tanpa menunggu anggukan kepala Asha, Khansa kini berpesan pada sopir, "Pak bawa Asha pulang dahulu, sekalian kabari Pak Prasetya. Saya menunggu di rumah sakit."Sopir yang mengerti maksud Khansa langsung menyalakan kembali mesin mobilnya dan mulai bergerak meninggalkan Khansa yang kembali menuju lokasi kecelakaan. K
"Iya mama, Daniar sudah siap bertemu ayah," jawab Daniar memastikan permintaannya. Yasmine memahami rasa sakit yang dirasakan Daniar oleh penolakan yang dilakukan Brian. Sama sakitnya karena hal itu berarti tuduhan padanya melakukan perselingkuhan dahulu. Yasmine menarik napas dalam setelah memastikannya. "Daniar, mama akan menghubungi ayah dahulu. Jika waktunya sudah disepakati, sepulang sekolah kita akan menemuinya?" ucap Yasmine dengan suara pelan. "Iya ma boleh," jawab Daniar singkat. "Baiklah, aku akan menemani kalian bertemu Brian. Aku akan menjaga jarak agar Brian nyaman bertemu Daniar, Bagaimana?" tanya Amran sekaligus permintaan untuk menemani mereka. "Sudah seharusnya. Aku juga tak akan membiarkan Daniar tanpa pengawasan. Terima kasih Amran," ucap Om Pras menyetujui permintaan Amran. Yasmine mengangguk setuju. Daniar mengucapkan terima kasih pada Papa Amran dan pamit untuk bermain kembali dengan Asha dan Shasha. *** "Pa, Rama masih cuti. Apa harus hari in
Daniar terdiam sesaat mendengar ucapan mamanya, satu hal yang ingin dilupakannya namun diucapkan dengan jelas oleh mamanya. Sesaat diingatnya saat Ayah Brian menolak mengakuinya sebagai putrinya. Mama menangis dan memohon untuk melakukan pengecakan kembali, namun ayahnya menolak. "Mama..., apakah ayah sudah mengakui Daniar sebagai putrinya?" tanyanya polos menatap Yasmine ragu. "Daniar, kamu memang putri dari Ayah Brian. Apakah mama masih belum cukup membuktikannya pada Daniar?" tanya mama menekankan."Ma, Daniar percaya pada mama, tapi ayah....?" ucapnya pelan. Daniar tak melanjutkan ucapannya. Luka yang digoreskan ayah kandungnya perlahan kembali terbuka. Penolakan yang dilakukan hingga tuduhan yang membuat mamanya menangis dahulu kembali terbersit dalam ingatannya. "Daniar, Papa Amran rasa kali ini Ayah Brian sudah mengetahui kebenarannya. Daniar mau memaafkannya bukan?" ucapan Amran membuat Daniar menoleh padanya dan menatap tak percaya. "Ayah Brian ingin bertemu dengan Daniar
"Jika kamu adalah laki-laki sejati, selesaikanlah permasalahan yang seharusnya sudah selesai. Jangan membuat orang lain menderita karena kamu tidak bertanggung jawab," ucap Om Pras menatap tajam Brian dan langsung membalikkan badannya untuk melanjutkan langkah yang tertunda.Brian terdiam mendengarnya. Sudah lama dia tak menanyakan kabar putrinya yang sempat ditolak keberadaannya. Setelah Papa Hary meminta dikirim ke luar negeri untuk proses kesembuhan ditemani Mama Pratiwi dan Diana, Brian mendapatkan informasi jika Daniar memang putri kandungnya. Yasmine sudah tak pernah mencarinya. Brian mendengar jika saat ini Yasmine bekerja di sebuah perusahaan asing dan sudah memiliki posisi yang cukup tinggi, "Apakah ini sebabnya mereka tak mencari keberadaanku?" tanya Brian dalam hati.Seketika rasa rindu menyeruak. Aku akan mencoba menemui Daniar. Pasti Daniar senang jika aku menemuinya, batin Brian dengan senyum tersungging di bibirnya. ***"Bagaimana menurutmu AMran? Apakah aku harus men
"Pras! Apa maksudmu?" seru Rama kesal mendengar ucapan Om Pras. "Pras, apa yang membuat kamu tidak menyetujuinya. Bukannya kamu selalu meminta mama merestui hubungan Nadin dan Rama?" tanya mama heran. Om Pras menatap tajam sesaat. Lama kelamaan wajahnya mengendur dan menarik napas panjang. "Aku tidak setuju jika pernikahan mereka ditunda-tunda. Seluruh persiapan dan acara pernikahan aku yang mengaturnya. Bulan depan ijab qobul dan resepsi langsung digelar!" ujar Om Pras memerintah dengan tegas.Nadin dan Rama yang mendengar berbarengan melakukan protesnya, "Bulan depan??!"Mama yang mendengar ucapan Om Pras tersenyum senang, namun akhirnya tak dapat menahan tawa melihat ekspresi Rama dan Nadin.***"Pras, bagaimana dengan proyek Brian. Hasil analisaku tidak semua yang diambil Brian merugikan. Sepertinya kita harus memilah dan memilih dengan cermat. Minimal tidak menanggung banyak kerugian," ucap Rama saat Om Pras memintanya menganalisa beberapa solusi yang akan diambil. Om Pras ha
Beberapa orang langsung bangun dari kursinya memberikan penghormatan atas kedatangan kembali Prasetya. Om Pras membalas dengan anggukan kepalanya Om Pras melangkah tegap didampingi Rama. Siapa yang tak tahu sepak terjang dua sahabat ini. Mereka langsung menduduki kursi yang kosong. "Pak Pras, akhirnya. Kami sudah lama menantikan nya," seru sebuah suara yang terdengar sangat senang. Brian menatap tak percaya. Sesekali dilirikkan matanya pada Pak Burhan. Dia ingin memastikan apakah Prasetya dan Burhan bekerja sana. Tak ada kekagetan dari wajah Burhan. Terdengar hembusan napas dalam dari Burhan hingga akhirnya mengeluarkan suara. "Siapa yang mengundangnya untuk datang? Bukankah dia bukan pemilik saham lagi?" tanya Brian geram melihat ke arah Prasetya dan Rama. Tak ada yang menjawab. Sebagian besar yang hadir di dalam ruangan sangat mengharapkan Pak Prasetya kembali memimpin Narendra. "Saya yang mengundangnya," jawab Pak Burhan berusaha tenang. "Dalam kapasitas apa mereka
Pagi ini seluruh Dewan Direksi sudah menempati kursinya, tersisa empat kursi yang kosong di bagian depan. Beberapa saling menyapa kabar masing-masing, namun juga bertanya dengan pertemuan mendadak pagi ini. "Apakah kelakuan Brian sudah diketahui Pak Burhan?" bisik seorang pada rekan di sebelahnya. "Pak Burhan dan Brian bukannya saling mendukung. Ini berarti dia akan membiarkan atau malah membuat Brian merajalela di perusahaan," bisik lainnya. "Tak ada yang mengalahkan Prasetya dalam memimpin Narendra. Dia mewarisi papanya yang bertangan besi," bisik lainnya. "Tapi sikapnya itu yang membuat Narendra maju pesat. Siapa yang tak sejalan langsung disingkirkan," kenang mereka mengenai masa lalu. "Ya..., ya. Tapi itu juga yang menghancurkannya. Kelicikan Hary mengawali semuanya...," ucapan yang tak diselesaikan namun yang mendengar mengangguk-angguk setuju. Hary yang tak puas dan iri saat itu, memecah belah dua sahabat hingga berujung perselisihan panjang. Jika saja saat itu k