Perasaan Kirana menjadi gelisah. Ia baru menyadari jika ia dan suaminya diundang ke sini hanya untuk dipertanyakan tentang bagaimana mereka memperlakukan Aliya selama ini.Kirana mengakui ia adalah ibu yang buruk untuk putrinya itu. Tapi, ia sudah memutuskan untuk berubah. Kirana tidak akan lagi mengulang kesalahan yang sama. Dia akan lebih memperhatikan Aliya. Terlebih, karena Alison yang ia manjakan selama ini justru malah memberi kekecewaan pada mereka.Kirana baru menyadari jika Aliya putrinya, jauh lebih baik. Dia lebih pantas mendapatkan semua perhatian itu.Namun sulit bagi Kirana menunjukkan kasih sayangnya saat ini. Karena status Aliya yang sudah berubah. Putrinya itu juga tidak lagi tinggal di rumah yang sama dengannya. Dia membangun keluarga sendiri dengan Argan. Meski begitu, Kirana tetap akan menyambut hangat tiap kali putrinya itu datang menemuinya. Sayangnya, semua tidak pernah berakhir baik. Ada saja masalah yang terjadi. Sedikit saja ia atau suaminya melakukan kesalah
Aliya sudah sampai di kamarnya dan berbaring di ranjang. Tapi dia masih memikirkan suasana di ruang tamu. Apakah orang tuanya dan mertuanya tidak akan terlibat pertengkarang sengit? Sejak awal mereka bertemu, sepertinya hubungannya juga kurang baik. Apakah keputusan tepat untuk Aliya meninggalkan mereka? Tapi, saat ini kepalanya memang pusing. Jika ia di sana, Aliya yakin ia akan pingsan tidak lama. Jika itu terjadi, ia justru malah akan membuat mereka semua semakin kerepotan."Ini minyak kayu putih." Argan memberikannya pada Aliya. "Ku rasa ini bisa meringankan pusing yang kamu rasakan."Aliya menerimanya dan tersenyum. "Terima kasih, Argan."Argan mengangguk. Dia duduk di samping istrinya. "Jangan terlalu mengkhawatirkan mereka. Percayalah, ibu tidak akan menyakiti mereka sedikit pun."Tampaknya Argan menyadari kegelisahan yang dirasakan Aliya. Karena itu ia bicara untuk meredakan perasaannya."Orang tuamu tahu?" tanya Aliya memastikan.Argan mengangguk.Aliya menghela napas. Dia ti
Saat ini Addyson sudah kembali ke rumah setelah masalah yang ia miliki selesai. Sebenarnya tidak benar-benar selesai. Melainkan Rendra yang memberinya waktu untuk mengembalikan uang yang diberikan Aliya. Totalnya ada 18 juta. Padahal hingga detik ini Addy tak menerima uang itu meski Aliya mengaku sudah mengirimkannya.Tagihan kemarin saja belum ia lunasi. Bagaimana ia bisa mencari uang untuk tagihan kali ini? Sakit di kepala Addy semakin bertambah rasanya."Kenapa kamu tidak memberitahu padaku tentang apa yang kamu lakukan?"Sekarang, istrinya bahkan datang hanya untuk menambah beban di kepalanya. Mata Addy menyorotnya dengan tajam. Setidaknya, jika ia tidak bisa membantu, ia tidak membuat pening kepalanya dengan segala ocehannya yang tidak berguna itu."Bisa-bisanya kamu meminta uang pada Aliya. Padahal kamu tahu jelas siapa dia sekarang. Dia bukan lagi putri kita, dia juga menantu keluarga Alfred. Apa kamu tidak berpikir sebelum melakukan tindakan cerb-"Ucapan Kirana tidak bisa dis
"Dari mana saja kamu?!"Alison melengos malas kala suara teriakan ibu mertuanya kembali terdengar. Hal pertama yang menyambutnya saat melangkahkan kaki ke dalam rumah justru adalah suara itu. Memang di rumah ini ia hanya menemukan hal yang membuatnya kesal."Alison Addyson! Aku bicara padamu!" teriak Carla saat melihat menantunya hanya berjalan melewatinya tanpa peduli.Max yang baru menuruni tangga kini menoleh pada mereka. Dia menatap Alison yang akan melewatinya."Kenapa tidak menjawab pertanyaan ibu?" tanya Max pada istrinya itu. Sikap Alison yang seperti ini justru malah membuat ibunya semakin tidak menyukainya. Tapi tampaknya Alison sama sekali tidak peduli.Max sebenarnya lebih terganggu dengan suara yang dikeluarkan oleh ibunya. Sejak ada Alison, ibunya menjadi lebih sering marah-marah. Bahkan tak jarang rumah ini diisi oleh teriakannya."Aku lelah," jawab Alison ketus. "Lagipula aku yakin, setelah aku menjawab pun dia akan kembali mencecarku dengan segala ucapannya yang maha
Tidak seperti sebelumnya, Max kini membawanya ke restoran yang lebih baik. Restoran yang lebih mewah dari sebelumnya. Karena itu Alison tidak mengeluh sama sekali. Pria itu juga menggeser kursi untuk dirinya."Apa yang ingin kamu pesan?" tanya Max, memegangi buku menu yang disediakan di sana. "Bagaimana jika steak? Bukankah kamu menyukai makanan itu?""Ya. Itu saja," jawab Alison.Max pun mengangguk. Dia mengangkat tangannya memanggil seorang pelayan di restoran itu. Tak lama pelayan yang mereka tunggu datang menghampiri meja mereka.Max menyebutkan pesanannya dan Alison, pelayan itu mencatatnya dengan patuh.Ia menyuruh mereka menunggu sebentar selama pesanan disiapkan. Lalu membungkuk sopan dan berpamitan."Bagaimana harimu di kampus?" tanya Max."Buruk." Alison bahkan merasakan panas di kepalanya. Otaknya merasa lelah dengan semua materi yang ia terima hari ini. Tapi mau tak mau ia memang harus melewati semuanya jika ingin segera menyelesaikan study-nya."Kenapa?" tanya Max. "Apaka
Aliya terusik dalam tidurnya ketika seseorang sengaja mengguncang tubuhnya. Terpaksa, dia membuka kelopak matanya. Matanya mengerjap dua kali, guna memperjelas pernglihatannya. Perlahan, sosok suaminya mulai terlihat jelas di depannya."Argan?" Aliya membangunkan tubuhnya. "Ada apa?"Tidak mungkin pria itu membangunkannya tanpa sebab. Argan bukan tipe kekanakan seperti itu. Pria itu hanya akan berbuat jika ada sesuatu.Ekspresi Argan pun tampak tak biasa. Aliya mulai khawatir ada hal serius yang tengah terjadi saat ini."Kita harus ke rumah sakit sekarang," ucap Argan."Rumah sakit?" Aliya tampak bingung. "Memang ada apa? Siapa yang sakit?""Ibumu," jawab Argan lugas. "Dia terluka parah setelah dianiaya oleh ayahmu."Aliya seketika tercekat.Ya Tuhan, apalagi ini? Aliya baru saja bertemu dengan mereka hari tadi. Kenapa sekarang keadaan orang tuanya menjadi sangat kacau? Apakah ini semua terjadi karena dirinya? Tapi, Aliya tidak merasa ia telah melakukan apapun.Aliya pun tak menyangka
Alison menjadi gelisah. Ia tidak bisa berhenti memikirkan ibunya yang katanya sedang berada di rumah sakit dalam keadaan terluka parah.Sebenarnya apa saja yang ia lewatkan? Kenapa orang tuanya bisa saling menyakiti seperti ini? Padahal Alison yakin saat ia meninggalkan rumah terakhir kali, hubungan orang tuanya masih cukup baik."Max!" Alison memutuskan membangunkan suaminya. Dia membutuhkan pria itu untuk mengantarnya ke rumah sakit. Alison tidak mungkin naik taksi di waktu seperti ini. Yang ada dia celaka. "Max, bangun!"Max menggeliat tidak nyaman. Dia membuka matanya, terlihat masih sangat mengantuk."Apa? Lakukan besok saja. Saat ini aku sedang tidak ingin menyentuh tubuhmu," gumam pria itu meracau.Alison merapatkan bibirnya menahan geram. Pria sialan itu, apa yang baru ia katakan?! Apa ia pikir Alison membangunkannya untuk melakukan itu? Otaknya memang selalu saja dipenuhi hal-hal kotor."Bangun, brengsek!" Alison memukul kepala pria itu dengan bantalnya.Max meringis. Dia ban
Alison tiba di rumah sakit. Ia berjalan lebih dulu dan meninggalkan Max yang memang berjalan lebih lambat darinya. Sesekali pria itu menguap karena mengantuk. Tapi dia tetap mengikuti Alison meski tertinggal jauh.Alison tiba di ruang yang ia tahu adalah tempat ibunya dirawat. Dia langsung menerobos masuk tanpa memperdulikan dua polisi yang berjaga di pintu."Ibu!"Kala Alison masuk, ia menemukan ibunya terbaring di brankar dan juga Aliya bersama Argan yang tengah duduk di sofa. Untuk sesaat, Alison mengabaikan perasaan cemburunya saat melihat dua orang itu. Ia memilih mendekati ibunya di brankar."Ibu, apa yang terjadi? Kenapa bisa seperti ini?" tanya Alison beruntun. Dia sangat terkejut melihat keadaan ibunya saat ini. Luka yang ia terima ternyata memang sangat parah. Ada banyak lebam di seluruh tubuhnya. Bahkan, dia seperti kesulitan untuk menggerakkan tubuhnya. Sebenarnya apa yang dilakukan ayahnya hingga ibunya jadi seperti ini?"Haa ... merepotkan," keluh Max, membuka pintu ruan
Argan tidak tahu bagaimana bisa istrinya berada di sini. Saat Argan keluar, dia bertemu dengan istrinya yang tengah berkacak pinggang dan menatapnya dengan tajam."Jelaskan padaku!" tegas Aliya."Itu ...." Argan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia sedikit tidak mengerti di bagian mana ia harus menjelaskan."Argan!" pekik Aliya. Dia tidak mau menunggu terlalu lama untuk mendengarkan pria itu bicara. "Cepat jelaskan apa yang kamu lakukan pada Alison! Aku melihatnya menangis tadi.""Ini tidak seperti yang kamu pikir, sayang." Argan menjelaskan dengan hati-hati. "Sebenarnya, tapi kami hanya membicarakan tentang masa lalu. Alison meminta maaf padaku. Karena dia menangis, aku tidak tega dan segera memeluknya. Jangan cemburu.""Aku tidak cemburu!" tukas Aliya menyangkal."Oke. Oke. Aku akan memeluknya lebih sering."Aliya seketika melotot padanya. Argan meringis kecil."Aku bercanda, sayang."Apakah ini saat yang tepat untuk itu? Aliya melengos malas. Meski Alison adalah adikn
Alison baru akan menjenguk ibunya yang masih berada di rumah sakit. Tapi di salah satu koridor dia bertemu dengan Argan. Pria itu berhenti saat menyadari kehadirannya."Dimana kakakku?" tanya Alison. Dia tidak melihat sosok Aliya di dekat Argan. "Apakah dia tidak ikut?""Tidak. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Argan. Pria itu berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Alison. "Apakah kamu melarikan diri lagi dari suamimu?""Tentu saja tidak," tukas Alison. Dia merenggut. "Max tahu aku datang ke sini. Aku juga sudah meminta ijin padanya.""Itu bagus." Pria itu tampak menganggukkan kepalanya. "Memang sebaiknya kamu meminta ijin pada suamimu saat ingin pergi kemana pun.""Ku dengar kamu memiliki masalah." Karena bertemu Argan, Alison jadi teringat tentang masalah yang dibicarakan Max kemarin. "Apakah terjadi sesuatu pada Aliya?""Apakah kamu peduli?" Argan tersenyum sinis. "Bukankah kamu senang setiap Aliya celaka?""Aku tidak ingin ribut denganmu sekarang," decak Alison. Walau s
Saat ini Alison tengah menikmati makan malam dengan Max di rumah mereka. Tidak ada lagi suasana dingin dan menyesakkan. Hari yang mereka lalui menjadi semakin baik. Terlebih, setelah mereka pindah ke rumah ini."Apa kamu dengar? Katanya keluarga Alfred tengah menghukum seseorang." Max memecah suasana hening di meja makan. Sesekali ia memang akan mengajak istrinya bicara di saat makan kala ia mengingat sesuatu yang ingin ia katakan. Dan berita yang ia dengar ini cukup menarik menurutnya."Menghukum seseorang?" Alison mengernyit. Mulutnya masih bergerak karena makanan yang ia kunyah. "Siapa?""Ku dengar itu salah satu teman Aliya.""Rasanya tidak mungkin." Alison mendengus geli. Ia mengenal dengan baik bagaimana sifat Aliya. Dia mana tega membiarkan temannya sendiri dihukum? Terlebih oleh keluarga Alfred."Sungguh. Aku tidak berbohong."Max bahkan langsung memeriksa kebenaran itu. Bukan karena penasaran, tapi ia jelas harus memastikan berita itu sebelum benar-benar menyampaikannya pada
Sejak tadi Aliya menunggu dengan gelisah. Ia khawatir jika kejadian ini akan menjadi masalah besar. Bagaimana jika polisi menangkap suaminya? Aliya tidak ingin itu terjadi. Apalagi saat ini Aliya sedang dalam keadaan hamil. Ia ingin suaminya ada menemani selama anak ini tumbuh dalam perutnya. Aliya ingin suaminya ada saat anak ini lahir ke dunia."Tenanglah, sayang." Mia sudah mengingatkan beberapa kali pada menantunya itu untuk tidak cemas, tapi Aliya tetap saja khawatir. Dia berjalan bolak balik di dekat sofa, menggigit ujung kukunya dengan gelisah. "Percaya pada ibu. Argan akan bisa menangani masalah ini. Bahkan ayah mertuamu juga ada di sana, kan? Semua akan baik-baik saja.""Aku tidak bisa berhenti cemas, Ibu. Sebelum aku tahu jika suamiku memang tidak kenapa-napa," ucap Aliya."Masalah seperti ini biasa terjadi." Mia meminum tehnya dengan santai. Dia tidak terlihat cemas sedikit pun. Berbeda sekali dengan Aliya. "Kamu tahu sendiri kan bagaimana keluarga kami? Kami tidak akan mem
"Bu, Aliya mana?"Mia menoleh kala mendengar suara putranya bertanya. Tampak Argan yang berdiri di depannya dengan wajah mengantuk. Sepertinya dia baru bangun tidur."Tadi dia meminta ijin untuk keluar sebentar. Katanya ada yang harus ia beli di supermarket."Kedua mata Argan terbuka sempurna. Rasa kantuk sebelumnya kini seolah lenyap seketika."Kenapa Ibu mengijinkannya?!" tanya Argan kesal. "Apa Ibu lupa jika Aliya sedang hamil?""Dia hanya ke supermarket yang ada di seberang jalan. Kenapa kamu begitu khawatir?" balas Mia mengernyit heran.Argan berdecak. Ibunya sama sekali tidak mengerti. Argan kembali ke kamarnya hanya untuk membasuh muka dan menggosok gigi dengan cepat. Dia mengganti pakaian dan bergegas pergi setelah selesai."Argan, kamu mau kemana?" tanya Mia kala melihat putranya itu melintas."Mencari istriku.""Anak itu." Mia menggelengkan kepalanya. "Padahal Aliya hanya ke supermarket. Kenapa dia khawatir begitu?"Argan bergegas ke supermarket yang dimaksud ibunya. Dia mas
Alison benci saat air mata di wajahnya tidak mau berhenti. Padahal ia bukan perempuan cengeng sejak dulu. Dia bisa mencaci siapa saja yang sudah membuatnya marah atau menyakitinya. Tapi yang Alison lakukan justru pergi dan bersembunyi hanya untuk menangis di kamarnya sendirian."Semua pria sama saja," rutuknya. Air matanya masih saja tidak mau berhenti. Sebanyak apapun Alison menghapusnya, ia tetap mengalir dengan deras. "Max sialan! Seharusnya aku tahu dia brengsek sejak dulu. Bodohnya aku sempat tertipu dengan semua kata-katanya. Pembohong!"Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Di sana Max berdiri dengan keadaan berantakan. Napasnya terengah-engah. Dia menjatuhkan bunga yang dipegangnya. Lalu berjalan ke arah Alison yang duduk di samping ranjang sembari memeluk lututnya.Saat Max semakin mendekat, Alison memalingkan wajah ke arah lain. Dia enggan melihat pria itu."Aku datang ke kampusmu untuk menjemputmu. Kenapa kamu pergi lebih dulu?" tanya Max."Aku tidak tahu." Alison menjawab dengan
Hari ini Alison kembali masuk kuliah. Dia bersama Sofia tengah berada di kantin, menikmati makanan kecil sebelum kembali mengikuti kelas."Alison, apakah kamu masih berminat untuk menyewa orang?" tanya Sofia.Alison terpaku sesaat. Karena semua masalah besar yang terjadi, ia bahkan melupakan kebencian yang ia miliki pada Aliya, dan tentang Argan juga.Alison juga tidak menyangka ia bisa berseteru kecil dengan pria itu di rumah sakit seperti dua bocah yang bertengkar. Jika diingat kembali, dirinya sangat kekanakan, bukan? Alison hanya tidak suka pada Argan yang sering mengejeknya. Dan dia yang banyak bersikap manja pada Aliya, padahal badannya sudah besar. Maka dari itu Alison mengejeknya dengan sebutan 'bayi besar'."Aku lupa," balas Alison mengedikkan bahunya. "Untuk sekarang sepertinya tidak, Sofia.""Kenapa?!" pekik Sofia, kecewa. Padahal dia sudah menanti apa yang akan dilakukan Alison kali ini. Sofia yakin, jika Alison berani melakukan rencana ini, dia akan berakhir di penjara de
Ini pagi pertama bagi Max dan Alison di rumah baru mereka. Suasana pagi menyambut hangat keduanya. Jika bukan karena jam wacker yang berdering, mereka mungkin tidak akan terbangun saking nyenyaknya tidur."Aku suka suasana pagi ini," ucap Alison baru selesai membersihkan diri. Masih dengan bathrobe di tubuhnya, perempuan itu merentangkan tangannya sembari memejamkan mata di halaman belakang, menikmati udara segar."Sayang, apa kamu melihat kemejaku?" tanya Max mengacaukan kegiatan Alison.Perempuan itu menurunkan tangannya dan mendengus. Dia pun segera menemui suaminya yang baru saja berteriak itu.Saat tiba di kamar, Alison melihat pria itu tengah menggaruk belakang kepalanya, menghadap ke lemari. Dia terlihat bingung menatap jejeran pakaian di depannya."AL-"Max yang baru hendak kembali berseru, seketika mengatupkan mulutnya saat melihat keberadaan istrinya yang berdiri di ambang pintu sembari bersedekap.Bukannya terlihat menakutkan, saat ini istrinya justru terlihat sexy. Damn!A
Alison turun dari mobil, dia menatap rumah yang berdiri di depannya saat ini. Apakah ini akan menjadi tempat tinggal barunya yang bersama Max? Alison sedikit tak percaya jika ayah mertuanya akan menyiapkan semua ini. Padahal Alison sudah siap untuk menerima kemungkinan terburuk. Atas tindakan beraninya tadi, ia pikir akan ditendang dan dipaksa untuk bercerai."Max, apakah ayah marah?" tanya Alison khawatir. Tujuannya pindah ke rumah ini masih dipertanyakan. Meski Max berkata jika ini memang keinginannya dan ayahnya juga sudah memberi ijin, tetap saja Alison tidak bisa bercaya begitu mudahnya. "Apa sebenarnya kita diusir?""Bicara apa kamu ini?" Max terkekeh kecil. Dia menggelengkan kepalanya.Apa Alison khawatir dengan tindakannya sebelumnya? Bukankah tadi dia begitu berani seperti tidak takut akan resiko yang akan ia terima? Lantas kenapa sekarang dia menciut ketakutan?"Ayahku tidak marah sama sekali. Dia tampaknya merasa bersalah." Max mengatakan apa yang ia pikirkan. Ayahnya meman