Alison menjadi gelisah. Ia tidak bisa berhenti memikirkan ibunya yang katanya sedang berada di rumah sakit dalam keadaan terluka parah.Sebenarnya apa saja yang ia lewatkan? Kenapa orang tuanya bisa saling menyakiti seperti ini? Padahal Alison yakin saat ia meninggalkan rumah terakhir kali, hubungan orang tuanya masih cukup baik."Max!" Alison memutuskan membangunkan suaminya. Dia membutuhkan pria itu untuk mengantarnya ke rumah sakit. Alison tidak mungkin naik taksi di waktu seperti ini. Yang ada dia celaka. "Max, bangun!"Max menggeliat tidak nyaman. Dia membuka matanya, terlihat masih sangat mengantuk."Apa? Lakukan besok saja. Saat ini aku sedang tidak ingin menyentuh tubuhmu," gumam pria itu meracau.Alison merapatkan bibirnya menahan geram. Pria sialan itu, apa yang baru ia katakan?! Apa ia pikir Alison membangunkannya untuk melakukan itu? Otaknya memang selalu saja dipenuhi hal-hal kotor."Bangun, brengsek!" Alison memukul kepala pria itu dengan bantalnya.Max meringis. Dia ban
Alison tiba di rumah sakit. Ia berjalan lebih dulu dan meninggalkan Max yang memang berjalan lebih lambat darinya. Sesekali pria itu menguap karena mengantuk. Tapi dia tetap mengikuti Alison meski tertinggal jauh.Alison tiba di ruang yang ia tahu adalah tempat ibunya dirawat. Dia langsung menerobos masuk tanpa memperdulikan dua polisi yang berjaga di pintu."Ibu!"Kala Alison masuk, ia menemukan ibunya terbaring di brankar dan juga Aliya bersama Argan yang tengah duduk di sofa. Untuk sesaat, Alison mengabaikan perasaan cemburunya saat melihat dua orang itu. Ia memilih mendekati ibunya di brankar."Ibu, apa yang terjadi? Kenapa bisa seperti ini?" tanya Alison beruntun. Dia sangat terkejut melihat keadaan ibunya saat ini. Luka yang ia terima ternyata memang sangat parah. Ada banyak lebam di seluruh tubuhnya. Bahkan, dia seperti kesulitan untuk menggerakkan tubuhnya. Sebenarnya apa yang dilakukan ayahnya hingga ibunya jadi seperti ini?"Haa ... merepotkan," keluh Max, membuka pintu ruan
Mia menatap suaminya yang selesai bicara dengan pengacara yang sengaja ia panggil."Bagaimana?" tanya Mia.Rendra tidak segera menjawab. Pria itu menghela napas dengan berat."Mereka akan mengusahakan supaya Addyson mendapat hukuman yang sepadan. Tapi tetap kita harus meminta keputusan dari Kirana," ungkap Rendra. Mereka tidak bisa langsung mengambil tindakan. Karena ini juga bukan masalah yang bisa mereka putuskan sendiri. Mereka hanya membantu Kirana yang memang tidak berdaya saat ini. Jika bukan karena simpati, mereka mungkin akan lebih memilih membiarkan masalah ini tanpa peduli. Hal yang membuat Rendra dan Mia ikut turun tangan menangani masalah ini adalah karena menantu mereka. Aliya pasti akan sangat terpukul mengetahui apa yang terjadi pada ibunya itu. Tapi, jika mereka membantunya, setidaknya hal itu akan membuat Aliya sedikit tenang."Addyson sampai sekarang masih belum ditemukan?" tanya Mia sekali lagi.Rendra menggelengkan kepalanya tidak berdaya. "Dia sepertinya bersemb
Max berhenti saat ia hampir menabrak seseorang yang ia kenal. Dia membenarkan tubuhnya menjadi lebih tegap.Sesaat, ia berdehem canggung."Malam, Tuan dan Nyonya Alfred" sapa Max formal. "Sungguh mengejutkan bisa bertemu kalian di sini.""Malam, Max." Rendra membalas sapaan pria itu. Ia melihat pakaian yang Max kenakan. Dia masih mengenakan piyama. Hanya saja dia membalut tubuhnya dengan jacket. Namun tetap saja, Rendra bisa melihat dengan jelas piyamanya karena relseleting jacketnya terbuka. Dan celananya juga tidak diganti.Rendra bertanya-tanya dalam hati, apakah pria itu tidak malu berpakaian seperti itu di tempat ini?"Apa yang kamu lakukan di sini, Max? Apa kamu datang untuk menjenguk seseorang?" tanya Mia, memandangnya heran."Sebenarnya, aku-""MAX!"Belum sempat Max selesai bicara, suara teriakan Alison membuat ia kembali mengatupkan mulut. Dia segera berlindung di belakang punggung kedua orang tua Argan saat menyadari Alison yang semakin mendekat.Alison menatapnya bengis."
Argan menoleh ke pintu saat seseorang datang, memasuki ruangan. Ternyata ayah dan ibunya. Tampaknya mereka sudah selesai mengurusi masalah dengan pengacara tadi. "Bagaimana keadaan Kirana?" tanya Mia. Aliya tersenyum sedih. "Dia ... tidak begitu baik." Mia langsung memeluk menantunya itu. Berusaha memberikannya sedikit kekuatan. Mia mengerti bagaimana perasaan Aliya saat ini. Pasti sangat sedih melihat keadaan ibunya sekarang. "Sabarlah, Nak. Aku yakin semua akan baik-baik saja," ucap Mia. Setidaknya mereka bisa menyelamatkan hidup Kirana. Jika tidak, wanita itu mungkin sudah mati karena siksaan yang ia terima. Aliya mengurai pelukan. Dia mengangguk lemah. Rasanya sangat sakit. Tapi dia berusaha untuk kuat. Karena bagaimana pun keadaan ini tetap harus ia hadapi mau tidak mau. Aliya harus menjaga hati dan pikirannya supaya mampu melewati semuanya. Jika pikirannya saja kacau, bagaimana dia bisa menghadapi semuanya? Mia segera mendekati Kirana yang terbaring di brankar. Kedua matany
Addyson tidak merasa tenang. Ia baru saja melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Hanya karena digelapkan oleh amarah sesaat, ia dengan tega menyakiti istrinya sendiri hingga nyaris mati. Jika saja Kirana tidak berhasil melarikan diri, mungkin Addy tidak akan tersadar atas apa yang ia lakukan dan akan terus menyiksa istrinya hingga meregang nyawa.Namun saat orang-orang menemukan istrinya dalam keadaan mengenaskan, saat itu juga Addyson dihantui perasaan takut. Ia yakin dia tidak akan bisa lepas dengan mudah dari hukuman. Karena apa yang ia lakukan sudah sangat keterlaluan.Addy pun memutuskan untuk pergi, melarikan diri dan bersembunyi. Tak peduli dimana, tak peduli berapa lama. Yang penting polisi tidak bisa menemukannya. Addyson tidak ingin berakhir di penjara.Masalah demi masalah yang membebani pikirannya membuat Addy kalap. Tapi ia tidak menduga jika sikapnya yang menjadi temprament karena masalah itu, bisa menimbulkan masalah yang lebih besar lagi. Ia celaka karena tindaka
"Apa yang terjadi?"Setelah selesai menenangkan istrinya hingga ia tertidur lelap karena lelah menangis, Argan segera menemui orang tuanya. Dia harus menanyakan tentang apa yang terjadi. Tidak mungkin tiba-tiba istrinya menjadi seperti ini. Argan juga yakin, orang tuanya tidak mungkin memberitahu kabar yang akan membuat Aliya terguncang tanpa pertimbangan."Apakah benar yang Aliya katakan? Addyson meninggal?" tanyanya lagi. Rasanya ini sulit dipercaya. Bahkan saat Argan mendengarnya tadi dari Aliya, Argan masih berpikir jika itu hanya omong kosong. Bisa saja istrinya hanya salah mendengar."Benar." Rendra menyimpan kopinya setelah selesai ia minum beberapa teguk. Dia menatap putranya dan menjelaskan. "Aliya hanya tidak sengaja mendengarnya saat aku sedang bicara dengan ibumu."Argan menghembuskan napas berat. Ternyata apa yang Aliya katakan adalah kenyataan. Pantas saja dia sampai terpukul seperti tadi. Aliya sudah melihat keadaan ibunya yang menyedihkan. Kini dia juga harus mendengar
Max menahan saat tubuh Alison jatuh tak sadarkan diri. Sepertinya semua kejadian ini membuat perempuan itu terguncang. Max menghela napas dengan berat. Dia merasa kasihan pada perempuan itu. Dia hanya tinggal memiliki seorang ibu jika ayahnya memang telah meninggal. Tapi ibunya sendiri pun bahkan tidak berdaya di rumah sakit.Saat Alison sedih atau memiliki masalah, dia akan sulit mencari sandaran. Karena biasanya, orang tua adalah sandaran bagi setiap anak. Apalagi Alison yang memang bersikap manja pada orang tuanya. Dia tidak akan siap menghadapi masalah ini. Dibanding Aliya yang memang jarang diperhatikan, tampaknya kejadian ini lebih berat untuk Alison."Sekarang, kemana kamu akan pergi?" Max membelai wajah Alison yang tak sadarkan diri. Dia mengajaknya bicara meski tahu perempuan itu tidak bisa mendengarnya. "Orang tuamu hancur. Salah satunya meninggal. Yang satunya terluka parah. Lantas, kemana kamu akan lari? Apakah kamu berani melangkahkan kaki dari rumah ini?"Dia membelai tu
Argan tidak tahu bagaimana bisa istrinya berada di sini. Saat Argan keluar, dia bertemu dengan istrinya yang tengah berkacak pinggang dan menatapnya dengan tajam."Jelaskan padaku!" tegas Aliya."Itu ...." Argan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia sedikit tidak mengerti di bagian mana ia harus menjelaskan."Argan!" pekik Aliya. Dia tidak mau menunggu terlalu lama untuk mendengarkan pria itu bicara. "Cepat jelaskan apa yang kamu lakukan pada Alison! Aku melihatnya menangis tadi.""Ini tidak seperti yang kamu pikir, sayang." Argan menjelaskan dengan hati-hati. "Sebenarnya, tapi kami hanya membicarakan tentang masa lalu. Alison meminta maaf padaku. Karena dia menangis, aku tidak tega dan segera memeluknya. Jangan cemburu.""Aku tidak cemburu!" tukas Aliya menyangkal."Oke. Oke. Aku akan memeluknya lebih sering."Aliya seketika melotot padanya. Argan meringis kecil."Aku bercanda, sayang."Apakah ini saat yang tepat untuk itu? Aliya melengos malas. Meski Alison adalah adikn
Alison baru akan menjenguk ibunya yang masih berada di rumah sakit. Tapi di salah satu koridor dia bertemu dengan Argan. Pria itu berhenti saat menyadari kehadirannya."Dimana kakakku?" tanya Alison. Dia tidak melihat sosok Aliya di dekat Argan. "Apakah dia tidak ikut?""Tidak. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Argan. Pria itu berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Alison. "Apakah kamu melarikan diri lagi dari suamimu?""Tentu saja tidak," tukas Alison. Dia merenggut. "Max tahu aku datang ke sini. Aku juga sudah meminta ijin padanya.""Itu bagus." Pria itu tampak menganggukkan kepalanya. "Memang sebaiknya kamu meminta ijin pada suamimu saat ingin pergi kemana pun.""Ku dengar kamu memiliki masalah." Karena bertemu Argan, Alison jadi teringat tentang masalah yang dibicarakan Max kemarin. "Apakah terjadi sesuatu pada Aliya?""Apakah kamu peduli?" Argan tersenyum sinis. "Bukankah kamu senang setiap Aliya celaka?""Aku tidak ingin ribut denganmu sekarang," decak Alison. Walau s
Saat ini Alison tengah menikmati makan malam dengan Max di rumah mereka. Tidak ada lagi suasana dingin dan menyesakkan. Hari yang mereka lalui menjadi semakin baik. Terlebih, setelah mereka pindah ke rumah ini."Apa kamu dengar? Katanya keluarga Alfred tengah menghukum seseorang." Max memecah suasana hening di meja makan. Sesekali ia memang akan mengajak istrinya bicara di saat makan kala ia mengingat sesuatu yang ingin ia katakan. Dan berita yang ia dengar ini cukup menarik menurutnya."Menghukum seseorang?" Alison mengernyit. Mulutnya masih bergerak karena makanan yang ia kunyah. "Siapa?""Ku dengar itu salah satu teman Aliya.""Rasanya tidak mungkin." Alison mendengus geli. Ia mengenal dengan baik bagaimana sifat Aliya. Dia mana tega membiarkan temannya sendiri dihukum? Terlebih oleh keluarga Alfred."Sungguh. Aku tidak berbohong."Max bahkan langsung memeriksa kebenaran itu. Bukan karena penasaran, tapi ia jelas harus memastikan berita itu sebelum benar-benar menyampaikannya pada
Sejak tadi Aliya menunggu dengan gelisah. Ia khawatir jika kejadian ini akan menjadi masalah besar. Bagaimana jika polisi menangkap suaminya? Aliya tidak ingin itu terjadi. Apalagi saat ini Aliya sedang dalam keadaan hamil. Ia ingin suaminya ada menemani selama anak ini tumbuh dalam perutnya. Aliya ingin suaminya ada saat anak ini lahir ke dunia."Tenanglah, sayang." Mia sudah mengingatkan beberapa kali pada menantunya itu untuk tidak cemas, tapi Aliya tetap saja khawatir. Dia berjalan bolak balik di dekat sofa, menggigit ujung kukunya dengan gelisah. "Percaya pada ibu. Argan akan bisa menangani masalah ini. Bahkan ayah mertuamu juga ada di sana, kan? Semua akan baik-baik saja.""Aku tidak bisa berhenti cemas, Ibu. Sebelum aku tahu jika suamiku memang tidak kenapa-napa," ucap Aliya."Masalah seperti ini biasa terjadi." Mia meminum tehnya dengan santai. Dia tidak terlihat cemas sedikit pun. Berbeda sekali dengan Aliya. "Kamu tahu sendiri kan bagaimana keluarga kami? Kami tidak akan mem
"Bu, Aliya mana?"Mia menoleh kala mendengar suara putranya bertanya. Tampak Argan yang berdiri di depannya dengan wajah mengantuk. Sepertinya dia baru bangun tidur."Tadi dia meminta ijin untuk keluar sebentar. Katanya ada yang harus ia beli di supermarket."Kedua mata Argan terbuka sempurna. Rasa kantuk sebelumnya kini seolah lenyap seketika."Kenapa Ibu mengijinkannya?!" tanya Argan kesal. "Apa Ibu lupa jika Aliya sedang hamil?""Dia hanya ke supermarket yang ada di seberang jalan. Kenapa kamu begitu khawatir?" balas Mia mengernyit heran.Argan berdecak. Ibunya sama sekali tidak mengerti. Argan kembali ke kamarnya hanya untuk membasuh muka dan menggosok gigi dengan cepat. Dia mengganti pakaian dan bergegas pergi setelah selesai."Argan, kamu mau kemana?" tanya Mia kala melihat putranya itu melintas."Mencari istriku.""Anak itu." Mia menggelengkan kepalanya. "Padahal Aliya hanya ke supermarket. Kenapa dia khawatir begitu?"Argan bergegas ke supermarket yang dimaksud ibunya. Dia mas
Alison benci saat air mata di wajahnya tidak mau berhenti. Padahal ia bukan perempuan cengeng sejak dulu. Dia bisa mencaci siapa saja yang sudah membuatnya marah atau menyakitinya. Tapi yang Alison lakukan justru pergi dan bersembunyi hanya untuk menangis di kamarnya sendirian."Semua pria sama saja," rutuknya. Air matanya masih saja tidak mau berhenti. Sebanyak apapun Alison menghapusnya, ia tetap mengalir dengan deras. "Max sialan! Seharusnya aku tahu dia brengsek sejak dulu. Bodohnya aku sempat tertipu dengan semua kata-katanya. Pembohong!"Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Di sana Max berdiri dengan keadaan berantakan. Napasnya terengah-engah. Dia menjatuhkan bunga yang dipegangnya. Lalu berjalan ke arah Alison yang duduk di samping ranjang sembari memeluk lututnya.Saat Max semakin mendekat, Alison memalingkan wajah ke arah lain. Dia enggan melihat pria itu."Aku datang ke kampusmu untuk menjemputmu. Kenapa kamu pergi lebih dulu?" tanya Max."Aku tidak tahu." Alison menjawab dengan
Hari ini Alison kembali masuk kuliah. Dia bersama Sofia tengah berada di kantin, menikmati makanan kecil sebelum kembali mengikuti kelas."Alison, apakah kamu masih berminat untuk menyewa orang?" tanya Sofia.Alison terpaku sesaat. Karena semua masalah besar yang terjadi, ia bahkan melupakan kebencian yang ia miliki pada Aliya, dan tentang Argan juga.Alison juga tidak menyangka ia bisa berseteru kecil dengan pria itu di rumah sakit seperti dua bocah yang bertengkar. Jika diingat kembali, dirinya sangat kekanakan, bukan? Alison hanya tidak suka pada Argan yang sering mengejeknya. Dan dia yang banyak bersikap manja pada Aliya, padahal badannya sudah besar. Maka dari itu Alison mengejeknya dengan sebutan 'bayi besar'."Aku lupa," balas Alison mengedikkan bahunya. "Untuk sekarang sepertinya tidak, Sofia.""Kenapa?!" pekik Sofia, kecewa. Padahal dia sudah menanti apa yang akan dilakukan Alison kali ini. Sofia yakin, jika Alison berani melakukan rencana ini, dia akan berakhir di penjara de
Ini pagi pertama bagi Max dan Alison di rumah baru mereka. Suasana pagi menyambut hangat keduanya. Jika bukan karena jam wacker yang berdering, mereka mungkin tidak akan terbangun saking nyenyaknya tidur."Aku suka suasana pagi ini," ucap Alison baru selesai membersihkan diri. Masih dengan bathrobe di tubuhnya, perempuan itu merentangkan tangannya sembari memejamkan mata di halaman belakang, menikmati udara segar."Sayang, apa kamu melihat kemejaku?" tanya Max mengacaukan kegiatan Alison.Perempuan itu menurunkan tangannya dan mendengus. Dia pun segera menemui suaminya yang baru saja berteriak itu.Saat tiba di kamar, Alison melihat pria itu tengah menggaruk belakang kepalanya, menghadap ke lemari. Dia terlihat bingung menatap jejeran pakaian di depannya."AL-"Max yang baru hendak kembali berseru, seketika mengatupkan mulutnya saat melihat keberadaan istrinya yang berdiri di ambang pintu sembari bersedekap.Bukannya terlihat menakutkan, saat ini istrinya justru terlihat sexy. Damn!A
Alison turun dari mobil, dia menatap rumah yang berdiri di depannya saat ini. Apakah ini akan menjadi tempat tinggal barunya yang bersama Max? Alison sedikit tak percaya jika ayah mertuanya akan menyiapkan semua ini. Padahal Alison sudah siap untuk menerima kemungkinan terburuk. Atas tindakan beraninya tadi, ia pikir akan ditendang dan dipaksa untuk bercerai."Max, apakah ayah marah?" tanya Alison khawatir. Tujuannya pindah ke rumah ini masih dipertanyakan. Meski Max berkata jika ini memang keinginannya dan ayahnya juga sudah memberi ijin, tetap saja Alison tidak bisa bercaya begitu mudahnya. "Apa sebenarnya kita diusir?""Bicara apa kamu ini?" Max terkekeh kecil. Dia menggelengkan kepalanya.Apa Alison khawatir dengan tindakannya sebelumnya? Bukankah tadi dia begitu berani seperti tidak takut akan resiko yang akan ia terima? Lantas kenapa sekarang dia menciut ketakutan?"Ayahku tidak marah sama sekali. Dia tampaknya merasa bersalah." Max mengatakan apa yang ia pikirkan. Ayahnya meman