"Bicaralah dengan orang tuamu. Mungkin mereka bisa memberikan solusi," saran Luc.Sebenarnya ia lebih senang jika tuan Rendra turun tangan langsung untuk menegur Addyson. Sepertinya akan menyenangkan melihat dua pria itu berhadapan. Apalagi membayangkan bagaimana wajah pucat Addyson ketika menghadapi keluarga Alfred."Aku bukan seorang anak yang akan merengek pada ayahnya," ketus Argan. Apa Luc pikir ia tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri? Saran yang ia berikan sangat tidak berguna.Luc yang merasa sarannya tidak diterima hanya bisa mengedikkan bahunya acuh. Jika memang Argan tidak ingin mendengarnya, ia tidak masalah sama sekali."Aku akan menemui istriku lebih dulu. Aku ingin melihat apakah ia akan berkata jujur padaku," putus Argan. Pria itu mengambil jasnya, lalu berjalan pergi keluar dari kantornya.Luc pun ikut keluar. Tidak mungkin ia terus berdiam diri di sana. Jika ada yang hilang di ruangan ini, maka dia yang akan disalahkan.Argan segera berjalan ke arah mobilnya. D
Argan berdiri di kamar mandi. Dia pergi karena tahu istrinya tidak nyaman dengan keberadaannya. Ia bisa merasakan jika istrinya itu gelisah saat Argan bersamanya. Argan jadi bertanya-tanya, sampai kapan Aliya akan berusaha menutupi masalahnya? Apakah ia berpikir jika Argan tidak bisa mengetahui apa yang ia sembunyikan?Untuk sekarang Argan membiarkannya. Ia akan tetap diam saat Aliya memutuskan tidak bicara. Tapi, Argan tetap tidak akan membiarkan Addyson menerima uang dari istrinya. Pria itu tidak pantas mendapatkan sepeser pun uang dari putri yang ia abaikan selama ini. Bukankah lebih pantas jika ia meminta pada Alison?Ah! Argan lupa. Alison mana mungkin mau mengulurkan tangan untuk mambantu orang tuanya? Dia justru akan memilih berbalik, bersikap tidak mau tahu apapun yang terjadi pada mereka. Ia hanya akan berkata jika itu bukan urusannya sama sekali.Sejak dulu perangai Alison selalu seperti itu. Dia enggan melirik kesusahan orang lain, meski itu orang tuanya sendiri.Argan kelu
Aliya sebenarnya tak ingin Argan menemukannya dalam keadaan seperti ini. Ia juga tak ingin membuat ayahnya berada dalam masalah. Tapi rasa sakit di hatinya tidak tertahankan. Luka yang kemarin tertoreh masih terasa basah. Kini ayahnya kembali menorehkan luka yang baru. Perih di hatinya kian bertambah. Air mata adalah bukti bagaimana rasa sakit yang ia rasakan. Aliya juga bisa merasa lelah. Ia juga bisa menyerah. Berada di titik terendah hingga ia merasa tidak berdaya dalam keadaan. Rasanya Aliya ingin berteriak, mengeluarkan segala emosi yang begitu menyesakkan dada. Tapi di sisi lain ia pun merasa tidak bertenaga. Rasa sakitnya membuat tubuhnya begitu lemah.Untung saja, ada tangan yang siap menopang tubuhnya kala ia lelah. Kini bahkan tangan itu membawa tubuhnya melayang, bergerak untuk kembali ke kamarnya, tempat dimana ia bebas mengekspresikan diri, menangis tanpa khawatir ada yang tahu. Tubuhnya dibaringkan di ranjang, dibalut selimut hingga sebatas dada. Lalu kecupan hangat tera
Rendra baru kembali dari kantornya. Dia melihat istri dan putranya yang tengah berada di ruang tamu. Kedua orang itu sepertinya tengah terlibat perseteruan kecil. Segera saja ia mendekati mereka. Rendra tidak ingin dua orang yang ia sayangi itu sampai bertengkar."Ada apa ini?" tanyanya menginterupsi. Seketika, kedua orang itu berhenti dan menatap padanya. Tampaknya mereka baru menyadari kedatangannya. "Kenapa kalian bertengkar?"Argan berdecak kecil. "Siapa yang bertengkar? Aku dan ibu hanya sedang berdiskusi."Rendra menatap istrinya, menunggu tanggapan."Kami hanya berbagi pendapat," jelas Mia."Apa yang sedang kalian bicarakan?" Merasa ada hal penting yang tengah dibicarakan oleh mereka, Rendra memutuskan duduk dan bergabung di sana dengan mereka. "Lanjutkan saja. Aku akan mendengarkan dan ikut bicara jika perlu.""Ini juga masalah yang perlu kamu ketahui, suamiku," ucap Mia.Rendra menjadi semakin penasaran. Sebenarnya apa yang sedang terjadi saat ini? Bisa-bisanya dia tidak tahu
Addyson tengah berjalan cemas di ruang kerjanya. Sejak ia bicara dengan Argan di telepon, perasaannya dihantui ketakutan. Bagaimana ia bisa menghadapi keluarga Alfred? Addyson tidak pernah ingin memiliki masalah dengan keluarga itu. Ia bisa hancur oleh mereka hanya dalam sekejap. Mereka terlalu berbahaya untuk disinggung. Sialnya, ia justru terjebak situasi ini karena kecerobohannya sendiri. Addy menyesal meminta bantuan putrinya yang kini menyandang status sebagai istri Argan. Jika ia tahu di sana ada pria itu, Addy tidak akan menghubungi Aliya.Argan bahkan mendengar bagaimana Addy mencaci maki putrinya, menyebutnya dengan kata 'sialan'. Addy bahkan menyuruh putrinya sendiri menjilat keluarga suaminya.Addyson meremas rambutnya frustasi. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana ia harus menghadapi situasi ini. Sikap buruknya terbongkar di depan mata. Argan dengan jelas melihat bagaimana ia memperlakukan Aliya. Addyson yakin pria itu tidak akan terima. Karena Addyson tahu, saat ini pria
Aliya terlihat bingung saat Argan tiba-tiba menariknya untuk duduk di ranjang."Ada apa?" tanyanya. Dia merasa Argan memiliki sesuatu yang ingin ia bicarakan padanya."Ini tentang ayahmu," ucap Argan. Sekilas, ia bisa melihat raut wajah tegang istrinya. Setakut itukah ia jika Argan mengetahui masalahnya?Argan menghela napas berat. "Jika kamu memang tidak ingin menceritakannya padaku, aku tidak akan memaksa."Argan berusaha mengerti. Dia tidak ingin memaksa istrinya. Perasaan istrinya adalah prioritas utama. Jika Argan berhasil mendapatkan apa yang ia mau tapi hal itu membuat istrinya tertekan, apa gunanya? Tujuan Argan melakukan semua ini justru adalah untuk kebahagiaan istrinya. Akan terasa sia-sia jika sejak awal Aliya memang tidak mengharapkan Argan melakukan apapun."Bukan seperti itu." Aliya membantah. Dia tidak ingin Argan berpikir yang tidak benar tentangnya. Dengan cepat ia menjelaskan, "Aku hanya akan merasa bersalah jika melibatkanmu. Sejujurnya, aku tidak ingin membuatmu r
Sesaat, Aliya mematung kala melihat orang tuanya di rumah itu. Dia tidak mengira akan keberadaan mereka di sini. Apakah ini ada hubungannya dengan masalah yang terjadi saat ini?Kepala Aliya dipenuhi oleh pertanyaan. Ia bingung. Tapi entah pada siapa harus bertanya.Lalu, seseorang menyentuh pundaknya. Aliya menoleh, melihat Argan yang tersenyum kecil padanya. Pria itu mengajak Aliya untuk turun ke bawah untuk menemui orang tua mereka."Lihatlah siapa yang datang, sayang."Suara Argan berhasil menarik atensi keempat orang di sana. Mereka menoleh bersamaan ke arahnya."Bukankah ini orang tuamu? Sepertinya mereka merindukanmu sampai-sampai datang ke sini," ucap Argan, menatap istrinya yang ia rangkul dengan mesra. "Bagaimana perasaanmu, sayang? Apa kamu senang?"Aliya tidak menjawab. Dia bingung melihat sikap Argan yang sedikit aneh. Pria itu seperti sengaja bersikap berbeda, tapi Aliya tidak tahu apa maksudnya."Kamu tidak mau menjawabnya?" tanya Argan lagi.Perlahan, senyum kaku teruk
Perasaan Kirana menjadi gelisah. Ia baru menyadari jika ia dan suaminya diundang ke sini hanya untuk dipertanyakan tentang bagaimana mereka memperlakukan Aliya selama ini.Kirana mengakui ia adalah ibu yang buruk untuk putrinya itu. Tapi, ia sudah memutuskan untuk berubah. Kirana tidak akan lagi mengulang kesalahan yang sama. Dia akan lebih memperhatikan Aliya. Terlebih, karena Alison yang ia manjakan selama ini justru malah memberi kekecewaan pada mereka.Kirana baru menyadari jika Aliya putrinya, jauh lebih baik. Dia lebih pantas mendapatkan semua perhatian itu.Namun sulit bagi Kirana menunjukkan kasih sayangnya saat ini. Karena status Aliya yang sudah berubah. Putrinya itu juga tidak lagi tinggal di rumah yang sama dengannya. Dia membangun keluarga sendiri dengan Argan. Meski begitu, Kirana tetap akan menyambut hangat tiap kali putrinya itu datang menemuinya. Sayangnya, semua tidak pernah berakhir baik. Ada saja masalah yang terjadi. Sedikit saja ia atau suaminya melakukan kesalah
Argan tidak tahu bagaimana bisa istrinya berada di sini. Saat Argan keluar, dia bertemu dengan istrinya yang tengah berkacak pinggang dan menatapnya dengan tajam."Jelaskan padaku!" tegas Aliya."Itu ...." Argan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia sedikit tidak mengerti di bagian mana ia harus menjelaskan."Argan!" pekik Aliya. Dia tidak mau menunggu terlalu lama untuk mendengarkan pria itu bicara. "Cepat jelaskan apa yang kamu lakukan pada Alison! Aku melihatnya menangis tadi.""Ini tidak seperti yang kamu pikir, sayang." Argan menjelaskan dengan hati-hati. "Sebenarnya, tapi kami hanya membicarakan tentang masa lalu. Alison meminta maaf padaku. Karena dia menangis, aku tidak tega dan segera memeluknya. Jangan cemburu.""Aku tidak cemburu!" tukas Aliya menyangkal."Oke. Oke. Aku akan memeluknya lebih sering."Aliya seketika melotot padanya. Argan meringis kecil."Aku bercanda, sayang."Apakah ini saat yang tepat untuk itu? Aliya melengos malas. Meski Alison adalah adikn
Alison baru akan menjenguk ibunya yang masih berada di rumah sakit. Tapi di salah satu koridor dia bertemu dengan Argan. Pria itu berhenti saat menyadari kehadirannya."Dimana kakakku?" tanya Alison. Dia tidak melihat sosok Aliya di dekat Argan. "Apakah dia tidak ikut?""Tidak. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Argan. Pria itu berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Alison. "Apakah kamu melarikan diri lagi dari suamimu?""Tentu saja tidak," tukas Alison. Dia merenggut. "Max tahu aku datang ke sini. Aku juga sudah meminta ijin padanya.""Itu bagus." Pria itu tampak menganggukkan kepalanya. "Memang sebaiknya kamu meminta ijin pada suamimu saat ingin pergi kemana pun.""Ku dengar kamu memiliki masalah." Karena bertemu Argan, Alison jadi teringat tentang masalah yang dibicarakan Max kemarin. "Apakah terjadi sesuatu pada Aliya?""Apakah kamu peduli?" Argan tersenyum sinis. "Bukankah kamu senang setiap Aliya celaka?""Aku tidak ingin ribut denganmu sekarang," decak Alison. Walau s
Saat ini Alison tengah menikmati makan malam dengan Max di rumah mereka. Tidak ada lagi suasana dingin dan menyesakkan. Hari yang mereka lalui menjadi semakin baik. Terlebih, setelah mereka pindah ke rumah ini."Apa kamu dengar? Katanya keluarga Alfred tengah menghukum seseorang." Max memecah suasana hening di meja makan. Sesekali ia memang akan mengajak istrinya bicara di saat makan kala ia mengingat sesuatu yang ingin ia katakan. Dan berita yang ia dengar ini cukup menarik menurutnya."Menghukum seseorang?" Alison mengernyit. Mulutnya masih bergerak karena makanan yang ia kunyah. "Siapa?""Ku dengar itu salah satu teman Aliya.""Rasanya tidak mungkin." Alison mendengus geli. Ia mengenal dengan baik bagaimana sifat Aliya. Dia mana tega membiarkan temannya sendiri dihukum? Terlebih oleh keluarga Alfred."Sungguh. Aku tidak berbohong."Max bahkan langsung memeriksa kebenaran itu. Bukan karena penasaran, tapi ia jelas harus memastikan berita itu sebelum benar-benar menyampaikannya pada
Sejak tadi Aliya menunggu dengan gelisah. Ia khawatir jika kejadian ini akan menjadi masalah besar. Bagaimana jika polisi menangkap suaminya? Aliya tidak ingin itu terjadi. Apalagi saat ini Aliya sedang dalam keadaan hamil. Ia ingin suaminya ada menemani selama anak ini tumbuh dalam perutnya. Aliya ingin suaminya ada saat anak ini lahir ke dunia."Tenanglah, sayang." Mia sudah mengingatkan beberapa kali pada menantunya itu untuk tidak cemas, tapi Aliya tetap saja khawatir. Dia berjalan bolak balik di dekat sofa, menggigit ujung kukunya dengan gelisah. "Percaya pada ibu. Argan akan bisa menangani masalah ini. Bahkan ayah mertuamu juga ada di sana, kan? Semua akan baik-baik saja.""Aku tidak bisa berhenti cemas, Ibu. Sebelum aku tahu jika suamiku memang tidak kenapa-napa," ucap Aliya."Masalah seperti ini biasa terjadi." Mia meminum tehnya dengan santai. Dia tidak terlihat cemas sedikit pun. Berbeda sekali dengan Aliya. "Kamu tahu sendiri kan bagaimana keluarga kami? Kami tidak akan mem
"Bu, Aliya mana?"Mia menoleh kala mendengar suara putranya bertanya. Tampak Argan yang berdiri di depannya dengan wajah mengantuk. Sepertinya dia baru bangun tidur."Tadi dia meminta ijin untuk keluar sebentar. Katanya ada yang harus ia beli di supermarket."Kedua mata Argan terbuka sempurna. Rasa kantuk sebelumnya kini seolah lenyap seketika."Kenapa Ibu mengijinkannya?!" tanya Argan kesal. "Apa Ibu lupa jika Aliya sedang hamil?""Dia hanya ke supermarket yang ada di seberang jalan. Kenapa kamu begitu khawatir?" balas Mia mengernyit heran.Argan berdecak. Ibunya sama sekali tidak mengerti. Argan kembali ke kamarnya hanya untuk membasuh muka dan menggosok gigi dengan cepat. Dia mengganti pakaian dan bergegas pergi setelah selesai."Argan, kamu mau kemana?" tanya Mia kala melihat putranya itu melintas."Mencari istriku.""Anak itu." Mia menggelengkan kepalanya. "Padahal Aliya hanya ke supermarket. Kenapa dia khawatir begitu?"Argan bergegas ke supermarket yang dimaksud ibunya. Dia mas
Alison benci saat air mata di wajahnya tidak mau berhenti. Padahal ia bukan perempuan cengeng sejak dulu. Dia bisa mencaci siapa saja yang sudah membuatnya marah atau menyakitinya. Tapi yang Alison lakukan justru pergi dan bersembunyi hanya untuk menangis di kamarnya sendirian."Semua pria sama saja," rutuknya. Air matanya masih saja tidak mau berhenti. Sebanyak apapun Alison menghapusnya, ia tetap mengalir dengan deras. "Max sialan! Seharusnya aku tahu dia brengsek sejak dulu. Bodohnya aku sempat tertipu dengan semua kata-katanya. Pembohong!"Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Di sana Max berdiri dengan keadaan berantakan. Napasnya terengah-engah. Dia menjatuhkan bunga yang dipegangnya. Lalu berjalan ke arah Alison yang duduk di samping ranjang sembari memeluk lututnya.Saat Max semakin mendekat, Alison memalingkan wajah ke arah lain. Dia enggan melihat pria itu."Aku datang ke kampusmu untuk menjemputmu. Kenapa kamu pergi lebih dulu?" tanya Max."Aku tidak tahu." Alison menjawab dengan
Hari ini Alison kembali masuk kuliah. Dia bersama Sofia tengah berada di kantin, menikmati makanan kecil sebelum kembali mengikuti kelas."Alison, apakah kamu masih berminat untuk menyewa orang?" tanya Sofia.Alison terpaku sesaat. Karena semua masalah besar yang terjadi, ia bahkan melupakan kebencian yang ia miliki pada Aliya, dan tentang Argan juga.Alison juga tidak menyangka ia bisa berseteru kecil dengan pria itu di rumah sakit seperti dua bocah yang bertengkar. Jika diingat kembali, dirinya sangat kekanakan, bukan? Alison hanya tidak suka pada Argan yang sering mengejeknya. Dan dia yang banyak bersikap manja pada Aliya, padahal badannya sudah besar. Maka dari itu Alison mengejeknya dengan sebutan 'bayi besar'."Aku lupa," balas Alison mengedikkan bahunya. "Untuk sekarang sepertinya tidak, Sofia.""Kenapa?!" pekik Sofia, kecewa. Padahal dia sudah menanti apa yang akan dilakukan Alison kali ini. Sofia yakin, jika Alison berani melakukan rencana ini, dia akan berakhir di penjara de
Ini pagi pertama bagi Max dan Alison di rumah baru mereka. Suasana pagi menyambut hangat keduanya. Jika bukan karena jam wacker yang berdering, mereka mungkin tidak akan terbangun saking nyenyaknya tidur."Aku suka suasana pagi ini," ucap Alison baru selesai membersihkan diri. Masih dengan bathrobe di tubuhnya, perempuan itu merentangkan tangannya sembari memejamkan mata di halaman belakang, menikmati udara segar."Sayang, apa kamu melihat kemejaku?" tanya Max mengacaukan kegiatan Alison.Perempuan itu menurunkan tangannya dan mendengus. Dia pun segera menemui suaminya yang baru saja berteriak itu.Saat tiba di kamar, Alison melihat pria itu tengah menggaruk belakang kepalanya, menghadap ke lemari. Dia terlihat bingung menatap jejeran pakaian di depannya."AL-"Max yang baru hendak kembali berseru, seketika mengatupkan mulutnya saat melihat keberadaan istrinya yang berdiri di ambang pintu sembari bersedekap.Bukannya terlihat menakutkan, saat ini istrinya justru terlihat sexy. Damn!A
Alison turun dari mobil, dia menatap rumah yang berdiri di depannya saat ini. Apakah ini akan menjadi tempat tinggal barunya yang bersama Max? Alison sedikit tak percaya jika ayah mertuanya akan menyiapkan semua ini. Padahal Alison sudah siap untuk menerima kemungkinan terburuk. Atas tindakan beraninya tadi, ia pikir akan ditendang dan dipaksa untuk bercerai."Max, apakah ayah marah?" tanya Alison khawatir. Tujuannya pindah ke rumah ini masih dipertanyakan. Meski Max berkata jika ini memang keinginannya dan ayahnya juga sudah memberi ijin, tetap saja Alison tidak bisa bercaya begitu mudahnya. "Apa sebenarnya kita diusir?""Bicara apa kamu ini?" Max terkekeh kecil. Dia menggelengkan kepalanya.Apa Alison khawatir dengan tindakannya sebelumnya? Bukankah tadi dia begitu berani seperti tidak takut akan resiko yang akan ia terima? Lantas kenapa sekarang dia menciut ketakutan?"Ayahku tidak marah sama sekali. Dia tampaknya merasa bersalah." Max mengatakan apa yang ia pikirkan. Ayahnya meman