Aliya tidak bisa menahan perasaan cemburu di dadanya. Sejak Alison datang, adiknya itu langsung memeluk Argan tanpa memperdulikan ia di sana. Perasaan Aliya terasa terbakar. Terlebih, ketika melihat tangan Alison yang memeluk lengan Argan. Sebisa mungkin Aliya bersikap abai, bahkan meski suami Alison datang dan menginterupsi mereka. Tak sekali pun Aliya menolehkan kepala pada mereka. Ia memilih tetap diam sembari memainkan makanannya. Hal itu lebih baik dari pada ia harus melihat bagaimana Alison dan Argan saat ini."Sayang, apa kamu baik-baik saja?" Argan merasa cemas. Sejak meninggalkan restoran, istrinya hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Argan terus berpikir apa yang menjadi masalah? Apakah ia sudah membuat kesalahan tanpa ia sadari?"Jangan mengajakku bicara," pinta Aliya tanpa mengalihkan pandangannya dari pemandangan yang ia lihat dari jendela mobil."Apa aku melakukan kesalahan?" tanya Argan hati-hati."Turuti saja apa yang aku katakan," tegur Aliya. Dia be
Malam ini Argan membiarkan istrinya tertidur dengan lelap. Setelah mendengar apa yang Argan katakan sebelumnya, istrinya itu menangis memeluknya. Aliya tak mengatakan apapun, hingga ia tertidur karena lelah menangis.Argan menyelimuti istrinya itu hingga sebatas dada. Lalu meninggalkan kecupan hangat di keningnya. Dengan perlahan Argan turun dari ranjang. Lalu ia berjalan meninggalkan kamarnya."Apa menantuku baik-baik saja?"Argan terperanjat. Dia mengusap dadanya yang masih berdebar akibat terkejut. Ibunya tiba-tiba saja muncul di depannya dan bertanya."Ibu mengagetkanku," rutuk Argan. Ia bahkan tidak tahu kapan ibunya datang.Mia hanya memutar bola matanya. Dia tidak melakukan apapun, hanya bertanya seperti itu pada putranya. Dimana letak kesalahannya?"Jawab saja pertanyaan ibu. Apa Aliya baik-baik saja?" tanya Mia mendesak."Istriku baik-baik saja. Dia sudah tidur saat ini," jawab Argan seadanya. "Kenapa Ibu ada di sini? Dimana ayah?""Ayahmu sedang di ruang tengah. Seperti bias
"ADA APA INI?!"Morgan begitu murka melihat keributan yang terjadi di rumahnya. Dengan kasar ia menarik istrinya yang masih belum berhenti memberi cakaran pada punggung putra mereka."Lepaskan aku! Biarkan aku memberi pelajaran pada mereka!" Carla meronta tidak terima ketika Morgan menjauhkannya dari Max. Emosinya masih belum mereka. Ia perlu melakukan sesuatu untuk meluapkannya. "Lepas!"Plak!Wajah Carla tertoreh ke samping. Dia seketika membeku tak percaya. Tangannya memegang pipinya yang terasa panas. Lalu dengan kedua mata yang berkaca-kaca, dia menatap suaminya."Apa kamu sudah kehilangan akal?" Morgan bicara dengan suara tertahan. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa istrinya bertingkah seperti ini? Di depan para pekerja di rumahnya dia bertindak liar. Melukai putra dan menantunya sendiri. Perempuan bodoh itu baru saja mempermalukan dirinya sendiri."Ini bukan salahku! Ini salah perempuan jalang itu!" pekik Carla, menunjuk Alison dengan emosi."Aku dan suamiku hanya keluar untu
Alison terusik kala suara ketukan pintu terdengar begitu keras di kamarnya. Tidurnya jadi terganggu. Padahal ia baru tidur dari jam dua pagi.Ketika melihat Max keluar dari kamar mandi, ia segera menegurnya."Cepat keluar dan suruh orang itu berhenti mengetuk pintu!" seru Alison. Perempuan itu kembali menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia masih sangat mengantuk saat ini. Ia tidak ingin diganggu.Max menghela napas. Setelah selesai mengenakan pakaiannya, ia pun membuka pintu. Tampak ibunya berdiri di depannya dengan ekspresi marah."Mana menantu tidak berguna itu? Hari ini dia harus bangun pagi. Dasar pemalas. Dia harus membantu para pelayan di dapur," cecar Carla. Dia berusaha melihat ke dalam, mencari keberadaan sosok menantunya."Alison sedang tidak begitu sehat, Bu. Saat ini ia sedang istirahat," jelas Max."Halah, jangan beralasan kamu!" Carla sama sekali tidak percaya. "Istrimu itu hanya malas. Karena itu dia berdalih supaya lepas dari kewajibannya.""Ibu, tolonglah."Ini
Aliya terbangun kala ia merasakan seseorang mengecup keningnya. Meski terkesan lembut, tetap saja membuat tidurnya terganggu. Perlahan, kedua matanya terbuka. Ia melihat Argan di depannya. Pria itu mengusap kepalanya dengan sayang."Argan?" Aliya membangunkan tubuhnya. Ia duduk di ranjang, mengusap matanya dengan tangan. "Jam berapa ini?""Jam tujuh pagi," jawab Argan seadanya.Aliya tercenung. Pantas saja saat ini Argan sudah rapi dengan pakaian kantornya. Ternyata hari sudah siang. Tapi Aliya justru baru bangun di saat para penghuni rumah yang lain sudah memulai aktifitas mereka sejak tadi pagi."Aku bangun kesiangan," gumamnya cemas."Tidak masalah. Kamu bahkan bisa tidur lagi jika kamu mau," ucap Argan. Ia tidak akan melarang istrinya jika ingin bermalas-malasan. Lagipula, saat ini istrinya itu tengah mengandung. Dia memang tidak boleh kelelahan."Tidak mau. Aku ingin bangun," balas Aliya.Terlalu banyak tidur juga membuatnya tidak nyaman. Ia akan merasakan pegal di tubuhnya dan r
Aliya sejak kecil sering kali tersisihkan. Ia melihat bagaimana orang tuanya menyayangi Alison dengan penuh kasih sayang, melihat mereka bermain bersamanya dengan tawa riang, bahkan terkadang berpelukan layaknya keluarga bahagia.Aliya sering kali dilupakan, padahal ia lahir di saat yang sama dengan Alison. Namun entah kenapa sejak dulu keberadaannya seolah dianggap transparan. Ia hanya bayangan Alison yang hanya bisa melihat bagaimana saudara kembarnya itu tumbuh dengan bahagia.Kadang Aliya menangis, dia juga manusia biasa, dia hanya anak kacil yang juga menginginkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua. Ia juga ingin seperti Alison. Tapi sesaat kemudian ia sadar, tak seharusnya ia memiliki pemikiran seperti itu. Diabaikan itu tidak menyenangkan. Kurang kasih sayang itu menyesakkan. Setidaknya ... setidaknya Alison tidak merasakan hal yang sama dengannya. Ya, benar. Itulah yang menjadi prinsip hidup Aliya selama ini.Selama adiknya hidup dengan bahagia, ia tidak keberatan menja
"Kirana! Kirana!"Addy berseru memanggil istrinya dengan suara keras. Tidak lama, wanita yang ia tunggu akhirnya muncul dan mendekatinya."Ada apa? Kenapa harus berteriak?" tanya Kirana tak senang. Ia sempat kaget mendengar seruan suaminya itu. Tidak bisakah dia memanggil dengan nada yang biasa? Kenapa harus berteriak? Padahal mereka berada di rumah. Tidak perlu menggunakan suara keras untuk memanggilnya."Kenapa pengeluaran tiap bulan semakin membengkak, Kirana? Sebenarnya apa saja yang kamu beli?" tanya Addyson marah. Dia sudah berusaha bersabar saat melihat nominal pengeluaran yang bertambah di tiap bulan. Tapi semakin dibiarkan, pengeluaran tiap bulannya bahkan nyaris membuat ia terkena serangan jantung."Aku tidak belanja apapun. Bahkan alat riasku saja belum ada yang baru!" balas Kirana kesal. Kenapa suaminya malah menyalahkannya jika pengeluaran menjadi lebih besar dari sebelumnya? Bukankah itu urusannya sendiri? Kirana hanya tinggal menerima uang yang menjadi haknya."Kenapa t
Aliya tidak tahu jika Argan menyadap handphone miliknya. Obrolan yang istrinya itu lakukan dengan ayahnya semua didengar pula oleh Argan. Saat ini ia tengah berusaha menahan emosinya mengetahui bagaimana Addy berusaha memeras putrinya sendiri. Kata-katanya tadi sungguh tidak pantas diucapkan oleh seorang ayah pada anaknya. Pantas saja Aliya tidak pernah bahagia saat bersama keluarganya. Ayahnya saja seperti itu."Orang tua itu benar-benar tidak tahu malu," desis Argan.Dia mengambil handphone-nya. Argan menghubungi salah satu anak buahnya."Beritahu aku jika istriku melakukan transaksi," titah Argan. "Jika bisa, jangan sampai ia berhasil. Tahan uang yang hendak ia kirimkan."Argan tidak akan membiarkan Addy menerima uang dari Aliya. Argan juga yakin, jika pun bisa memberikan uang pada ayahnya, istrinya tidak akan meminta padanya. Ia pasti akan berusaha sendirian.Karena alasan itulah, Argan tidak rela jika Addy menerima uang itu."Itu mudah, bos. Akan segera aku lakukan," balas Luc.A
Argan tidak tahu bagaimana bisa istrinya berada di sini. Saat Argan keluar, dia bertemu dengan istrinya yang tengah berkacak pinggang dan menatapnya dengan tajam."Jelaskan padaku!" tegas Aliya."Itu ...." Argan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia sedikit tidak mengerti di bagian mana ia harus menjelaskan."Argan!" pekik Aliya. Dia tidak mau menunggu terlalu lama untuk mendengarkan pria itu bicara. "Cepat jelaskan apa yang kamu lakukan pada Alison! Aku melihatnya menangis tadi.""Ini tidak seperti yang kamu pikir, sayang." Argan menjelaskan dengan hati-hati. "Sebenarnya, tapi kami hanya membicarakan tentang masa lalu. Alison meminta maaf padaku. Karena dia menangis, aku tidak tega dan segera memeluknya. Jangan cemburu.""Aku tidak cemburu!" tukas Aliya menyangkal."Oke. Oke. Aku akan memeluknya lebih sering."Aliya seketika melotot padanya. Argan meringis kecil."Aku bercanda, sayang."Apakah ini saat yang tepat untuk itu? Aliya melengos malas. Meski Alison adalah adikn
Alison baru akan menjenguk ibunya yang masih berada di rumah sakit. Tapi di salah satu koridor dia bertemu dengan Argan. Pria itu berhenti saat menyadari kehadirannya."Dimana kakakku?" tanya Alison. Dia tidak melihat sosok Aliya di dekat Argan. "Apakah dia tidak ikut?""Tidak. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Argan. Pria itu berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Alison. "Apakah kamu melarikan diri lagi dari suamimu?""Tentu saja tidak," tukas Alison. Dia merenggut. "Max tahu aku datang ke sini. Aku juga sudah meminta ijin padanya.""Itu bagus." Pria itu tampak menganggukkan kepalanya. "Memang sebaiknya kamu meminta ijin pada suamimu saat ingin pergi kemana pun.""Ku dengar kamu memiliki masalah." Karena bertemu Argan, Alison jadi teringat tentang masalah yang dibicarakan Max kemarin. "Apakah terjadi sesuatu pada Aliya?""Apakah kamu peduli?" Argan tersenyum sinis. "Bukankah kamu senang setiap Aliya celaka?""Aku tidak ingin ribut denganmu sekarang," decak Alison. Walau s
Saat ini Alison tengah menikmati makan malam dengan Max di rumah mereka. Tidak ada lagi suasana dingin dan menyesakkan. Hari yang mereka lalui menjadi semakin baik. Terlebih, setelah mereka pindah ke rumah ini."Apa kamu dengar? Katanya keluarga Alfred tengah menghukum seseorang." Max memecah suasana hening di meja makan. Sesekali ia memang akan mengajak istrinya bicara di saat makan kala ia mengingat sesuatu yang ingin ia katakan. Dan berita yang ia dengar ini cukup menarik menurutnya."Menghukum seseorang?" Alison mengernyit. Mulutnya masih bergerak karena makanan yang ia kunyah. "Siapa?""Ku dengar itu salah satu teman Aliya.""Rasanya tidak mungkin." Alison mendengus geli. Ia mengenal dengan baik bagaimana sifat Aliya. Dia mana tega membiarkan temannya sendiri dihukum? Terlebih oleh keluarga Alfred."Sungguh. Aku tidak berbohong."Max bahkan langsung memeriksa kebenaran itu. Bukan karena penasaran, tapi ia jelas harus memastikan berita itu sebelum benar-benar menyampaikannya pada
Sejak tadi Aliya menunggu dengan gelisah. Ia khawatir jika kejadian ini akan menjadi masalah besar. Bagaimana jika polisi menangkap suaminya? Aliya tidak ingin itu terjadi. Apalagi saat ini Aliya sedang dalam keadaan hamil. Ia ingin suaminya ada menemani selama anak ini tumbuh dalam perutnya. Aliya ingin suaminya ada saat anak ini lahir ke dunia."Tenanglah, sayang." Mia sudah mengingatkan beberapa kali pada menantunya itu untuk tidak cemas, tapi Aliya tetap saja khawatir. Dia berjalan bolak balik di dekat sofa, menggigit ujung kukunya dengan gelisah. "Percaya pada ibu. Argan akan bisa menangani masalah ini. Bahkan ayah mertuamu juga ada di sana, kan? Semua akan baik-baik saja.""Aku tidak bisa berhenti cemas, Ibu. Sebelum aku tahu jika suamiku memang tidak kenapa-napa," ucap Aliya."Masalah seperti ini biasa terjadi." Mia meminum tehnya dengan santai. Dia tidak terlihat cemas sedikit pun. Berbeda sekali dengan Aliya. "Kamu tahu sendiri kan bagaimana keluarga kami? Kami tidak akan mem
"Bu, Aliya mana?"Mia menoleh kala mendengar suara putranya bertanya. Tampak Argan yang berdiri di depannya dengan wajah mengantuk. Sepertinya dia baru bangun tidur."Tadi dia meminta ijin untuk keluar sebentar. Katanya ada yang harus ia beli di supermarket."Kedua mata Argan terbuka sempurna. Rasa kantuk sebelumnya kini seolah lenyap seketika."Kenapa Ibu mengijinkannya?!" tanya Argan kesal. "Apa Ibu lupa jika Aliya sedang hamil?""Dia hanya ke supermarket yang ada di seberang jalan. Kenapa kamu begitu khawatir?" balas Mia mengernyit heran.Argan berdecak. Ibunya sama sekali tidak mengerti. Argan kembali ke kamarnya hanya untuk membasuh muka dan menggosok gigi dengan cepat. Dia mengganti pakaian dan bergegas pergi setelah selesai."Argan, kamu mau kemana?" tanya Mia kala melihat putranya itu melintas."Mencari istriku.""Anak itu." Mia menggelengkan kepalanya. "Padahal Aliya hanya ke supermarket. Kenapa dia khawatir begitu?"Argan bergegas ke supermarket yang dimaksud ibunya. Dia mas
Alison benci saat air mata di wajahnya tidak mau berhenti. Padahal ia bukan perempuan cengeng sejak dulu. Dia bisa mencaci siapa saja yang sudah membuatnya marah atau menyakitinya. Tapi yang Alison lakukan justru pergi dan bersembunyi hanya untuk menangis di kamarnya sendirian."Semua pria sama saja," rutuknya. Air matanya masih saja tidak mau berhenti. Sebanyak apapun Alison menghapusnya, ia tetap mengalir dengan deras. "Max sialan! Seharusnya aku tahu dia brengsek sejak dulu. Bodohnya aku sempat tertipu dengan semua kata-katanya. Pembohong!"Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Di sana Max berdiri dengan keadaan berantakan. Napasnya terengah-engah. Dia menjatuhkan bunga yang dipegangnya. Lalu berjalan ke arah Alison yang duduk di samping ranjang sembari memeluk lututnya.Saat Max semakin mendekat, Alison memalingkan wajah ke arah lain. Dia enggan melihat pria itu."Aku datang ke kampusmu untuk menjemputmu. Kenapa kamu pergi lebih dulu?" tanya Max."Aku tidak tahu." Alison menjawab dengan
Hari ini Alison kembali masuk kuliah. Dia bersama Sofia tengah berada di kantin, menikmati makanan kecil sebelum kembali mengikuti kelas."Alison, apakah kamu masih berminat untuk menyewa orang?" tanya Sofia.Alison terpaku sesaat. Karena semua masalah besar yang terjadi, ia bahkan melupakan kebencian yang ia miliki pada Aliya, dan tentang Argan juga.Alison juga tidak menyangka ia bisa berseteru kecil dengan pria itu di rumah sakit seperti dua bocah yang bertengkar. Jika diingat kembali, dirinya sangat kekanakan, bukan? Alison hanya tidak suka pada Argan yang sering mengejeknya. Dan dia yang banyak bersikap manja pada Aliya, padahal badannya sudah besar. Maka dari itu Alison mengejeknya dengan sebutan 'bayi besar'."Aku lupa," balas Alison mengedikkan bahunya. "Untuk sekarang sepertinya tidak, Sofia.""Kenapa?!" pekik Sofia, kecewa. Padahal dia sudah menanti apa yang akan dilakukan Alison kali ini. Sofia yakin, jika Alison berani melakukan rencana ini, dia akan berakhir di penjara de
Ini pagi pertama bagi Max dan Alison di rumah baru mereka. Suasana pagi menyambut hangat keduanya. Jika bukan karena jam wacker yang berdering, mereka mungkin tidak akan terbangun saking nyenyaknya tidur."Aku suka suasana pagi ini," ucap Alison baru selesai membersihkan diri. Masih dengan bathrobe di tubuhnya, perempuan itu merentangkan tangannya sembari memejamkan mata di halaman belakang, menikmati udara segar."Sayang, apa kamu melihat kemejaku?" tanya Max mengacaukan kegiatan Alison.Perempuan itu menurunkan tangannya dan mendengus. Dia pun segera menemui suaminya yang baru saja berteriak itu.Saat tiba di kamar, Alison melihat pria itu tengah menggaruk belakang kepalanya, menghadap ke lemari. Dia terlihat bingung menatap jejeran pakaian di depannya."AL-"Max yang baru hendak kembali berseru, seketika mengatupkan mulutnya saat melihat keberadaan istrinya yang berdiri di ambang pintu sembari bersedekap.Bukannya terlihat menakutkan, saat ini istrinya justru terlihat sexy. Damn!A
Alison turun dari mobil, dia menatap rumah yang berdiri di depannya saat ini. Apakah ini akan menjadi tempat tinggal barunya yang bersama Max? Alison sedikit tak percaya jika ayah mertuanya akan menyiapkan semua ini. Padahal Alison sudah siap untuk menerima kemungkinan terburuk. Atas tindakan beraninya tadi, ia pikir akan ditendang dan dipaksa untuk bercerai."Max, apakah ayah marah?" tanya Alison khawatir. Tujuannya pindah ke rumah ini masih dipertanyakan. Meski Max berkata jika ini memang keinginannya dan ayahnya juga sudah memberi ijin, tetap saja Alison tidak bisa bercaya begitu mudahnya. "Apa sebenarnya kita diusir?""Bicara apa kamu ini?" Max terkekeh kecil. Dia menggelengkan kepalanya.Apa Alison khawatir dengan tindakannya sebelumnya? Bukankah tadi dia begitu berani seperti tidak takut akan resiko yang akan ia terima? Lantas kenapa sekarang dia menciut ketakutan?"Ayahku tidak marah sama sekali. Dia tampaknya merasa bersalah." Max mengatakan apa yang ia pikirkan. Ayahnya meman