Alison mencoba peruntungannya. Dia berusaha menghubungi Argan kembali. Kali ini, untungnya panggilannya bisa tersambung. Alison menahan senyum, menunggu panggilannya dijawab dengan tidak sabar.Sementara Argan melirik handphone-nya yang bergetar di atas meja. Ada nama Alison di sana.Argan meraih benda persegi itu dan nemutuskan untuk menjawab panggilan dari Alison."Argan!" Alison memekik kegirangan. Dia tidak menyangka kali ini Argan akan mau menerima panggilan darinya."Ada apa?" tanya Argan dingin. Dia hanya memberi sedikit kesempatan pada Alison. Jika perempuan itu bicara hal yang tidak penting, maka ia tidak akan segan memblokir nomornya lagi."Aku ... hanya ingin mendengar suaramu," ucap Alison lirih. Dia merindukan sikap lembut Argan padanya. Setelah memutuskan hubungan mereka, sikap Argan menjadi dingin padanya. Seolah ia di sini hanyalah orang lain. Padahal Alison pernah menjadi seseorang yang sangat dipentingkan oleh pria itu. Kenapa semudah itu semua keadaan berubah? Tidak
Kyle datang ke kampus tempat Gina menimba ilmu. Dia baru sampai dan menghentikan mobilnya di dekat gerbang. Tapi pandangannya menangkap seseorang yang tak asing. Wajah Kyle menjadi tidak senang. Dia bergegas keluar dan mendekati orang itu.Tanpa aba-aba, dia menarik pundak orang itu dengan kasar."Untuk apa kamu datang kemari?"Orang itu terkejut. Dia tidak menduga jika ia akan bertemu dengan pria yang waktu itu mengaku sebagai calon suami Gina."Tentu saja menjemput kekasihku.""Seingatku, Alison tidak kuliah di kampus ini."Max berdecih. Dia tidak tahu dari mana orang itu mengetahui tentang ia dan Alison. Tapi hingga sekarang, Max enggan mengakuinya meski ia sudah akan menikah dengan perempuan itu."Aku menunggu Gina.""Untuk apa menunggu calon istriku?" tanya Kyle, menatap Max dengan dingin. Dia sudah menduga sejak awal. Dia hanya bertanya untuk memastikan. Ternyata Max sama sekali tidak berusaha menutupi niatnya untuk menemui Gina. Padahal kemarin, Kyle sudah memberikannya peringa
Aliya mengangkat wajahnya ketika mendengar suara kursi di depannya bergeser. Wajahnya seketika berubah kaku saat menyadari orang yang kini menempati kursi di depannya adalah Nial."Tidak keberatan aku duduk di sini?"Aliya mengukir senyum kaku. Pria itu bahkan sudah duduk sebelum ia bertanya. Jadi, untuk apa Aliya menjawab?"Bagaimana kabarmu, Ay?" tanya Nial. Sejak Aliya menikah, ia jadi jarang ikut berkumpul bersama teman-temannya yang lain. Perempuan itu hanya mengikuti kelas dan lekas pulang setelah selesai. Paling-paling dia hanya berkumpul bersama tiga sahabatnya di kantin saat istirahat. Itu pun tidak lama.Semakin sulit bagi Nial untuk mencari waktu supaya bisa menyapa dan mengajaknya berbincang."Aku baik," jawab Aliya, seadanya."Ku dengar Alison akan menikah. Apakah itu benar?""Ya. Dari mana kamu tahu?" Aliya merasa bingung. Ia sendiri baru mengetahuinya saat berkunjung ke rumah dua hari lalu. Bagaimana bisa berita itu menyebar dengan cepat?"Undangannya sudah disebar. Ora
"Bagaimana?"Aliya terkesiap saat Argan memeluknya tiba-tiba dari belakang. Tapi, perlahan dia mulai terbiasa. Pelukan Argan justru terasa begitu nyaman."Bagaimana apanya?" balas Aliya tidak mengerti"Tentang pesta pernikahan itu, yang mana yang ingin kamu datangi?"Karena pesta pernikahan Alison dan Gina diadakan bersamaan, mereka harus memilih salah satunya. Mungkin mereka bisa saja mendatangi keduanya, tapi itu jika Aliya tidak lelah."Aku akan mendatangi keduanya. Tapi pertama, pesta Gina yang akan aku datangi," ucap Aliya menjawab. Gina adalah sahabatnya. Selain itu, Alison tidak akan mengharapkan kehadiran dirinya sebesar Gina. Karena itu, Aliya lebih memilih mengutamakan sahabatnya."Apa kamu yakin tidak akan lelah?" tanya Argan. Dia merasa khawatir."Gina adalah sahabatku. Jika aku tidak datang, dia akan sangat kecewa. Aku juga tidak ingin melewatkan moment penting sahabatku." Aliya menjelaskan. "Sementara Alison, dia merupakan keluargaku. Orang tuaku akan marah jika aku tida
Hari ini Alison begitu senang karena ia akan menikah. Meski bukan dengan Argan yang sebenarnya merupakan pria yang ia inginkan. Tapi tak apa, Alison tetap bersyukur ia menikah dengan pria kaya. Gaun pengantin yang ia miliki juga terlihat sangat indah dan mewah. Keluarga Morgan menyiapkan pernikahan ini dengan sangat baik. Mungkin mereka tetap berusaha menjaga nama baik mereka, hingga memperlakukan Alison layaknya menantu idaman."Sudah selesai?"Carla berdiri di depan pintu tempat Alison dirias oleh perias yang ia undang. Dia memandang perempuan yang akan segera menjadi menantunya itu dengan pandangan menilai."Bagus. Jangan sampai mempermalukan keluargaku."Senyum di wajah Alison menghilang, digantikan ekspresi kesal karena kalimat tidak menyenangkan yang diucapkan nyonya Morgan itu."Jangan bawa tingkah liarmu itu di pesta. Dan jangan bersikap murahan saat tuan muda dari keluarga Alfred datang."Kedua mata Alison berbinar cerah ketika mendengar tentang pria yang ia cintai."Argan ak
Perempuan mana yang tidak tersentuh ketika mendengar kalimat itu? Bahkan Aliya sendiri merasakan semua kekesalan yang awal terkumpul kini menguap tak berbekas. Ia merasa bersalah karena tidak mengerti bagaimana posisi Argan. Seharusnya Aliya tidak memprotes. Dia harusnya bersyukur karena memiliki suaminya yang amat menyayangi dan mencintainya."Tidak." Aliya menggelengkan kepalanya. Dia membalas genggaman Argan pada tangannya, dan menatap pria itu dengan perasaan bersalah. "Maafkan aku. Seharusnya aku tidak bersikap seperti itu. Aku terlalu egois hingga tidak bisa mengerti kamu.""Jangan bicara begitu, sayang." Argan mengusap kepala istrinya itu. Dia berkata demikian bukan demi membalikkan keadaan. Sejujurnya, Argan tidak apa jika Aliya kesal dan melimpahkan kesalahan padanya. Argan pun sadar dirinya menyebalkan. Tapi, dia hanya berusaha menjelaskan pada Aliya mengapa ia bisa bersikap seperti itu. Argan tidak berharap Aliya akan berbalik menyalahkan dirinya sendiri."Tidak. Memang aku
Saat ini Aliya berdiri di depan meja yang di atasnya tersaji berbagai macam hidangan menggugah selera.Aliya sebenarnya sudah meminta ijin pada Gina untuk pulang cepat, tapi sahabatnya itu tidak mengijinkan. Dia meminta Aliya untuk tinggal sebentar. Setidaknya, untuk sekedar mencicipi hidangan yang ada.Aliya tidak mungkin menolak. Karena itu dia di sini, memilih jejeran kue yang tampak begitu cantik. Argan juga berdiri di sisinya, tapi dia lebih banyak memperhatikan Aliya dari pada kue-kue itu."Apa kamu mau?""Itu kelihatan tidak enak," jawab Argan, memandang kue yang disodorkan istrinya tepat di depan wajahnya.Kue itu berlapiskan krim berwarna putih dengan bubuk yang berkilauan di atasnya. Jangan lupakan buah ceri segar yang diletakkan di tengah-tengahnya.Menurut Aliya, kue itu sangat cantik dan imut. Aneh, Argan justru memiliki pendapat yang sangat berbeda dengannya. Mungkin pria itu tidak terlalu menyukai sesuatu yang menggemaskan."Ini cantik.""Lebih cantik kamu."Aliya memut
Alison mengedarkan pandangannya. Dia sudah menunggu sejak tadi, tapi orang yang ditunggu sama sekali belum menampakkan batang hidungnya.Max yang melihat tingkah Alison tampak tidak peduli. Pria itu duduk di kursinya sambil meminum segelas minuman yang diberikan pelayan. Saat ini, pikirannya dipenuhi oleh Gina. Perempuan yang sudah lama menyandang status sebagai kekasihnya itu kini juga tengah melangsungkan pernikahan. Sayang sekali, pria yang menjadi mempelai pengantin pria bukanlah dirinya. Di sini, ia menjadi pengantin pria untuk wanita lain. Takdirnya begitu lucu, dia menjaga Gina selama bertahun-tahun, tapi perempuan itu malah menjadi milik orang lain. Sungguh sial!"Argan!"Max menoleh ketika mendengar pekikan kecil Alison. Perempuan yang menjadi istrinya itu tampak menutup senyum di wajahnya dengan kedua tangan. Dia tampak cerah ketika mendapati mantan kekasihnya datang ke acara ini.Sangat bodoh. Alison masih saja menyimpan perasaan pada Argan. Padahal pria itu sudah jelas-jel
Argan tidak tahu bagaimana bisa istrinya berada di sini. Saat Argan keluar, dia bertemu dengan istrinya yang tengah berkacak pinggang dan menatapnya dengan tajam."Jelaskan padaku!" tegas Aliya."Itu ...." Argan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia sedikit tidak mengerti di bagian mana ia harus menjelaskan."Argan!" pekik Aliya. Dia tidak mau menunggu terlalu lama untuk mendengarkan pria itu bicara. "Cepat jelaskan apa yang kamu lakukan pada Alison! Aku melihatnya menangis tadi.""Ini tidak seperti yang kamu pikir, sayang." Argan menjelaskan dengan hati-hati. "Sebenarnya, tapi kami hanya membicarakan tentang masa lalu. Alison meminta maaf padaku. Karena dia menangis, aku tidak tega dan segera memeluknya. Jangan cemburu.""Aku tidak cemburu!" tukas Aliya menyangkal."Oke. Oke. Aku akan memeluknya lebih sering."Aliya seketika melotot padanya. Argan meringis kecil."Aku bercanda, sayang."Apakah ini saat yang tepat untuk itu? Aliya melengos malas. Meski Alison adalah adikn
Alison baru akan menjenguk ibunya yang masih berada di rumah sakit. Tapi di salah satu koridor dia bertemu dengan Argan. Pria itu berhenti saat menyadari kehadirannya."Dimana kakakku?" tanya Alison. Dia tidak melihat sosok Aliya di dekat Argan. "Apakah dia tidak ikut?""Tidak. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Argan. Pria itu berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Alison. "Apakah kamu melarikan diri lagi dari suamimu?""Tentu saja tidak," tukas Alison. Dia merenggut. "Max tahu aku datang ke sini. Aku juga sudah meminta ijin padanya.""Itu bagus." Pria itu tampak menganggukkan kepalanya. "Memang sebaiknya kamu meminta ijin pada suamimu saat ingin pergi kemana pun.""Ku dengar kamu memiliki masalah." Karena bertemu Argan, Alison jadi teringat tentang masalah yang dibicarakan Max kemarin. "Apakah terjadi sesuatu pada Aliya?""Apakah kamu peduli?" Argan tersenyum sinis. "Bukankah kamu senang setiap Aliya celaka?""Aku tidak ingin ribut denganmu sekarang," decak Alison. Walau s
Saat ini Alison tengah menikmati makan malam dengan Max di rumah mereka. Tidak ada lagi suasana dingin dan menyesakkan. Hari yang mereka lalui menjadi semakin baik. Terlebih, setelah mereka pindah ke rumah ini."Apa kamu dengar? Katanya keluarga Alfred tengah menghukum seseorang." Max memecah suasana hening di meja makan. Sesekali ia memang akan mengajak istrinya bicara di saat makan kala ia mengingat sesuatu yang ingin ia katakan. Dan berita yang ia dengar ini cukup menarik menurutnya."Menghukum seseorang?" Alison mengernyit. Mulutnya masih bergerak karena makanan yang ia kunyah. "Siapa?""Ku dengar itu salah satu teman Aliya.""Rasanya tidak mungkin." Alison mendengus geli. Ia mengenal dengan baik bagaimana sifat Aliya. Dia mana tega membiarkan temannya sendiri dihukum? Terlebih oleh keluarga Alfred."Sungguh. Aku tidak berbohong."Max bahkan langsung memeriksa kebenaran itu. Bukan karena penasaran, tapi ia jelas harus memastikan berita itu sebelum benar-benar menyampaikannya pada
Sejak tadi Aliya menunggu dengan gelisah. Ia khawatir jika kejadian ini akan menjadi masalah besar. Bagaimana jika polisi menangkap suaminya? Aliya tidak ingin itu terjadi. Apalagi saat ini Aliya sedang dalam keadaan hamil. Ia ingin suaminya ada menemani selama anak ini tumbuh dalam perutnya. Aliya ingin suaminya ada saat anak ini lahir ke dunia."Tenanglah, sayang." Mia sudah mengingatkan beberapa kali pada menantunya itu untuk tidak cemas, tapi Aliya tetap saja khawatir. Dia berjalan bolak balik di dekat sofa, menggigit ujung kukunya dengan gelisah. "Percaya pada ibu. Argan akan bisa menangani masalah ini. Bahkan ayah mertuamu juga ada di sana, kan? Semua akan baik-baik saja.""Aku tidak bisa berhenti cemas, Ibu. Sebelum aku tahu jika suamiku memang tidak kenapa-napa," ucap Aliya."Masalah seperti ini biasa terjadi." Mia meminum tehnya dengan santai. Dia tidak terlihat cemas sedikit pun. Berbeda sekali dengan Aliya. "Kamu tahu sendiri kan bagaimana keluarga kami? Kami tidak akan mem
"Bu, Aliya mana?"Mia menoleh kala mendengar suara putranya bertanya. Tampak Argan yang berdiri di depannya dengan wajah mengantuk. Sepertinya dia baru bangun tidur."Tadi dia meminta ijin untuk keluar sebentar. Katanya ada yang harus ia beli di supermarket."Kedua mata Argan terbuka sempurna. Rasa kantuk sebelumnya kini seolah lenyap seketika."Kenapa Ibu mengijinkannya?!" tanya Argan kesal. "Apa Ibu lupa jika Aliya sedang hamil?""Dia hanya ke supermarket yang ada di seberang jalan. Kenapa kamu begitu khawatir?" balas Mia mengernyit heran.Argan berdecak. Ibunya sama sekali tidak mengerti. Argan kembali ke kamarnya hanya untuk membasuh muka dan menggosok gigi dengan cepat. Dia mengganti pakaian dan bergegas pergi setelah selesai."Argan, kamu mau kemana?" tanya Mia kala melihat putranya itu melintas."Mencari istriku.""Anak itu." Mia menggelengkan kepalanya. "Padahal Aliya hanya ke supermarket. Kenapa dia khawatir begitu?"Argan bergegas ke supermarket yang dimaksud ibunya. Dia mas
Alison benci saat air mata di wajahnya tidak mau berhenti. Padahal ia bukan perempuan cengeng sejak dulu. Dia bisa mencaci siapa saja yang sudah membuatnya marah atau menyakitinya. Tapi yang Alison lakukan justru pergi dan bersembunyi hanya untuk menangis di kamarnya sendirian."Semua pria sama saja," rutuknya. Air matanya masih saja tidak mau berhenti. Sebanyak apapun Alison menghapusnya, ia tetap mengalir dengan deras. "Max sialan! Seharusnya aku tahu dia brengsek sejak dulu. Bodohnya aku sempat tertipu dengan semua kata-katanya. Pembohong!"Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Di sana Max berdiri dengan keadaan berantakan. Napasnya terengah-engah. Dia menjatuhkan bunga yang dipegangnya. Lalu berjalan ke arah Alison yang duduk di samping ranjang sembari memeluk lututnya.Saat Max semakin mendekat, Alison memalingkan wajah ke arah lain. Dia enggan melihat pria itu."Aku datang ke kampusmu untuk menjemputmu. Kenapa kamu pergi lebih dulu?" tanya Max."Aku tidak tahu." Alison menjawab dengan
Hari ini Alison kembali masuk kuliah. Dia bersama Sofia tengah berada di kantin, menikmati makanan kecil sebelum kembali mengikuti kelas."Alison, apakah kamu masih berminat untuk menyewa orang?" tanya Sofia.Alison terpaku sesaat. Karena semua masalah besar yang terjadi, ia bahkan melupakan kebencian yang ia miliki pada Aliya, dan tentang Argan juga.Alison juga tidak menyangka ia bisa berseteru kecil dengan pria itu di rumah sakit seperti dua bocah yang bertengkar. Jika diingat kembali, dirinya sangat kekanakan, bukan? Alison hanya tidak suka pada Argan yang sering mengejeknya. Dan dia yang banyak bersikap manja pada Aliya, padahal badannya sudah besar. Maka dari itu Alison mengejeknya dengan sebutan 'bayi besar'."Aku lupa," balas Alison mengedikkan bahunya. "Untuk sekarang sepertinya tidak, Sofia.""Kenapa?!" pekik Sofia, kecewa. Padahal dia sudah menanti apa yang akan dilakukan Alison kali ini. Sofia yakin, jika Alison berani melakukan rencana ini, dia akan berakhir di penjara de
Ini pagi pertama bagi Max dan Alison di rumah baru mereka. Suasana pagi menyambut hangat keduanya. Jika bukan karena jam wacker yang berdering, mereka mungkin tidak akan terbangun saking nyenyaknya tidur."Aku suka suasana pagi ini," ucap Alison baru selesai membersihkan diri. Masih dengan bathrobe di tubuhnya, perempuan itu merentangkan tangannya sembari memejamkan mata di halaman belakang, menikmati udara segar."Sayang, apa kamu melihat kemejaku?" tanya Max mengacaukan kegiatan Alison.Perempuan itu menurunkan tangannya dan mendengus. Dia pun segera menemui suaminya yang baru saja berteriak itu.Saat tiba di kamar, Alison melihat pria itu tengah menggaruk belakang kepalanya, menghadap ke lemari. Dia terlihat bingung menatap jejeran pakaian di depannya."AL-"Max yang baru hendak kembali berseru, seketika mengatupkan mulutnya saat melihat keberadaan istrinya yang berdiri di ambang pintu sembari bersedekap.Bukannya terlihat menakutkan, saat ini istrinya justru terlihat sexy. Damn!A
Alison turun dari mobil, dia menatap rumah yang berdiri di depannya saat ini. Apakah ini akan menjadi tempat tinggal barunya yang bersama Max? Alison sedikit tak percaya jika ayah mertuanya akan menyiapkan semua ini. Padahal Alison sudah siap untuk menerima kemungkinan terburuk. Atas tindakan beraninya tadi, ia pikir akan ditendang dan dipaksa untuk bercerai."Max, apakah ayah marah?" tanya Alison khawatir. Tujuannya pindah ke rumah ini masih dipertanyakan. Meski Max berkata jika ini memang keinginannya dan ayahnya juga sudah memberi ijin, tetap saja Alison tidak bisa bercaya begitu mudahnya. "Apa sebenarnya kita diusir?""Bicara apa kamu ini?" Max terkekeh kecil. Dia menggelengkan kepalanya.Apa Alison khawatir dengan tindakannya sebelumnya? Bukankah tadi dia begitu berani seperti tidak takut akan resiko yang akan ia terima? Lantas kenapa sekarang dia menciut ketakutan?"Ayahku tidak marah sama sekali. Dia tampaknya merasa bersalah." Max mengatakan apa yang ia pikirkan. Ayahnya meman