Nial mengukir senyum kecut di wajahnya. Ia berdiri, menjadi bagian dari salah satu orang yang menyaksikan kemesraan Aliya dan Argan di sekitar kampus. Kedatangan mereka cukup mencolok, karena hampir semua orang mengenal siapa Argan.Sikap dan tingkah mereka di kampus membuat banyak orang merasa iri. Nial tidak menampik, kedua orang itu memang terlihat serasi. Jika saja jalan yang mereka lalui untuk bisa bersama bukanlah sebuah perjodohan paksa, Nial sendiri pasti akan mengira jika mereka pasangan yang bahagia.Namun, karena ia mengetahui apa yang tidak orang lain ketahui, ia tidak melihat mereka berdua seperti itu. Aliya mungkin merasa tidak nyaman saat Argan memperlakukannya seperti itu. Nial harus bertanya pada Aliya untuk memastikan. Ia juga penasaran apa yang terjadi pada hari kemarin, di saat Nial mendengar jika Aliya dibawa pergi oleh Alison. Nial sudah berusaha mencari Aliya ke semua tempat, bahkan hingga hari gelap. Tapi, ia tidak menemukannya. Akhirnya Nial berhenti, dan dia
“Kemarin, aku sangat khawatir. Saat mendengar dari Liora jika Alison membawamu, aku bergegas pergi dan mencarimu.”Saat ini, Aliya tengah berjalan bersama Nial menuju kelas. Hanya berjalan bersama seperti ini saja tidak mungkin membuat Argan marah, kan? Ini masih bisa dikatakan wajar. Lagipula, Argan juga sudah berjanji jika ia tidak akan terlalu mengekang kebebasan Aliya.“Aku tidak mengerti kenapa kalian bisa sekhawatir itu,” kekeh Aliya. Padahal Alison adalah saudarinya, tapi teman-teman Aliya menganggap Alison seolah ia adalah orang jahat yang bisa saja melakukan sesuatu yang buruk pada Aliya.“Kamu masih bertanya seperti itu, padahal sikapnya sudah terbukti seperti apa.”Ketika Aliya menoleh, ia melihat Nial menunjuk ke arah wajahnya. Aliya ingat jika di wajahnya masih ada bekas tamparan Alison. Meski sudah mulai memudar, tapi bekas itu tidak hilang sepenuhnya. Nial saja masih bisa melihatnya dengan jelas.“Ini bukan apa-apa.” Aliya tersenyum penuh pengertian. Ia tahu Alison hany
“APA?!” Aliya tidak bisa untuk tidak terkejut mendengar apa yang ia katakan. “Bagaimana mungkin? Apakah kamu tidak berbohong?”“Kenapa? Apa kamu masih ingin membela saudaramu tersayang itu?” tanya Liora menyindir. Jika membahas tentang keburukan Alison, Aliya selalu melayangkan protes. Dia akan tetap berpihak pada Alison meski ia dalam posisi salah sekali pun.“Maafkan aku, Ay.” Gina menggelengkan kepalanya lemah. “Aku tahu, membicarakan Alison seperti ini sangat tidak pantas. Tapi, aku tidak tahu lagi pada siapa aku bisa menceritakan masalahku.”Gina terlalu hancur. Ia membutuhkan teman-temannya di saat seperti ini. Pengkhianatan yang dilakukan Max meninggalkan luka yang tidak ringan. Gina sendiri yakin jika luka ini akan membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh.“Aku menerima sebuah video dimana Max tengah bermesraan dengan Alison. Aku sudah mengeceknya dan itu bukan rekayasa. Itu nyata.”Gina tidak mungkin bertindak gegabah. Sebelum ia mengakhiri hubungannya dengan Max, ia mencari
Aliya melihat Argan berdiri di samping mobil. Pria itu bersandar sembari memainkan handphone. Tidak sedikit orang yang memperhatikan orang itu. Bagaimana tidak? Ia terlalu berpenampilan mencolok. Mobilnya saja yang berharga fantastis terlihat sangat mengkilap jika dibandingkan dengan kendaraan using di sampingnya. Argan membuat banyak orang merasa seperti semut kecil. Mereka yang awalnya merasa percaya diri seketika merasa dirinya bukan lah apa-apa jika dibandingkan dengan pria yang berdiri di dekat gerbang kampus itu.“Argan.” Aliya memanggil.Pria itu mengangkat wajahnya dan mengukir senyum pada Aliya. Kala Aliya mendekat, tangan pria itu merengkuh pinggangnya dan mendaratkan kecupan singkat di pipinya. Tindakan yang ia lakukan membuat wajah Aliya seketika memerah. Ia merutuki sikap Argan yang bertindak semakin menjadi. Padahal mereka saat ini berada di luar, apa Argan sengaja menunjukkan kemesraan seperti ini di depan umum? Aliya mungkin tidak akan masalah jika Argan melakukannya d
Mia menyambut kedatangan menantunya dengan perasaan gembira. Sejak Aliya datang, ia langsung memeluk perempuan itu.“Ibu tidak menyangka kamu akhirnya mau datang ke sini, Nak,” ucap Mia penuh rasa suka cita.Aliaya tersenyum tak enak. Dia melirik Argan dan berkata pada ibu mertuanya, “Maafkan aku, Bu. Argan baru mengajakku hari ini. Aku tidak tahu jika Ibu sudah sering meminta aku datang. Jika aku tahu, aku pasti akan datang saat ibu meminta.”“Tidak boleh,” ucap Argan keberatan. Alasan mengapa ia tidak mengatakan pada Aliya adalah karena ia tidak akan mengijinkan istrinya itu pergi sendirian. Tentu saja ia harus bersama Argan menemui orang tuanya. Meski orang tua Argan tidak akan melakukan apapun pada istrinya, Argan tetap merasa perlu ada dia di saat istrinya datang ke sini. Karena ia berstatus sebagai suami Aliya di sini.“Kenapa?” tanya Mia tak suka.“Dia hanya bisa datang bersamaku. Jika tidak, tidak akan aku ijinkan,” jelas Argan, tak peduli ibunya akan marah atau tidak, Argan h
Aliya mengintip di balik gordeng. Dia tertawa kecil melihat suaminya ditegur dan dimarahi oleh ayahnya. Argan memang selalu bersikap semaunya. Karena itu, harus ada seseorang yang mau menegurnya. Untuk saat ini, hanya ayahnya yang bisa membuat Argan menunduk dengan patuh. Pria itu terlihat tidak berdaya di depan ayahnya sendiri. Aliya tidak bisa menahan perasaan geli di perutnya. Melihat Argan seperti ini rasanya cukup lucu.“Apakah menyenangkan menertawai suamimu, sayang?”Aliya berbalik dan tersenyum kaku. Dia tidak sadar kapan pembicaraan Argan dengan ayahnya berakhir. Tahu-tahu pria itu sudah berdiri tepat di belakangnya saat ini.“Sudah selesai, ya?”“Kamu berharap aku dimarahi cukup lama?”“Tidak,” elak Aliya sembari menggaruk pipinya malu. Dia tidak mengira jika aksinya mengintip pria itu akan ketahuan seperti ini. “Aku tadi datang karena ibu menyuruhku memanggilmu. Karena kamu sedang bicara dengan ayah, jadi aku memutuskan menunggu kalian selesai.”“Menunggu atau menertawaiku,
Alison mendatangi Max di sebuah bar. Ia datang karena pria itu yang menjadi semakin sulit untuk dihubungi. Padahal Alison membutuhkannya.Saat ia tiba di tempat itu, ia melihat Max di meja bartender dengan keadaan mabuk. Alison pun mendekatinya dan langsung memarahinya.“Max! Apa yang kamu lakukan?!” tanyanya dengan nada membentak. Keadan Max saat ini terlihat sangat kacau dan menyedihkan. Kira-kira apa yang bisa membuat pria itu menjadi seperti ini? Terakhir kali, Alison ingat jika Max masih baik-baik saja.Max menoleh dengan mata sayu. Dia menegakkan tubuhnya dan mendekati Alison.“Gina? Apakah ini kamu?” Dia berjalan hendak memeluk perempuan yang ia kira mantan kekasih yang masih sangat ia cintai itu. Akan tetapi, sebuah tamparan di wajahnya membuat Max sadar jika orang itu bukan seseorang yang ia harapkan.“Sadarlah, bodoh!” maki Alison. “Ini aku, Alison.”Pandangan Max menjadi berubah, tidak seperti sebelumnya. Ada sorot kebencian di pandangan pria itu yang tersirat untuk Alison
Max pulang ke rumahnya saat keadaannya sudah mulai membaik. Meski suasana hatinya amsih kacau dan pikirannya masih dipenuhi oleh Gina, Max tidak bisa terus terpuruk. Dia juga ingat jka ia harus tetap pulan ke rumah supaya orang tuanya tidak terlalu banyak bertanya jika ia menghilang cukup lama.“Max.”Max berhenti melangkah. Ia melihat kedua orang tuanya di ruang tamu.“Kemarilah,” titah ayahnya.Max pun menurut. Ia duduk di kursi lain, tepat di depan orang tuanya.“Ada apa?”Ayahnya tidak menjawab. Ia hanya melempar sebuah amplop coklat ke atas meja. Isi dari amplop itu sedikit keluar dari tempatnya.Kedua mata Max melebar. Ia segera mengambil benda itu dan memeriksa isinya.Benar. Itu adalah foto-foto dirinya bersama Alison. Ini juga bukan foto yang seharusnya dilihat orang tuanya. Karena di sana terlalu vulgar untuk dilihat. Max sendiri merasa malu melihat dirinya di foto itu.“Bukankah dia perempuan yang dulu menjadi kekasih Argan? Apakah kamu memungut bekas sahabatmu sendiri?” ta
Argan tidak tahu bagaimana bisa istrinya berada di sini. Saat Argan keluar, dia bertemu dengan istrinya yang tengah berkacak pinggang dan menatapnya dengan tajam."Jelaskan padaku!" tegas Aliya."Itu ...." Argan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia sedikit tidak mengerti di bagian mana ia harus menjelaskan."Argan!" pekik Aliya. Dia tidak mau menunggu terlalu lama untuk mendengarkan pria itu bicara. "Cepat jelaskan apa yang kamu lakukan pada Alison! Aku melihatnya menangis tadi.""Ini tidak seperti yang kamu pikir, sayang." Argan menjelaskan dengan hati-hati. "Sebenarnya, tapi kami hanya membicarakan tentang masa lalu. Alison meminta maaf padaku. Karena dia menangis, aku tidak tega dan segera memeluknya. Jangan cemburu.""Aku tidak cemburu!" tukas Aliya menyangkal."Oke. Oke. Aku akan memeluknya lebih sering."Aliya seketika melotot padanya. Argan meringis kecil."Aku bercanda, sayang."Apakah ini saat yang tepat untuk itu? Aliya melengos malas. Meski Alison adalah adikn
Alison baru akan menjenguk ibunya yang masih berada di rumah sakit. Tapi di salah satu koridor dia bertemu dengan Argan. Pria itu berhenti saat menyadari kehadirannya."Dimana kakakku?" tanya Alison. Dia tidak melihat sosok Aliya di dekat Argan. "Apakah dia tidak ikut?""Tidak. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Argan. Pria itu berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Alison. "Apakah kamu melarikan diri lagi dari suamimu?""Tentu saja tidak," tukas Alison. Dia merenggut. "Max tahu aku datang ke sini. Aku juga sudah meminta ijin padanya.""Itu bagus." Pria itu tampak menganggukkan kepalanya. "Memang sebaiknya kamu meminta ijin pada suamimu saat ingin pergi kemana pun.""Ku dengar kamu memiliki masalah." Karena bertemu Argan, Alison jadi teringat tentang masalah yang dibicarakan Max kemarin. "Apakah terjadi sesuatu pada Aliya?""Apakah kamu peduli?" Argan tersenyum sinis. "Bukankah kamu senang setiap Aliya celaka?""Aku tidak ingin ribut denganmu sekarang," decak Alison. Walau s
Saat ini Alison tengah menikmati makan malam dengan Max di rumah mereka. Tidak ada lagi suasana dingin dan menyesakkan. Hari yang mereka lalui menjadi semakin baik. Terlebih, setelah mereka pindah ke rumah ini."Apa kamu dengar? Katanya keluarga Alfred tengah menghukum seseorang." Max memecah suasana hening di meja makan. Sesekali ia memang akan mengajak istrinya bicara di saat makan kala ia mengingat sesuatu yang ingin ia katakan. Dan berita yang ia dengar ini cukup menarik menurutnya."Menghukum seseorang?" Alison mengernyit. Mulutnya masih bergerak karena makanan yang ia kunyah. "Siapa?""Ku dengar itu salah satu teman Aliya.""Rasanya tidak mungkin." Alison mendengus geli. Ia mengenal dengan baik bagaimana sifat Aliya. Dia mana tega membiarkan temannya sendiri dihukum? Terlebih oleh keluarga Alfred."Sungguh. Aku tidak berbohong."Max bahkan langsung memeriksa kebenaran itu. Bukan karena penasaran, tapi ia jelas harus memastikan berita itu sebelum benar-benar menyampaikannya pada
Sejak tadi Aliya menunggu dengan gelisah. Ia khawatir jika kejadian ini akan menjadi masalah besar. Bagaimana jika polisi menangkap suaminya? Aliya tidak ingin itu terjadi. Apalagi saat ini Aliya sedang dalam keadaan hamil. Ia ingin suaminya ada menemani selama anak ini tumbuh dalam perutnya. Aliya ingin suaminya ada saat anak ini lahir ke dunia."Tenanglah, sayang." Mia sudah mengingatkan beberapa kali pada menantunya itu untuk tidak cemas, tapi Aliya tetap saja khawatir. Dia berjalan bolak balik di dekat sofa, menggigit ujung kukunya dengan gelisah. "Percaya pada ibu. Argan akan bisa menangani masalah ini. Bahkan ayah mertuamu juga ada di sana, kan? Semua akan baik-baik saja.""Aku tidak bisa berhenti cemas, Ibu. Sebelum aku tahu jika suamiku memang tidak kenapa-napa," ucap Aliya."Masalah seperti ini biasa terjadi." Mia meminum tehnya dengan santai. Dia tidak terlihat cemas sedikit pun. Berbeda sekali dengan Aliya. "Kamu tahu sendiri kan bagaimana keluarga kami? Kami tidak akan mem
"Bu, Aliya mana?"Mia menoleh kala mendengar suara putranya bertanya. Tampak Argan yang berdiri di depannya dengan wajah mengantuk. Sepertinya dia baru bangun tidur."Tadi dia meminta ijin untuk keluar sebentar. Katanya ada yang harus ia beli di supermarket."Kedua mata Argan terbuka sempurna. Rasa kantuk sebelumnya kini seolah lenyap seketika."Kenapa Ibu mengijinkannya?!" tanya Argan kesal. "Apa Ibu lupa jika Aliya sedang hamil?""Dia hanya ke supermarket yang ada di seberang jalan. Kenapa kamu begitu khawatir?" balas Mia mengernyit heran.Argan berdecak. Ibunya sama sekali tidak mengerti. Argan kembali ke kamarnya hanya untuk membasuh muka dan menggosok gigi dengan cepat. Dia mengganti pakaian dan bergegas pergi setelah selesai."Argan, kamu mau kemana?" tanya Mia kala melihat putranya itu melintas."Mencari istriku.""Anak itu." Mia menggelengkan kepalanya. "Padahal Aliya hanya ke supermarket. Kenapa dia khawatir begitu?"Argan bergegas ke supermarket yang dimaksud ibunya. Dia mas
Alison benci saat air mata di wajahnya tidak mau berhenti. Padahal ia bukan perempuan cengeng sejak dulu. Dia bisa mencaci siapa saja yang sudah membuatnya marah atau menyakitinya. Tapi yang Alison lakukan justru pergi dan bersembunyi hanya untuk menangis di kamarnya sendirian."Semua pria sama saja," rutuknya. Air matanya masih saja tidak mau berhenti. Sebanyak apapun Alison menghapusnya, ia tetap mengalir dengan deras. "Max sialan! Seharusnya aku tahu dia brengsek sejak dulu. Bodohnya aku sempat tertipu dengan semua kata-katanya. Pembohong!"Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Di sana Max berdiri dengan keadaan berantakan. Napasnya terengah-engah. Dia menjatuhkan bunga yang dipegangnya. Lalu berjalan ke arah Alison yang duduk di samping ranjang sembari memeluk lututnya.Saat Max semakin mendekat, Alison memalingkan wajah ke arah lain. Dia enggan melihat pria itu."Aku datang ke kampusmu untuk menjemputmu. Kenapa kamu pergi lebih dulu?" tanya Max."Aku tidak tahu." Alison menjawab dengan
Hari ini Alison kembali masuk kuliah. Dia bersama Sofia tengah berada di kantin, menikmati makanan kecil sebelum kembali mengikuti kelas."Alison, apakah kamu masih berminat untuk menyewa orang?" tanya Sofia.Alison terpaku sesaat. Karena semua masalah besar yang terjadi, ia bahkan melupakan kebencian yang ia miliki pada Aliya, dan tentang Argan juga.Alison juga tidak menyangka ia bisa berseteru kecil dengan pria itu di rumah sakit seperti dua bocah yang bertengkar. Jika diingat kembali, dirinya sangat kekanakan, bukan? Alison hanya tidak suka pada Argan yang sering mengejeknya. Dan dia yang banyak bersikap manja pada Aliya, padahal badannya sudah besar. Maka dari itu Alison mengejeknya dengan sebutan 'bayi besar'."Aku lupa," balas Alison mengedikkan bahunya. "Untuk sekarang sepertinya tidak, Sofia.""Kenapa?!" pekik Sofia, kecewa. Padahal dia sudah menanti apa yang akan dilakukan Alison kali ini. Sofia yakin, jika Alison berani melakukan rencana ini, dia akan berakhir di penjara de
Ini pagi pertama bagi Max dan Alison di rumah baru mereka. Suasana pagi menyambut hangat keduanya. Jika bukan karena jam wacker yang berdering, mereka mungkin tidak akan terbangun saking nyenyaknya tidur."Aku suka suasana pagi ini," ucap Alison baru selesai membersihkan diri. Masih dengan bathrobe di tubuhnya, perempuan itu merentangkan tangannya sembari memejamkan mata di halaman belakang, menikmati udara segar."Sayang, apa kamu melihat kemejaku?" tanya Max mengacaukan kegiatan Alison.Perempuan itu menurunkan tangannya dan mendengus. Dia pun segera menemui suaminya yang baru saja berteriak itu.Saat tiba di kamar, Alison melihat pria itu tengah menggaruk belakang kepalanya, menghadap ke lemari. Dia terlihat bingung menatap jejeran pakaian di depannya."AL-"Max yang baru hendak kembali berseru, seketika mengatupkan mulutnya saat melihat keberadaan istrinya yang berdiri di ambang pintu sembari bersedekap.Bukannya terlihat menakutkan, saat ini istrinya justru terlihat sexy. Damn!A
Alison turun dari mobil, dia menatap rumah yang berdiri di depannya saat ini. Apakah ini akan menjadi tempat tinggal barunya yang bersama Max? Alison sedikit tak percaya jika ayah mertuanya akan menyiapkan semua ini. Padahal Alison sudah siap untuk menerima kemungkinan terburuk. Atas tindakan beraninya tadi, ia pikir akan ditendang dan dipaksa untuk bercerai."Max, apakah ayah marah?" tanya Alison khawatir. Tujuannya pindah ke rumah ini masih dipertanyakan. Meski Max berkata jika ini memang keinginannya dan ayahnya juga sudah memberi ijin, tetap saja Alison tidak bisa bercaya begitu mudahnya. "Apa sebenarnya kita diusir?""Bicara apa kamu ini?" Max terkekeh kecil. Dia menggelengkan kepalanya.Apa Alison khawatir dengan tindakannya sebelumnya? Bukankah tadi dia begitu berani seperti tidak takut akan resiko yang akan ia terima? Lantas kenapa sekarang dia menciut ketakutan?"Ayahku tidak marah sama sekali. Dia tampaknya merasa bersalah." Max mengatakan apa yang ia pikirkan. Ayahnya meman