Max pulang ke rumahnya saat keadaannya sudah mulai membaik. Meski suasana hatinya amsih kacau dan pikirannya masih dipenuhi oleh Gina, Max tidak bisa terus terpuruk. Dia juga ingat jka ia harus tetap pulan ke rumah supaya orang tuanya tidak terlalu banyak bertanya jika ia menghilang cukup lama.“Max.”Max berhenti melangkah. Ia melihat kedua orang tuanya di ruang tamu.“Kemarilah,” titah ayahnya.Max pun menurut. Ia duduk di kursi lain, tepat di depan orang tuanya.“Ada apa?”Ayahnya tidak menjawab. Ia hanya melempar sebuah amplop coklat ke atas meja. Isi dari amplop itu sedikit keluar dari tempatnya.Kedua mata Max melebar. Ia segera mengambil benda itu dan memeriksa isinya.Benar. Itu adalah foto-foto dirinya bersama Alison. Ini juga bukan foto yang seharusnya dilihat orang tuanya. Karena di sana terlalu vulgar untuk dilihat. Max sendiri merasa malu melihat dirinya di foto itu.“Bukankah dia perempuan yang dulu menjadi kekasih Argan? Apakah kamu memungut bekas sahabatmu sendiri?” ta
Addy tidak bisa untuk tidak terkejut ketika menemukan keluarga salah satu teman terdekat Argan berkunjung ke rumahnya. Morgan juga merupakan rekan kerja Addy, sama seperti Rendra. Hanya saja, hubungan mereka tidak terlalu bagus. Morgan terkenal arogan, meski ia tidak memiliki kuasa yang berpengaruh seperti Rendra, ia kerap kali memandang orang lain dengan rendah.Kini, Addy penasaran apa yang membuat pria itu datang menemuinya. Apakah ia sudah menyinggung pria itu tanpa sadar?“Tidak perlu segan, Addy. Kami datang ke sini dengan maksud baik,” ucap Morgan memulai pembicaraan. Ia tahu pria yang duduk di depannya itu terlalu banyak memikirkan maksud kedatangannya ke sini, hingga wajahnya terlihat begitu pucat.Addy berdehem, mencoba mengusir perasaan canggung yang ada.“Maafkan aku atas sikap tidak sopanku. Aku hanya merasa heran dengan kedatangan kalian yang tidak terduga,” ucap Addy terus terang.“Tentu saja. Kami juga tidak menyangka jika harus menginjakkan kaki ke sini.” Carla menyah
Alison kembali ke rumah saat hari sudah melewati tengah malam. Tadinya dia tidak ingin pulang, dia ingin menghabiskan waktu di bar bersama teman-temannya. Tapi, uangnya mulai menipis lagi. Sepertinya Alison harus kembali meminta uang pada Max, supaya ia bisa bersenang-senang lagi.Saat ia berjalan ke arah ruang tamu, Alison terkejut mendapati orang tuanya masih terjaga. Keduanya tengah duduk di sofa seperti sengaja menunggunya.“Ayah, Ibu, kenapa kalian belum tidur?” tanya Alison.“Pertanyaan yang sama juga ingin ibu tanyakan padamu. Kenapa kamu baru pulang, Alison? Apa setiap malam kamu selalu mengendap-endap seperti ini?” Kirana tidak pernah tahu pukul berapa putrinya itu pulang karena dia dan Addy terbiasa tidur di jam sepuluh malam. Mereka juga terbiasa mematikan semua lampu setelah itu. Mereka tidak perlu mengkhawatirkan Alison karena ia memiliki kunci cadangan untuk masuk saat ia pulang ke rumah. Hanya saja, Kirana tidak pernah tahu kapan tepatnya putrinya itu kembali ke rumah.
Argan dan Aliya memutuskan untuk menginap, karena orang tua Argan yang memaksa. Saat mereka berusaha menolak, Mia terlihat akan marah pada mereka. Karena itu Argan terpaksa membawa istrinya untuk bermalam di sana. Dia tidak ingin membuat ibunya marah. Argan juga harus menjaga nama baik Aliya. Jangan sampai satu kesalahan bisa membuat istrinya itu sampai tidak disukai ibunya lagi.“Tidak apa kan kita menginap?” Argan bertanya sekali lagi pada Aliya yang baru selesai membersihkan diri. Perempuan itu juga masih mengenakan bathrobe di tubuhnya.“Tidak apa,” jawab Aliya, seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk. Ini pengalaman pertamanya menginap di mertua. Rasanya pasti akan sangat berkesan. Aliya tidak keberatan untuk tinggal semalam karena ia merasa cukup nyaman. Orang tua Argan juga menyambut baik dirinya. Apa yang bisa membuat Aliya keberatan dengan permintaan sederhana ibu mertuanya?“Aku senang melihat kamu bisa memiliki hubungan baik dengan ibu.” Dulu, Argan selalu berharap jika
Gina turun dari taksi yang mengantarnya. Baru saja kakinya menapaki tanah, suara seseorang yang tidak ingin ia dengar tiba-tiba terdengar.“Gina!”Tubuh Gina menegang. Ia berbalik dan terkejut melihat Max di sana. Ia sudah tidak ingin bertemu dengan pria itu lagi, untuk apa dia di sini?“Gina, kamu dari mana saja? Aku sudah lama menunggumu?” tanya Max, memegangi kedua pundak Gina.Gina merasa sangat tidak nyaman. Ia menyingkirkan tangan Max dari tubuhnya.“Mau apa kamu di sini?” tanya Gina tak senang.“Ada yang ingin aku katakan.”“Aku sudah tidak ingin mendengar apapun lagi darimu. Sebaiknya kamu pergi.”“Kamu tidak bisa memperlakukan aku seperti ini!” Max menggertakkan giginya menahan marah. Ia menarik tangan Gina kasar hingga perempuan itu memekik kesakitan. “Ingatlah siapa aku. Kamu pikir bisa lepas dengan mudah dariku?”“Lepaskan aku!” rintih Gina, mencoba menarik tangannya kembali. Cengkaraman Max di tangannya sangat kuat. Gina benar-benar merasa sakit. “Ini sakit, Max.”“Bagaim
Gina membawakan minuman untuk Kyle, lalu ia duduk di samping pria itu, menemaninya.“Aku pikir, sebaiknya kamu tidak tinggal di sini lagi,” ucap Kyle, menatap sekitar rumah Gina. Tempat yang Gina tempati saat ini memang cukup nyaman. Namun, terlalu sepi dan berbahaya jika untuk seorang perempuan lajang seperti Gina. Kyle khawatir jika pria gila tadi akan kembali dan mengganggu calon istrinya.“Aku juga berpikir begitu.” Gina menunduk sedih. Sulit baginya meninggalkan rumah ini. Tapi, jika ia tetap tinggal, ia bisa dalam bahaya. “Tapi, ke mana aku harus pindah? Apakah aku harus tinggal di hotel sementara waktu?”Gina tidak mau jika ia harus menumpang pada teman-temannya. Mereka semua kebanyakan masih tinggal bersama orang tua. Terkecuali, Aliya yang kini sudah tinggal bersama suaminya karena telah menikah. Gina juga tidak mungkin meminta bantuan Aliya. Sebisa mungkin, masalah ini ingin ia selesaikan sendiri.“Tidak perlu. Tinggallah denganku,” ajak Kyle. Dia tinggal di unit apartement
Aliya bangun lebih dulu dari Argan. Saat hendak membangunkan tubuhnya, ia menyadari ada sepasang tangan melingkar yang menahan tubuhnya. Dengan perlahan Aliya menyingkirkannya. Dia melirik suaminya yang masih tertidur lelap. Aliya lalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi.Setelah selesai, Aliya mencoba keluar dari kamar. Mungkin orang tua Argan sudah bangun lebih awal darinya. Jika Aliya bangun kesiangan saat pertama kali menginap di rumah mertuanya ini, ia akan merasa sangat malu.Ketika tiba di dapur, Aliya menemukan ibu Argan yang tengah memasak sesuatu. Aliya memutuskan untuk menghampirinya.“Selamat pagi, Ibu.”“Ah, menantuku.” Mia sedikit terkejut. “Pagi, Nak.” Dia mengukir senyum hangat pada Aliya.“Ibu bersemangat sekali, pagi-pagi begini sudah bangun.” Padahal, Aliya berharap ialah yang bangun paling awal. Ternyata ibu mertuanya bangun lebih cepat darinya. “Atau aku yang bangun kesiangan?”“Tidak.” Mia terkekeh kecil. “Ini bahkan baru pukul setengah ena
Handphone Aliya bergetar. Dia mengambil handphone-nya dari dalam tas dan mengecek sebuah pesan yang masuk. Argan yang saat ini tengah duduk di sisinya melirik sekilas dan bertanya,“Siapa?”“Ayah,” jawab Aliya, melirik padanya sebentar. Dahinya mengkerut membaca kata-kata yang dikirimkan oleh ayahnya.“Apa ada masalah?” Argan bertanya khawatir. Dia menangkap ekspresi tidak biasa di wajah istrinya. “Kenapa wajahmu seperti itu?”“Aku tidak tahu. Ayah menyuruhku untuk pulang.” Aliya menghembuskan napas kasar. Dia merasakan perasaan tidak enak. Apakah telah terjadi sesuatu di rumah sehingga ayahnya meminta Aliya untuk datang? “Argan, aku sedikit khawatir.”“Tenang saja.” Argan mengambil satu tangan istrinya dan menggenggamnya erat. Sementara satu tangannya yang lain masih memegang kemudi mobilnya. “Aku akan bersamamu. Kamu tidak perlu khawatir.”“Apakah tidak apa jika kita menemui orang tuaku lebih dulu? Sebelum kita kembali ke rumah.”“Tentu. Mengapa tidak?” Argan tidak keberatan sama se
Argan tidak tahu bagaimana bisa istrinya berada di sini. Saat Argan keluar, dia bertemu dengan istrinya yang tengah berkacak pinggang dan menatapnya dengan tajam."Jelaskan padaku!" tegas Aliya."Itu ...." Argan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia sedikit tidak mengerti di bagian mana ia harus menjelaskan."Argan!" pekik Aliya. Dia tidak mau menunggu terlalu lama untuk mendengarkan pria itu bicara. "Cepat jelaskan apa yang kamu lakukan pada Alison! Aku melihatnya menangis tadi.""Ini tidak seperti yang kamu pikir, sayang." Argan menjelaskan dengan hati-hati. "Sebenarnya, tapi kami hanya membicarakan tentang masa lalu. Alison meminta maaf padaku. Karena dia menangis, aku tidak tega dan segera memeluknya. Jangan cemburu.""Aku tidak cemburu!" tukas Aliya menyangkal."Oke. Oke. Aku akan memeluknya lebih sering."Aliya seketika melotot padanya. Argan meringis kecil."Aku bercanda, sayang."Apakah ini saat yang tepat untuk itu? Aliya melengos malas. Meski Alison adalah adikn
Alison baru akan menjenguk ibunya yang masih berada di rumah sakit. Tapi di salah satu koridor dia bertemu dengan Argan. Pria itu berhenti saat menyadari kehadirannya."Dimana kakakku?" tanya Alison. Dia tidak melihat sosok Aliya di dekat Argan. "Apakah dia tidak ikut?""Tidak. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Argan. Pria itu berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Alison. "Apakah kamu melarikan diri lagi dari suamimu?""Tentu saja tidak," tukas Alison. Dia merenggut. "Max tahu aku datang ke sini. Aku juga sudah meminta ijin padanya.""Itu bagus." Pria itu tampak menganggukkan kepalanya. "Memang sebaiknya kamu meminta ijin pada suamimu saat ingin pergi kemana pun.""Ku dengar kamu memiliki masalah." Karena bertemu Argan, Alison jadi teringat tentang masalah yang dibicarakan Max kemarin. "Apakah terjadi sesuatu pada Aliya?""Apakah kamu peduli?" Argan tersenyum sinis. "Bukankah kamu senang setiap Aliya celaka?""Aku tidak ingin ribut denganmu sekarang," decak Alison. Walau s
Saat ini Alison tengah menikmati makan malam dengan Max di rumah mereka. Tidak ada lagi suasana dingin dan menyesakkan. Hari yang mereka lalui menjadi semakin baik. Terlebih, setelah mereka pindah ke rumah ini."Apa kamu dengar? Katanya keluarga Alfred tengah menghukum seseorang." Max memecah suasana hening di meja makan. Sesekali ia memang akan mengajak istrinya bicara di saat makan kala ia mengingat sesuatu yang ingin ia katakan. Dan berita yang ia dengar ini cukup menarik menurutnya."Menghukum seseorang?" Alison mengernyit. Mulutnya masih bergerak karena makanan yang ia kunyah. "Siapa?""Ku dengar itu salah satu teman Aliya.""Rasanya tidak mungkin." Alison mendengus geli. Ia mengenal dengan baik bagaimana sifat Aliya. Dia mana tega membiarkan temannya sendiri dihukum? Terlebih oleh keluarga Alfred."Sungguh. Aku tidak berbohong."Max bahkan langsung memeriksa kebenaran itu. Bukan karena penasaran, tapi ia jelas harus memastikan berita itu sebelum benar-benar menyampaikannya pada
Sejak tadi Aliya menunggu dengan gelisah. Ia khawatir jika kejadian ini akan menjadi masalah besar. Bagaimana jika polisi menangkap suaminya? Aliya tidak ingin itu terjadi. Apalagi saat ini Aliya sedang dalam keadaan hamil. Ia ingin suaminya ada menemani selama anak ini tumbuh dalam perutnya. Aliya ingin suaminya ada saat anak ini lahir ke dunia."Tenanglah, sayang." Mia sudah mengingatkan beberapa kali pada menantunya itu untuk tidak cemas, tapi Aliya tetap saja khawatir. Dia berjalan bolak balik di dekat sofa, menggigit ujung kukunya dengan gelisah. "Percaya pada ibu. Argan akan bisa menangani masalah ini. Bahkan ayah mertuamu juga ada di sana, kan? Semua akan baik-baik saja.""Aku tidak bisa berhenti cemas, Ibu. Sebelum aku tahu jika suamiku memang tidak kenapa-napa," ucap Aliya."Masalah seperti ini biasa terjadi." Mia meminum tehnya dengan santai. Dia tidak terlihat cemas sedikit pun. Berbeda sekali dengan Aliya. "Kamu tahu sendiri kan bagaimana keluarga kami? Kami tidak akan mem
"Bu, Aliya mana?"Mia menoleh kala mendengar suara putranya bertanya. Tampak Argan yang berdiri di depannya dengan wajah mengantuk. Sepertinya dia baru bangun tidur."Tadi dia meminta ijin untuk keluar sebentar. Katanya ada yang harus ia beli di supermarket."Kedua mata Argan terbuka sempurna. Rasa kantuk sebelumnya kini seolah lenyap seketika."Kenapa Ibu mengijinkannya?!" tanya Argan kesal. "Apa Ibu lupa jika Aliya sedang hamil?""Dia hanya ke supermarket yang ada di seberang jalan. Kenapa kamu begitu khawatir?" balas Mia mengernyit heran.Argan berdecak. Ibunya sama sekali tidak mengerti. Argan kembali ke kamarnya hanya untuk membasuh muka dan menggosok gigi dengan cepat. Dia mengganti pakaian dan bergegas pergi setelah selesai."Argan, kamu mau kemana?" tanya Mia kala melihat putranya itu melintas."Mencari istriku.""Anak itu." Mia menggelengkan kepalanya. "Padahal Aliya hanya ke supermarket. Kenapa dia khawatir begitu?"Argan bergegas ke supermarket yang dimaksud ibunya. Dia mas
Alison benci saat air mata di wajahnya tidak mau berhenti. Padahal ia bukan perempuan cengeng sejak dulu. Dia bisa mencaci siapa saja yang sudah membuatnya marah atau menyakitinya. Tapi yang Alison lakukan justru pergi dan bersembunyi hanya untuk menangis di kamarnya sendirian."Semua pria sama saja," rutuknya. Air matanya masih saja tidak mau berhenti. Sebanyak apapun Alison menghapusnya, ia tetap mengalir dengan deras. "Max sialan! Seharusnya aku tahu dia brengsek sejak dulu. Bodohnya aku sempat tertipu dengan semua kata-katanya. Pembohong!"Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Di sana Max berdiri dengan keadaan berantakan. Napasnya terengah-engah. Dia menjatuhkan bunga yang dipegangnya. Lalu berjalan ke arah Alison yang duduk di samping ranjang sembari memeluk lututnya.Saat Max semakin mendekat, Alison memalingkan wajah ke arah lain. Dia enggan melihat pria itu."Aku datang ke kampusmu untuk menjemputmu. Kenapa kamu pergi lebih dulu?" tanya Max."Aku tidak tahu." Alison menjawab dengan
Hari ini Alison kembali masuk kuliah. Dia bersama Sofia tengah berada di kantin, menikmati makanan kecil sebelum kembali mengikuti kelas."Alison, apakah kamu masih berminat untuk menyewa orang?" tanya Sofia.Alison terpaku sesaat. Karena semua masalah besar yang terjadi, ia bahkan melupakan kebencian yang ia miliki pada Aliya, dan tentang Argan juga.Alison juga tidak menyangka ia bisa berseteru kecil dengan pria itu di rumah sakit seperti dua bocah yang bertengkar. Jika diingat kembali, dirinya sangat kekanakan, bukan? Alison hanya tidak suka pada Argan yang sering mengejeknya. Dan dia yang banyak bersikap manja pada Aliya, padahal badannya sudah besar. Maka dari itu Alison mengejeknya dengan sebutan 'bayi besar'."Aku lupa," balas Alison mengedikkan bahunya. "Untuk sekarang sepertinya tidak, Sofia.""Kenapa?!" pekik Sofia, kecewa. Padahal dia sudah menanti apa yang akan dilakukan Alison kali ini. Sofia yakin, jika Alison berani melakukan rencana ini, dia akan berakhir di penjara de
Ini pagi pertama bagi Max dan Alison di rumah baru mereka. Suasana pagi menyambut hangat keduanya. Jika bukan karena jam wacker yang berdering, mereka mungkin tidak akan terbangun saking nyenyaknya tidur."Aku suka suasana pagi ini," ucap Alison baru selesai membersihkan diri. Masih dengan bathrobe di tubuhnya, perempuan itu merentangkan tangannya sembari memejamkan mata di halaman belakang, menikmati udara segar."Sayang, apa kamu melihat kemejaku?" tanya Max mengacaukan kegiatan Alison.Perempuan itu menurunkan tangannya dan mendengus. Dia pun segera menemui suaminya yang baru saja berteriak itu.Saat tiba di kamar, Alison melihat pria itu tengah menggaruk belakang kepalanya, menghadap ke lemari. Dia terlihat bingung menatap jejeran pakaian di depannya."AL-"Max yang baru hendak kembali berseru, seketika mengatupkan mulutnya saat melihat keberadaan istrinya yang berdiri di ambang pintu sembari bersedekap.Bukannya terlihat menakutkan, saat ini istrinya justru terlihat sexy. Damn!A
Alison turun dari mobil, dia menatap rumah yang berdiri di depannya saat ini. Apakah ini akan menjadi tempat tinggal barunya yang bersama Max? Alison sedikit tak percaya jika ayah mertuanya akan menyiapkan semua ini. Padahal Alison sudah siap untuk menerima kemungkinan terburuk. Atas tindakan beraninya tadi, ia pikir akan ditendang dan dipaksa untuk bercerai."Max, apakah ayah marah?" tanya Alison khawatir. Tujuannya pindah ke rumah ini masih dipertanyakan. Meski Max berkata jika ini memang keinginannya dan ayahnya juga sudah memberi ijin, tetap saja Alison tidak bisa bercaya begitu mudahnya. "Apa sebenarnya kita diusir?""Bicara apa kamu ini?" Max terkekeh kecil. Dia menggelengkan kepalanya.Apa Alison khawatir dengan tindakannya sebelumnya? Bukankah tadi dia begitu berani seperti tidak takut akan resiko yang akan ia terima? Lantas kenapa sekarang dia menciut ketakutan?"Ayahku tidak marah sama sekali. Dia tampaknya merasa bersalah." Max mengatakan apa yang ia pikirkan. Ayahnya meman