Untuk Aliya yang sering bergaul dengan siapa pun, ia tidak akan mudah jatuh cinta. Dan juga, tidak mudah menerima seseorang yang menyatakan perasaan padanya.Lalu, bagaimana saat dia mendengar salah satu teman terdekatnya justru memendam perasaan padanya?“Nial?” Aliya mengernyit. Dia merasa tidak percaya dengan apa yang teman-temannya katakan. “Tidak mungkin.”“Bagaimana itu tidak mungkin? Apa kamu tidak sadar semua sikap Nial padamu itu berbeda?”Terkadang sikap Aliya yang sangat tidak peka itu membuat orang lain gemas ingin memukul kepalanya. Saat diberitahukan pun ia tidak mudah percaya dengan omongan mereka.“Dia terlalu buta,” cibir Liora. “Percuma saja bicara dengannya, Gina. Hanya membuang tenaga saja.”“Kamu bicara seakan aku ini bodoh.” Aliya terkadang kesal dengan perkataan Liora yang sering mengejeknya. Tapi, Aliya tidak mudah mengalah. Jika sudah keterlaluan, ia akan membalas Liora tanpa mau kalah.“Memang kamu bodoh,” tukas Liora. Ia menjulurkan lidahnya ke arah Aliya.A
Nial meletakkan tasnya dengan kasar. Ia lalu mendudukkan diri tepat di samping teman-temannya. Ekspresi wajah Nial yang tidak bersahabat membuat mereka bertanya-tanya, ada apa dengan pria itu?“Apa ada sesuatu yang terjadi? Kenapa wajahmu kusut sekali?” tanya Zico.“Ini tentang Aliya,” ucap Nial menjelaskan. Rasanya tidak rela saat ia mengetahui kebenaran yang menyakitkan ini. “Dia … sudah menikah.”“Menikah?!” Teman-teman Nial pun tampak sangat terkejut mendengarnya.“Bagaimana mungkin? Kita bahkan tidak mendengar kabar apapun sebelumnya,” ucap Kelvin tidak percaya.“Aku mendengar sendiri dari Aliya. Bahkan aku baru saja bertemu dengan suaminya,” jelas Nial dengan kesal. Rasanya dia ingin memukul seseorang demi melampiaskan amarahnya saat ini.“Siapa memangnya?” tanya Zico penasaran. Setahunya, Aliya gadis yang cukup sulit didapatkan. Itu karena dia terlalu friendly, dia tidak mudah menaruh perasaan pada orang lain. Ia memang berteman dengan siapa saja, tapi ia memandang semua orang
Argan merasa heran karena sejak tadi Aliya tidak bicara sama sekali. Bahkan ekspresi wajahnya juga tidak terlihat baik. Saat Argan bertanya, dia selalu menjawab tidak apa. Padahal Argan tahu ada yang dipikirkan istrinya itu.Tapi, meski tahu Aliya berbohong, Argan tidak bisa menekannya untuk berkata jujur. Argan lebih memilih untuk membiarkannya. Ia merasa Aliya memang tengah membutuhkan waktu.Saat mereka tiba di rumah, Aliya masih saat seperti itu. Ia juga langsung tidur tanpa sepatah kata pun. Argan mencoba mengerti, mungkin Aliya tengah memikirkan sesuatu. Ia perlu waktu untuk menenangkan dirinya.Lalu, saat Argan ikut berbaring di sisinya, ia mendengar istrinya itu bersuara.“Argan.”“Ya?” Perasaan lega terasa, kala Argan akhirnya mendengar istrinya mau bicara dengannya. Ia merasa sedikit lebih baik dari sebelumnya. Dia memutar tubuhnya dan menghadap Aliya yang masih berbaring memunggunginya. “Ada apa, Ay?”“Apa menurutmu aku salah?”Argan tidak mengerti, “Salah?”“Tentang aku ya
Aliya memang sempat berharap ia bisa bicara dengan Nial dan meluruskan masalah yang ada di antara mereka. Tapi, ia tidak mengira jika Nial sendiri yang akan mendatanginya. Pria itu mengajak Aliya bicara tepat saat mereka bertemu di kampus. Meski terasa kecanggungan yang kental di antara mereka, Aliya tetap berusaha mengenyahkan perasaan itu, dia mengikuti Nial untuk menyelesaikan masalah mereka.Nial membawanya duduk di sebuah kursi di taman kampus. Seperti biasa pria itu akan membersihkan terlebih dahulu tempat yang akan diduduki Aliya. Meski Aliya sudah menahannya untuk tidak melakukan itu, Nial tidak mendengarkan.“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Aliya setelah mereka duduk dengan nyaman.“Aku … ingin bertanya dan memastikan sekali lagi, apa benar kamu sudah menikah?”Alliya merasa ragu sesaat, tapi dia tetap menjawab, “Ya.”“Dan suamimu itu … Argan?”“Iya,” jawab Aliya lagi.Nial mendengus kecil. Rasanya benar-benar tidak rela saat ia mengetahui jika Aliya telah resmi m
Semakin Alison memikirkannya, semakin ia merasa kesal. Satu pun orang di sekitarnya tidak ada yang mengerti. Rasanya Alison ingin marah pada mereka semua karena tidak bisa memahami dirinya.“Lupakan Argan. Biarkan dia bahagia bersama istrinya.”Alison mendelik marah pada Max yang baru bicara itu. Apakah pria itu sengaja berkata seperti itu? Rasanya Alison ingin menyobek mulutnya.“Apakah kamu bisa melepaskan Gina?”Max terlihat bingung. Ia tidak mengerti kenapa Alison tiba-tiba bertanya tentang Gina. Meski begitu, Max tetap menjawab.“Tidak.”“Itulah yang aku rasakan.” Alison bangun dan mematikan ujung rokoknya pada asbak. “Aku tidak bisa melepaskan Argan untuk siapa pun. Karena aku menginginkannya. Sejak awal, dia hanya milikku.”“Jika seperti itu, lalu kenapa kamu memilih melarikan diri dari pernikahanmu?” tanya Max tidak habis pikir. Bukankah semua keadaan kacau ini terjadi karena ulah Alison sendiri? Perempuan itu sangat bodoh.“Aku tidak yakin. Kamu tahu sendiri, kan? Pernikahan
Argan memperhatikan Aliya saat perempuan itu tengah memilih gaun. Berbeda dengan gadis kebanyakan, tidak terlihat raut kesenangan di wajah Aliya. Dia justru terlihat begitu serius memperhatikan detail gaun yang ditawarkan setiap pegawai toko padanya.“Aku tidak mau.” Aliya menolak gaun ketiga yang ditunjukkan padanya. Dia tidak ragu-ragu saat mengatakan itu. “Warnanya aku tidak suka.”“Bagaimana jika yang ini, sayang?” Argan memutuskan untuk ikut membantu. Siapa tahu seleranya bisa disukai istrinya. Kebetulan, mereka memang memiliki banyak kesamaan dalam beberapa hal. “Kamu akan cantik mengenakan ini.”“Itu terlalu terbuka, Argan.” Aliya tidak keberatan mengenakan gaun seperti itu untuk datang ke sebuah acara. Tapi, acara yang hendak mereka datangi saat ini adalah makan malam bersama orang tua Argan. Aliya tentu harus terlihat sopan di hadapan mertuanya. Tidak dengan pakaian semacam itu.“Tidak masalah. Aku suka.”“Aku tidak mau.” Aliya tetap menolak. Dia juga masih memiliki akal untu
Pertemuan yang ia kira akan berlangsung menegangkan ternyata berlangsung cukup menyenangkan. Orang tua Argan menyambut Aliya dengan hangat. Mereka tampaknya sangat menerima Aliya sebagai menantunya. Aliya merasa senang. Tapi, sejak tadi yang tidak senang adalah Argan. Pria itu cemberut karena Aliya yang tidak mau menuruti kemauannya. Padahal tadi Argan sudah memintanya untuk kembali dan membatalkan janji dengan orang tuanya. Sayangnya, Aliya tidak ingin menurut.“Ada apa dengan wajahmu?” tanya Mia. Dia menatap putranya itu dengan curiga. “Apa hubungan kalian baik-baik saja?”“Kami baik-baik saja,” jawab Aliya. Dia menggapai tangan Argan di atas meja, menunjukkan jika hubungan mereka memang tidak memiliki masalah apapun.Argan seketika menoleh ketika merasakan Aliya memegang tangannya. Dia membawa telapak tangan istrinya itu menuju bibirnya, memberi kecupan ringan.“Ini salah Ibu.” Argan mengeluh. Dia menatap Ibunya itu kesal. “Aku tidak ingin membawa istriku malam ini.”“Loh? Kenapa?
Argan kembali ke kamar setelah kepalanya mulai mendingin. Ia berbaring di sisi Aliya yang sudah terlelap. Pria itu memunggungi istrinya, sama seperti yang dilakukan Aliya.Tapi, kala ia hendak tidur, ia merasakan pergerakan di sampingnya sehingga mata Argan kembali terbuka. Seseorang memeluknya dari belakang. Argan terkejut, dia tidak menyangka Aliya akan berani bersikap seperti ini. Padahal biasanya, Argan yang bergerak lebih dulu untuk mendekatinya. Kali ini, perempuan itu menjadi lebih berani.“Maafkan aku.” Suara Aliya terdengar. Dia merasa bersalah karena sudah membuat Argan kecewa. Aliya tidak bisa tidur karena terus terpikirkan pria itu. Akhirnya ia menunggu hingga suaminya itu kembali. Aliya akan mengajaknya bicara supaya masalah mereka bisa terselesaikan.Argan melepas pelukannya, lalu berbalik menatap istrinya.“Apa kamu sudah mengerti?”“Aku mengerti sejak awal. Tapi, kamu harus tahu. Bukan aku tidak mau, aku hanya takut.” Aliya bicara terus terang. Dia tidak ingin membuat
Argan tidak tahu bagaimana bisa istrinya berada di sini. Saat Argan keluar, dia bertemu dengan istrinya yang tengah berkacak pinggang dan menatapnya dengan tajam."Jelaskan padaku!" tegas Aliya."Itu ...." Argan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia sedikit tidak mengerti di bagian mana ia harus menjelaskan."Argan!" pekik Aliya. Dia tidak mau menunggu terlalu lama untuk mendengarkan pria itu bicara. "Cepat jelaskan apa yang kamu lakukan pada Alison! Aku melihatnya menangis tadi.""Ini tidak seperti yang kamu pikir, sayang." Argan menjelaskan dengan hati-hati. "Sebenarnya, tapi kami hanya membicarakan tentang masa lalu. Alison meminta maaf padaku. Karena dia menangis, aku tidak tega dan segera memeluknya. Jangan cemburu.""Aku tidak cemburu!" tukas Aliya menyangkal."Oke. Oke. Aku akan memeluknya lebih sering."Aliya seketika melotot padanya. Argan meringis kecil."Aku bercanda, sayang."Apakah ini saat yang tepat untuk itu? Aliya melengos malas. Meski Alison adalah adikn
Alison baru akan menjenguk ibunya yang masih berada di rumah sakit. Tapi di salah satu koridor dia bertemu dengan Argan. Pria itu berhenti saat menyadari kehadirannya."Dimana kakakku?" tanya Alison. Dia tidak melihat sosok Aliya di dekat Argan. "Apakah dia tidak ikut?""Tidak. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Argan. Pria itu berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Alison. "Apakah kamu melarikan diri lagi dari suamimu?""Tentu saja tidak," tukas Alison. Dia merenggut. "Max tahu aku datang ke sini. Aku juga sudah meminta ijin padanya.""Itu bagus." Pria itu tampak menganggukkan kepalanya. "Memang sebaiknya kamu meminta ijin pada suamimu saat ingin pergi kemana pun.""Ku dengar kamu memiliki masalah." Karena bertemu Argan, Alison jadi teringat tentang masalah yang dibicarakan Max kemarin. "Apakah terjadi sesuatu pada Aliya?""Apakah kamu peduli?" Argan tersenyum sinis. "Bukankah kamu senang setiap Aliya celaka?""Aku tidak ingin ribut denganmu sekarang," decak Alison. Walau s
Saat ini Alison tengah menikmati makan malam dengan Max di rumah mereka. Tidak ada lagi suasana dingin dan menyesakkan. Hari yang mereka lalui menjadi semakin baik. Terlebih, setelah mereka pindah ke rumah ini."Apa kamu dengar? Katanya keluarga Alfred tengah menghukum seseorang." Max memecah suasana hening di meja makan. Sesekali ia memang akan mengajak istrinya bicara di saat makan kala ia mengingat sesuatu yang ingin ia katakan. Dan berita yang ia dengar ini cukup menarik menurutnya."Menghukum seseorang?" Alison mengernyit. Mulutnya masih bergerak karena makanan yang ia kunyah. "Siapa?""Ku dengar itu salah satu teman Aliya.""Rasanya tidak mungkin." Alison mendengus geli. Ia mengenal dengan baik bagaimana sifat Aliya. Dia mana tega membiarkan temannya sendiri dihukum? Terlebih oleh keluarga Alfred."Sungguh. Aku tidak berbohong."Max bahkan langsung memeriksa kebenaran itu. Bukan karena penasaran, tapi ia jelas harus memastikan berita itu sebelum benar-benar menyampaikannya pada
Sejak tadi Aliya menunggu dengan gelisah. Ia khawatir jika kejadian ini akan menjadi masalah besar. Bagaimana jika polisi menangkap suaminya? Aliya tidak ingin itu terjadi. Apalagi saat ini Aliya sedang dalam keadaan hamil. Ia ingin suaminya ada menemani selama anak ini tumbuh dalam perutnya. Aliya ingin suaminya ada saat anak ini lahir ke dunia."Tenanglah, sayang." Mia sudah mengingatkan beberapa kali pada menantunya itu untuk tidak cemas, tapi Aliya tetap saja khawatir. Dia berjalan bolak balik di dekat sofa, menggigit ujung kukunya dengan gelisah. "Percaya pada ibu. Argan akan bisa menangani masalah ini. Bahkan ayah mertuamu juga ada di sana, kan? Semua akan baik-baik saja.""Aku tidak bisa berhenti cemas, Ibu. Sebelum aku tahu jika suamiku memang tidak kenapa-napa," ucap Aliya."Masalah seperti ini biasa terjadi." Mia meminum tehnya dengan santai. Dia tidak terlihat cemas sedikit pun. Berbeda sekali dengan Aliya. "Kamu tahu sendiri kan bagaimana keluarga kami? Kami tidak akan mem
"Bu, Aliya mana?"Mia menoleh kala mendengar suara putranya bertanya. Tampak Argan yang berdiri di depannya dengan wajah mengantuk. Sepertinya dia baru bangun tidur."Tadi dia meminta ijin untuk keluar sebentar. Katanya ada yang harus ia beli di supermarket."Kedua mata Argan terbuka sempurna. Rasa kantuk sebelumnya kini seolah lenyap seketika."Kenapa Ibu mengijinkannya?!" tanya Argan kesal. "Apa Ibu lupa jika Aliya sedang hamil?""Dia hanya ke supermarket yang ada di seberang jalan. Kenapa kamu begitu khawatir?" balas Mia mengernyit heran.Argan berdecak. Ibunya sama sekali tidak mengerti. Argan kembali ke kamarnya hanya untuk membasuh muka dan menggosok gigi dengan cepat. Dia mengganti pakaian dan bergegas pergi setelah selesai."Argan, kamu mau kemana?" tanya Mia kala melihat putranya itu melintas."Mencari istriku.""Anak itu." Mia menggelengkan kepalanya. "Padahal Aliya hanya ke supermarket. Kenapa dia khawatir begitu?"Argan bergegas ke supermarket yang dimaksud ibunya. Dia mas
Alison benci saat air mata di wajahnya tidak mau berhenti. Padahal ia bukan perempuan cengeng sejak dulu. Dia bisa mencaci siapa saja yang sudah membuatnya marah atau menyakitinya. Tapi yang Alison lakukan justru pergi dan bersembunyi hanya untuk menangis di kamarnya sendirian."Semua pria sama saja," rutuknya. Air matanya masih saja tidak mau berhenti. Sebanyak apapun Alison menghapusnya, ia tetap mengalir dengan deras. "Max sialan! Seharusnya aku tahu dia brengsek sejak dulu. Bodohnya aku sempat tertipu dengan semua kata-katanya. Pembohong!"Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Di sana Max berdiri dengan keadaan berantakan. Napasnya terengah-engah. Dia menjatuhkan bunga yang dipegangnya. Lalu berjalan ke arah Alison yang duduk di samping ranjang sembari memeluk lututnya.Saat Max semakin mendekat, Alison memalingkan wajah ke arah lain. Dia enggan melihat pria itu."Aku datang ke kampusmu untuk menjemputmu. Kenapa kamu pergi lebih dulu?" tanya Max."Aku tidak tahu." Alison menjawab dengan
Hari ini Alison kembali masuk kuliah. Dia bersama Sofia tengah berada di kantin, menikmati makanan kecil sebelum kembali mengikuti kelas."Alison, apakah kamu masih berminat untuk menyewa orang?" tanya Sofia.Alison terpaku sesaat. Karena semua masalah besar yang terjadi, ia bahkan melupakan kebencian yang ia miliki pada Aliya, dan tentang Argan juga.Alison juga tidak menyangka ia bisa berseteru kecil dengan pria itu di rumah sakit seperti dua bocah yang bertengkar. Jika diingat kembali, dirinya sangat kekanakan, bukan? Alison hanya tidak suka pada Argan yang sering mengejeknya. Dan dia yang banyak bersikap manja pada Aliya, padahal badannya sudah besar. Maka dari itu Alison mengejeknya dengan sebutan 'bayi besar'."Aku lupa," balas Alison mengedikkan bahunya. "Untuk sekarang sepertinya tidak, Sofia.""Kenapa?!" pekik Sofia, kecewa. Padahal dia sudah menanti apa yang akan dilakukan Alison kali ini. Sofia yakin, jika Alison berani melakukan rencana ini, dia akan berakhir di penjara de
Ini pagi pertama bagi Max dan Alison di rumah baru mereka. Suasana pagi menyambut hangat keduanya. Jika bukan karena jam wacker yang berdering, mereka mungkin tidak akan terbangun saking nyenyaknya tidur."Aku suka suasana pagi ini," ucap Alison baru selesai membersihkan diri. Masih dengan bathrobe di tubuhnya, perempuan itu merentangkan tangannya sembari memejamkan mata di halaman belakang, menikmati udara segar."Sayang, apa kamu melihat kemejaku?" tanya Max mengacaukan kegiatan Alison.Perempuan itu menurunkan tangannya dan mendengus. Dia pun segera menemui suaminya yang baru saja berteriak itu.Saat tiba di kamar, Alison melihat pria itu tengah menggaruk belakang kepalanya, menghadap ke lemari. Dia terlihat bingung menatap jejeran pakaian di depannya."AL-"Max yang baru hendak kembali berseru, seketika mengatupkan mulutnya saat melihat keberadaan istrinya yang berdiri di ambang pintu sembari bersedekap.Bukannya terlihat menakutkan, saat ini istrinya justru terlihat sexy. Damn!A
Alison turun dari mobil, dia menatap rumah yang berdiri di depannya saat ini. Apakah ini akan menjadi tempat tinggal barunya yang bersama Max? Alison sedikit tak percaya jika ayah mertuanya akan menyiapkan semua ini. Padahal Alison sudah siap untuk menerima kemungkinan terburuk. Atas tindakan beraninya tadi, ia pikir akan ditendang dan dipaksa untuk bercerai."Max, apakah ayah marah?" tanya Alison khawatir. Tujuannya pindah ke rumah ini masih dipertanyakan. Meski Max berkata jika ini memang keinginannya dan ayahnya juga sudah memberi ijin, tetap saja Alison tidak bisa bercaya begitu mudahnya. "Apa sebenarnya kita diusir?""Bicara apa kamu ini?" Max terkekeh kecil. Dia menggelengkan kepalanya.Apa Alison khawatir dengan tindakannya sebelumnya? Bukankah tadi dia begitu berani seperti tidak takut akan resiko yang akan ia terima? Lantas kenapa sekarang dia menciut ketakutan?"Ayahku tidak marah sama sekali. Dia tampaknya merasa bersalah." Max mengatakan apa yang ia pikirkan. Ayahnya meman