Argan kembali ke kamar setelah kepalanya mulai mendingin. Ia berbaring di sisi Aliya yang sudah terlelap. Pria itu memunggungi istrinya, sama seperti yang dilakukan Aliya.Tapi, kala ia hendak tidur, ia merasakan pergerakan di sampingnya sehingga mata Argan kembali terbuka. Seseorang memeluknya dari belakang. Argan terkejut, dia tidak menyangka Aliya akan berani bersikap seperti ini. Padahal biasanya, Argan yang bergerak lebih dulu untuk mendekatinya. Kali ini, perempuan itu menjadi lebih berani.“Maafkan aku.” Suara Aliya terdengar. Dia merasa bersalah karena sudah membuat Argan kecewa. Aliya tidak bisa tidur karena terus terpikirkan pria itu. Akhirnya ia menunggu hingga suaminya itu kembali. Aliya akan mengajaknya bicara supaya masalah mereka bisa terselesaikan.Argan melepas pelukannya, lalu berbalik menatap istrinya.“Apa kamu sudah mengerti?”“Aku mengerti sejak awal. Tapi, kamu harus tahu. Bukan aku tidak mau, aku hanya takut.” Aliya bicara terus terang. Dia tidak ingin membuat
Aliya kembali masuk kuliah seperti biasanya. Awalnya Argan melarangnya, karena berpikir ia belum sembuh benar, tapi Aliya bersikeras ingin masuk. Ia tidak ingin tertinggal pelajaran terlalu banyak. Setelah cukup lama berdebat, pria itu akhirnya mengalah. Dia juga tidak ingin membuat istrinya marah jika Argan memaksanya menuruti perintahnya.“Apa kamu akan baik-baik saja?” Argan bertanya khawatir.“Ayolah, Argan.” Aliya memutar bola matanya malas. Sudah berapa kali pria itu bertanya pertanyaan yang sama? Apakah ia pikir, perempuan yang baru menjalani malam pertama sama seperti ibu yang baru melahirkan?Aliya hanya merasakan sedikit sakit di bagian itu. Itu pun hanya sehari, esoknya rasa sakit yang ia rasakan berangsur membaik. Aliya juga bisa berjalan dengan baik sekarang. Apalagi yang Argan khawatirkan tentangnya?“Apakah kamu akan terus menahan ku supaya tidak masuk?” tanya Aliya. “Jika seperti itu, kelulusanku akan semakin tertunda.”“Sebenarnya, aku tidak masalah jika kamu berhenti
“Katakan padaku apa yang terjadi,” tegas Nial. Dia ingin mendengar sendiri dari Argan alasan mengapa Aliya bisa menggantikan Alison untuk menikah dengan pria itu. Karena Nial tidak bodoh. Dia tahu sesuatu pasti telah terjadi hingga membuat Aliya terpaksa menikah dengan pria itu.“Untuk apa kamu menanyakan ini?” Argan menatapnya sinis. Apa Nial begitu tidak terima karena Aliya menjadi istrinya? Seharusnya pria itu menyerah saja karena sejak menikah dengannya, Aliya sudah resmi menjadi milik Argan, sepenuhnya. “Jangan menanyakan istri orang lain. Kamu hanya membuat masalah untuk dirimu sendiri. Tidakkah kamu memiliki rasa malu?”“Memang apa salahku? Sejak awal, akulah yang lebih dulu mencintai Aliya,” tukas Nial memberikan pembelaan diri. Dia yang berjuang. Argan hanya orang asing yang seenaknya saja masuk di tengah-tengah hubungannya dengan Aliya. Nial yang tengah dalam masa perjuangan tentu saja kalah oleh Argan yang memilih jalan pintas untuk bisa mendapatkan Aliya. Ia bahkan bergera
Alison kembali datang ke kantor Argan, berharap bisa bertemu pria itu. Meski sudah pernah menerima penolakan dan peringatan darinya, Alison tidak menyerah begitu saja. Ia yakin, Argan belum sepenuhnya melupakan dirinya. Alison masih bisa mendapatkan pria itu kembali. Yang perlu ia lakukan hanya lebih berusaha lagi.Saat ia melihat Argan yang baru saja tiba, Alison segera mendekatinya dengan senyum merekah. Akhirnya pria yang ia tunggu terlihat juga."Argan."Dia baru berjalan dua langkah, tapi ada seseorang yang langsung menghentikannya, melarangnya untuk melangkah mendekati Argan.Ekspresi Alison seketika berubah menjadi tidak senang."Menyingkir!" Bola matanya menyorot tajam, memperingati orang yang menahannya supaya tidak menghalangi langkahnya untuk mendekati Argan."Nona, anda dilarang mendekat. Tuan Argan sudah memberi perintah pada kami untuk tidak membiarkan anda mendekatinya lagi." Orang itu menjelaskan dengan nada tegas dan wajah tanpa ekspresi."Apa?" Alison tampak bingung.
Argan melirik ke pintu, dimana ada seseorang baru saja memasuki ruangannya. "Dia sudah pergi?" "Sudah, tuan." "Bagus." Argan mengangguk puas. Dia sudah mengira jika Alison akan kembali menemuinya. Untungnya kali ini Argan sudah membuat persiapan. Jika bukan karena bodyguard yang ia tempatkan, mungkin masih mudah bagi Alison untuk bertemu dengannya. Sayangnya, saat ini Argan sudah meneguhkan hatinya. Dia tidak ingin menemui perempuan itu lagi. Argan akan menjalani hubungan yang baru bersama Aliya, perempuan yang menjadi istri sahnya. "Jika dia kembali lagi, pastikan dia tidak bisa memasuki kantor. Aku tidak ingin menerima gangguan apapun. Mengerti?" "Baik, Tuan. Saya mengerti." Bodyguard Argan itu membungkukkan badannya, berpamitan. Ia lalu pergi meninggalkan majikannya itu di sana. Setelah dia pergi, Argan kembali ke meja kerjanya. Dia mendudukkan diri di kursi. Argan termenung, memikirkan Alison yang bisa saja membuat kacau hubungannya dengan Aliya yang baru terajut. Istri keci
Max saat ini tengah berada di kantor. Ia tengah mendiskusikan hal penting bersama sahabatnya. Tidak lama, suara handphonenya menghentikan aktivitasnya sejenak. Terpaksa rundingan itu berhenti sesaat. Max meminta ijin pada rekannya untuk mengangkat telepon sebentar.Rekannya hanya melengos malas. Ia sudah hafal, jika Max sudah bersikap seperti ini, itu berarti orang yang menghubunginya adalah kekasihnya sendiri. Satu-satunya orang yang tidak bisa diabaikan olehnya."Hallo, sayang." Nada bicara juga terdengar berbeda jika ia sudah bicara dengan kekasihnya. Sikapnya itu sering membuat orang lain yang melihatnya memutar bola mata mereka."Max, maaf menghubungimu di jam kerja.""Tidak apa." Kekehan kecil keluar dari mulutnya. Dia tidak terlihat seperti ia yang biasanya. Memang hanya saat berhadapan dengan kekasihnya Max akan sangat berbeda. Sepertinya dia sangat mencintai pacarnya itu. "Katakan saja ada perlu apa. Meski tidak penting, aku akan tetap mendengarkan.""Tapi, berjanjilah kamu t
Argan melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Ia tidak memerlukan waktu lama untuk sampai di tempat tujuannya. Argan segera berlari mencari keberadaan istrinya. Menurut informasi yang ia dapatkan dari Gill, Aliya ada di tempat ini. Tapi, dimana dia?"ALIYA!" Argan berteriak memanggil. Ia berharap istrinya mendengar suaranya. "ALIYA!""Argan."Akhirnya sebuah suara samar terdengar. Argan segera mendekat ke asal suara. Dia menemukan istrinya terduduk di tanah dengan wajah merah. Argan tidak bodoh, ia menyadari jika itu adalah bekas sebuah tamparan. Selain itu, ada sedikit luka di wajahnya."Sayang." Argan berjongkok, mendekati istrinya. Kedua tangannya menangkup wajah Aliya dengan hati-hati. Sepertinya Alison memperlakukan Aliya cukup buruk. Lihatlah wajah cantik istrinya jadi seperti ini. "Kamu baik-baik saja?"Aliya tersenyum. Tapi, dari matanya ia meneteskan air mata.Dada Argan mencelos melihatnya. Dia menarik Aliya, memeluknya. Isakan tangis istrinya mulai terdengar. Perempuan i
Argan bukan tipe orang yang akan melepaskan seseorang yang sudah membuat masalah dengannya dengan mudah. Meski itu adalah seseorang yang pernah sangat ia cintai, jika ia membuat masalah dengannya, Argan tidak akan hanya diam dan menerimanya.Alison sudah sangat salah memilih berurusan dengan orang sepertinya. Mantan kekasihnya itu terlalu berani mengganggu Aliya, perempuan yang menjadi istri Argan saat ini. Padahal saat ini, Aliya sudah menempati posisi yang cukup istimewa di hidup Argan. Tidak boleh ada orang yang mengusiknya, tanpa terkecuali.Setelah mendapatkan informasi tentang tempat dimana Alison berada saat ini, Argan bergegas mendatanginya. Meski ia sedikit heran, mengapa perempuan itu berada di hotel? Apa yang sedang ia lakukan?“Di mana kamar Alison?” Argan bertanya pada resepsionis di sana setelah sampai di lokasi.“Tuan Alfred?” Resepsionis itu terkejut. Dia terlihat segan, “Apa ada masalah?”“Aku tidak suka membuang waktuku.” Argan tampak tak sabar. Dia hanya ingin seger
Argan tidak tahu bagaimana bisa istrinya berada di sini. Saat Argan keluar, dia bertemu dengan istrinya yang tengah berkacak pinggang dan menatapnya dengan tajam."Jelaskan padaku!" tegas Aliya."Itu ...." Argan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia sedikit tidak mengerti di bagian mana ia harus menjelaskan."Argan!" pekik Aliya. Dia tidak mau menunggu terlalu lama untuk mendengarkan pria itu bicara. "Cepat jelaskan apa yang kamu lakukan pada Alison! Aku melihatnya menangis tadi.""Ini tidak seperti yang kamu pikir, sayang." Argan menjelaskan dengan hati-hati. "Sebenarnya, tapi kami hanya membicarakan tentang masa lalu. Alison meminta maaf padaku. Karena dia menangis, aku tidak tega dan segera memeluknya. Jangan cemburu.""Aku tidak cemburu!" tukas Aliya menyangkal."Oke. Oke. Aku akan memeluknya lebih sering."Aliya seketika melotot padanya. Argan meringis kecil."Aku bercanda, sayang."Apakah ini saat yang tepat untuk itu? Aliya melengos malas. Meski Alison adalah adikn
Alison baru akan menjenguk ibunya yang masih berada di rumah sakit. Tapi di salah satu koridor dia bertemu dengan Argan. Pria itu berhenti saat menyadari kehadirannya."Dimana kakakku?" tanya Alison. Dia tidak melihat sosok Aliya di dekat Argan. "Apakah dia tidak ikut?""Tidak. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Argan. Pria itu berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Alison. "Apakah kamu melarikan diri lagi dari suamimu?""Tentu saja tidak," tukas Alison. Dia merenggut. "Max tahu aku datang ke sini. Aku juga sudah meminta ijin padanya.""Itu bagus." Pria itu tampak menganggukkan kepalanya. "Memang sebaiknya kamu meminta ijin pada suamimu saat ingin pergi kemana pun.""Ku dengar kamu memiliki masalah." Karena bertemu Argan, Alison jadi teringat tentang masalah yang dibicarakan Max kemarin. "Apakah terjadi sesuatu pada Aliya?""Apakah kamu peduli?" Argan tersenyum sinis. "Bukankah kamu senang setiap Aliya celaka?""Aku tidak ingin ribut denganmu sekarang," decak Alison. Walau s
Saat ini Alison tengah menikmati makan malam dengan Max di rumah mereka. Tidak ada lagi suasana dingin dan menyesakkan. Hari yang mereka lalui menjadi semakin baik. Terlebih, setelah mereka pindah ke rumah ini."Apa kamu dengar? Katanya keluarga Alfred tengah menghukum seseorang." Max memecah suasana hening di meja makan. Sesekali ia memang akan mengajak istrinya bicara di saat makan kala ia mengingat sesuatu yang ingin ia katakan. Dan berita yang ia dengar ini cukup menarik menurutnya."Menghukum seseorang?" Alison mengernyit. Mulutnya masih bergerak karena makanan yang ia kunyah. "Siapa?""Ku dengar itu salah satu teman Aliya.""Rasanya tidak mungkin." Alison mendengus geli. Ia mengenal dengan baik bagaimana sifat Aliya. Dia mana tega membiarkan temannya sendiri dihukum? Terlebih oleh keluarga Alfred."Sungguh. Aku tidak berbohong."Max bahkan langsung memeriksa kebenaran itu. Bukan karena penasaran, tapi ia jelas harus memastikan berita itu sebelum benar-benar menyampaikannya pada
Sejak tadi Aliya menunggu dengan gelisah. Ia khawatir jika kejadian ini akan menjadi masalah besar. Bagaimana jika polisi menangkap suaminya? Aliya tidak ingin itu terjadi. Apalagi saat ini Aliya sedang dalam keadaan hamil. Ia ingin suaminya ada menemani selama anak ini tumbuh dalam perutnya. Aliya ingin suaminya ada saat anak ini lahir ke dunia."Tenanglah, sayang." Mia sudah mengingatkan beberapa kali pada menantunya itu untuk tidak cemas, tapi Aliya tetap saja khawatir. Dia berjalan bolak balik di dekat sofa, menggigit ujung kukunya dengan gelisah. "Percaya pada ibu. Argan akan bisa menangani masalah ini. Bahkan ayah mertuamu juga ada di sana, kan? Semua akan baik-baik saja.""Aku tidak bisa berhenti cemas, Ibu. Sebelum aku tahu jika suamiku memang tidak kenapa-napa," ucap Aliya."Masalah seperti ini biasa terjadi." Mia meminum tehnya dengan santai. Dia tidak terlihat cemas sedikit pun. Berbeda sekali dengan Aliya. "Kamu tahu sendiri kan bagaimana keluarga kami? Kami tidak akan mem
"Bu, Aliya mana?"Mia menoleh kala mendengar suara putranya bertanya. Tampak Argan yang berdiri di depannya dengan wajah mengantuk. Sepertinya dia baru bangun tidur."Tadi dia meminta ijin untuk keluar sebentar. Katanya ada yang harus ia beli di supermarket."Kedua mata Argan terbuka sempurna. Rasa kantuk sebelumnya kini seolah lenyap seketika."Kenapa Ibu mengijinkannya?!" tanya Argan kesal. "Apa Ibu lupa jika Aliya sedang hamil?""Dia hanya ke supermarket yang ada di seberang jalan. Kenapa kamu begitu khawatir?" balas Mia mengernyit heran.Argan berdecak. Ibunya sama sekali tidak mengerti. Argan kembali ke kamarnya hanya untuk membasuh muka dan menggosok gigi dengan cepat. Dia mengganti pakaian dan bergegas pergi setelah selesai."Argan, kamu mau kemana?" tanya Mia kala melihat putranya itu melintas."Mencari istriku.""Anak itu." Mia menggelengkan kepalanya. "Padahal Aliya hanya ke supermarket. Kenapa dia khawatir begitu?"Argan bergegas ke supermarket yang dimaksud ibunya. Dia mas
Alison benci saat air mata di wajahnya tidak mau berhenti. Padahal ia bukan perempuan cengeng sejak dulu. Dia bisa mencaci siapa saja yang sudah membuatnya marah atau menyakitinya. Tapi yang Alison lakukan justru pergi dan bersembunyi hanya untuk menangis di kamarnya sendirian."Semua pria sama saja," rutuknya. Air matanya masih saja tidak mau berhenti. Sebanyak apapun Alison menghapusnya, ia tetap mengalir dengan deras. "Max sialan! Seharusnya aku tahu dia brengsek sejak dulu. Bodohnya aku sempat tertipu dengan semua kata-katanya. Pembohong!"Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Di sana Max berdiri dengan keadaan berantakan. Napasnya terengah-engah. Dia menjatuhkan bunga yang dipegangnya. Lalu berjalan ke arah Alison yang duduk di samping ranjang sembari memeluk lututnya.Saat Max semakin mendekat, Alison memalingkan wajah ke arah lain. Dia enggan melihat pria itu."Aku datang ke kampusmu untuk menjemputmu. Kenapa kamu pergi lebih dulu?" tanya Max."Aku tidak tahu." Alison menjawab dengan
Hari ini Alison kembali masuk kuliah. Dia bersama Sofia tengah berada di kantin, menikmati makanan kecil sebelum kembali mengikuti kelas."Alison, apakah kamu masih berminat untuk menyewa orang?" tanya Sofia.Alison terpaku sesaat. Karena semua masalah besar yang terjadi, ia bahkan melupakan kebencian yang ia miliki pada Aliya, dan tentang Argan juga.Alison juga tidak menyangka ia bisa berseteru kecil dengan pria itu di rumah sakit seperti dua bocah yang bertengkar. Jika diingat kembali, dirinya sangat kekanakan, bukan? Alison hanya tidak suka pada Argan yang sering mengejeknya. Dan dia yang banyak bersikap manja pada Aliya, padahal badannya sudah besar. Maka dari itu Alison mengejeknya dengan sebutan 'bayi besar'."Aku lupa," balas Alison mengedikkan bahunya. "Untuk sekarang sepertinya tidak, Sofia.""Kenapa?!" pekik Sofia, kecewa. Padahal dia sudah menanti apa yang akan dilakukan Alison kali ini. Sofia yakin, jika Alison berani melakukan rencana ini, dia akan berakhir di penjara de
Ini pagi pertama bagi Max dan Alison di rumah baru mereka. Suasana pagi menyambut hangat keduanya. Jika bukan karena jam wacker yang berdering, mereka mungkin tidak akan terbangun saking nyenyaknya tidur."Aku suka suasana pagi ini," ucap Alison baru selesai membersihkan diri. Masih dengan bathrobe di tubuhnya, perempuan itu merentangkan tangannya sembari memejamkan mata di halaman belakang, menikmati udara segar."Sayang, apa kamu melihat kemejaku?" tanya Max mengacaukan kegiatan Alison.Perempuan itu menurunkan tangannya dan mendengus. Dia pun segera menemui suaminya yang baru saja berteriak itu.Saat tiba di kamar, Alison melihat pria itu tengah menggaruk belakang kepalanya, menghadap ke lemari. Dia terlihat bingung menatap jejeran pakaian di depannya."AL-"Max yang baru hendak kembali berseru, seketika mengatupkan mulutnya saat melihat keberadaan istrinya yang berdiri di ambang pintu sembari bersedekap.Bukannya terlihat menakutkan, saat ini istrinya justru terlihat sexy. Damn!A
Alison turun dari mobil, dia menatap rumah yang berdiri di depannya saat ini. Apakah ini akan menjadi tempat tinggal barunya yang bersama Max? Alison sedikit tak percaya jika ayah mertuanya akan menyiapkan semua ini. Padahal Alison sudah siap untuk menerima kemungkinan terburuk. Atas tindakan beraninya tadi, ia pikir akan ditendang dan dipaksa untuk bercerai."Max, apakah ayah marah?" tanya Alison khawatir. Tujuannya pindah ke rumah ini masih dipertanyakan. Meski Max berkata jika ini memang keinginannya dan ayahnya juga sudah memberi ijin, tetap saja Alison tidak bisa bercaya begitu mudahnya. "Apa sebenarnya kita diusir?""Bicara apa kamu ini?" Max terkekeh kecil. Dia menggelengkan kepalanya.Apa Alison khawatir dengan tindakannya sebelumnya? Bukankah tadi dia begitu berani seperti tidak takut akan resiko yang akan ia terima? Lantas kenapa sekarang dia menciut ketakutan?"Ayahku tidak marah sama sekali. Dia tampaknya merasa bersalah." Max mengatakan apa yang ia pikirkan. Ayahnya meman