Hari berganti. Arudra dan Zivara telah berada di Bandung. Liburan singkat akhir pekan kemarin membuat hubungan mereka kian hangat dan romantis. Selain itu, hubungan Arudra dan Thamrin yang sempat kaku, perlahan mencair. Bila sedang berada di rumah, Arudra akan menemani Thamrin berkebun. Seperti sore itu. Arudra pulang lebih awal, karena ingin istirahat untuk mempersiapkan tenaga buat perjalanan esok hari ke Australia. Melihat Thamrin sedang mengurusi tanaman, Arudra bergegas memasuki kamar untuk mengganti pakaian kerja dengan setelan kebangsaan, yakni kaus merah dan celana pendek hitam. Thamrin tertegun saat sang menantu menghampirinya dan duduk di sisi kiri bangku panjang. Thamrin kembali memfokuskan pandangan pada pohon bonsai yang tengah dibetuknya dengan kawat. "Yah," panggil Arudra. "Hmm," balas Thamrin. "Besok aku dan Zivara mau berangkat ke Australia." "Ya." "Beberapa hari lagi, pernikahan kami genap sebulan." "Lalu?" "Berarti aku boleh minta ... ehm ....." "Apa
Pagi pertama di Kota Sydney digunakan Zivara untuk melakukan swa foto dan video. Dia berdiri di balkon kamar yang ditempatinya bersama sang suami. Kemudian Zivara memulai syuting dengan ucapan salam dan senyuman mengembang. Arudra yang baru selesai mandi, duduk di tepi kasur sembari mengamati perempuan berbaju putih yang sedang mengoceh dalam bahasa Inggris campur Indonesia. Meskipun tahu jika Zivara bisa berbahasa negeri Pangeran William, tetapi baru kali itu Arudra mendengar celotehan istrinya yang sangat fasih. Seusai mengenakan pakaian, Arudra menyambangi Zivara yang spontan berhenti bermonolog. Perempuan yang menjepit rambutnya tinggi-tinggi, terkejut saat Arudra memeluk dan memintanya merekam hal itu. Arudra menunduk untuk menciumi istrinya yang membalas dengan malu-malu. Zivara menghentikan merekam video saat tungkainya melemah, hingga dia harus berpegangan pada lengan suaminya. "Morning kiss yang paling manis," bisik Arudra, seusai memutuskan keintiman. "Mas bikin aku kag
.Penerbangan selama 6 jam lebih dari Sydney ke New Plymouth, menjadikan hampir semua penumpang pesawat memutuskan untuk tidur. Begitu pula dengan Arudra dan Zivara. Keduanya terlelap sambil beradu kepala, karena Zivara menyandar ke lengan kanan suaminya. Bhadra yang berada di kursi paling kiri, juga tertidur selama 4 jam di awal penerbangan. Dia terbangun karena hendak ke toilet, kemudian dia berpindah ke kursi belakang untuk berkumpul dengan para duda dan bujangan. Belasan menit sebelum pesawat mendarat, Bhadra kembali ke kursinya untuk membangunkan Arudra dan Zivara. Bhadra menunjuk ke luar kaca, di mana terlihat pemandangan Pulau Utara New Zealand.Zivara mengambil tisu basah dari tas untuk mengusap wajahnya. Kemudian dia mengambil ponsel untuk memvideokan keindahan kota yang mendapatkan predikat sebagai kota paling layak huni, sekaligus kota terindah di New Zealand. Kala pesawat telah berhenti dan parkir dengan sempurna, Dedi berdiri dan meminta anggota rombongannya untuk tet
Hari terakhir di New Plymouth, digunakan rombongan pimpinan Dedi untuk menjelajahi beberapa pantai yang terkenal di kawasan itu. Selain mereka, keluarga Arvasathya dan seluruh pengawalnya turut dalam kegiatan itu. Penjelajahan dimulai dari Pantai Ngamotu yang ikonik, yang letaknya tidak terlampau jauh dari pelabuhan kapal pesiar. Pantai itu terkenal dengan pasir putih, airnya yang jernih, dan pemandangan Laut Tasman yang memukau. Semua ajudan dan para asisten berjibaku membuat lapangan voli pantai. Kedua tim sibuk menpersiapkan para pemain yang merupakan gabungan dari bos PG, PC dan PBK. Arudra memasuki lapangan sambil melambaikan tangan pada penonton. Bersama Emris, Farisyasa, Zein, Hendri dan Zafran, mereka berdiri berderet di tengah-tengah lapangan, kemudian bergaya bak model. Tim dokumentasi bekerja cepat manangkap momen tersebut, sebelum regu satu menempati lapangan sisi kiri. Regu dua yang dipimpin Keven, melengang memasuki lapangan sembari menutupi kepala mereka mengunakan
Panggilan yang disertai belaian lembut di rambut, membangunkan Zivara. Dia membuka mata, kemudian cepat-cepat dipicingkan karena sinar matahari menyorot ke kasur. Arudra meletakkan meja kecil di kasur. Dia mendorong troli mendekati tepi ranjang, kemudian dia duduk bersila di seberang perempuan yang sedang bangkit sembari merapikan rambut. "Mau teh, atau jus?" tanya Arudra. "Jus aja," sahut Zivara sembari menggeser duduknya mendekati meja kecil. "Punyaku, yang mana?" tanyanya. "Itu semuanya buatmu. Aku sudah makan burger tadi." Arudra meletakkan gelas jus semangka di meja. "Habis ini, mandi. Lalu kita jalan-jalan seputar hotel," lanjutnya. "Aku pengen rebahan aja. Masih capek." "Aku yang kerja semalam, kpk, kamu yang capek?" Zivara mencebik. "Pegal tau, Mas. Mana masih ngenyut." Arudra mengulum senyuman. "Karena baru pertama, jadinya gitu. Nanti juga biasa lagi." Zivara tidak menyahut. Dia mulai bersantap sambil memandangi langit cerah di luar sana. Arudra menyeruput kopi susu
Zivara tiba di rumah beberapa saat seusai azan magrib. Dia memarkirkan mobil SUV putih di belakang kendaraan sang suami. Kemudian turun sambil membawa tas belanja biru sarat barang. Seusai menutup dan mengunci pintu mobil, Zivara mengayunkan tungkai menuju ruang tamu. Percakapan beberapa orang di sana membuatnya penasaran. Terutama karena ada 3 pasang sepatu di undakan teras. "Assalamualaikum," sapa Zivara sembari memasuki ruangan. "Waalaikumsalam," jawab orang-orang di sana. "Oh, ada Aa' rupanya." Zivara menyambangi sang tamu dan menyalaminya. "Apa kabar?" tanyanya sembari menyalami dua pria lainnya. "Alhamdulillah, kabarku baik," sahut Dirga. "Dirga sudah oke buat gabung ke Sundanese Grup," terang Arudra. Zivara manggut-manggut. "Aku senang dengarnya." "Kupikir, malah nggak jadi. Karena nggak ada kabar," ungkap Arudra. "Aku harus beresin kerjaan dulu. Lalu, diskusi sama Bapak, juga ... Akang Evan," terang Dirga. "Apa kabar dia?" "Baik." "Masih tugas di sana?" Dirga meng
Jalinan waktu terus bergulir. Pagi itu, Bilal berpamitan pada Zivara, karena dia hendak berangkat ke Jakarta guna mengikuti diklat lanjutan khusus pengawal. Pria berkulit kecokelatan tampak malu-malu ketika Zivara memeluknya sesaat, sebelum mengurai dekapan dan berpindah untuk memeluk Fazwan. Sang akang membisikkan beberapa pesan, terutama agar Zivara selalu berhati-hati dalam melakukan aktivitas apa pun. Fazwan khawatir dengan keselamatan adiknya, karena dirinya, Bilal dan Arudra tidak berada di Bandung. Kendatipun Zivara akan ditemani Isfani dan Wenda, tetap saja Fazwan khawatir. Sebab di rumah itu tidak ada penghuni laki-laki. Bhadra yang mendengarkan petuah Fazwan pada adiknya, menepuk-nepuk pundak pria yang berusia sama dengannya. "Tenang, Wan. Aku sama Graha akan bergantian datang ke sini. Begitu juga dengan teman-teman di HWZ. Bang Zein sudah janji akan menjaga Zivara selama kalian tidak berada di sini," cakap Bhadra, sesaat setelah Fazwan menjauhkan diri dari adiknya. "Kem
Dering ponsel dari kamar menjadikan Zivara bergegas mengambil benda itu. Dia memeriksa nama pemanggil, kemudian mengerutkan dahi karena nomornya tidak tersimpan di daftar kontak. Zivara hendak mengabaikan, tetapi nomor itu berulang kali menelepon. Terdorong rasa penasaran, akhirnya dia menekan tanda hijau pada layar, lalu menempelkan ponsel ke telinga kanan. "Assalamualaikum, Zi," sapa seseorang dari seberang telepon. "Waalaikumsalam. Maaf, ini siapa, ya?" tanya Zivara. "Fitri, Tasik." "Argh! Kumaha kabarna?" "Daramang, Geulis." "Eh, ini nomor baru, ya?" "Hu um. Yang lama, hangus gara-gara lupa diisi pulsa." "Kelakuanmu nggak ubah-ubah. Pikun." Terdengar tawa Fitri dan memancing Zivara turut tersenyum. Setelahnya, mereka melanjutkan pembicaraan hingga beberapa menit berselang. Setelahnya, Zivara keluar dari kamar sambil memegangi ponsel. Dia menyambangi kedua perempuan yang tengah serius berkaraoke. "Fitri ada di Bandung," tutur Zivara. "Naon?" tanya Isfani. "Volumenya k
Awal malam itu, Lanika tiba di bandara Cengkareng, bersama Sebastian, Rylee dan Cornelia. Mereka dijemput Uday yang kemudian mengantarkan keempatnya ke hotel tempat tim PG dan PC menginap. Setibanya di tempat tujuan, Bilal dan Yolla telah menunggu di lobi. Seusai berbincang sesaat, mereka bergegas menuju ruang pertemuan di lantai tiga, untuk menghadiri jamuan makan malam yang diadakan oleh Tio. Ruangan luas itu seketika heboh. Semua orang menyambut kedua anggota PC yang baru tiba, dengan rangkulan. Hal nyaris serupa juga dilakukan tim para istri pada Cornelia dan Lanika. Kendatipun tidak terlalu mengenal Lanika, tetapi Mayuree dan rekan-rekannya tetap bersikap ramah pada perempuan tersebut. Seusai melepas rindu pada keluarganya, Lanika mendatangi Zivara dan langsung memeluk sahabatnya tersebut dengan erat. Kemudian dia mengurai dekapan dan beralih menciumi Keef yang sedang dipangku maminya. "Masyaallah, asa tambah kasep, pangeran Ate," puji Lanika sembari menggosok-gosokkan hidun
Ruang rapat di gedung kantor PG, siang menjelang sore itu terlihat ramai. Lebih dari 100 pria bersetelan jas biru mengilat, berkumpul untuk mendengarkan pidato Tio. Setelahnya, komisaris PG memanggil orang-orang yang hendak berangkat ke Kanada. Mereka berdiri di kiri Tio, sambil memandang ke depan. Arudra, Drew, Ghael, dan Myron bergantian mengucapkan kalimat perpisahan. Benigno yang akan mengantarkan rekan-rekannya ke Kanada, juga turut memberikan pidato singkat. Sementara Alvaro yang menjadi pemimpin rombongan tersebut, hanya diam sambil memandangi semua orang di ruangan. "Teman-teman, mari kita bersalaman dengan para pejuang ini. Berikan dukungan terbaik buat mereka, yang akan bekerja keras menyelesaikan berbagai proyek kita di Kanada," ungkap Tio sembari turun dari podium. "Mid, tolong atur barisan," pinta Tio yang segera dikerjakan direktur operasional PG. Tio menyalami Arudra dan mendekapnya sesaat. Kemudian Tio memundurkan tubuh dan berbincang singkat dengan rekannya terse
Jalinan waktu terus bergulir. Minggu terakhir berada di Bandung, digunakan Arudra dan Zivara untuk lebih dekat dengan keluarga. Setiap hari mereka bergantian mengunjungi kediaman Rahmadi atau Thamrin, agar bisa bercengkerama dengan keluarga inti dan sanak saudara. Kamis sore, Arudra dan Zivara mendatangi kediaman ketua RT tempat mereka tinggal dan tetangga terdekat, untuk berpamitan. Pasangan tersebut tidak lupa untuk berpamitan pada para pedagang di sekitar kompleks, yang menjadi langganan mereka selama menetap di sana.Jumat pagi, Nirwan melajukan mobil sang bos menuju kediaman Rahmadi. Fazwan dan Disti menyusul menggunakan mobil SUV putih milik Zivara. Tidak berselang lama, Bilal datang bersama Yolla dan keluarganya. Demikian pula dengan Thamrin dan Ruslita. Mereka hendak ikut mengantarkan Arudra dan kelompoknya ke Jakarta. Seusai membaca doa bersama, semua orang menaiki kendaraan. Kemudian Bhadra yang berada di mobil terdepan, menekan klakson sebagai tanda perjalanan akan seg
Senin pagi menjelang siang, Arudra dan Zivara beserta yang lainnya bertolak menuju Lombok. Fazwan dan Disti juga ikut dalam rombongan tersebut untuk menikmati bulan madu, sebagai hadiah dari para petinggi Janardana Grup dan Mahendra Grup. Pada awalnya para pria ingin kembali mengunjungi Pulau Komodo. Namun, karena banyak anak-anak yang ikut, akhirnya tempat tujuan diubah supaya cocok dengan anak kecil.Pesawat yang mereka tumpangi akhirnya tiba di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (Bizam) menjelang pukul 4 sore. Perjalanan itu ditempuh dalam waktu yang cukup lama, karena pesawat harus transit di bandara Bali. Dari bandara menuju hotel milik BPAGK, rombongan tersebut menaiki bus berukuran besar yang disediakan pihak hotel. Agung, ketua pengawal Bali dan Nusa Tenggara, kembali menjadi pemandu wisata dadakan.Seperti biasa, para pengawal muda mengadakan kuis berhadiah kudapan dan minuman ringan. Sebab jumlah bos yang ikut cukup banyak, akhirnya semuanya ikut dan terbagi menj
Sabtu pagi di minggu kedua bulan Agustus, pernikahan Fazwan dan Disti dilangsungkan di gedung pertemuan kawasan Buah Batu. Rombongan keluarga calon pengantin pria tiba belasan menit sebelum acara dimulai. Yudha yang menjadi pemimpin, mengatur barisan bersama teman-teman pasukan pengawal area Bandung. Setelah diberi kode oleh tim panitia pihak perempuan, rombongan berseragam serba krem jalan perlahan menuju pintu utama gedung. Mereka berhenti di bawah tenda untuk menyaksikan sambutan dari kedua orang tua Disti. Susunan acara khas Sunda dilaksanakan dengan khidmat, sebelum akhirnya rombongan dipersilakan masuk. Keluarga inti, para petinggi PBK dan keluarga Janardana, serta Mahendra dan Pangestu, menempati kursi dua deretan terdepan sisi kanan. Di belakang mereka dipenuhi keluarga besar Fazwan, dan semua pengawal lapis satu hingga 12 yang hadir bersama keluarga masing-masing. Tidak berselang lama acara dimulai. Fazwan mendengarkan khotbah nikah dengan serius sambil merekamnya dalam
Minggu berganti menjadi bulan. Menjelang keberangkatan ke Kanada, Zivara justru disibukkan dengan persiapan pernikahan Fazwan. Sebab calon pengantin pria sedang sibuk mengikuti Arudra tugas ke luar kota, mau tidak mau Zivara yang menggantikan posisi akangnya untuk membantu Disti. Sore itu sepulang dari kantor, Zivara memacu mobil SUV putih menuju pusat perbelanjaan. Kala berhenti di perempatan lalu lintas, Zivara menyempatkan diri untuk menelepon Nini, yang tengah dijemput Isfani untuk menyusul Zivara, bersama Keef. Setibanya di tempat tujuan, Zivara memarkirkan mobilnya dengan rapi. Dia merapikan penampilan terlebih dahulu, kemudian menyemprotkan sedikit parfum ke baju. Sekian menit berikutnya, Zivara telah berada di dekat pintu utama. Dia menunggu kedatangan taksi yang ditumpangi Nini dan Isfani tiba, kemudian mereka bergegas menuju lantai tiga, di mana Disti dan kakaknya telah menunggu. Keempat perempuan bersalaman sambil beradu pipi. Sementara Nini hanya menyalami calon istri
"Siapa kamu!" bentak Eyang Min, saat seorang pria tua muncul di dekat teras depan rumahnya. "Tidak perlu tahu aku siapa. Yang penting, setelah ini usahamu menyesatkan orang akan berhenti," jawab Mulyadi dengan sangat tenang. Eyang Min maju beberapa langkah sambil mengacungkan tongkatnya yang berbentuk unik. "Oh, ternyata kamu. Orang yang sudah melindungi Lanika." "Betul." "Tapi, percuma saja. Sebentar lagi dia akan mati." "Nyawa manusia adalah milik Allah. Sehebat apa pun ilmumu, jika Allah berkehendak, maka Lanika akan aman." Eyang Min tertawa melengking. Mulyadi tetap diam sambil mengamati beberapa orang yang muncul di belakang perempuan berbaju merah. Zein dan ketiga sahabatnya telah selesai bertempur. Mereka berdiri beberapa meter di belakang Mulyadi sambil memerhatikan sekeliling. Masih ada titik-titik merah yang beterbangan, dan harus terus diawasi. Eyang Min melemparkan tongkatnya yang berubah menjadi ular hitam berukuran besar. Mulyadi spontan mundur sembari memukuli u
Embusan angin kencang menerpa apa pun yang berada di bumi. Dedaunan di dahan bergoyang ke sana kemari mengikuti arah sang bayu. Sekali-sekali akan terdengar suara binatang malam. Selebihnya hanya keheningan yang tercipta di sekitar rumah besar, yang berada di tengah-tengah kebun di pinggir Kota Bogor. Jalan depan rumah itu terlihat lengang. Meskipun waktu baru menunjukkan pukul 10, tetapi tidak ada seorang pun yang melintas di sana. Letak bangunan yang berada di perbukitan, ditambah lagi area belakangnya lebih banyak kebun dibandingkan rumah, menjadikan tempat itu seolah-olah terisolir dari dunia luar. Sekelompok orang terlihat jalan cepat di kebun sisi kiri. Sebab sekitarnya gelap, mereka terpaksa menyalakan senter kecil yang tersambung dengan ikat kepala. Sekali-sekali mereka akan berhenti dan berjongkok untuk memindai sekitar. Kemudian mereka melanjutkan langkah hingga tiba di dekat rerimbunan semak di dekat rumah target. Pria terdepan memberi kode dengan tangan. Lima orang be
Arudra termangu, sesaat setelah Nirwan menceritakan tentang kejadian kemarin malam di mobil Lanika. Bhadra, Casugraha, Fazwan dan Bilal yang juga berada di ruang kerja sang presdir, saling melirik, sebelum sama-sama mengulum senyuman. Sementara Zein menggeleng pelan seraya tersenyum lebar. Sedangkan Hendti justru bertepuk tangan, kemudian dia menepuk-nepuk pundak Nirwan yang terlihat cengengesan. "Hebat, euy! Bisa ninju kunti," tukas Hendri. "Ini berkat ajaran Akang," balas Nirwan. "Dan Bang Zein, serta teman-teman tim pengejar hantu," lanjutnya sambil memandangi pria berkulit kecokelatan yang balas menatapnya saksama. "Kami cuma melatih sedikit. Hatimu memang kuat, itu yang membuatmu sanggup melawan kuntilanak kiriman Nenek tua itu," jelas Zein. "Kamu ikut latihan olah napas, Wan?" tanya Bilal. "Ya, Bang," jawab Nirwan. "Sudah lama?" "Baru dua bulanan. Itu pun karena diajakin Kang Izra. Dia bilang, auraku kuat. Lebih bagus lagi diarahkan ke ilmu kebatinan." "Aku ingat Izra