"Woy! Halalin dulu! Baru sosor-sosoran!" teriak Alarich begitu melihat Rain dan Sheinafia hendak beradu mulut. Sheinafia reflek mendorong tubuh Rain,sehingga pria itu mundur. Gadis itu menundukkan kepalanya, malu sebab ia kepergok hendak berbuat yang iya-iya. Alarich terkekeh, lalu mendekati kedua sejoli itu. Sementara Rain, ia mendengus kesal seraya menatap Alarich yang dengan tidak berdosanya mendekat ke arah mereka berdua. "Halalin dulu Rain. Ijabsah bareng ayahku. Baru deh kamu bebas, mau sosor kek. Pelukan kek, bodo amat!" tukas Alarich. Rain mendengus kesal, ia melirik Sheinafia yang masih setia menundukkan kepalanya. Seulas senyum terbit di bibirnya kala Rain melihat semburat merah menghiasi pipi Sheinafia. Ah, gemas sekali rasanya, ingin ia gigit. "Ck! Pengganggu! Makanya cari pacar, biar kamu tidak mengganggu kebersamaan kami!" dengus Rain. Alarich terbahak, "Kapan lagi gue bisa buat ni kanebo kering kesal," ucap Alar
"Apa kamu menginginkan kepergianku,Mas?" tanya Nandini sendu, menahan rasa gemuruh yang bercokol di dalam dadanya. Hening. Baik Xavier maupun Nandini, mereka hanya diam saja. Xavier sendiri tertahan di depan pintu kamar mandi. Nandini tampak menghela nafasnya lelah, menatap nanar pada punggung tempatnya bernaung. Namun, saat ini punggung itu terasa jauh, sulit untuk ia gapai. "Baiklah, Mas. Jika itu memang maumu, mungkin jika aku tidak berada di sekitarmu, maka kamu akan memaafkanku. Aku pamit, tolong jaga diri baik-baik, jaga kesehatanmu. Jangan terlalu lelah bekerja, maafkan semua kesalahanku. Aku mencintaimu, Mas. Aku pamit," lirih Nandini. Nandini segera membalikkan tubuhnya, sakit dan juga sesak yang kini ia rasakan. Dia tahu, jika semua ini adalah kesalahannya. Namun, tidakkah sang suami dapat memaafkan, padahal dulu ketika Xavier bersalah pun, dirinya dengan senang hati memaafkan. Xavier sendiri hanya mematung
"Hallo, apa kabar ibu dan kak Meylan? Kalian pasti sudah berbahagia di atas sana, atau bahkan kalian sudah bertemu dengan ayah. Ah aku menjadi iri, aku pun ingin berkumpul seperti kalian," lirih Nandini, terlihat ia menghela nafasnya lelah. "Jujur, aku pun lelah sebenarnya. Bolehkah jika aku menyerah dan menyusul kalian bertiga? Aku ... aku melakukan kesalahan terhadap putriku, dan suamiku enggan memaafkanku. Ayah, ibu semenjak kecil aku tidak pernah merasakan bagaimana di sayang oleh ibuku sendiri. Aku lelah, izinkan aku menyusul kalian." Isak tangis Nandini terdengar begitu lirih dan menyesakkan. Membuat seorang pria yang mematung tepat di belakang tubuh Nandini. Tangisan pilu Nandini membuat pria itu mengepalkan tangannya. Tidak tahan, ia pun menghampiri Nandini, dan merengkuh tubuhnya dari belakang. "Maafkan aku, Sayang. Tolong maafkan kesalahanku untuk yang ke sekian kalinya. Aku terlalu banyak dosa padamu, maafkan aku," lirih Xavier. Ya
Sheinafia mematut dirinya di depan cermin besar yang ada di hadapannya. Gaun putih melekat indah di tubuh sintalnya, tidak lupa rambut yang terikat rapi dan indah. Wajah cantik itu sedari tadi hanya menampilkan senyuman indah. Tepat hari ini, ia akan melepas masa lajangnya. Xavier menatap dalam wajah putrinya, anak perempuan yang baru ia temui ketika usianya sudah besar. Anak yang tidak ia temani tumbuh kembangnya, kini ... ia harus melepas pergi. Sheinafia menatap siluet sang ayah, ia dapat melihat kesedihan di dalam binar mata sang ayah. Pria yang menjadi cinta pertamanya, laki-laki yang akan mengorbankan apapun demi kebahagiaan dirinya. Nandini, tampak mendampingi sang suami. Karena ia tahu, jika Xavier akan sangat kehilangan putri kecilnya. Sepasang suami istri itu, kini berjalan mendekati sang putri yang sudah selesai di dandani oleh pihak MUA. "Kamu cantik sekali, Nak," lirih Xavier dengan suara yang terdengar berget
"Hari ini, kalian sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Tolong,jaga putriku dengan baik, Rain. Kau tahu sendiri bagaimana aku bisa menemukan keberadaanya dulu. Dan ayah harap, kamu tidak menyakiti putri ayah, jangan sampai ada Sheinafia yang lain Rain. Cukup ayah yang gagal karena tidak bisa menjadi ayah dan suami yang baik," lirih Xavier. Kini mereka tengah berada di resepsi pernikahan Rain dan Sheinafia. Tidak banyak tamu yang di undang oleh Xavier. Sengaja, karena Xavier tidak ingin putrinya merasa kelelahan. Senyuman selalu terukir di bibirnya, apalagi melihat tawa putri kecilnya. Si kembar Sean dan Samudera pun tampak mendampingi sang kakak. "Selalu bahagia, Nak. Meski tanggung jawab ayah kini sudah berpindah tangan," monolog Xavier. Rain pun ikut menatap Sheinafia yang di kelilingi oleh saudara-saudaranya. Apalagi Alarich yang begitu posesif padanya. Cemburu? Ya, tapi Rain mencoba mengerti jika Alarich begitu menyayangi istri
"Jangan menatapku seperti itu ... malu," cicit Sheinafia. Rain tertawa kecil, si dingin bak kulkas berjalan itu tertawa. Tawa yang hanya akan ia perlihatkan pada wanita satu-satunya yang berada di dalam hidup pria sebatang kara itu. Tangan kekar nan lebar itu lantas menangkup kedua pipi Sheinafia. Membuat gadis itu seketika mendongak, menatap wajah tampan lelakinya. "Jangan menunduk terus, Sayang. Aku berada tepat di hadapanmu, bukan di bawah. Mengapa kamu senang sekali menatap lantai, hmm. Daripada menatap suamimu yang tampan ini?" tanya Rain heran. Ah, bagaimana bisa lelaki itu berkata hal seperti itu dengan sangat santai. Tidak tahu'kah ia, jika dirinya saat ini tengah gusar dan gugup. "Sayang," panggil Rain dengan suara serak dan berat, seolah ia tengah menahan hasrat yang sudah berada di puncak kepalanya."Mungkin, malam ini bukanlah malam pertama untuk kita berdua. Aku juga tahu, jika mungkin saat ini kita akan melaku
Sheinafia masih asyik bergelung di bawah selimut tebalnya. Sejak pagi tadi, Rain begitu betah memandangi wajah sang istri yang begitu cantik tanpa polesan apapun. Rain menggempur istri kecilnya semalaman suntuk, dan mereka baru berhenti ketika jam menunjukkan pukul tiga pagi. Entahlah, staminanya seolah tiada habisnya. Apalagi ketika melihat istri kecilnya bermandikan peluh. "Tubuhmu bagaikan candu, Sayang. Maafkan aku yang tidak bisa berhenti mereguk surga dunia bersamamu," lirih Rain. Rain terkekeh lirih saat digigit sang istri akibat permainannya yang kasar. Namun, apalah daya nafsu sudah membelenggu jiwa hingga rintihan Sheinafia tidak mampu menghentikan syahwatnya. Rain menurunkan wajahnya, mengecup lembut kening sang istri. Tidak lupa ia selalu mengucapkan terima kasih di dalam hatinya. "Terima kasih, Sayang. Karena kamu sudah menerimaku. Sayang ... Tubuhmu begitu candu untukku," bisik Rain di telinga Sheinafia.
"Mati saja kau!" Sarkas wanita paruh baya itu. Sedangkan wanita muda yang tengah berdiri di samping sang ibu, hanya menatap sinis dan penuh ejekan. Mereka sama sekali tidak memperdulikan keadaan Senja yang basah kuyup. Wanita paruh baya itu menarik kasar lengan Senja. Tubuh ringkih Senja tertarik menuju dapur. "Ibu, tolong pelan- pelan. Kepala Senja pusing," pintanya lirih. Wanita paruh baya itu tetap menarik tubuh ringkih Senja. Lalu melepaskannya dengan sangat kasar,hingga tubuh Senja terhantuk ujung meja yang ada di dapur. "Arggh!" Teriak Senja. "Sakit," lirihnya. Kedua perempuan berbeda usia itu hanya tertawa mengejek. Tanpa memperdulikan bagaimana kesakitan Senja. "Cepat bereskan! Ingat ketika aku kembali, rumah harus sudah bersih. Aku sama sekali tidak mau melihat satu debu pun ada di sini, mengerti!" Di tengah kesakitannya, Senja terpaksa menganggukkan kepalanya lemah. Ia menelisik keadaan rum