Sejenak, Sheinafia terpaku kala melihat bagaimana Rain atau Galaxy memukuli laki-laki paruh baya yang sudah menyanderanya. Sementara, Rain menatap puas pada lelaki yang sudah tidak bernyawa itu. Suara gaduh memasuki kamar tersebut, membuat Rain seketika tersadar. Ia menatap Sheinafia, yang juga tengah melihat kepadanya. "Shei," panggil Xavier. Lelaki matang nan tampan itu segera mendekati sang putri, dan memeriksa keadaannya. Sejauh yang Xavier lihat, Sheinafia baik-baik saja. Hanya, pergelangan tangannya sedikit terluka akibat goresan tali yang mengikatnya tadi. Rain sendiri menatap sendu Sheinafia. Ia takut, jika wanita yang di cintainya itu malah takut pada dirinya. "Nak, mari pulang," ajak Xavier. Sementara Alarich menghampiri Rain dan menepuk bahunya. Ia berterimakasih karena Rain sudah mau membantu menyelamatkan Sheinafia. Rain tersenyum dan mengangguk. Ingin sekali ia menghampiri Sheinafia dan memeluk tubuhnya serta menc
"Woy! Halalin dulu! Baru sosor-sosoran!" teriak Alarich begitu melihat Rain dan Sheinafia hendak beradu mulut. Sheinafia reflek mendorong tubuh Rain,sehingga pria itu mundur. Gadis itu menundukkan kepalanya, malu sebab ia kepergok hendak berbuat yang iya-iya. Alarich terkekeh, lalu mendekati kedua sejoli itu. Sementara Rain, ia mendengus kesal seraya menatap Alarich yang dengan tidak berdosanya mendekat ke arah mereka berdua. "Halalin dulu Rain. Ijabsah bareng ayahku. Baru deh kamu bebas, mau sosor kek. Pelukan kek, bodo amat!" tukas Alarich. Rain mendengus kesal, ia melirik Sheinafia yang masih setia menundukkan kepalanya. Seulas senyum terbit di bibirnya kala Rain melihat semburat merah menghiasi pipi Sheinafia. Ah, gemas sekali rasanya, ingin ia gigit. "Ck! Pengganggu! Makanya cari pacar, biar kamu tidak mengganggu kebersamaan kami!" dengus Rain. Alarich terbahak, "Kapan lagi gue bisa buat ni kanebo kering kesal," ucap Alar
"Apa kamu menginginkan kepergianku,Mas?" tanya Nandini sendu, menahan rasa gemuruh yang bercokol di dalam dadanya. Hening. Baik Xavier maupun Nandini, mereka hanya diam saja. Xavier sendiri tertahan di depan pintu kamar mandi. Nandini tampak menghela nafasnya lelah, menatap nanar pada punggung tempatnya bernaung. Namun, saat ini punggung itu terasa jauh, sulit untuk ia gapai. "Baiklah, Mas. Jika itu memang maumu, mungkin jika aku tidak berada di sekitarmu, maka kamu akan memaafkanku. Aku pamit, tolong jaga diri baik-baik, jaga kesehatanmu. Jangan terlalu lelah bekerja, maafkan semua kesalahanku. Aku mencintaimu, Mas. Aku pamit," lirih Nandini. Nandini segera membalikkan tubuhnya, sakit dan juga sesak yang kini ia rasakan. Dia tahu, jika semua ini adalah kesalahannya. Namun, tidakkah sang suami dapat memaafkan, padahal dulu ketika Xavier bersalah pun, dirinya dengan senang hati memaafkan. Xavier sendiri hanya mematung
"Hallo, apa kabar ibu dan kak Meylan? Kalian pasti sudah berbahagia di atas sana, atau bahkan kalian sudah bertemu dengan ayah. Ah aku menjadi iri, aku pun ingin berkumpul seperti kalian," lirih Nandini, terlihat ia menghela nafasnya lelah. "Jujur, aku pun lelah sebenarnya. Bolehkah jika aku menyerah dan menyusul kalian bertiga? Aku ... aku melakukan kesalahan terhadap putriku, dan suamiku enggan memaafkanku. Ayah, ibu semenjak kecil aku tidak pernah merasakan bagaimana di sayang oleh ibuku sendiri. Aku lelah, izinkan aku menyusul kalian." Isak tangis Nandini terdengar begitu lirih dan menyesakkan. Membuat seorang pria yang mematung tepat di belakang tubuh Nandini. Tangisan pilu Nandini membuat pria itu mengepalkan tangannya. Tidak tahan, ia pun menghampiri Nandini, dan merengkuh tubuhnya dari belakang. "Maafkan aku, Sayang. Tolong maafkan kesalahanku untuk yang ke sekian kalinya. Aku terlalu banyak dosa padamu, maafkan aku," lirih Xavier. Ya
Sheinafia mematut dirinya di depan cermin besar yang ada di hadapannya. Gaun putih melekat indah di tubuh sintalnya, tidak lupa rambut yang terikat rapi dan indah. Wajah cantik itu sedari tadi hanya menampilkan senyuman indah. Tepat hari ini, ia akan melepas masa lajangnya. Xavier menatap dalam wajah putrinya, anak perempuan yang baru ia temui ketika usianya sudah besar. Anak yang tidak ia temani tumbuh kembangnya, kini ... ia harus melepas pergi. Sheinafia menatap siluet sang ayah, ia dapat melihat kesedihan di dalam binar mata sang ayah. Pria yang menjadi cinta pertamanya, laki-laki yang akan mengorbankan apapun demi kebahagiaan dirinya. Nandini, tampak mendampingi sang suami. Karena ia tahu, jika Xavier akan sangat kehilangan putri kecilnya. Sepasang suami istri itu, kini berjalan mendekati sang putri yang sudah selesai di dandani oleh pihak MUA. "Kamu cantik sekali, Nak," lirih Xavier dengan suara yang terdengar berget
"Hari ini, kalian sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Tolong,jaga putriku dengan baik, Rain. Kau tahu sendiri bagaimana aku bisa menemukan keberadaanya dulu. Dan ayah harap, kamu tidak menyakiti putri ayah, jangan sampai ada Sheinafia yang lain Rain. Cukup ayah yang gagal karena tidak bisa menjadi ayah dan suami yang baik," lirih Xavier. Kini mereka tengah berada di resepsi pernikahan Rain dan Sheinafia. Tidak banyak tamu yang di undang oleh Xavier. Sengaja, karena Xavier tidak ingin putrinya merasa kelelahan. Senyuman selalu terukir di bibirnya, apalagi melihat tawa putri kecilnya. Si kembar Sean dan Samudera pun tampak mendampingi sang kakak. "Selalu bahagia, Nak. Meski tanggung jawab ayah kini sudah berpindah tangan," monolog Xavier. Rain pun ikut menatap Sheinafia yang di kelilingi oleh saudara-saudaranya. Apalagi Alarich yang begitu posesif padanya. Cemburu? Ya, tapi Rain mencoba mengerti jika Alarich begitu menyayangi istri
"Jangan menatapku seperti itu ... malu," cicit Sheinafia. Rain tertawa kecil, si dingin bak kulkas berjalan itu tertawa. Tawa yang hanya akan ia perlihatkan pada wanita satu-satunya yang berada di dalam hidup pria sebatang kara itu. Tangan kekar nan lebar itu lantas menangkup kedua pipi Sheinafia. Membuat gadis itu seketika mendongak, menatap wajah tampan lelakinya. "Jangan menunduk terus, Sayang. Aku berada tepat di hadapanmu, bukan di bawah. Mengapa kamu senang sekali menatap lantai, hmm. Daripada menatap suamimu yang tampan ini?" tanya Rain heran. Ah, bagaimana bisa lelaki itu berkata hal seperti itu dengan sangat santai. Tidak tahu'kah ia, jika dirinya saat ini tengah gusar dan gugup. "Sayang," panggil Rain dengan suara serak dan berat, seolah ia tengah menahan hasrat yang sudah berada di puncak kepalanya."Mungkin, malam ini bukanlah malam pertama untuk kita berdua. Aku juga tahu, jika mungkin saat ini kita akan melaku
Sheinafia masih asyik bergelung di bawah selimut tebalnya. Sejak pagi tadi, Rain begitu betah memandangi wajah sang istri yang begitu cantik tanpa polesan apapun. Rain menggempur istri kecilnya semalaman suntuk, dan mereka baru berhenti ketika jam menunjukkan pukul tiga pagi. Entahlah, staminanya seolah tiada habisnya. Apalagi ketika melihat istri kecilnya bermandikan peluh. "Tubuhmu bagaikan candu, Sayang. Maafkan aku yang tidak bisa berhenti mereguk surga dunia bersamamu," lirih Rain. Rain terkekeh lirih saat digigit sang istri akibat permainannya yang kasar. Namun, apalah daya nafsu sudah membelenggu jiwa hingga rintihan Sheinafia tidak mampu menghentikan syahwatnya. Rain menurunkan wajahnya, mengecup lembut kening sang istri. Tidak lupa ia selalu mengucapkan terima kasih di dalam hatinya. "Terima kasih, Sayang. Karena kamu sudah menerimaku. Sayang ... Tubuhmu begitu candu untukku," bisik Rain di telinga Sheinafia.
Bab 96 - S2 - Malam Pertama (21+) “Bagaimana saksi, Sah?!” Tanya seorang penghulu kepada para saksi yang berada di sana. “Sah!” “Sah!” “Sah!” Kalimat Sah menggema, membuat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Senja. Alarich melihat hal itu, ia langsung menggenggam tangan mungil sang istri. Membuat Senja sadar jika ia tidak sendiri. Gadis yang sudah bergelar istri itu menoleh, menatap sang suami yang tersenyum manis kepadanya. Lelaki yang tidak pernah tersenyum itu, kini memberika senyumannya hanya untuk sang istri. “Alhamdulilah, kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri. Silahkan untuk sang istri mencium tangan sang suami, dan suami mencium kening serta ubun-ubun istri anda,” ujar sang penghulu. Alarich maju, mendekati istrinya. Dengan tubuh bergetar menahan gugup Alarich mencium kening serta ubun-ubun sang istri. Begitu juga dengan Senja, dengan tangan yang gemetar, ia raih jemari sang suami. Men
Bab 95 - S2 - Menikah Deg Senja langsung menoleh ke arah Alarich, ia bahkan menghentikan langkah kakinya. Menatap wajah yang senantiasa datar dan dingin itu, mencari kebohongan dari binar matanya yang tajam. Namun, Senja sama sekali tidak menemukan kebohongan tersebut, ia justru melihat ketulusan, kejujuran, dan keseriusan dari mata Alarich. Lantas Alarich membuka pintu ballroom, begitu pintu terbuka keluarga besar Romanov menyambutnya. Senja mematung di tempatnya berdiri,memandang bagaimana baiknya keluarga yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Alarich meraih tangan Senja, dan membawanya masuk. Mata Senja sudah berkaca-kaca, melirik tangan yang di genggam oleh Alarich. “Tuan,” lirih Senja. “Mari masuk, mereka sudah menunggumu. Menunggu calon menantu baru di keluarga Romanov. Gadis yang selama beberapa tahun aku tunggu, tidak mungkin aku lepaskan untuk yang kedua kalinya. Oleh karena itu, aku akan langsung mengikatmu dengan pernikaha
Malam itu, Senja sudah siap dengan gaun yang sudah di siapkan oleh Alarich sebelumnya. Gaun berwarna lembut sangat cocok dengan karakter Senja. Jangan lupakan kerudung yang berwarna sama dengan gaunnya menambah kecantikan seorang Senandung Senja. Gadis berhijab itu di dandani oleh Sheinafia, wanita beranak satu itu begitu antusias kala mendengar Alarich hendak melamar Senja. Namun, mereka sengaja tidak mengatakan hal itu kepada Senja, sebab takut jika gadis tersebut menolaknya. “Ya Tuhan, kamu cantik sekali, Senja,” pekik Sheinafia yang membuat ketiga perempuan paruh baya yang kebetulan berada di kamar Senja sontak menoleh ke arah dua wanita muda itu. Nandini, Namilea, dan Melati tersenyum kala melihat Senja. Wajahnya yang cantik alami semakin bersinar kala Sheinafia membubuhkan make up flawless di wajah cantiknya. Namilea menghampiri keduanya, ia tersenyum lembut lantas mengusap puncak kepala Senja yang terbalut hijab. “Kamu cantik sekali, Nak
Bab 93 - S2 - Pendekatan Alarich Tidak terasa, sudah hampir dua minggu Senja tinggal di Mansion Romanov. Selama itu pula, Senja belum pernah kembali bertemu dengan Alarich. Entah kemana perginya lelaki dingin itu, pria pertama yang merangkulnya ketika ia terjatuh. “Senja, Nak,” panggil Namilea. Merasa ada yang memanggilnya, Senja pun menoleh. Ternyata ibu dari Alarichlah yang memanggil namanya. Senja tersenyum menyambut kedatangan Namilea yang kini duduk di sebelahnya. “Sedang apa, Nak? Ibu lihat dari tadi kamu duduk sendirian di sini? Kamu bosan?” Tanya Namilea hati-hati. Senja menggelengkan kepalanya,”Tidak ibu. Senja tidak bosan,” jawab Senja yang memang sekarang memanggil Namilea dengan panggilan ibu sesuai permintaan Namilea. Namilea pun tersenyum. Lantas mengangkat sebuah paper bag yang isinya entah apa. “Ini, tadi Alarich sebelum berangkat kerja dia menitipkan ini untuk kamu. Katanya, pakai nanti malam asisten Alarich a
Bab 92 - S2 - Kembalinya Senja “Semuanya, perkenalkan … Senandung Senja.” Deg Mereka terdiam, tentu tidak menyangka jika gadis yang memilih untuk pergi dari kediaman Romanov, kini telah kembali. Alarich, menemukannya dan entah dimana lelaki tampan nan dingin itu menemukan keberadaan Senja. Berbagai spekulasi muncul di kepala para paruh baya itu. Namun, mereka senang sebab sepertinya Alarich mulai membuka hatinya. Namilea menghampiri keduanya, ia menatap tidak percaya gadis cantik yang berdiri di hadapannya itu. “Nak, benarkah kamu Senja? Gadis yang dulu masuk ke dalam mobil Alarich?” Tanya Namilea lembut. Senja terdiam, namun ia melirik Alarich yang berdiri tak jauh darinya. Alarich pun mengangguk. Senja tersenyum tipis, “ Ya, Nyonya. Maafkan saya karena dulu memilih untuk pergi dari sini. Maaf, bukannya saya tidak tahu berterima kasih, hanya saja … saya tidak mau terlalu jauh merepotkan kalian. Kalian terlalu
Bab 91-S2-Kebingungan Senja “Bagaimana, Senandung Senja?” tanya Alarich. Raut wajah lelaki itu terlihat begitu serius, Senja jadi bingung. Entah langkah apa yang harus ia ambil, semua terasa begitu mendadak. “Maafkan saya, Tuan. Tapi … mengapa anda begitu yakin jika saya adalah Senja yang anda cari? Bagaimana jika ternyata anda salah orang?” Tanya Senja pelan nan lembut. “Insting,” jawab Alarich singkat padat dan jelas. “Insting? Bagaimana bisa?” Lirih Senja yang masih bisa di dengar oleh Alarich. Alarich menatap Senja datar, “Kau Senandung Senja, perempuan yang tiba-tiba memasuki mobilku dan meminta pertolongan dari ibu dan saudara angkatmu itu.” Deg Senja mematung di tempatnya, tentu ia tidak lupa dengan kejadian itu. Di mana ia memasuki mobil Alarich dan meminta pertolongan kepada lelaki tampan itu. Dari kejadian itu pula, Senja merasakan bagaimana arti keluarga sesungguhnya. Hanya saja, karena merasa in
Deg “Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?” tanya Sheinafia pada sang suami yang tengah memakan mangga muda di waktu yang tak lazim yaitu jam delapan malam. Rain mengunyah habis mangganya sebelum ia menjawab pertanyaan sang istri. Sheinafia bahkan sampai meneguk ludahnya kasar kala melihat bagaimana Rain memakan mangga itu tanpa rasa kecut sedikitpun. Rain tersenyum lembut, dan membelai pipi sang istri dengan penuh kasih sayang. Tatapan Rain kepada Sheinafia sama sekali tidak pernah berubah. Penuh cinta dan juga kasih sayang, Rain yang dingin dan datar di luar nyatanya tidak berlaku untuk keluarga kecilnya. “Sayang, kamu masih ingat ketika mengandung Hazelnut, bukankah aku yang mengalami couvade syndrome. Sampai aku tidak bisa terbangun dan harus istirahat di atas tempat tidur selama satu bulan lamanya?!” Sheinafia diam, lalu tak lama kemudian ia mengangguk. Tentu masih segar di dalam ingatannya ketika ia mengandung Ha
Alarich baru saja tiba di mansionnya, Sheinafia tampak tengah memangku Hazelnut. Sepertinya gadis kecil itu tengah demam. “Ada apa?” tanya Alarich pada Sheinafia. “Al, kamu sudah pulang? Dimana Rain? Aku kira kalian pulang sama-sama,” ujar Sheinafia yang terlihat lelah. Alarich mengambil alih tubuh Hazelnut, dan memang benar gadis kecil itu tengah demam. Alarich mengusap lembut punggungnya, membuat tangisan Hazelnut mereda. Setahu Alarich, keponakannya anak yang anteng. Walaupun ia tengah sakit, jarang sekali Hazelnut rewel seperti saat ini. “Kenapa, Sayang?” tanya Alarich lembut. “Daddy, dimana ayah? Kenapa ayah belum juga pulang?” tanyanya lirih. Alarich menatap Sheinafia, perempuan muda itu hanya mengedikkan bahunya. Tanda ia tak tahu kemana perginya sang suami, biasanya jam empat sore lelaki itu sudah pulang. “Sudah kamu coba menghubunginya, Shei? Tidak biasanya ia pulang telat seperti sekarang,” ucap Alarich datar.
Deg Jantung Alarich terasa berdenyut dengan cepatnya kala ia mendengar suara yang begitu di rindukan. Suara yang selama bertahun-tahun lamanya ia nantikan kehadirannya. Kini, Alarich mendengar kembali suara itu. Langkah kakinya yang tegas membawa ia mendekati sang keponakan. Anak dari kakak sepupu yang begitu ia sayangi seperti anaknya sendiri. “Daddy,” cicit Hazelnut. Air mata masih membasahi kedua pipi chubby Hazelnut. Alarich semakin mendekat, kini wajah itu wajah yang selalu di rindukannya itu ada dihadapan Alarich. Alarich berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi Hazelnut, tangan besarnya mengusap lembut air mata yang masih setia membasahi mata indahnya. Lutut gadis kecil nan cantik itu tampak mengeluarkan darah. “Are you ok?” tanya Alarich khawatir. Deg Kini gadis berhijab pastel itu yang merasakan degup jantungnya berpacu, bagaimana tidak. Suara yang ia dengar sekarang adalah pemilik nama yang setiap malam sering ia