Sheinafia mematut dirinya di depan cermin besar yang ada di hadapannya. Gaun putih melekat indah di tubuh sintalnya, tidak lupa rambut yang terikat rapi dan indah. Wajah cantik itu sedari tadi hanya menampilkan senyuman indah. Tepat hari ini, ia akan melepas masa lajangnya. Xavier menatap dalam wajah putrinya, anak perempuan yang baru ia temui ketika usianya sudah besar. Anak yang tidak ia temani tumbuh kembangnya, kini ... ia harus melepas pergi. Sheinafia menatap siluet sang ayah, ia dapat melihat kesedihan di dalam binar mata sang ayah. Pria yang menjadi cinta pertamanya, laki-laki yang akan mengorbankan apapun demi kebahagiaan dirinya. Nandini, tampak mendampingi sang suami. Karena ia tahu, jika Xavier akan sangat kehilangan putri kecilnya. Sepasang suami istri itu, kini berjalan mendekati sang putri yang sudah selesai di dandani oleh pihak MUA. "Kamu cantik sekali, Nak," lirih Xavier dengan suara yang terdengar berget
"Hari ini, kalian sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Tolong,jaga putriku dengan baik, Rain. Kau tahu sendiri bagaimana aku bisa menemukan keberadaanya dulu. Dan ayah harap, kamu tidak menyakiti putri ayah, jangan sampai ada Sheinafia yang lain Rain. Cukup ayah yang gagal karena tidak bisa menjadi ayah dan suami yang baik," lirih Xavier. Kini mereka tengah berada di resepsi pernikahan Rain dan Sheinafia. Tidak banyak tamu yang di undang oleh Xavier. Sengaja, karena Xavier tidak ingin putrinya merasa kelelahan. Senyuman selalu terukir di bibirnya, apalagi melihat tawa putri kecilnya. Si kembar Sean dan Samudera pun tampak mendampingi sang kakak. "Selalu bahagia, Nak. Meski tanggung jawab ayah kini sudah berpindah tangan," monolog Xavier. Rain pun ikut menatap Sheinafia yang di kelilingi oleh saudara-saudaranya. Apalagi Alarich yang begitu posesif padanya. Cemburu? Ya, tapi Rain mencoba mengerti jika Alarich begitu menyayangi istri
"Jangan menatapku seperti itu ... malu," cicit Sheinafia. Rain tertawa kecil, si dingin bak kulkas berjalan itu tertawa. Tawa yang hanya akan ia perlihatkan pada wanita satu-satunya yang berada di dalam hidup pria sebatang kara itu. Tangan kekar nan lebar itu lantas menangkup kedua pipi Sheinafia. Membuat gadis itu seketika mendongak, menatap wajah tampan lelakinya. "Jangan menunduk terus, Sayang. Aku berada tepat di hadapanmu, bukan di bawah. Mengapa kamu senang sekali menatap lantai, hmm. Daripada menatap suamimu yang tampan ini?" tanya Rain heran. Ah, bagaimana bisa lelaki itu berkata hal seperti itu dengan sangat santai. Tidak tahu'kah ia, jika dirinya saat ini tengah gusar dan gugup. "Sayang," panggil Rain dengan suara serak dan berat, seolah ia tengah menahan hasrat yang sudah berada di puncak kepalanya."Mungkin, malam ini bukanlah malam pertama untuk kita berdua. Aku juga tahu, jika mungkin saat ini kita akan melaku
Sheinafia masih asyik bergelung di bawah selimut tebalnya. Sejak pagi tadi, Rain begitu betah memandangi wajah sang istri yang begitu cantik tanpa polesan apapun. Rain menggempur istri kecilnya semalaman suntuk, dan mereka baru berhenti ketika jam menunjukkan pukul tiga pagi. Entahlah, staminanya seolah tiada habisnya. Apalagi ketika melihat istri kecilnya bermandikan peluh. "Tubuhmu bagaikan candu, Sayang. Maafkan aku yang tidak bisa berhenti mereguk surga dunia bersamamu," lirih Rain. Rain terkekeh lirih saat digigit sang istri akibat permainannya yang kasar. Namun, apalah daya nafsu sudah membelenggu jiwa hingga rintihan Sheinafia tidak mampu menghentikan syahwatnya. Rain menurunkan wajahnya, mengecup lembut kening sang istri. Tidak lupa ia selalu mengucapkan terima kasih di dalam hatinya. "Terima kasih, Sayang. Karena kamu sudah menerimaku. Sayang ... Tubuhmu begitu candu untukku," bisik Rain di telinga Sheinafia.
"Mati saja kau!" Sarkas wanita paruh baya itu. Sedangkan wanita muda yang tengah berdiri di samping sang ibu, hanya menatap sinis dan penuh ejekan. Mereka sama sekali tidak memperdulikan keadaan Senja yang basah kuyup. Wanita paruh baya itu menarik kasar lengan Senja. Tubuh ringkih Senja tertarik menuju dapur. "Ibu, tolong pelan- pelan. Kepala Senja pusing," pintanya lirih. Wanita paruh baya itu tetap menarik tubuh ringkih Senja. Lalu melepaskannya dengan sangat kasar,hingga tubuh Senja terhantuk ujung meja yang ada di dapur. "Arggh!" Teriak Senja. "Sakit," lirihnya. Kedua perempuan berbeda usia itu hanya tertawa mengejek. Tanpa memperdulikan bagaimana kesakitan Senja. "Cepat bereskan! Ingat ketika aku kembali, rumah harus sudah bersih. Aku sama sekali tidak mau melihat satu debu pun ada di sini, mengerti!" Di tengah kesakitannya, Senja terpaksa menganggukkan kepalanya lemah. Ia menelisik keadaan rum
Brak "Ya Tuhan, bagaimana bisa ember sialan ini menghalangi jalanku. Ibu, lihatlah sepertinya anak sialan itu sengaja menaruh ember berisi air kotor ini di sini," tunjuknya pada ember kecil yang kebetulan tersimpan di dekat pintu. Perempuan paruh baya itu seketika menggeram marah. Ia mengedarkan pandangannya mencari keberadaan gadis muda yang tadi ia suruh untuk membersihkan rumah. Tatapan tajamnya menelisik ruangan demi ruangan. Hingga akhirnya ia tiba di dapur, dan melihat Senja yang tengah tertidur. "Enak sekali anak sialan ini! Aku suruh membersihkan rumah, dia malah tidur, brengsek," gerutunya. Lantas wanita paruh baya itu pun mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk memukul Senja. Baginya, Senja sudah keterlaluan karena tidak mengerjakan perintahnya. Bug "Aww," teriak Senja. Mata indah berwarna cokelat terang itu langsung terbuka, reflek kedua tangan mungilnya melindungi tubuhnya sendiri. Senja men
“Bismillah, maafkan aku Ibu, bukan aku tidak mempunyai rasa terima kasih. Namun, Senja tidak mau jika harus menikah di usia Senja yang bahkan belum genap 17 tahun. Ibu mengapa kamu begitu tega,” lirih Senja. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari, Senja yang semenjak semalam tidak menutup matanya tengah bersiap. Tekadnya sudah bulat,ia akan meninggalkan tempat tinggalnya. Senja tidak mau di nikahkan, dan ia lebih memilih melarikan diri. Apalagi setelah mendengarkan ucapan sang ibu semalam,membuatnya semakin bertekad. Tadinya, Senja memilih bertahan tetapi semua rasanya percuma saja. Senja keluar dari rumahnya dengan cara mengendap, ia berjalan dengan sangat perlahan sekali. Takut jika salah satu dari mereka memergokinya. Keadaan ruangan yang gelap,tidak menyurutkan Senja untuk tetap berjalan. Senja sengaja mengambil jalan melalui pintu samping. Semalam ia sengaja tidak menguncinya agar lebih mudah ketika ia keluar. Pagi pun tiba, waktu s
Senja terus melangkah mengikuti kata hatinya. Meski lelah menerpa, ia terus mencoba untuk bertahan. Bayangan menikah dengan seorang pria paruh baya, membuatnya membulatkan tekad untuk pergi menjauh dari orang yang selama ini merawatnya. Bukan Senja tidak tahu diri ataupun tidak tahu berterima kasih. Senja hanya tidak ingin mengorbankan masa depannya demi kata balas budi. Biarlah ia relakan rumah yang menjadi warisan dari sang ayah angkat, asalkan ia bebas dari jeratan ibu dan saudara angkatnya. “Ternyata … ibu melarangku untuk menginjakkan kakiku di dunia luar, supaya aku menjadi orang yang bodoh. Sekolah pun aku tidak pernah, Ya Tuhan apakah kesalahanku hingga ibu, orang yang aku hormati setelah ayah begitu tega berbuat hal seperti ini padaku. Di mana letak kasih sayangnya, Tuhan. Tidakkah ia memiliki setitik saja kasih sayangnya untukku,” gumam Senja. Ia menyeka peluh yang mulai membasahi pelipisnya. Sesekali dirinya menelan salivanya kasar, hanya kar