Setelah mengatakan hal itu. Meylan segera beranjak dari sana, membawa sejuta luka yang menganga. Dirinya tidak percaya jika pria yang ia pilih, ternyata tidak lebih dari seorang pengecut. Meylan terus berjalan hingga kini ia berada di apartemen yang biasa ia tinggalin selama di negara A. Meylan mendapatkan apartemen itu dari Alex, karena selama ia berada di sini pria itulah yang menjamin keberlangsungan hidupnya. Meylan merasa ini semua hanyalah mimpi, sebuah mimpi buruk. "Apa yang harus aku lakukan! Apa jika aku kembali pada Xavier, dia masih mau menerimaku!" Lirih Meylan. Pikirannya menerawang jauh. Ke kejadian beberapa bulan lalu, ketika ia pertama kali berkenalan bersama Alex. Dan juga ketika pria itu merayunya untuk pergi meninggalkan hari pernikahannya. "Sayang!" Panggil Xavier lembut kala sang kekasih datang ke perusahaannya untuk makan siang. Kala itu Xavier sedang mengadakan pertemuan dengan Alex Ferdinand yang merupakan CEO di Ferdinand Grou
Tangisan masih terdengar di ruangan apartemen yang sunyi itu. Tangisan itu terdengar pilu dan menyayat hati. Siapa saja yang mendengarnya pasti akan merasakan iba dan juga kasihan. "Kamu tega Lex! Tega merusakku, dan sekarang setelah kau puas. Kau membuangku begitu saja layaknya sampah yang sudah tidak bisa lagi di pakai! Aku sudah tidak berharga," lirih Meylan dengan tangisan yang tiada berhenti. "Apa yang harus aku lakukan," lanjut Meylan lalu ia mengambil ponselnya yang berada di atas meja. Ia akan mencoba menelepon sang kakak. Semoga kakaknya mau menolong dan membawa dirinya pulang ke negaranya. Meylan sudah memutuskan dia akan kembali lagi ke negaranya, dan dia juga akan berusaha kembali mendekati Xavier. Apapun yang terjadi. Meylan harus kembali dengan Xavier. Bila perlu dirinya akan melakukan apapun meski harus jalan kotor sekalipun toh semuanya sudah terlanjur hancur. Tut tut tut Meylan masih menunggu jawaban dari seberang sana. Hin
Xavier sengaja membawa Nandini menuju kamarnya. Laki-laki itu ingin melihat bagaimana reaksinya esok hari ketika ia terbangun. Dan tada dia tidak tertidur di kamarnya ah ralat di gudang tempat ia tidur. Melainkan di kamar mewah seorang Xavier. Kamar yang tidak pernah di masuki oleh seorang mahluk yang bernama wanita. Kamarnya zona terlarang bagi mereka, kecuali Nandini, ya lagi-lagi Nandini wanita pertama yang di izinkan oleh tuan besar Romanov memasuki kamarnya. "Tidurlah yang nyenyak Nandini. Aku sudah tidak sabar melihat bagaimana kamu akan panik pas terbangun nanti," kekeh Xavier. Jordhan menggeleng, "Ya Tuhan apa yang akan di lakukan Tuan, semoga saja dia tidak melakukan hal yang aneh-aneh," ucap Jordhan pelan. Lalu pria paruh baya itu melangkah menuju ke ruang kerja sang Tuan. Dia menyimpan tas kerja tuannya. Setelah itu ia kembali ke kamarnya. Ingin sekali ia melihat Nandini. Tapi, tidak mungkin jika dirinya harus menggedor pintu kamarnya.
Xavier shock mendapati reaksi dari Nandini. Padahal dirinya hanya ingin melihat reaksi dimana Nandini kaget terus memeluknya. Ah ternyata itu hanyalah sebuah ekspetasi saja. "Nandini hei, sadar sayang!" Ucap Xavier khawatir. Ia menangkup kedua pipi sang istri dengan tangan lebarnya dan menatap mata Nandini dengan dalam. "It's ok hmm. Aku.. Aku yang membawamu kemari. Aku sengaja hmm, hanya ingin sedikit menjahilimu," lanjut Xavier tersenyum tipis. Mendengar ucapan Xavier membuat Nandini terdiam. Ia menajamkan telinganya, karena takut salah mendengar. Dan takutnya dirinya malah geer duluan. Xavier tersenyum tipis. Melihat Nandini terdiam dan mematung. Sungguh menggemaskan!. "M-maksud a-anda apa?" Tanya Nandini terbata. Xavier tidak menjawab. Pria itu hanya menatap wajah cantik yang baru saja terbangun dari tidurnya. Bukankah seorang wanita akan terlihat cantik jika ia baru saja terbangun dari tidurnya. "Tidak ada!" Jawab Xavier datar.
Tidak terasa sudah satu minggu Xavier menikahi Nandini. Dan ia dapat melihat jika Nandini adalah perempuan yang lemah lembut, dan juga penyayang. Dan selama itu pula perlakuan Xavier kepada Nandini pun melunak, pria itu sedikit berubah dalam bersikap tidak ada lagi bentakan atau pun cacian juga siksaan kepada Nandini. Dan Jordhan bersyukur atas hal itu. Ia berharap jika sang Tuan Muda akan tetap berlaku seperti itu, tidak ada lagi kekerasan pada Nandini. Apalagi gadis itu terindikasi trauma, Jordhan hanya takut jika itu akan berakibat fatal pada mentalnya, hidup dalam tekanan, siksaan juga bentakan bukanlah hal yang gampang. "Nak!" Panggil Jordhan lembut pada Nandini yang kala itu sedang menata bunga-bunga yang berada di taman depan Mansion mewah itu. Merasa ada yang memanggilnya, membuat Nandini menghentikan aktivitasnya. Ia melihat ke arah pria paruh baya yang selalu menatapnya dengan teduh. Pria itu menghampiri Nandini dan tersenyum lembut padanya. "Ada apa paman?" Tanya N
Nandini pun mengistirahatkan tubuh kecilnya. Masakan yang ia buat tadi sore pun tidak di sentuh sama sekali oleh Xavier. Makanan itu masih tersaji di atas meja makan, karena Nandini berpikir jika Xavier akan makan malam tapi ternyata pria itu pulang larut. Xavier sama sekali tidak menatap atau melirik Nandini. Hingga membuat gadis itu bersedih. Padahal ia sudah senang dengan perlakuan lembut Xavier, tapi sayang itu hanya sebentar sebab Xavier kembali bersikap dingin dan datar padanya. "Ada apa dengan tuan! Ah semoga esok perasaan tuan lebih baik, mungkin hari ini dia sedang lelah!" Gumam Nandini. "Ya Tuhan semoga esok lebih baik, semoga esok sikap tuan tidak seperti malam ini, Amiin!" Lanjut Nandini sebelum merebahkan tubuhnya di atas kasur tipis. Perlahan mata hazel itu pun menutup. Nandini bersiap menjemput mimpinya. Tak berselang lama, gadis itu pun tertidur dengan nyenyak, tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 02.30 dini hari, gadis itu sudah terbangu
Hari itu, di suatu pagi. Ketika Xavier baru saja berangkat menuju ke perusahaannya, ia mengecek CCTV milik sang mantan kekasih pas dirinya baru sampai di ruangannya. Dia melihat sang mantan kekasih di siksa oleh pria yang bernama Alex. Meski Xavier sadar jika ia sudah mulai menyukai Nandini, tapi ada sisi hati kecilnya yang tidak rela melihat Meylan di perlakukan seperti itu oleh orang lain. Yang berhak berbuat seperti itu adalah dirinya, tidak rela bukan berarti dirinya masih mengharapkan wanita kotor itu. Tapi, seperti apa yang ia katakan tadi, jika yang berhak menyiksa Meylan adalah dirinya. "Heh, kasihan sekali nasibmu Meylan! Andaikan kau tidak pergi kala hari pernikahan kita, tentu kau akan menjadi wanita paling bahagia. Dan karena kelakuanmu, aku rasanya malas untuk percaya lagi pada mahluk yang bernama perempuan! Mahluk yang pintar memanipulasi keadaan, mahluk yang pintar bersembunyi di balik topengnya," ucap Xavier datar. "Kau tahu Meylan, tadinya aku sud
Pagi pun datang, mentari menyambut datangnya pagi. Udara sejuk serta kicau burung menemani naiknya sang mentari menyapa alam bumi. Dua minggu sudah Nandini berada di Mansion mewah itu. "Huft selamat datang pagi. Ini hari ke empat belas aku tinggal di sini, dan kelakuan tuan itu semakin dingin bak es yang berada di freezer sebuah kulkas. Aku hanya sebentar merasakan bagaimana perlakuan manisnya, tapi sekarang dia kembali seperti itu," ucap Nandini lemah dan lesu. "Apa kepalanya terbentur ya pas dia berangkat bekerja? Atau otaknya ada yang konslet sehingga membuatnya menjadi miring sebelah?" Lanjut Nandini berbicara pelan karena takut ada yang mendengar terus mengadukannya pada pria dingin itu. Nandini terus berceloteh sambil bersih-bersih. Dia terus menggerutu karena perubahan sikap Xavier yang menurutnya begitu signifikan. Tanpa Nandini tahu, jika Xavier berada tidak jauh dari sana, ia mendengar semua perkataan Nandini. Senyum Xavier sesekali tersungging
Bab 96 - S2 - Malam Pertama (21+) “Bagaimana saksi, Sah?!” Tanya seorang penghulu kepada para saksi yang berada di sana. “Sah!” “Sah!” “Sah!” Kalimat Sah menggema, membuat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Senja. Alarich melihat hal itu, ia langsung menggenggam tangan mungil sang istri. Membuat Senja sadar jika ia tidak sendiri. Gadis yang sudah bergelar istri itu menoleh, menatap sang suami yang tersenyum manis kepadanya. Lelaki yang tidak pernah tersenyum itu, kini memberika senyumannya hanya untuk sang istri. “Alhamdulilah, kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri. Silahkan untuk sang istri mencium tangan sang suami, dan suami mencium kening serta ubun-ubun istri anda,” ujar sang penghulu. Alarich maju, mendekati istrinya. Dengan tubuh bergetar menahan gugup Alarich mencium kening serta ubun-ubun sang istri. Begitu juga dengan Senja, dengan tangan yang gemetar, ia raih jemari sang suami. Men
Bab 95 - S2 - Menikah Deg Senja langsung menoleh ke arah Alarich, ia bahkan menghentikan langkah kakinya. Menatap wajah yang senantiasa datar dan dingin itu, mencari kebohongan dari binar matanya yang tajam. Namun, Senja sama sekali tidak menemukan kebohongan tersebut, ia justru melihat ketulusan, kejujuran, dan keseriusan dari mata Alarich. Lantas Alarich membuka pintu ballroom, begitu pintu terbuka keluarga besar Romanov menyambutnya. Senja mematung di tempatnya berdiri,memandang bagaimana baiknya keluarga yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Alarich meraih tangan Senja, dan membawanya masuk. Mata Senja sudah berkaca-kaca, melirik tangan yang di genggam oleh Alarich. “Tuan,” lirih Senja. “Mari masuk, mereka sudah menunggumu. Menunggu calon menantu baru di keluarga Romanov. Gadis yang selama beberapa tahun aku tunggu, tidak mungkin aku lepaskan untuk yang kedua kalinya. Oleh karena itu, aku akan langsung mengikatmu dengan pernikaha
Malam itu, Senja sudah siap dengan gaun yang sudah di siapkan oleh Alarich sebelumnya. Gaun berwarna lembut sangat cocok dengan karakter Senja. Jangan lupakan kerudung yang berwarna sama dengan gaunnya menambah kecantikan seorang Senandung Senja. Gadis berhijab itu di dandani oleh Sheinafia, wanita beranak satu itu begitu antusias kala mendengar Alarich hendak melamar Senja. Namun, mereka sengaja tidak mengatakan hal itu kepada Senja, sebab takut jika gadis tersebut menolaknya. “Ya Tuhan, kamu cantik sekali, Senja,” pekik Sheinafia yang membuat ketiga perempuan paruh baya yang kebetulan berada di kamar Senja sontak menoleh ke arah dua wanita muda itu. Nandini, Namilea, dan Melati tersenyum kala melihat Senja. Wajahnya yang cantik alami semakin bersinar kala Sheinafia membubuhkan make up flawless di wajah cantiknya. Namilea menghampiri keduanya, ia tersenyum lembut lantas mengusap puncak kepala Senja yang terbalut hijab. “Kamu cantik sekali, Nak
Bab 93 - S2 - Pendekatan Alarich Tidak terasa, sudah hampir dua minggu Senja tinggal di Mansion Romanov. Selama itu pula, Senja belum pernah kembali bertemu dengan Alarich. Entah kemana perginya lelaki dingin itu, pria pertama yang merangkulnya ketika ia terjatuh. “Senja, Nak,” panggil Namilea. Merasa ada yang memanggilnya, Senja pun menoleh. Ternyata ibu dari Alarichlah yang memanggil namanya. Senja tersenyum menyambut kedatangan Namilea yang kini duduk di sebelahnya. “Sedang apa, Nak? Ibu lihat dari tadi kamu duduk sendirian di sini? Kamu bosan?” Tanya Namilea hati-hati. Senja menggelengkan kepalanya,”Tidak ibu. Senja tidak bosan,” jawab Senja yang memang sekarang memanggil Namilea dengan panggilan ibu sesuai permintaan Namilea. Namilea pun tersenyum. Lantas mengangkat sebuah paper bag yang isinya entah apa. “Ini, tadi Alarich sebelum berangkat kerja dia menitipkan ini untuk kamu. Katanya, pakai nanti malam asisten Alarich a
Bab 92 - S2 - Kembalinya Senja “Semuanya, perkenalkan … Senandung Senja.” Deg Mereka terdiam, tentu tidak menyangka jika gadis yang memilih untuk pergi dari kediaman Romanov, kini telah kembali. Alarich, menemukannya dan entah dimana lelaki tampan nan dingin itu menemukan keberadaan Senja. Berbagai spekulasi muncul di kepala para paruh baya itu. Namun, mereka senang sebab sepertinya Alarich mulai membuka hatinya. Namilea menghampiri keduanya, ia menatap tidak percaya gadis cantik yang berdiri di hadapannya itu. “Nak, benarkah kamu Senja? Gadis yang dulu masuk ke dalam mobil Alarich?” Tanya Namilea lembut. Senja terdiam, namun ia melirik Alarich yang berdiri tak jauh darinya. Alarich pun mengangguk. Senja tersenyum tipis, “ Ya, Nyonya. Maafkan saya karena dulu memilih untuk pergi dari sini. Maaf, bukannya saya tidak tahu berterima kasih, hanya saja … saya tidak mau terlalu jauh merepotkan kalian. Kalian terlalu
Bab 91-S2-Kebingungan Senja “Bagaimana, Senandung Senja?” tanya Alarich. Raut wajah lelaki itu terlihat begitu serius, Senja jadi bingung. Entah langkah apa yang harus ia ambil, semua terasa begitu mendadak. “Maafkan saya, Tuan. Tapi … mengapa anda begitu yakin jika saya adalah Senja yang anda cari? Bagaimana jika ternyata anda salah orang?” Tanya Senja pelan nan lembut. “Insting,” jawab Alarich singkat padat dan jelas. “Insting? Bagaimana bisa?” Lirih Senja yang masih bisa di dengar oleh Alarich. Alarich menatap Senja datar, “Kau Senandung Senja, perempuan yang tiba-tiba memasuki mobilku dan meminta pertolongan dari ibu dan saudara angkatmu itu.” Deg Senja mematung di tempatnya, tentu ia tidak lupa dengan kejadian itu. Di mana ia memasuki mobil Alarich dan meminta pertolongan kepada lelaki tampan itu. Dari kejadian itu pula, Senja merasakan bagaimana arti keluarga sesungguhnya. Hanya saja, karena merasa in
Deg “Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?” tanya Sheinafia pada sang suami yang tengah memakan mangga muda di waktu yang tak lazim yaitu jam delapan malam. Rain mengunyah habis mangganya sebelum ia menjawab pertanyaan sang istri. Sheinafia bahkan sampai meneguk ludahnya kasar kala melihat bagaimana Rain memakan mangga itu tanpa rasa kecut sedikitpun. Rain tersenyum lembut, dan membelai pipi sang istri dengan penuh kasih sayang. Tatapan Rain kepada Sheinafia sama sekali tidak pernah berubah. Penuh cinta dan juga kasih sayang, Rain yang dingin dan datar di luar nyatanya tidak berlaku untuk keluarga kecilnya. “Sayang, kamu masih ingat ketika mengandung Hazelnut, bukankah aku yang mengalami couvade syndrome. Sampai aku tidak bisa terbangun dan harus istirahat di atas tempat tidur selama satu bulan lamanya?!” Sheinafia diam, lalu tak lama kemudian ia mengangguk. Tentu masih segar di dalam ingatannya ketika ia mengandung Ha
Alarich baru saja tiba di mansionnya, Sheinafia tampak tengah memangku Hazelnut. Sepertinya gadis kecil itu tengah demam. “Ada apa?” tanya Alarich pada Sheinafia. “Al, kamu sudah pulang? Dimana Rain? Aku kira kalian pulang sama-sama,” ujar Sheinafia yang terlihat lelah. Alarich mengambil alih tubuh Hazelnut, dan memang benar gadis kecil itu tengah demam. Alarich mengusap lembut punggungnya, membuat tangisan Hazelnut mereda. Setahu Alarich, keponakannya anak yang anteng. Walaupun ia tengah sakit, jarang sekali Hazelnut rewel seperti saat ini. “Kenapa, Sayang?” tanya Alarich lembut. “Daddy, dimana ayah? Kenapa ayah belum juga pulang?” tanyanya lirih. Alarich menatap Sheinafia, perempuan muda itu hanya mengedikkan bahunya. Tanda ia tak tahu kemana perginya sang suami, biasanya jam empat sore lelaki itu sudah pulang. “Sudah kamu coba menghubunginya, Shei? Tidak biasanya ia pulang telat seperti sekarang,” ucap Alarich datar.
Deg Jantung Alarich terasa berdenyut dengan cepatnya kala ia mendengar suara yang begitu di rindukan. Suara yang selama bertahun-tahun lamanya ia nantikan kehadirannya. Kini, Alarich mendengar kembali suara itu. Langkah kakinya yang tegas membawa ia mendekati sang keponakan. Anak dari kakak sepupu yang begitu ia sayangi seperti anaknya sendiri. “Daddy,” cicit Hazelnut. Air mata masih membasahi kedua pipi chubby Hazelnut. Alarich semakin mendekat, kini wajah itu wajah yang selalu di rindukannya itu ada dihadapan Alarich. Alarich berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi Hazelnut, tangan besarnya mengusap lembut air mata yang masih setia membasahi mata indahnya. Lutut gadis kecil nan cantik itu tampak mengeluarkan darah. “Are you ok?” tanya Alarich khawatir. Deg Kini gadis berhijab pastel itu yang merasakan degup jantungnya berpacu, bagaimana tidak. Suara yang ia dengar sekarang adalah pemilik nama yang setiap malam sering ia