Suasana makan malam di mansion terasa jauh lebih hening dari biasanya.Zanitha duduk di kursinya dengan tenang, menyendok makanannya tanpa ekspresi, sementara di seberangnya, Ananta menikmati steak dengan gerakan perlahan sesekali mencuri pandang ke arah istrinya.Biasanya, meskipun hubungan mereka sering diwarnai adu argumen, Zanitha akan berbicara atau setidaknya menanyakan sesuatu kepada Ananta—walaupun hanya basa-basi karena Zanitha sama sekali bukan perempuan tipe pendiam.Tapi malam ini berbeda.Wanita itu tidak mengeluarkan satu kata pun. Bahkan tatapannya tak sekalipun terangkat untuk melihat sang suami tampan di depannya.Ananta yang semula santai mulai merasa gelisah.Tentu saja dia tahu alasan kenapa Zanitha mendiamkannya.Ananta menyuapkan potongan steak terakhirnya ke mulut, lalu meletakkan pisau dan garpunya dengan perlahan.“Kata Klaus tadi kamu jatuh di taman.” Ananta membuka topik pembicaraan, dia ingin mendengar cerita langsung dari Zanitha kenapa bisa berakh
Sejak pagi, suasana hati Ananta sudah buruk.Duduk di kursi CEO di kantor Shipping Helvion Group, ia menatap layar MacBook dengan ekspresi datar.Seharusnya Ananta fokus pada laporan keuangan yang sedang dipresentasikan oleh manajernya, tapi pikirannya justru melayang ke mansion di mana Zanitha berada.Seharusnya ia lega karena wanita itu akhirnya berhenti mengganggunya. Seharusnya ia senang karena Zanitha tidak lagi mencari-cari perhatiannya.Tapi nyatanya?Setiap detik Ananta justru menunggu reaksi dari wanita itu.Setiap kali ponselnya bergetar, Ananta berharap itu pesan dari Zanitha—meskipun hanya satu kata singkat atau permintaan absurd.Tapi sejak pagi tadi, ponselnya tetap sepi.Tidak ada pesan.Tidak ada panggilan.Tidak ada perhatian.Ananta mendengus pelan, menyandarkan punggung ke kursinya.“Jadi … bagaimana Tuan? Apakah saya bisa lanjutkan ke laporan berikutnya?” Sang manager bertanya untuk yang kedua kalinya karena tidak ada jawaban dari Ananta padahal tatapan
Langit Zurich sudah mulai gelap ketika mobil Ananta memasuki halaman mansion dengan kecepatan stabil. Cahaya lampu jalan yang temaram memantulkan bayangannya di kaca mobil, tetapi pria itu tetap diam dengan rahang mengeras.Di samping kemudi, Taylor-sang sekretaris, menoleh ke belakang membaca ekspresi tajam majikannya yang sedang menahan emosi.Tanpa banyak bicara, begitu mobil berhenti di depan pintu utama mansion, Ananta langsung turun. Langkahnya lebar dan penuh wibawa, tubuhnya tegak, dan sorot matanya menyiratkan ketenangan yang mencekam.Ia berjalan lurus melewati koridor menuju taman samping tempat Klaus melaporkan bahwa Elias sedang menikmati teh bersama Zanitha.Ketika pria itu sampai di taman, ia menemukan pemandangan yang langsung memanaskan darahnya.Zanitha duduk di salah satu kursi besi berbantal empuk tampak begitu anggun menggunakan dress lengan panjang motif floral, sementara Elias duduk di hadapannya dengan ekspresi santai, mengenakan kemeja linen yang terlihat
Ananta membawa Zanitha ke kamar dengan langkah lebar dan penuh amarah. Bahunya tegang, rahangnya mengeras, dan sorot matanya menggelap.Zanitha masih meronta di dalam gendongan pria itu, tangannya menghantam punggung Ananta dengan sia-sia. “Ananta, turunkan aku!” teriaknya. “Kamu enggak bisa seenaknya kaya gini!”Ananta tidak menjawab. Dengan satu gerakan kuat, ia membuka pintu kamar dan menutupnya dengan keras, lalu melangkah menuju ranjang besar mereka.Tanpa aba-aba, ia meletakkan Zanitha di kasur dengan sedikit dorongan yang membuat tubuh wanita itu terhempas ke permukaan kasur yang empuk. Napasnya memburu, dadanya naik-turun seiring dengan emosi yang bergejolak dalam dirinya.Zanitha bangkit, bersiap untuk melawan, tapi Ananta lebih cepat. Ia menindih tubuh wanita itu, kedua tangannya menahan pergelangan tangan Zanitha di atas kepala.“Kamu pikir aku akan membiarkanmu bersenang-senang dengan Elias?” suara Ananta terdengar dalam dan dingin, menggema di d
“Bukan kamu yang menentukan dengan siapa aku jatuh cinta, tapi Tuhan … kalau aku jatuh cinta sama kamu dan harus merelakanmu karena kamu enggak pernah mencintai aku maka akan aku lakukan, karena aku mencintai kamu.”Kalimat Zanitha itu terngiang terus di benak Ananta hingga kini nafas dan debaran jantungnya telah kembali teratur.Sedangkan Zanitha masih ada dalam pelukannya dengan tubuh mereka yang sama-sama polos.“Apa mungkin kalau aku enggak perlu menceraikan Zanitha? Setelah nanti dia mengandung dan melahirkan anakku, anak itu juga butuh ibu yang harus mengurus, merawat dan mendidiknya.” Sisi hati Ananta yang baik bicara.“Kamu akan kerepotan hidup dengan perempuan keras kepala dan pembangkang seperti Zanitha, lebih baik seperti dulu tanpa ikatan dengan perempuan mana pun.” Sisi hati Ananta yang kelam berkata demikian.Ananta menunduk memeriksa Zanitha apakah sudah tertidur namun perlahan istrinya mendongak sehingga mata mereka bertemu dengan wajah yang
Ananta berdiri di ambang pintu dapur, menatap sosok istrinya yang duduk di meja di tengah ruangan, menikmati semangkuk besar es krim dan potongan buah dengan santai.Untuk beberapa detik, Ananta hanya diam. Jantungnya yang tadi berpacu kencang kini mulai melambat, perasaannya campur aduk antara lega, marah, dan sedikit ingin tertawa melihat betapa lucunya alasan Zanitha ‘menghilang’ tengah malam seperti ini.Sekuriti sampai sibuk mencarinya di luar, meminta Klaus mengecek seluruh CCTV di seluruh penjuru mansion, bahkan meminta Taylor bersiap menghubungi polisi—hanya untuk menemukan istrinya yang ternyata sedang duduk di dapur, menikmati camilan malamnya seolah tidak terjadi apa-apa.Zanitha tampaknya terlalu asyik dengan es krimnya sampai tidak menyadari kehadiran Ananta. Wanita itu menyeruput sendok ice cream dengan mata berbinar, lalu mendesah puas. “Ah… ini enak sekali,” gumamnya pelan.Ananta menghela napas panjang, lalu bersedekap, bersandar di kusen pintu. “Jadi ini yang mem
Pagi itu, aroma kopi hitam dan roti panggang memenuhi ruang makan mansion Von Rotchschild milik Ananta. Cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela besar, menyinari meja makan panjang dengan peralatan makan porselen mewah berlapis emas.Zanitha duduk di kursinya dengan ekspresi cerah, menyendok croissant lembut ke dalam mulutnya dengan senyum kecil. Sesekali, ia melirik ke arah Ananta yang duduk di seberangnya, pria itu seperti biasa menikmati sarapannya dalam diam—tenang, dingin, dan tampak tak terganggu dengan apapun yang terjadi di sekelilingnya.Namun, tidak seperti biasanya, pagi ini sikap Zanitha lebih hangat tidak seperti kemarin yang mendiamkannya.“Apa kopimu terlalu pahit, Ta?” tanyanya tiba-tiba, membuat Ananta yang tengah menyeruput kopinya mengangkat alis.“Apa?”“Kopimu,” ulang Zanitha, tersenyum kecil. “Mau aku tambahkan sedikit gula? Atau susu?”Ananta menatapnya dengan datar, lalu kembali meneguk kopinya. “Aku suka pahit.”Zanitha menghela napas. “Oh, begit
Suasana mansion terasa lebih hidup malam ini. Para pelayan mondar-mandir memastikan semuanya berjalan lancar.Aroma parfum mewah bercampur dengan wangi lilin aromaterapi yang diletakkan di beberapa sudut ruangan.Ananta baru saja tiba di mansion untuk mengganti pakaian dan menjemput Zanitha. Begitu memasuki rumahnya, pria itu menghela napas panjang, melonggarkan dasi yang sedari tadi terasa mengikat tenggorokannya.Tapi langkahnya terhenti ketika melihat seorang wanita berdiri di tengah ruangan, membelakangi pintu masuk.Gaun malam berbahan satin berwarna champagne membalut tubuh wanita itu dengan sempurna. Rambut panjangnya ditata dalam gelombang lembut, memberikan kesan anggun sekaligus menggoda. Punggungnya terbuka sebagian, memperlihatkan kulit sehalus porselen.Cahaya lampu gantung kristal memantulkan kilauan samar dari payet di gaunnya.Ananta mengernyit, lalu melirik Klaus yang berdiri tidak jauh darinya.“Siapa dia?” tanyanya dengan nada datar.Klaus menoleh ke arah wa
Langit Zurich senja itu digelayuti awan tipis. Lampu-lampu di sepanjang jalan mulai menyala, menciptakan nuansa keemasan yang sendu.Di kamar bayi Mansion Ananta Von Rotchschild, suasana lebih tenang. Ares terlelap dalam pelukan ayahnya, sementara tangan kecilnya masih menggenggam ujung kemeja Ananta.Ananta duduk di kursi goyang, menatap wajah mungil itu dengan mata yang sembab oleh kelelahan batin. Di sudut ruangan dekat meja kecil di sampingnya, sebuah dasi dan jas hitam telah tergantung rapi—pakaian yang akan ia kenakan untuk malam ini.Makan malam perjodohan.“Maaf, Ares… Daddy akan pulang larut malam,” bisiknya sambil mencium kening sang putra. “Tapi sebelum Daddy pergi… Daddy harus pastikan kamu tidur nyenyak dulu.”Ares bergumam kecil dalam tidurnya, lalu memeluk lebih erat.Ananta menutup matanya, menghela napas panjang. Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Lalu dengan perlahan, ia bangkit, membaringkan Ares ke tempat tidur, dan menyelimuti tubuh kecil itu dengan hati-hat
Malam telah larut di mansion Von Rotchschild, Zurich. Cahaya lampu temaram dari kamar kerja Ananta menyinari meja besar yang dipenuhi dokumen ekspansi pelabuhan, laporan kinerja divisi Shipping dan satu map cokelat tua yang sejak enam bulan lalu tidak pernah berpindah tempat dari lacinya.Map itu berisi dokumen gugatan cerai.Dokumen yang tidak pernah disentuh lagi sejak pertama kali Taylor menyerahkannya.Ananta duduk di kursi kulit hitam, menarik laci lalu mengeluarkan map tersebut sebelum akhirnya membukanya.Di dalam map ada sebuah berkas yang tertulis nama Zanitha Azkayra Wiranata dan namanya sendiri, lengkap dengan stempel pengacara keluarga Von Rotchschild.Tangannya mengusap halaman pertama dokumen itu, lalu mendesah panjang.Sudah berbulan-bulan Sebastian menanyakan hal ini. Bahkan Heinz dan Taylor pun bergantian menyampaikan permintaan agar dokumen itu segera ditandatangani. Tapi Ananta selalu punya alasan: rapat terlalu padat, jadwal penuh, atau dokumen belum diperiks
Sementara itu di mansion Zurich, Sebastian duduk di ruang musik bersama Ares yang tengah duduk di atas pangkuannya. “Lihat ini, Ares…” katanya sambil menekan tuts piano, memainkan melodi sederhana. Ares menatap jemari tua itu lalu ikut menekan satu dua tuts sembarangan setelahnya tertawa kecil. “Ha!” Sebastian terkekeh. “Kamu punya bakat musik rupanya?” Nanny yang berdiri di dekat pintu tersenyum. “Sepertinya dia nyaman sekali dengan Tuan Sebastian.” Sebastian menoleh, menatap cicitnya yang tersenyum sambil menepuk-nepuk piano. “Ananta sudah punya segalanya… tapi wanita itu… wanita itu telah membawa warna ke hidup bocah ini,” gumam Sebastian sambil memeluk Ares erat. Kenyataan bahwa Ananta kini adalah pewaris sah Helvion Group, memiliki kekuasaan, reputasi, bahkan seorang anak sebagai penerus garis darah keluarga Von Rotchschild. Ananta secara material dan status te
Pagi yang sunyi di Zurich,Langkah Ananta menggema di lorong utama mansion Sebastian Von Rotchschild saat ia berjalan menuju ke sebuah ruang kerja.Di tangannya ada map hitam berisi laporan perkembangan proyek pelabuhan baru Helvion Shipping di kawasan Asia Tenggara—sebuah proyek ekspansi strategis yang sedang ia pimpin langsung.Sesampainya di depan pintu, Ananta mengetuk pelan.“Masuk,” suara Sebastian terdengar dari dalam.Ananta membuka pintu dan masuk dengan sikap tenang, namun matanya menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar profesionalisme.“Ada yang ingin kamu sampaikan?” Sebastian langsung menatapnya tanpa basa-basi.Ananta mengangguk. “Aku akan ke Jakarta untuk inspeksi awal lokasi pelabuhan baru yang sedang kita rencanakan. Ada celah efisiensi distribusi di kawasan timur Indonesia. Aku perlu validasi lapangan sebelum eksekusi.”Sebastian menautkan jari-jari di atas meja. “Sendiri?” Keningnya berkerut disertai sorot mata penuh kecur
Pagi itu, langit Jakarta terlihat cerah, namun hati Zanitha justru terasa mendung. Ponselnya bergetar lembut dan di layar menampilkan nama: Ryan.Zanitha menjawab dengan suara pelan, “Halo, Mas Ryan?”Suara Ryan terdengar tenang, seperti biasa, tapi dengan nada berat yang tak bisa disembunyikan.“Selamat pagi, Nyonya. Saya minta maaf harus menyampaikan ini .…”Zanitha menegakkan punggung, firasat buruk langsung menyusup.“Ada apa?”“Saya… tidak bisa mendampingi Anda lagi dalam pembangunan toko bunga.”Ryan terdiam sejenak.“Ini perintah langsung dari Tuan Mathias. Saya diultimatum… dan saya tidak ingin Anda terseret masalah.”Zanitha menggigit bibir bawahnya, menahan rasa kecewa. Tapi ia tetap menjaga suaranya tetap stabil.“Saya mengerti, Mas. Kamu ‘kan memang sekretaris utama Helvion Group. Aku semestinya enggak boleh mengganggu kamu ….”Ryan menarik napas lega mendengar reaksi itu, meski tetap terdengar sedih.“Saya sudah menugaskan sepupu jauh saya. Namanya Bella—dia s
Setelah berkeliling pasar bunga dan memastikan kontrak dengan beberapa supplier, Ryan dan Zanitha mampir ke sebuah showroom interior kecil di Kemang yang direkomendasikan seorang kenalan florist.Di dalam, ruangan dipenuhi mock-up etalase toko, meja kasir bergaya industrial, lampu gantung rotan, serta rak kayu bergaya rustic. Segalanya tampak menawan—dan terlalu banyak pilihan untuk Zanitha yang perfeksionis.“Mas, kayu jati atau kayu pinus?” Zanitha berdiri di depan dua contoh rak display. “Yang jati lebih kokoh, tapi pinus warnanya lebih cerah.”Ryan mendekat, membuka map hitamnya lagi, lalu mencatat. “Kalau dari biaya produksi, pinus lebih murah. Tapi daya tahannya—”“Mas Ryan,” sela Zanitha cepat, “kamu tahu enggak, kamu tuh… bisa kerja jadi wedding planner.”Ryan tertawa pelan. “Jadi Nyonya mau bilang saya cerewet dan penuh catatan?”Zanitha nyengir. “Iya… Mas Ryan kaya google.”Ryan mengangguk dramatis. “Google… tapi versi manusia. Tanpa iklan.”Zanitha tertawa. Kemudian
Hidup nyaman bukan berarti hidup bahagia.Setidaknya itu yang Zanitha pelajari dalam satu minggu terakhir tinggal di apartemen megah kawasan SCBD. Kamar tidur luas dengan ranjang empuk, dapur lengkap, ruang kerja pribadi, balkon dengan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian, bahkan mobil mewah dan supir yang selalu siap kapan pun. Tapi setiap malam saat ia terjaga dari tidur gelisah, hanya ada satu yang mengisi pikirannya.Ares.Tangisnya. Senyumnya. Suara gumam pelannya saat tertidur di dada Zanitha. Jemari mungilnya yang menggenggam erat saat menyusu. Semua itu tidak pernah benar-benar pergi dari ingatan. Bahkan dalam diam, tubuh Zanitha masih terasa nyeri karena tidak lagi menyusui.Sementara itu, satu nama lainnya yang juga tak bisa ia lupakan…Ananta.Pria itu tidak menghubunginya, tidak mengirim pesan. Tidak juga mencoba menjelaskan. Seolah hubungan mereka sudah benar-benar selesai.Padahal Zanitha tahu, Ananta bukan pria yang begitu saja bisa melepaskan. Tapi mungkin…
Damar menatap punggung Zanitha yang sedang berdiri di depan meja teller sebuah bank swasta milik asing.Sebenarnya Damar tidak tega melakukan ini tapi dia tidak bisa mendapatkan suntikan dana segar lagi setelah hutangnya menumpuk di bank.Hanya Zanitha yang bisa menolongnya, beruntung uang kompensasi kawin kontrak yang diberikan Ananta jumlahnya sangat besar dan Damar yakin bisa mengembalikan perusahaannya seperti dulu.Damar tersenyum saat melihat Zanitha telah selesai dengan teller dan sedang berjalan mendekat.“Papi … transfernya sudah berhasil, ini buktinya.” Zanitha yang sudah duduk di samping Damar memberikan secarik kertas bukti yang diberikan teller.“Terimakasih Nitha … Terimakasih ya.” Damar menggenggam tangan Zanitha erat dengan tatapan nanar.Sang papi tidak pernah sedekat ini dengannya membuat Zanitha terharu.“Tapi Papi janji ya jangan berbuat curang lagi … Papi harus inget, Nitha seperti ini karena Von Rotchschild menganggap Papi adalah musuh mereka.” Zanitha men
Keesokan paginya, bel pintu apartemen berbunyi.Seorang pelayan membukakan pintu dan Ryan masuk dengan sopan.“Nyonya,” sapanya hangat.Zanitha keluar dari kamar, masih mengenakan kimono tidur. Rambutnya belum disisir, wajahnya tampak lelah dan sayu dengan mata bengkak karena semalaman memeras air mata. Ia memandang Ryan dengan alis terangkat.“Ada apa pagi-pagi sekali?” gumamnya pelan.“Saya hanya ingin mengecek keadaan nyonya,” jawab Ryan jujur. Zanitha menatapnya datar. “Seriusan? Ananta yang nyuruh Mas Ryan?” Dia menebak.“Enggak Nyonya, ini inisiatif saya …,” ujar Ryan tenang. “Sebagai orang yang ditugaskan membantu semua keperluan Anda di Jakarta… saya merasa perlu memastikan keadaan Anda secara langsung.”Zanitha tidak merespon. Ia hanya berbalik, berjalan ke arah sofa, lalu duduk dengan tubuh lemas.“Kopinya Nyonya ….” Asisten rumah tangga membawa dua mug kopi untuk Zanitha dan Ryan.Ryan duduk di single sofa di living room itu.“Saya juga ingin menyampaikan satu h