Langit Zurich sudah mulai gelap ketika mobil Ananta memasuki halaman mansion dengan kecepatan stabil. Cahaya lampu jalan yang temaram memantulkan bayangannya di kaca mobil, tetapi pria itu tetap diam dengan rahang mengeras.Di samping kemudi, Taylor-sang sekretaris, menoleh ke belakang membaca ekspresi tajam majikannya yang sedang menahan emosi.Tanpa banyak bicara, begitu mobil berhenti di depan pintu utama mansion, Ananta langsung turun. Langkahnya lebar dan penuh wibawa, tubuhnya tegak, dan sorot matanya menyiratkan ketenangan yang mencekam.Ia berjalan lurus melewati koridor menuju taman samping tempat Klaus melaporkan bahwa Elias sedang menikmati teh bersama Zanitha.Ketika pria itu sampai di taman, ia menemukan pemandangan yang langsung memanaskan darahnya.Zanitha duduk di salah satu kursi besi berbantal empuk tampak begitu anggun menggunakan dress lengan panjang motif floral, sementara Elias duduk di hadapannya dengan ekspresi santai, mengenakan kemeja linen yang terlihat
Ananta membawa Zanitha ke kamar dengan langkah lebar dan penuh amarah. Bahunya tegang, rahangnya mengeras, dan sorot matanya menggelap.Zanitha masih meronta di dalam gendongan pria itu, tangannya menghantam punggung Ananta dengan sia-sia. “Ananta, turunkan aku!” teriaknya. “Kamu enggak bisa seenaknya kaya gini!”Ananta tidak menjawab. Dengan satu gerakan kuat, ia membuka pintu kamar dan menutupnya dengan keras, lalu melangkah menuju ranjang besar mereka.Tanpa aba-aba, ia meletakkan Zanitha di kasur dengan sedikit dorongan yang membuat tubuh wanita itu terhempas ke permukaan kasur yang empuk. Napasnya memburu, dadanya naik-turun seiring dengan emosi yang bergejolak dalam dirinya.Zanitha bangkit, bersiap untuk melawan, tapi Ananta lebih cepat. Ia menindih tubuh wanita itu, kedua tangannya menahan pergelangan tangan Zanitha di atas kepala.“Kamu pikir aku akan membiarkanmu bersenang-senang dengan Elias?” suara Ananta terdengar dalam dan dingin, menggema di d
“Bukan kamu yang menentukan dengan siapa aku jatuh cinta, tapi Tuhan … kalau aku jatuh cinta sama kamu dan harus merelakanmu karena kamu enggak pernah mencintai aku maka akan aku lakukan, karena aku mencintai kamu.”Kalimat Zanitha itu terngiang terus di benak Ananta hingga kini nafas dan debaran jantungnya telah kembali teratur.Sedangkan Zanitha masih ada dalam pelukannya dengan tubuh mereka yang sama-sama polos.“Apa mungkin kalau aku enggak perlu menceraikan Zanitha? Setelah nanti dia mengandung dan melahirkan anakku, anak itu juga butuh ibu yang harus mengurus, merawat dan mendidiknya.” Sisi hati Ananta yang baik bicara.“Kamu akan kerepotan hidup dengan perempuan keras kepala dan pembangkang seperti Zanitha, lebih baik seperti dulu tanpa ikatan dengan perempuan mana pun.” Sisi hati Ananta yang kelam berkata demikian.Ananta menunduk memeriksa Zanitha apakah sudah tertidur namun perlahan istrinya mendongak sehingga mata mereka bertemu dengan wajah yang
Ananta berdiri di ambang pintu dapur, menatap sosok istrinya yang duduk di meja di tengah ruangan, menikmati semangkuk besar es krim dan potongan buah dengan santai.Untuk beberapa detik, Ananta hanya diam. Jantungnya yang tadi berpacu kencang kini mulai melambat, perasaannya campur aduk antara lega, marah, dan sedikit ingin tertawa melihat betapa lucunya alasan Zanitha ‘menghilang’ tengah malam seperti ini.Sekuriti sampai sibuk mencarinya di luar, meminta Klaus mengecek seluruh CCTV di seluruh penjuru mansion, bahkan meminta Taylor bersiap menghubungi polisi—hanya untuk menemukan istrinya yang ternyata sedang duduk di dapur, menikmati camilan malamnya seolah tidak terjadi apa-apa.Zanitha tampaknya terlalu asyik dengan es krimnya sampai tidak menyadari kehadiran Ananta. Wanita itu menyeruput sendok ice cream dengan mata berbinar, lalu mendesah puas. “Ah… ini enak sekali,” gumamnya pelan.Ananta menghela napas panjang, lalu bersedekap, bersandar di kusen pintu. “Jadi ini yang mem
Pagi itu, aroma kopi hitam dan roti panggang memenuhi ruang makan mansion Von Rotchschild milik Ananta. Cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela besar, menyinari meja makan panjang dengan peralatan makan porselen mewah berlapis emas.Zanitha duduk di kursinya dengan ekspresi cerah, menyendok croissant lembut ke dalam mulutnya dengan senyum kecil. Sesekali, ia melirik ke arah Ananta yang duduk di seberangnya, pria itu seperti biasa menikmati sarapannya dalam diam—tenang, dingin, dan tampak tak terganggu dengan apapun yang terjadi di sekelilingnya.Namun, tidak seperti biasanya, pagi ini sikap Zanitha lebih hangat tidak seperti kemarin yang mendiamkannya.“Apa kopimu terlalu pahit, Ta?” tanyanya tiba-tiba, membuat Ananta yang tengah menyeruput kopinya mengangkat alis.“Apa?”“Kopimu,” ulang Zanitha, tersenyum kecil. “Mau aku tambahkan sedikit gula? Atau susu?”Ananta menatapnya dengan datar, lalu kembali meneguk kopinya. “Aku suka pahit.”Zanitha menghela napas. “Oh, begit
Suasana mansion terasa lebih hidup malam ini. Para pelayan mondar-mandir memastikan semuanya berjalan lancar.Aroma parfum mewah bercampur dengan wangi lilin aromaterapi yang diletakkan di beberapa sudut ruangan.Ananta baru saja tiba di mansion untuk mengganti pakaian dan menjemput Zanitha. Begitu memasuki rumahnya, pria itu menghela napas panjang, melonggarkan dasi yang sedari tadi terasa mengikat tenggorokannya.Tapi langkahnya terhenti ketika melihat seorang wanita berdiri di tengah ruangan, membelakangi pintu masuk.Gaun malam berbahan satin berwarna champagne membalut tubuh wanita itu dengan sempurna. Rambut panjangnya ditata dalam gelombang lembut, memberikan kesan anggun sekaligus menggoda. Punggungnya terbuka sebagian, memperlihatkan kulit sehalus porselen.Cahaya lampu gantung kristal memantulkan kilauan samar dari payet di gaunnya.Ananta mengernyit, lalu melirik Klaus yang berdiri tidak jauh darinya.“Siapa dia?” tanyanya dengan nada datar.Klaus menoleh ke arah wa
Mobil limosin hitam itu berhenti di depan gerbang utama Château de Rotchschild, sebuah properti mewah yang telah dimiliki oleh keluarga Von Rotchschild selama lebih dari satu abad.Château ini terletak di tepi danau Zurich, dengan arsitektur bergaya Renaissance yang megah.Pilar-pilar besar menopang atap berkubah tinggi, sementara lampu kristal raksasa tergantung di langit-langit lobi utama, memancarkan cahaya lembut yang menciptakan atmosfer eksklusif dan berkelas.Tangga marmer putih dengan pegangan emas mengarah ke pintu utama, di mana para tamu yang mengenakan gaun couture dan tuksedo berkumpul, menyambut pasangan yang baru tiba.Pelayan dalam seragam formal berdiri dengan tangan bersedekap, siap melayani tamu-tamu kehormatan dari berbagai belahan dunia.Ananta keluar lebih dulu, kemudian membungkuk sedikit untuk mengulurkan tangan kepada Zanitha. Begitu wanita itu turun, kilauan lampu-lampu di sekitar venue memantulkan cahaya dari gaunnya yang berpayet halus.Zanitha menata
Ananta menggenggam tangan Zanitha erat saat mereka berjalan keluar dari venue, menuju limosin yang sudah menunggu.Sorot mata pria itu masih menyiratkan ketegasan dan dominasi, tetapi ada sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, lebih penuh gairah.Begitu pintu mobil tertutup, keheningan menyelimuti mereka.Limosin mulai melaju di jalanan kota Zurich yang sepi, hanya diterangi lampu jalan dan kilauan kota di kejauhan.Zanitha menghela napas panjang, melepas sepatunya dengan nyaman. Ia baru saja akan menyandarkan kepalanya ke kursi, ketika tiba-tiba, sebuah sentuhan hangat menyentuh pipinya.Ananta. Pria itu mendekat, ujung jarinya membelai pipi Zanitha perlahan sebelum turun ke dagunya, menahannya agar ia tetap menatap mata kelam itu.“Kamu tahu hukuman macam apa yang akan kamu dapatkan malam ini, hm?” suara Ananta terdengar rendah, nyaris seperti bisikan.Zanitha menelan ludah. “Aku enggak takut.”Ananta menyeringai tipis, lal
“Enak ‘kan kuenya?” Zanitha bertanya kepada Lena.Lena menganggukan kepala pelan.Detik berikutnya suara sirene ambulan yang menuju ke lantai ansion sebelah membuatnya menoleh.Kening Zanitha mengerut. Kenapa ada ambulans di sana?Dia bangkit dari kursinya diikuti Lena, mereka berdua mengawasi ambulan yang kini terparkir di pintu utama mansion.Saat keduanya masih dilanda tanda tanya besar, Klaus datang membawa satu pizza berukuran besar.“Klaus, siapa yang sakit di mansion sebelah?” tanyanya dengan nada khawatir.Klaus, yang selalu memiliki informasi tercepat, menjawab dengan tenang, “Tuan Elias, Nyonya. Dia… melakukan percobaan bunuh diri barusan.” Raut wajah Klaus tampak datar.Mata Zanitha melebar. “Apa?!”Jantungnya mencelos. Elias mencoba mengakhiri hidupnya?Kenapa?Apa yang membuatnya sampai seperti itu?Petugas medis baru saja keluar dari mansion sambil membawa tandu di mana sudah bisa dipastikan kalau Elias yang ada di atas tandu itu.Zanitha tidak bisa berbuat
Elias duduk di dalam kamar pribadinya di mansion keluarga Simon, menatap kosong ke arah gelas anggur yang hampir habis.Pagi ini begitu sunyi bahkan tidak terdengar suara burung berkicau di luar sana seolah mencerminkan kekosongan dalam hatinya.Di antara bayangan gelas kristal yang bergetar di tangannya, pikirannya terus berputar.Zanitha.Perempuan berparas cantik, baik hati, selalu ceria dan sayangnya adalah istri dari kakak sepupunya sehingga dia tidak bisa memiliki perempuan itu.Padahal Elias telah melakukan segalanya, mencoba menjadi sosok yang lebih baik, mencoba menunjukkan bahwa dia bisa menjadi pria yang lebih baik daripada Ananta. Namun, tetap saja….Zanitha tidak melihatnya. Tidak pernah sekalipun menempatkan namanya di hati perempuan itu atau menjadi pilihan disandingkan dengan Ananta.Tidak pernah.Di hati Zanitha hanya ada Ananta, suaminya yang dingin, kaku bahkan tidak bersahabat.Meski begitu Elias salut dengan perjuangan Ananta menjemput Zanitha ke privat i
Begitu mereka tiba di ruang makan, suasana langsung menjadi hidup. Madame Cécile Laurent, Giovanni De Luca, dan Marcel Fournier sudah duduk di kursi mereka, menikmati sarapan mewah di meja panjang yang menghadap ke laut.Begitu melihat Zanitha dan Ananta datang dengan tubuh dan wajah segar mengenakan pakaian casual tapi elegan ala old money, bibir mereka bertiga pun tersenyum.“Ah, akhirnya pasangan ini bergabung dengan kami,” ujar Giovanni sambil mengangkat gelasnya. “Kami sempat khawatir kalian akan memaksa terbang saat badai tadi malam.”Madame Cécile menatap Zanitha dengan penuh kebanggaan. “Cherie, kamu benar-benar luar biasa. Kamu tidak hanya menjadi wajah dari proyek ini, tapi juga membuktikan profesionalismemu.”Cherie adalah panggilan kesayangan Madame Cécile kepada Zanitha karena bibir Zanitha yang plumpy seperti buah Ceri.“Dan yang lebih mengesankan,” tambah Marcel Fournier, “adalah bagaimana kamu tetap setia pada suamimu, bahkan ketika banyak mata yang mencoba menggi
Pagutan Ananta tidak berhenti hanya melahap bibir Zanitha namun kemudian beralih ke bagian rahang dan lehernya pun menjadi sasaran keganasan hasrat pria itu.Sementara tangannya mengusap paha Zanitha membawa gaun dengan belahan hingga ke paha naik terus hingga ke pinggang.“Ta …,” desah Zanita saat jemari Ananta mengusap bagian intinya dari luar celana dalam.“Dokter enggak pernah melarang kita bercinta, kan?” Ananta berbisik di depan wajah Zanitha.“Enggak?” Zanitha menjawab parau, menelan saliva kelat. Tidak bisa Zanitha pungkiri, dia juga menginginkan itu.Lalu dengan satu tarikan lembut, Ananta berhasil melepaskan kain berenda Zanitha di bawah sana.Bibirnya mulai turun dari leher ke bagian dada usai berhasil menarik sleting di belakang punggung Zanitha membuat dua bongkahan besar yang tidak memakai bra itu tampak nyata di depan mata Ananta.Ananta merematnya dengan lembut sementara bagian yang satu lagi dia raup menggunakan mulutnya, memainkan lidahnya di sana.“Kenapa in
Ketika itu hujan semakin deras saat hari menuju sore.Ananta duduk di ruang meeting utama gedung Helvion Group. Presentasi dari salah satu eksekutifnya terus berjalan, tetapi pikirannya melayang jauh ke tempat lain. Ia mengangkat tangannya, memijat pelipis yang terasa berat. Ada firasat buruk yang menghantui sejak pagi, meski ia tak tahu pasti apa penyebabnya.Setelah meeting selesai, Ananta mengantar para tamunya ke lobby.Sambil melangkah menuju ruangannya, Ananta merogoh ponsel lalu mengaktifkannya.Begitu dinyalakan, puluhan pesan masuk membanjiri layar—dan di antaranya, pesan dari Zanitha.Zanitha : Ta, aku akan pergi ke pesta perayaan proyek ini. Kami akan terbang menggunakan jet pribadi ke pulau eksklusif. Aku sebenarnya enggak terlalu ingin pergi, tapi karena aku adalah bintangnya, rasanya enggak enak jika tidak hadir. Aku akan segera pulang setelah acara selesai. Aku tahu kamu sibuk, jadi aku hanya ingin memberitahumu. Aku akan baik-baik saja, janga
Zanitha berdiri bersama seluruh tim termasuk designer yang mengerjakan proyek ini mengelilingi Elias yang berdiri di tengah lingkaran mereka, yang lain tampak antusias dan senang tapi tidak dengan Zanitha yang menatap kosong pria itu.Elias sedang memberi kabar bahagia tentang sebuah pesta dan mereka semua diundang.Sontak sorak bahagia disertai tepuk tangan mengudara kemudian satu persatu dari mereka bubar untuk mempersiapkan diri.“Kamu pasti datang, kan? Kamu adalah bintangnya.” Madame Cécile Laurent (Chanel) bertanya langsung kepada Zanitha.“Saya akan minta ijin suami dulu.” Zanitha tidak memberi kepastian.“Oh ayolah, gosip antara kamu dan Elias pun sudah tak terdengar lagi dan tampaknya suamimu juga mengerti dengan kondisi yang terjadi,” timpal Giovanni De Luca (Elie Saab).“Ingat Zanitha, kamu bintangnya … pesta tidak akan sempurna tanpa kamu.” Marcel Fournier (Dior) berujar demikian membuat Zanitha bimbang.“Kami sudah menyediakan privat jet khusus untuk kamu, jadi kam
Suara nyaring memekakan telinga datang dari powder room dekat ruang makan.Ananta yang sedang sarapan jadi tidak selera mendengar suara itu bukan karena jijik melainkan memikirkan istrinya tidak bisa masuk makanan sedikitpun.“Klaus, aku minta ice cream …,” kata Ananta memerintah.“Tapi Tuan, ini masih pagi dan di dalam ice cream tidak terkandung makanan bergizi yang baik untuk ibu hamil … kebanyakan adalah gula.” “Kalau begitu suruh koki buatkan ice cream yang baik dikonsumsi ibu hamil, aku tidak peduli rasanya karena istriku hanya bisa makan ice cream.” Ananta memaksa.“Baik Tuan.” Dan Klaus tidak memiliki pilihan kata selain itu.Saat terdengar suara kunci pintu powder room terbuka, Ananta langsung bangkit dari kursi memburu istrinya.Tadi Zanitha mengunci diri di sana karena tidak ingin Ananta melihat muntahannya.“Kamu makan buah-buahan aja ya,” kata Ananta sembari membantu Zanitha duduk.Zanitha mengangguk pasrah.Dan entah ap
Mansion Sebastian Von Rotchschild berdiri megah di bawah cahaya sore, dikelilingi taman luas yang dipenuhi bunga-bunga eksotis. Namun, keindahan itu tidak bisa menghapus ketegangan yang menyelimuti ruangan utama di dalamnya.Di meja makan panjang yang biasa digunakan untuk pertemuan keluarga, Sebastian duduk di kursi utama dengan ekspresi penuh wibawa. Di sekelilingnya, para anggota keluarga Von Rotchschild telah berkumpul. Ada Rafael, Seraina, Simon, Amelie, dan tentu saja, Elias yang duduk dengan ekspresi campuran antara kepedulian dan sesuatu yang lebih sulit ditebak.Dan di ujung meja, Ananta duduk dengan santai, sementara di sebelahnya, Zanitha tampak tenang meskipun dalam hatinya ada ketakutan besar. Ia tahu, pertemuan ini bukan sekadar makan malam keluarga biasa. Ini adalah panggilan penghakiman.Sebastian menyesap tehnya sebelum akhirnya berbicara."Ananta," suara tuanya terdengar dalam dan penuh tekanan, "Aku yakin kamu sudah membaca berita yang beredar di luar sana. Tent
Di salah satu mansion megah keluarga Von Rotchschild, Simon duduk santai di sofa besar dengan cangkir teh hitam di tangannya.Sore itu, langit Zurich berwarna keemasan, dan angin musim semi berhembus lembut dari jendela terbuka, membawa aroma teh herbal yang khas.Di sebelahnya, Amelie-sang istri, duduk dengan anggun, menyilangkan kaki dan menyesap tehnya perlahan.Matanya terpaku pada layar televisi yang sedang menyiarkan berita terbaru tentang keluarga mereka.“BREAKING NEWS: Istri Ananta Von Rotchschild Dicurigai Mengandung Anak Elias Von Rotchschild?”Di layar, beberapa foto ditampilkan—Elias yang membawa Zanitha keluar dari rumah sakit, Elias yang duduk di samping ranjang rumah sakit dengan senyum khasnya, dan berbagai spekulasi yang mulai berkembang di media.Amelie meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi yang cukup nyaring, lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.Tangannya bahkan bertepuk beberapa kali, seolah menikmati tontonan yang sangat menghibur.“Suamiku sayang, li