Di hadapan Laurent, selembar kertas perjanjian pernikahan tergeletak di atas meja, seolah menantinya untuk membuat keputusan terakhir. Tinta hitamnya tampak jelas, menyiratkan kesepakatan yang tak bisa dihindari.Laurent mengangkat wajahnya, menatap Adrian dengan sorot mata penuh tanda tanya."Apa ini?" suaranya terdengar datar, namun di dalam hatinya ada gelombang emosi yang sulit dijelaskan.Adrian bersandar di kursinya, ekspresi tenangnya tak terbaca. "Karena kita sudah melakukannya," katanya, suaranya begitu yakin, "aku hanya ingin meresmikan hubungan kita sebagai suami istri."Laurent menelan ludah, jemarinya sedikit gemetar sebelum ia mengepalkan tangannya di atas paha. Ia seharusnya sudah menduga ini, tapi tetap saja, mendengar Adrian mengatakannya langsung terasa begitu nyata."Kau..." Adrian menatapnya tajam. "Kau tidak berharap kembali pada Damian, kan, Elara?"Matanya menyipit, seolah mencoba menangkap kebohongan yang mungkin keluar dari bibir Laurent.Laurent mendengus pel
Laurent melangkah cepat menuju rumah sakit jiwa tempat ibunya dirawat, napasnya memburu seiring ketegangan yang menghimpit dadanya. Kabar bahwa keluarga Damian telah memindahkan ibunya datang tiba-tiba, dan ia tak bisa membuang waktu.Setibanya di sana, ia langsung menuju kamar tempat ibunya dirawat. Namun, begitu tiba di ambang pintu, langkahnya terhenti. Dadanya terasa sesak, dan seakan-akan seluruh tubuhnya membeku di tempat.Ranjang di dalam kamar itu kosong.Seorang perawat laki-laki tengah membereskan sprei, wajahnya terlihat tenang, seolah tidak ada yang aneh.Laurent menatap ranjang itu dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan—marah, takut, dan cemas bercampur menjadi satu.Perawat itu akhirnya menyadari kehadirannya dan menoleh dengan ekspresi penasaran. "Maaf, Anda ingin menjenguk siapa?" tanyanya dengan sopan.Laurent menelan ludah, suaranya nyaris bergetar saat bertanya, "Di mana pasien yang sebelumnya dirawat di kamar ini? Dia dibawa ke mana?"Perawat itu mengernyitkan da
"Kau yakin mau melakukannya?" tanya Adrian, suaranya rendah namun sarat dengan ketidaksetujuan.Di atas ranjang, di bawah cahaya lampu tidur yang temaram, Laurent menatap langit-langit dengan gelisah. Matanya yang lelah mencerminkan kegundahan yang tak kunjung reda. Ibunya masih belum ditemukan, dan bayang-bayang kemungkinan buruk terus menghantuinya."Dia menggunakan kelemahanku," bisik Laurent, suaranya penuh kepastian. "Maka aku harus menggunakan kelemahannya."Adrian menarik napas panjang, lalu mengusap pelipisnya sejenak. "Baiklah," katanya akhirnya. "Tapi kau tak perlu turun tangan sendiri. Biar anak buahku yang mengurusnya."Laurent menoleh, menatap suaminya lekat-lekat. Ada sesuatu di mata Adrian—ketegasan, ketulusan, dan sesuatu yang membuatnya merasa lebih aman di tengah semua kekacauan ini. Perlahan, ia menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu, mencari kehangatan di antara kegelisahannya.Tanpa berpikir, tangannya meraih tangan Adrian, menggenggamnya erat, lalu mengecup
Plak!Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Alicia begitu ia melangkahkan kaki ke dalam rumah. Kepala Alicia terlempar ke samping, rasa panas langsung menyebar di kulitnya. Ia menatap dengan mata terbelalak, masih belum bisa memproses apa yang baru saja terjadi.Di hadapannya, Nyonya Everstone berdiri dengan wajah merah padam, matanya menyala penuh kemarahan."Bisa-bisanya kau kehilangan anakmu hanya karena sibuk berbelanja?!" bentaknya, suaranya tajam dan menusuk.Alicia mengangkat tangannya, menyentuh pipinya yang berdenyut. Napasnya tersengal, hatinya berdebar panik."Aku… Aku juga tidak ingin hal itu terjadi, Bu!" suaranya bergetar, hampir seperti bisikan putus asa.Nyonya Everstone menatapnya tajam, seolah kata-kata Alicia tidak berarti apa-apa."Kalau kau benar-benar tidak ingin, kau seharusnya menjaga Darley dengan baik! Seorang ibu macam apa kau ini?!" amarahnya meledak lagi.Alicia merasa tubuhnya semakin lemas, dadanya sesak oleh rasa bersalah dan ketakutan.Saat itu, suara
Tengah Malam…Damian berdiri mematung, tubuhnya seolah membeku di tempat."Apa? Mati?" suaranya terdengar serak, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Asistennya mengangguk dengan wajah serius."Tapi... bagaimana bisa?" Damian bertanya lagi, suaranya sedikit bergetar, bukan karena kesedihan, melainkan karena keterkejutan yang bercampur dengan ketidakpastian.Asistennya menjelaskan situasinya dengan rinci, tetapi Damian hanya mendengar sebagian. Pikirannya melayang, matanya beralih ke Alicia yang duduk tak jauh dari sana.Wanita itu tampak murung, wajahnya dipenuhi kesedihan yang mendalam. Pikirannya jelas masih tertuju pada Darley, anak mereka yang menghilang.Damian menarik napas panjang sebelum akhirnya mengeluarkan perintah."Kalau begitu, siapkan pemakaman yang layak untuknya."Ucapan itu membuat Alicia sontak mengangkat wajahnya."Ada apa?" tanyanya bingung, matanya menyipit curiga.Damian menghela napas, lalu menatap Alicia dengan sorot mata dingin."Ibu Elar
Satu Hari KemudianLaurent duduk di dalam kamar bayi, menatap Darley yang tertidur pulas di dalam boksnya. Cahaya redup dari lampu meja menerangi wajah polos anak itu, napasnya naik turun dengan tenang, tidak menyadari badai yang sedang berkecamuk di luar sana.Bayi ini tidak bersalah. Laurent tahu itu.Tetapi setiap kali dia menatapnya, dia mengingat Alicia. Mengingat Damian. Mengingat bagaimana keluarganya dihancurkan oleh mereka. Kebencian membakar dadanya, tetapi dia menelannya bulat-bulat. Bukan saatnya bertindak gegabah.Pintu kamar terbuka sedikit. Salah satu anak buah Adrian masuk dengan sebuah amplop di tangannya."Nyonya, hasil tes DNA-nya," katanya dengan nada hormat.Laurent mengambil amplop itu, membukanya perlahan, meskipun dia sudah tahu apa yang akan ia temukan di dalamnya. Dan benar saja.Tidak cocok.Darley bukan anak Damian.Laurent mengembuskan napas panjang. Dia tidak terkejut, tidak juga lega. Yang ada hanya kepastian bahwa rencananya baru saja menemukan fondasi
"Bukan apa-apa!" kata Alicia buru-buru, suaranya gemetar. Wajahnya pucat pasi, nyaris tanpa darah.Matanya melirik Damian sekilas, takut kalau suaminya bisa membaca kebohongan di balik ekspresinya. Namun, sebelum Damian sempat bertanya lebih jauh, teriakan nyaring menggema dari lantai bawah.Suara itu melengking, panik, penuh kepedihan.Alicia menegang. Itu suara ibu mertuanya.Damian langsung berbalik, langkahnya cepat menuruni tangga menuju sumber suara.Alicia berdiri terpaku sejenak, lalu buru-buru merobek surat di tangannya. Potongan kertas itu ia remas dengan tangan gemetar, lalu dilemparkan ke dalam kloset. Ia menekan tombol flush, menyaksikan kepingan bukti itu lenyap bersama air.Damian tidak boleh tahu.**Di lantai bawah, kekacauan telah pecah.Ibu Damian terduduk di lantai marmer, tubuhnya bergetar hebat. Wajahnya basah oleh air mata, napasnya tersengal-sengal di antara isakan. Polisi berdiri di dekatnya, ekspresi mereka penuh kehati-hatian saat menyerahkan sesuatu padanya
Malam itu, hujan turun deras di luar rumah keluarga Everstone.Petir menyambar di kejauhan, menerangi halaman yang basah oleh air hujan. Angin menderu di sela-sela pepohonan, membuat ranting-rantingnya bergesekan seperti bisikan-bisikan samar di kegelapan.Di balik gerbang besi Everstone, sebuah bayangan kecil tergolek di bawah lampu temaram. Sebuah selimut kusam membungkus tubuh mungilnya. Hanya suara tangisan lirih yang nyaris tersapu oleh derasnya hujan menjadi satu-satunya tanda keberadaannya.Ketukan keras di pintu utama membuyarkan keheningan di dalam rumah.Seorang pelayan bergegas membukanya dan mendapati seorang pria—petugas keamanan rumah—berdiri dengan wajah tegang."Nyonya... ada sesuatu yang harus Anda lihat," ucapnya, suaranya terdengar ragu.Alicia yang sedang duduk di ruang tamu, masih mengenakan gaun tidurnya, menoleh dengan malas. Hatinya masih berat oleh duka. "Apa lagi sekarang?" gumamnya dingin.Damian meletakkan gelas yang sedari tadi dipegangnya dan berjalan me
Adrian berdiri terpaku di ambang pintu kamar sempit itu. Bau apek alkohol, asap rokok, dan tubuh yang terlalu lama terbaring tanpa perawatan membuat udara begitu menyesakkan. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Tubuh kecil yang tergeletak di atas kasur reyot itu begitu pucat, begitu sunyi… terlalu sunyi. Mata Dante tertutup, bibirnya membiru, dan tubuhnya tampak kaku.“Dante…” bisik Adrian, nyaris tanpa suara.Langkahnya terhuyung mendekat. Ia jatuh berlutut di sisi tempat tidur yang ringkih, tangannya gemetar saat menyentuh wajah bocah itu. Dingin. Tak ada respons. Air matanya mulai menggenang tanpa ia sadari. Napasnya tercekat di tenggorokan.“Dia… dia sudah…” ucap Adrian, suaranya pecah.Namun sebelum duka itu benar-benar melumpuhkannya, salah satu anak buahnya—seorang pria bernama Richie—berjongkok cepat di sisi Adrian. Ia mengambil denyut nadi di pergelangan tangan Dante dengan teliti, lalu menyentuh leher anak itu dengan jari terlatih.“Tuan… tunggu sebentar,” ucap Richie p
Adrian menerima telepon dengan tangan gemetar. Suara berat dari seberang terdengar jelas, dingin dan tanpa rasa."Kami akan serahkan anakmu di bawah jembatan layang. Pastikan kau datang sendiri."Adrian mengepalkan tangan. "Baiklah. Aku akan ke sana."Namun, hatinya terasa tak tenang. Firasatnya begitu buruk. Sejak tadi, pikirannya berkecamuk tak henti. Sesuatu terasa janggal. Terlalu mudah. Terlalu cepat. Tapi dia tak bisa menunggu lagi. Dante adalah prioritasnya.Tanpa membuang waktu, ia bergegas menuju lokasi yang disebutkan. Di dalam mobil, bersama dua orang kepercayaannya, ia menyusun rencana. Mereka akan berpencar, mengelilingi area. Mengantisipasi segala kemungkinan, termasuk jika para penculik berbohong atau merencanakan sesuatu yang lebih kejam.---Di bawah jembatan, malam hari…Langit menggantung kelam tanpa bintang. Hanya suara angin yang merayap di antara tiang-tiang beton dan bayangan malam yang menyelimuti. Di kejauhan, langkah kaki Adrian menggema pelan. Setiap lang
Adrian dan Laurent saling berpandangan, tatapan mereka kosong namun penuh makna. Di antara keheningan yang menyelimuti ruang kerja itu, keduanya masih mencoba mencerna kenyataan: beberapa menit lalu, telepon dari penculik Dante akhirnya masuk.Suaranya parau, penuh tekanan dan tanpa belas kasihan.“Jika ingin anakmu selamat, sebaiknya jangan libatkan kepolisian.”Ancaman itu menusuk tajam ke telinga Adrian. Rahangnya mengeras, ekspresi wajahnya menegang seketika. Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya, datar tapi penuh ketegasan.“Baiklah.”Setelah panggilan berakhir, ruangan kembali sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Laurent memandang Adrian, matanya bergetar.“Kau yakin ingin memberikan uang tebusan itu?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.Adrian mengangguk mantap tanpa menoleh. “Tak ada pilihan lain.”“Tapi bagaimana kalau mereka berbohong? Kau tahu sendiri, penculik tak akan semudah itu menyerahkan tawanan. Bagaimana kalau... mereka tak pernah bern
Pagi itu langit tampak muram, seolah ikut menyesap kegelisahan yang melingkupi rumah keluarga Vaughn. Di ruang makan yang dipenuhi aroma kopi hangat dan roti panggang yang tak tersentuh, suasana justru terasa dingin. Televisi di sudut ruangan menyala tanpa suara, menayangkan berita tentang penculikan Dante yang telah menyebar luas ke berbagai media.Laurent duduk di ujung meja dengan tubuh sedikit membungkuk, satu tangannya memijat pelipisnya yang terasa berat sejak tadi malam. Di hadapannya, tablet yang memuat berita-berita daring dan komentar netizen berseliweran tanpa ampun. Adrian duduk di seberangnya, masih mengenakan kaus putih dan celana tidur, wajahnya tampak lelah meski baru saja melewati malam yang panjang.“Konferensi pers belum bisa dilakukan,” gumam Laurent pelan, menahan nada frustasi di ujung lidahnya, “tapi netizen sudah berkomentar sesuka mereka... seolah mereka tahu segalanya.”Adrian menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir kopinya ke meja. “Aku sudah mel
Begitu pintu rumah terbuka, Laurent disambut oleh suara langkah kecil yang berlarian cepat di lantai marmer. Dante, dengan piyamanya yang sedikit kebesaran dan boneka kecil di tangan, berlari memeluk pinggang Laurent erat-erat.Anak itu tersenyum lebar, seolah melupakan semua luka masa lalunya. Namun hati Laurent tetap mengeras sejenak. Anak lima tahun itu seharusnya sudah bisa memanggilnya “Mama” jauh sebelum Alicia datang dan menyusup ke dalam rumah mereka dengan menyamar sebagai pengasuh. Sebelum semuanya berubah.Laurent membungkuk, membelai rambut lembut Dante dengan perlahan, menahan genangan air mata yang hampir tumpah.Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar di ambang pintu. Adrian masuk dengan ekspresi serius di wajahnya.“Kita akan adakan konferensi pers,” ucapnya mantap. “Kita harus luruskan semuanya, Laurent. Publik berhak tahu—kalau kondisi Dante seperti ini karena ulah Alicia. Semua karena balas dendamnya padamu.”Laurent mengangguk pelan. Ia berdiri, menatap ke
Beberapa minggu setelah persidangan, udara pagi masih terasa lembab ketika Lauren dan Adrian membawa Dante ke klinik psikiatri anak di pusat kota. Gedung itu tenang dan nyaman, dindingnya dipenuhi lukisan warna-warni yang menenangkan, namun kecemasan tetap menggantung di benak Lauren.Dante duduk di pangkuannya saat mereka menunggu giliran. Anak itu sudah mulai bisa tersenyum, meski kadang-kadang masih terlihat seperti memaksa. Tapi bagi Lauren, itu adalah kemajuan besar. Setidaknya Dante tak lagi hanya menatap kosong seperti dulu.Ketika mereka akhirnya duduk di ruangan psikiater, seorang wanita paruh baya bernama Dr. Selina, suasana berubah menjadi lebih serius. Dokter itu membuka berkas, lalu menatap Lauren dan Adrian dengan lembut, namun penuh kehati-hatian.“Dante mengalami trauma berat,” ucapnya perlahan. “Selama berada dalam pengasuhan terdakwa, ia tidak hanya diberikan obat penenang dalam dosis yang tidak sesuai, tapi juga mengalami proses manipulasi mental yang cukup parah.
Setelah Lauren keluar dari kamar dengan langkah elegan dan tenang, Kyle masih berdiri di tempatnya—gugup, tubuhnya bergetar ringan. Kata-kata Lauren barusan masih terngiang di telinganya, menusuk batinnya lebih dalam dari pisau manapun.Dengan tangan gemetar, ia mendekati tempat tidur kecil itu. Cahaya lampu malam menyorot lembut wajah Dante yang polos dan damai dalam tidurnya. Perlahan, penuh ragu, Kyle menyingkap kaus tidur yang dikenakan bocah itu. Dan di sanalah—pada sisi kiri dada kecil itu—ia melihatnya. Sebuah tanda lahir.Matanya membelalak. Tubuhnya seketika membeku.Tanda itu… tanda yang selama ini menghantui mimpinya. Tanda berbentuk seperti setengah bulan dengan garis tipis melintang di tengahnya. Ia mengenalinya. Tanda yang pernah dimiliki anak laki-lakinya—Daren. Anak yang hilang darinya ketika baru berumur tiga bulan.Dulu ia mengira Daren telah mati. Tapi kenyataan yang kini terbuka jauh lebih menyakitkan sekaligus menakjubkan.Lauren tidak berbohong. Anak ini… Dant
Tiga hari telah berlalu sejak Dante dibawa ke rumah sakit. Dalam diam, Adrian menunggu. Ada satu pertanyaan yang terus mengusik pikirannya: siapa sebenarnya perempuan bernama Kyle yang kini tinggal di rumah mereka?Pagi itu, ponselnya berdering. Nama anak buahnya muncul di layar, dan Adrian langsung menjawab. Suara di seberang terdengar berat namun tegas.“Tuan Adrian… kami telah mendapatkan hasilnya. Identitas asli dari file yang Anda temukan—perempuan yang wajahnya menyerupai Kyle… namanya Alicia. Alicia Everston. Mantan istri Damian Everston.”Adrian sontak terdiam. Napasnya tertahan.“Alicia?” bisiknya nyaris tak terdengar. “Kau yakin?”“Ya, Tuan. Kami menemukan catatan medis dan laporan dari klinik bedah plastik di Zurich. Alicia mengubah total wajahnya. Ia memilih menyerupai Kyle—pengasuh yang seharusnya dipekerjakan—dan menggunakan identitasnya. Motifnya… kami yakini balas dendam terhadap Nyonya Lauren.”Adrian mengusap wajahnya yang mulai tegang, matanya menyipit penuh kecurig
Adrian baru saja pulang ke rumah saat langit London mulai beranjak gelap. Langkahnya tergesa melintasi lorong yang sepi, menuju kamar kecil Dante—anak yang belakangan ini begitu membebani pikirannya.Ketika pintu terbuka perlahan, matanya langsung menangkap pemandangan yang mengganggunya: Kyle sedang duduk di sisi tempat tidur, membisikkan sesuatu ke telinga Dante. Wajah Kyle tampak lembut, seperti biasa, namun kini ada yang terasa ganjil. Terlalu tenang. Terlalu sempurna.Adrian terdiam di ambang pintu, tak ingin mengganggu. Tapi di benaknya, kenangan tadi kembali berkelebat—kenangan yang belum sempat ia ceritakan pada siapa pun.Ia mengingat jelas saat ia berdiri di rumah sakit, melihat perempuan muda yang ditemukan pingsan di trotoar. Nama di dokumen itu: Kyle. Wajahnya... nyaris identik dengan pengasuh Dante di rumah ini. Namun isi file itu menyiratkan kenyataan yang lebih menakutkan—identitas perempuan itu telah dicuri, digunakan untuk sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap