Beberapa Hari KemudianSejak foto Alicia tersebar—terlihat berada di hotel dengan pria lain—hidupnya berubah drastis. Sebagai hukuman, ia kini harus tinggal di rumah mertuanya, di bawah pengawasan ketat. Gerak-geriknya dibatasi. Ia bahkan tak bisa keluar masuk rumah sesuka hati, seolah menjadi tahanan dalam rumah megah itu."Sebaiknya kau lebih berhati-hati mulai sekarang," ujar Adam Everstone, ayah Damian, dengan nada tegas.Alicia mengangguk tanpa berkata apa-apa. Kalimat itu sudah ia dengar puluhan kali, tak hanya dari mertuanya, tetapi juga dari adik iparnya—Dianora—yang menurutnya amat menyebalkan."Besok kita kedatangan tamu penting. Jadi, jaga sikapmu, Alicia," perintah ibu mertuanya dengan nada dingin.Alicia mengangkat dagunya, berusaha tetap tenang meski hatinya berdebar. "S-siapa, Bu?" tanyanya dengan gugup, entah kenapa ia merasa tak nyaman."Laurent Forst," suara datar namun tajam itu datang dari Dianora.Jantung Alicia berdegup lebih cepat. Wajahnya seketika menegang. "
Laurent duduk di kursi penumpang, tubuhnya bersandar pada jok dengan tatapan kosong yang mengarah ke luar jendela. Mobil yang dikendarai pengawalnya meluncur perlahan, meninggalkan rumah sang mantan ibu mertua.Dalam diam, ia menggigit bibirnya."Akan kubuat kau mengingat semuanya, Alicia," gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar.Tangannya mengepal di pangkuan."Seperti hari-hari di neraka yang kulalui dalam pernikahanku... karena kamu."Kepahitan membanjiri dadanya, membawa ingatannya kembali ke masa lalu—ke hari di mana semuanya bermula.---Waktu itu... Elara duduk di sofa ruang tamu, matanya sesekali melirik jam dinding. Jarum pendek hampir menyentuh angka satu, namun Damian belum juga pulang.Ponselnya tak berdering. Tak ada pesan, tak ada panggilan.Kegelisahan merayapi hatinya. Ia menunggu, menunggu, hingga tanpa sadar kepalanya bersandar di lengan sofa dan matanya terpejam.Suara mesin mobil yang memasuki halaman membangunkannya.Elara tersentak, segera berdiri dan berjalan
Waktu itu, Elara sedang membaca di ruang tamu ketika suara langkah kaki terdengar dari pintu masuk."Nyonya besar dan Tuan Everstone tiba," lapor kepala pelayan dengan nada sopan, meski wajahnya sedikit tegang.Elara segera bangkit, menyiapkan dirinya untuk menghadapi keluarga Damian yang belum benar-benar menerimanya.Nyonya Everstone, ibu Damian, masuk dengan elegan, mengenakan gaun mahal dengan perhiasan yang berkilauan di pergelangan tangannya. Di sampingnya, ada seorang pria paruh baya dengan aura berwibawa—ayah Damian.Damian, yang tengah bersantai di ruangannya, akhirnya turun setelah mendengar suara mereka."Ayah, Ibu, kenapa datang tiba-tiba?" tanyanya santai."Ada acara keluarga malam ini," kata ibunya tanpa basa-basi. "Semua anggota keluarga akan berkumpul. Dan tentu saja, sebagai istri Damian, Elara harus hadir."Elara tetap tenang, meski dalam hatinya ada ketegangan."Tentu, Ibu," jawabnya sopan.Namun, belum sempat ia merasa lega, Nyonya Everstone melanjutkan, "Tapi, ak
"Agh!"Teriakan Laurent menggema di lorong sempit dekat dapur, membuat semua orang di meja makan menoleh dengan cepat. Ibu mertua Alicia langsung bangkit, diikuti Damian yang melangkah cepat dengan ekspresi penuh kewaspadaan.Ketika mereka tiba di sana, Laurent berdiri dengan wajah dan rambut basah, air menetes dari dagunya. Gaun mahal yang dikenakannya kini memiliki bercak air yang jelas mengotori kainnya."Ada apa ini?" suara ibu mertua Alicia penuh dengan kepanikan dan kemarahan.Laurent tampak menggigit bibirnya, seolah menahan sesuatu. Matanya yang bening menatap lurus ke arah Alicia yang berdiri beberapa langkah dari pintu toilet.Damian menoleh, tatapannya tajam. "Alicia, kuharap kau bisa jelaskan hal ini pada kami." Suaranya dingin, hampir tak berperasaan.Alicia mengangkat kedua tangannya dengan ekspresi seolah ia tak mengerti apa yang sedang terjadi."Aku tak tahu, Damian! Wanita gila ini tiba-tiba keluar dengan wajah basah! Aku juga terkejut!" Nada suaranya tinggi, terdenga
Di hadapan Laurent, selembar kertas perjanjian pernikahan tergeletak di atas meja, seolah menantinya untuk membuat keputusan terakhir. Tinta hitamnya tampak jelas, menyiratkan kesepakatan yang tak bisa dihindari.Laurent mengangkat wajahnya, menatap Adrian dengan sorot mata penuh tanda tanya."Apa ini?" suaranya terdengar datar, namun di dalam hatinya ada gelombang emosi yang sulit dijelaskan.Adrian bersandar di kursinya, ekspresi tenangnya tak terbaca. "Karena kita sudah melakukannya," katanya, suaranya begitu yakin, "aku hanya ingin meresmikan hubungan kita sebagai suami istri."Laurent menelan ludah, jemarinya sedikit gemetar sebelum ia mengepalkan tangannya di atas paha. Ia seharusnya sudah menduga ini, tapi tetap saja, mendengar Adrian mengatakannya langsung terasa begitu nyata."Kau..." Adrian menatapnya tajam. "Kau tidak berharap kembali pada Damian, kan, Elara?"Matanya menyipit, seolah mencoba menangkap kebohongan yang mungkin keluar dari bibir Laurent.Laurent mendengus pel
Laurent melangkah cepat menuju rumah sakit jiwa tempat ibunya dirawat, napasnya memburu seiring ketegangan yang menghimpit dadanya. Kabar bahwa keluarga Damian telah memindahkan ibunya datang tiba-tiba, dan ia tak bisa membuang waktu.Setibanya di sana, ia langsung menuju kamar tempat ibunya dirawat. Namun, begitu tiba di ambang pintu, langkahnya terhenti. Dadanya terasa sesak, dan seakan-akan seluruh tubuhnya membeku di tempat.Ranjang di dalam kamar itu kosong.Seorang perawat laki-laki tengah membereskan sprei, wajahnya terlihat tenang, seolah tidak ada yang aneh.Laurent menatap ranjang itu dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan—marah, takut, dan cemas bercampur menjadi satu.Perawat itu akhirnya menyadari kehadirannya dan menoleh dengan ekspresi penasaran. "Maaf, Anda ingin menjenguk siapa?" tanyanya dengan sopan.Laurent menelan ludah, suaranya nyaris bergetar saat bertanya, "Di mana pasien yang sebelumnya dirawat di kamar ini? Dia dibawa ke mana?"Perawat itu mengernyitkan da
"Kau yakin mau melakukannya?" tanya Adrian, suaranya rendah namun sarat dengan ketidaksetujuan.Di atas ranjang, di bawah cahaya lampu tidur yang temaram, Laurent menatap langit-langit dengan gelisah. Matanya yang lelah mencerminkan kegundahan yang tak kunjung reda. Ibunya masih belum ditemukan, dan bayang-bayang kemungkinan buruk terus menghantuinya."Dia menggunakan kelemahanku," bisik Laurent, suaranya penuh kepastian. "Maka aku harus menggunakan kelemahannya."Adrian menarik napas panjang, lalu mengusap pelipisnya sejenak. "Baiklah," katanya akhirnya. "Tapi kau tak perlu turun tangan sendiri. Biar anak buahku yang mengurusnya."Laurent menoleh, menatap suaminya lekat-lekat. Ada sesuatu di mata Adrian—ketegasan, ketulusan, dan sesuatu yang membuatnya merasa lebih aman di tengah semua kekacauan ini. Perlahan, ia menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu, mencari kehangatan di antara kegelisahannya.Tanpa berpikir, tangannya meraih tangan Adrian, menggenggamnya erat, lalu mengecup
Malam itu, Elara masih terjaga di kamarnya.Setelah kejadian di meja makan dan di dapur, pikirannya dipenuhi dengan berbagai emosi. Lelah, marah, sedih, dan perasaan tidak berdaya bercampur menjadi satu.Lalu, ketukan terdengar di pintu.“Nyonya Elara.”Elara menoleh. Seorang pelayan berdiri di ambang pintu dengan sikap ragu.“Tuan Damian meminta Anda ke kamarnya sekarang.”Jantung Elara berdegup lebih cepat.Damian… memanggilnya?Untuk apa?Hingga saat ini, pria itu hampir tidak pernah mengundangnya ke kamar. Mereka tidur terpisah, dan Damian selalu bersikap dingin padanya.Tapi sekarang?Ada harapan kecil yang tumbuh dalam hatinya.Mungkin… mungkin malam ini akan berbeda.Mungkin akhirnya Damian akan melihatnya sebagai istrinya.Dengan tangan gemetar, Elara memilih gaun malam yang lembut dan elegan. Ia menyisir rambutnya dengan rapi, mengenakan sedikit lipstik tipis agar wajahnya tidak terlihat pucat.Ia ingin terlihat pantas di mata suaminya.Ia ingin Damian melihatnya, bukan sebag
"Kau yakin mau melakukannya?" tanya Adrian, suaranya rendah namun sarat dengan ketidaksetujuan.Di atas ranjang, di bawah cahaya lampu tidur yang temaram, Laurent menatap langit-langit dengan gelisah. Matanya yang lelah mencerminkan kegundahan yang tak kunjung reda. Ibunya masih belum ditemukan, dan bayang-bayang kemungkinan buruk terus menghantuinya."Dia menggunakan kelemahanku," bisik Laurent, suaranya penuh kepastian. "Maka aku harus menggunakan kelemahannya."Adrian menarik napas panjang, lalu mengusap pelipisnya sejenak. "Baiklah," katanya akhirnya. "Tapi kau tak perlu turun tangan sendiri. Biar anak buahku yang mengurusnya."Laurent menoleh, menatap suaminya lekat-lekat. Ada sesuatu di mata Adrian—ketegasan, ketulusan, dan sesuatu yang membuatnya merasa lebih aman di tengah semua kekacauan ini. Perlahan, ia menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu, mencari kehangatan di antara kegelisahannya.Tanpa berpikir, tangannya meraih tangan Adrian, menggenggamnya erat, lalu mengecup
Laurent melangkah cepat menuju rumah sakit jiwa tempat ibunya dirawat, napasnya memburu seiring ketegangan yang menghimpit dadanya. Kabar bahwa keluarga Damian telah memindahkan ibunya datang tiba-tiba, dan ia tak bisa membuang waktu.Setibanya di sana, ia langsung menuju kamar tempat ibunya dirawat. Namun, begitu tiba di ambang pintu, langkahnya terhenti. Dadanya terasa sesak, dan seakan-akan seluruh tubuhnya membeku di tempat.Ranjang di dalam kamar itu kosong.Seorang perawat laki-laki tengah membereskan sprei, wajahnya terlihat tenang, seolah tidak ada yang aneh.Laurent menatap ranjang itu dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan—marah, takut, dan cemas bercampur menjadi satu.Perawat itu akhirnya menyadari kehadirannya dan menoleh dengan ekspresi penasaran. "Maaf, Anda ingin menjenguk siapa?" tanyanya dengan sopan.Laurent menelan ludah, suaranya nyaris bergetar saat bertanya, "Di mana pasien yang sebelumnya dirawat di kamar ini? Dia dibawa ke mana?"Perawat itu mengernyitkan da
Di hadapan Laurent, selembar kertas perjanjian pernikahan tergeletak di atas meja, seolah menantinya untuk membuat keputusan terakhir. Tinta hitamnya tampak jelas, menyiratkan kesepakatan yang tak bisa dihindari.Laurent mengangkat wajahnya, menatap Adrian dengan sorot mata penuh tanda tanya."Apa ini?" suaranya terdengar datar, namun di dalam hatinya ada gelombang emosi yang sulit dijelaskan.Adrian bersandar di kursinya, ekspresi tenangnya tak terbaca. "Karena kita sudah melakukannya," katanya, suaranya begitu yakin, "aku hanya ingin meresmikan hubungan kita sebagai suami istri."Laurent menelan ludah, jemarinya sedikit gemetar sebelum ia mengepalkan tangannya di atas paha. Ia seharusnya sudah menduga ini, tapi tetap saja, mendengar Adrian mengatakannya langsung terasa begitu nyata."Kau..." Adrian menatapnya tajam. "Kau tidak berharap kembali pada Damian, kan, Elara?"Matanya menyipit, seolah mencoba menangkap kebohongan yang mungkin keluar dari bibir Laurent.Laurent mendengus pel
"Agh!"Teriakan Laurent menggema di lorong sempit dekat dapur, membuat semua orang di meja makan menoleh dengan cepat. Ibu mertua Alicia langsung bangkit, diikuti Damian yang melangkah cepat dengan ekspresi penuh kewaspadaan.Ketika mereka tiba di sana, Laurent berdiri dengan wajah dan rambut basah, air menetes dari dagunya. Gaun mahal yang dikenakannya kini memiliki bercak air yang jelas mengotori kainnya."Ada apa ini?" suara ibu mertua Alicia penuh dengan kepanikan dan kemarahan.Laurent tampak menggigit bibirnya, seolah menahan sesuatu. Matanya yang bening menatap lurus ke arah Alicia yang berdiri beberapa langkah dari pintu toilet.Damian menoleh, tatapannya tajam. "Alicia, kuharap kau bisa jelaskan hal ini pada kami." Suaranya dingin, hampir tak berperasaan.Alicia mengangkat kedua tangannya dengan ekspresi seolah ia tak mengerti apa yang sedang terjadi."Aku tak tahu, Damian! Wanita gila ini tiba-tiba keluar dengan wajah basah! Aku juga terkejut!" Nada suaranya tinggi, terdenga
Waktu itu, Elara sedang membaca di ruang tamu ketika suara langkah kaki terdengar dari pintu masuk."Nyonya besar dan Tuan Everstone tiba," lapor kepala pelayan dengan nada sopan, meski wajahnya sedikit tegang.Elara segera bangkit, menyiapkan dirinya untuk menghadapi keluarga Damian yang belum benar-benar menerimanya.Nyonya Everstone, ibu Damian, masuk dengan elegan, mengenakan gaun mahal dengan perhiasan yang berkilauan di pergelangan tangannya. Di sampingnya, ada seorang pria paruh baya dengan aura berwibawa—ayah Damian.Damian, yang tengah bersantai di ruangannya, akhirnya turun setelah mendengar suara mereka."Ayah, Ibu, kenapa datang tiba-tiba?" tanyanya santai."Ada acara keluarga malam ini," kata ibunya tanpa basa-basi. "Semua anggota keluarga akan berkumpul. Dan tentu saja, sebagai istri Damian, Elara harus hadir."Elara tetap tenang, meski dalam hatinya ada ketegangan."Tentu, Ibu," jawabnya sopan.Namun, belum sempat ia merasa lega, Nyonya Everstone melanjutkan, "Tapi, ak
Laurent duduk di kursi penumpang, tubuhnya bersandar pada jok dengan tatapan kosong yang mengarah ke luar jendela. Mobil yang dikendarai pengawalnya meluncur perlahan, meninggalkan rumah sang mantan ibu mertua.Dalam diam, ia menggigit bibirnya."Akan kubuat kau mengingat semuanya, Alicia," gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar.Tangannya mengepal di pangkuan."Seperti hari-hari di neraka yang kulalui dalam pernikahanku... karena kamu."Kepahitan membanjiri dadanya, membawa ingatannya kembali ke masa lalu—ke hari di mana semuanya bermula.---Waktu itu... Elara duduk di sofa ruang tamu, matanya sesekali melirik jam dinding. Jarum pendek hampir menyentuh angka satu, namun Damian belum juga pulang.Ponselnya tak berdering. Tak ada pesan, tak ada panggilan.Kegelisahan merayapi hatinya. Ia menunggu, menunggu, hingga tanpa sadar kepalanya bersandar di lengan sofa dan matanya terpejam.Suara mesin mobil yang memasuki halaman membangunkannya.Elara tersentak, segera berdiri dan berjalan
Beberapa Hari KemudianSejak foto Alicia tersebar—terlihat berada di hotel dengan pria lain—hidupnya berubah drastis. Sebagai hukuman, ia kini harus tinggal di rumah mertuanya, di bawah pengawasan ketat. Gerak-geriknya dibatasi. Ia bahkan tak bisa keluar masuk rumah sesuka hati, seolah menjadi tahanan dalam rumah megah itu."Sebaiknya kau lebih berhati-hati mulai sekarang," ujar Adam Everstone, ayah Damian, dengan nada tegas.Alicia mengangguk tanpa berkata apa-apa. Kalimat itu sudah ia dengar puluhan kali, tak hanya dari mertuanya, tetapi juga dari adik iparnya—Dianora—yang menurutnya amat menyebalkan."Besok kita kedatangan tamu penting. Jadi, jaga sikapmu, Alicia," perintah ibu mertuanya dengan nada dingin.Alicia mengangkat dagunya, berusaha tetap tenang meski hatinya berdebar. "S-siapa, Bu?" tanyanya dengan gugup, entah kenapa ia merasa tak nyaman."Laurent Forst," suara datar namun tajam itu datang dari Dianora.Jantung Alicia berdegup lebih cepat. Wajahnya seketika menegang. "
Alicia tersentak."Kau… Kau salah dengar, Dianora," katanya cepat, menutup telepon dengan gugup. Jemarinya yang masih menggenggam ponsel terasa dingin, tetapi ia berusaha mempertahankan ekspresi tenang.Dianora melangkah masuk ke kamar tamu dengan santai, seolah-olah ia hanya sekadar berkunjung. Tanpa ragu, ia duduk di tepi ranjang, menyilangkan kakinya dengan anggun."Ada skandal buruk tentangmu akhir-akhir ini," ucapnya dengan nada ringan, tetapi ada ketajaman tersembunyi dalam suaranya. "Bahkan aku tahu kau punya hubungan yang tidak baik dengan Laurent."Alicia mengernyit. "Jangan salah paham," kekehnya canggung, mencoba meredam ketegangan.Dianora tersenyum kecil, senyuman yang sulit diterjemahkan apakah itu ketulusan atau peringatan."Kakak ipar," katanya santai, nada suaranya seperti seseorang yang sedang memberi nasihat penuh makna. "Jangan sampai kau membuat berita buruk di keluarga ini. Kau tahu, kalau kau bertindak seenaknya… aku juga bisa ikut terkena dampaknya."Tatapannya
Usai menjalankan rencananya, Laurent melajukan mobilnya menuju rumah sakit jiwa. Hujan tipis membasahi jalan, menambah kesan muram yang sudah menyelimuti hatinya. Ia ingin melihat ibunya—ingin memastikan sendiri bagaimana keadaannya saat ini.Begitu sampai di rumah sakit jiwa, Laurent turun dari mobil dengan langkah hati-hati. Gedung tua berlantai tiga itu berdiri suram di bawah langit kelabu, dengan pagar besi tinggi yang mengelilinginya. Bau khas desinfektan bercampur dengan aroma lembab menyambutnya begitu ia melewati pintu masuk.Dia mengenakan kacamata hitam, topi, dan masker, sengaja menutupi sebagian besar wajahnya. Lorong rumah sakit itu sunyi, hanya sesekali terdengar suara langkah kaki perawat yang berlalu-lalang. Beberapa pasien duduk di kursi roda atau berdiri di dekat jendela dengan tatapan kosong. Cahaya lampu neon yang redup membuat suasana semakin dingin.Laurent tiba di depan kamar ibunya. Dengan hati berdebar, ia membuka pintu perlahan.Di dalam, ibunya duduk di