"Jelaskan apa? Bahwa kau selingkuh?" suara Damian menggema di ruangan, dingin dan tajam seperti belati. Tatapannya menusuk, menuntut jawaban yang bisa meredam amarahnya.Alicia menelan ludah, tubuhnya menegang. "Itu bukan seperti yang kau pikirkan!" katanya cepat, mencoba mempertahankan ketenangan meski napasnya mulai memburu.Damian menggeleng, ekspresi wajahnya penuh kemarahan dan kekecewaan. "Kau tahu dampak dari apa yang kau lakukan saat menampar Laurent masih ada? Aku harus membereskannya, dan sekarang kau membuat masalah lagi?" nada suaranya meninggi, frustrasi yang sejak tadi ia tekan akhirnya meledak."Aku hanya bertemu dengan pria itu! Tak ada yang spesial, Damian. Aku hanya membahas masalah bisnis."Damian mendengus sinis. "Kau pikir aku percaya?"Alicia mendekat, menatap suaminya dengan mata penuh keyakinan. "Aku bersumpah, Damian! Aku dijebak! Kau harus percaya bahwa Elara sudah kembali dan sedang memanipulasi semuanya!"Namun, Damian hanya menghela napas panjang, kasar, p
Siang itu, bandara terasa sesak dan panas. Suasana hiruk-pikuk kedatangan internasional terlihat di mana-mana—para penumpang keluar dari pintu kedatangan dengan langkah cepat. Beberapa langsung disambut pelukan keluarga, sementara yang lain tampak sibuk mencari jemputan atau sekadar menyesuaikan diri dengan suhu yang jauh lebih terik dibandingkan kabin pesawat. Suara koper-koper beroda bergesekan dengan lantai marmer bercampur dengan pengumuman penerbangan yang terus berkumandang dari pengeras suara.Dianora melangkah keluar dari terminal, kacamata hitamnya bertengger di hidung, melindungi matanya dari sinar matahari yang terik. Rambut panjangnya tertiup angin saat dia menyesuaikan tali tas di bahunya. Ponsel dalam genggamannya menunjukkan pesan dari sopir yang memberitahu bahwa ia akan sedikit terlambat. Dengan enggan, Dianora berdiri di dekat pilar besar yang sedikit memberikan bayangan, menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa penat setelah perjalanan panjang dari luar nege
Usai menjalankan rencananya, Laurent melajukan mobilnya menuju rumah sakit jiwa. Hujan tipis membasahi jalan, menambah kesan muram yang sudah menyelimuti hatinya. Ia ingin melihat ibunya—ingin memastikan sendiri bagaimana keadaannya saat ini.Begitu sampai di rumah sakit jiwa, Laurent turun dari mobil dengan langkah hati-hati. Gedung tua berlantai tiga itu berdiri suram di bawah langit kelabu, dengan pagar besi tinggi yang mengelilinginya. Bau khas desinfektan bercampur dengan aroma lembab menyambutnya begitu ia melewati pintu masuk.Dia mengenakan kacamata hitam, topi, dan masker, sengaja menutupi sebagian besar wajahnya. Lorong rumah sakit itu sunyi, hanya sesekali terdengar suara langkah kaki perawat yang berlalu-lalang. Beberapa pasien duduk di kursi roda atau berdiri di dekat jendela dengan tatapan kosong. Cahaya lampu neon yang redup membuat suasana semakin dingin.Laurent tiba di depan kamar ibunya. Dengan hati berdebar, ia membuka pintu perlahan.Di dalam, ibunya duduk di
Alicia tersentak."Kau… Kau salah dengar, Dianora," katanya cepat, menutup telepon dengan gugup. Jemarinya yang masih menggenggam ponsel terasa dingin, tetapi ia berusaha mempertahankan ekspresi tenang.Dianora melangkah masuk ke kamar tamu dengan santai, seolah-olah ia hanya sekadar berkunjung. Tanpa ragu, ia duduk di tepi ranjang, menyilangkan kakinya dengan anggun."Ada skandal buruk tentangmu akhir-akhir ini," ucapnya dengan nada ringan, tetapi ada ketajaman tersembunyi dalam suaranya. "Bahkan aku tahu kau punya hubungan yang tidak baik dengan Laurent."Alicia mengernyit. "Jangan salah paham," kekehnya canggung, mencoba meredam ketegangan.Dianora tersenyum kecil, senyuman yang sulit diterjemahkan apakah itu ketulusan atau peringatan."Kakak ipar," katanya santai, nada suaranya seperti seseorang yang sedang memberi nasihat penuh makna. "Jangan sampai kau membuat berita buruk di keluarga ini. Kau tahu, kalau kau bertindak seenaknya… aku juga bisa ikut terkena dampaknya."Tatapannya
Beberapa Hari KemudianSejak foto Alicia tersebar—terlihat berada di hotel dengan pria lain—hidupnya berubah drastis. Sebagai hukuman, ia kini harus tinggal di rumah mertuanya, di bawah pengawasan ketat. Gerak-geriknya dibatasi. Ia bahkan tak bisa keluar masuk rumah sesuka hati, seolah menjadi tahanan dalam rumah megah itu."Sebaiknya kau lebih berhati-hati mulai sekarang," ujar Adam Everstone, ayah Damian, dengan nada tegas.Alicia mengangguk tanpa berkata apa-apa. Kalimat itu sudah ia dengar puluhan kali, tak hanya dari mertuanya, tetapi juga dari adik iparnya—Dianora—yang menurutnya amat menyebalkan."Besok kita kedatangan tamu penting. Jadi, jaga sikapmu, Alicia," perintah ibu mertuanya dengan nada dingin.Alicia mengangkat dagunya, berusaha tetap tenang meski hatinya berdebar. "S-siapa, Bu?" tanyanya dengan gugup, entah kenapa ia merasa tak nyaman."Laurent Forst," suara datar namun tajam itu datang dari Dianora.Jantung Alicia berdegup lebih cepat. Wajahnya seketika menegang. "
Laurent duduk di kursi penumpang, tubuhnya bersandar pada jok dengan tatapan kosong yang mengarah ke luar jendela. Mobil yang dikendarai pengawalnya meluncur perlahan, meninggalkan rumah sang mantan ibu mertua.Dalam diam, ia menggigit bibirnya."Akan kubuat kau mengingat semuanya, Alicia," gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar.Tangannya mengepal di pangkuan."Seperti hari-hari di neraka yang kulalui dalam pernikahanku... karena kamu."Kepahitan membanjiri dadanya, membawa ingatannya kembali ke masa lalu—ke hari di mana semuanya bermula.---Waktu itu... Elara duduk di sofa ruang tamu, matanya sesekali melirik jam dinding. Jarum pendek hampir menyentuh angka satu, namun Damian belum juga pulang.Ponselnya tak berdering. Tak ada pesan, tak ada panggilan.Kegelisahan merayapi hatinya. Ia menunggu, menunggu, hingga tanpa sadar kepalanya bersandar di lengan sofa dan matanya terpejam.Suara mesin mobil yang memasuki halaman membangunkannya.Elara tersentak, segera berdiri dan berjalan
Waktu itu, Elara sedang membaca di ruang tamu ketika suara langkah kaki terdengar dari pintu masuk."Nyonya besar dan Tuan Everstone tiba," lapor kepala pelayan dengan nada sopan, meski wajahnya sedikit tegang.Elara segera bangkit, menyiapkan dirinya untuk menghadapi keluarga Damian yang belum benar-benar menerimanya.Nyonya Everstone, ibu Damian, masuk dengan elegan, mengenakan gaun mahal dengan perhiasan yang berkilauan di pergelangan tangannya. Di sampingnya, ada seorang pria paruh baya dengan aura berwibawa—ayah Damian.Damian, yang tengah bersantai di ruangannya, akhirnya turun setelah mendengar suara mereka."Ayah, Ibu, kenapa datang tiba-tiba?" tanyanya santai."Ada acara keluarga malam ini," kata ibunya tanpa basa-basi. "Semua anggota keluarga akan berkumpul. Dan tentu saja, sebagai istri Damian, Elara harus hadir."Elara tetap tenang, meski dalam hatinya ada ketegangan."Tentu, Ibu," jawabnya sopan.Namun, belum sempat ia merasa lega, Nyonya Everstone melanjutkan, "Tapi, ak
"Agh!"Teriakan Laurent menggema di lorong sempit dekat dapur, membuat semua orang di meja makan menoleh dengan cepat. Ibu mertua Alicia langsung bangkit, diikuti Damian yang melangkah cepat dengan ekspresi penuh kewaspadaan.Ketika mereka tiba di sana, Laurent berdiri dengan wajah dan rambut basah, air menetes dari dagunya. Gaun mahal yang dikenakannya kini memiliki bercak air yang jelas mengotori kainnya."Ada apa ini?" suara ibu mertua Alicia penuh dengan kepanikan dan kemarahan.Laurent tampak menggigit bibirnya, seolah menahan sesuatu. Matanya yang bening menatap lurus ke arah Alicia yang berdiri beberapa langkah dari pintu toilet.Damian menoleh, tatapannya tajam. "Alicia, kuharap kau bisa jelaskan hal ini pada kami." Suaranya dingin, hampir tak berperasaan.Alicia mengangkat kedua tangannya dengan ekspresi seolah ia tak mengerti apa yang sedang terjadi."Aku tak tahu, Damian! Wanita gila ini tiba-tiba keluar dengan wajah basah! Aku juga terkejut!" Nada suaranya tinggi, terdenga
"Agh!"Teriakan Laurent menggema di lorong sempit dekat dapur, membuat semua orang di meja makan menoleh dengan cepat. Ibu mertua Alicia langsung bangkit, diikuti Damian yang melangkah cepat dengan ekspresi penuh kewaspadaan.Ketika mereka tiba di sana, Laurent berdiri dengan wajah dan rambut basah, air menetes dari dagunya. Gaun mahal yang dikenakannya kini memiliki bercak air yang jelas mengotori kainnya."Ada apa ini?" suara ibu mertua Alicia penuh dengan kepanikan dan kemarahan.Laurent tampak menggigit bibirnya, seolah menahan sesuatu. Matanya yang bening menatap lurus ke arah Alicia yang berdiri beberapa langkah dari pintu toilet.Damian menoleh, tatapannya tajam. "Alicia, kuharap kau bisa jelaskan hal ini pada kami." Suaranya dingin, hampir tak berperasaan.Alicia mengangkat kedua tangannya dengan ekspresi seolah ia tak mengerti apa yang sedang terjadi."Aku tak tahu, Damian! Wanita gila ini tiba-tiba keluar dengan wajah basah! Aku juga terkejut!" Nada suaranya tinggi, terdenga
Waktu itu, Elara sedang membaca di ruang tamu ketika suara langkah kaki terdengar dari pintu masuk."Nyonya besar dan Tuan Everstone tiba," lapor kepala pelayan dengan nada sopan, meski wajahnya sedikit tegang.Elara segera bangkit, menyiapkan dirinya untuk menghadapi keluarga Damian yang belum benar-benar menerimanya.Nyonya Everstone, ibu Damian, masuk dengan elegan, mengenakan gaun mahal dengan perhiasan yang berkilauan di pergelangan tangannya. Di sampingnya, ada seorang pria paruh baya dengan aura berwibawa—ayah Damian.Damian, yang tengah bersantai di ruangannya, akhirnya turun setelah mendengar suara mereka."Ayah, Ibu, kenapa datang tiba-tiba?" tanyanya santai."Ada acara keluarga malam ini," kata ibunya tanpa basa-basi. "Semua anggota keluarga akan berkumpul. Dan tentu saja, sebagai istri Damian, Elara harus hadir."Elara tetap tenang, meski dalam hatinya ada ketegangan."Tentu, Ibu," jawabnya sopan.Namun, belum sempat ia merasa lega, Nyonya Everstone melanjutkan, "Tapi, ak
Laurent duduk di kursi penumpang, tubuhnya bersandar pada jok dengan tatapan kosong yang mengarah ke luar jendela. Mobil yang dikendarai pengawalnya meluncur perlahan, meninggalkan rumah sang mantan ibu mertua.Dalam diam, ia menggigit bibirnya."Akan kubuat kau mengingat semuanya, Alicia," gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar.Tangannya mengepal di pangkuan."Seperti hari-hari di neraka yang kulalui dalam pernikahanku... karena kamu."Kepahitan membanjiri dadanya, membawa ingatannya kembali ke masa lalu—ke hari di mana semuanya bermula.---Waktu itu... Elara duduk di sofa ruang tamu, matanya sesekali melirik jam dinding. Jarum pendek hampir menyentuh angka satu, namun Damian belum juga pulang.Ponselnya tak berdering. Tak ada pesan, tak ada panggilan.Kegelisahan merayapi hatinya. Ia menunggu, menunggu, hingga tanpa sadar kepalanya bersandar di lengan sofa dan matanya terpejam.Suara mesin mobil yang memasuki halaman membangunkannya.Elara tersentak, segera berdiri dan berjalan
Beberapa Hari KemudianSejak foto Alicia tersebar—terlihat berada di hotel dengan pria lain—hidupnya berubah drastis. Sebagai hukuman, ia kini harus tinggal di rumah mertuanya, di bawah pengawasan ketat. Gerak-geriknya dibatasi. Ia bahkan tak bisa keluar masuk rumah sesuka hati, seolah menjadi tahanan dalam rumah megah itu."Sebaiknya kau lebih berhati-hati mulai sekarang," ujar Adam Everstone, ayah Damian, dengan nada tegas.Alicia mengangguk tanpa berkata apa-apa. Kalimat itu sudah ia dengar puluhan kali, tak hanya dari mertuanya, tetapi juga dari adik iparnya—Dianora—yang menurutnya amat menyebalkan."Besok kita kedatangan tamu penting. Jadi, jaga sikapmu, Alicia," perintah ibu mertuanya dengan nada dingin.Alicia mengangkat dagunya, berusaha tetap tenang meski hatinya berdebar. "S-siapa, Bu?" tanyanya dengan gugup, entah kenapa ia merasa tak nyaman."Laurent Forst," suara datar namun tajam itu datang dari Dianora.Jantung Alicia berdegup lebih cepat. Wajahnya seketika menegang. "
Alicia tersentak."Kau… Kau salah dengar, Dianora," katanya cepat, menutup telepon dengan gugup. Jemarinya yang masih menggenggam ponsel terasa dingin, tetapi ia berusaha mempertahankan ekspresi tenang.Dianora melangkah masuk ke kamar tamu dengan santai, seolah-olah ia hanya sekadar berkunjung. Tanpa ragu, ia duduk di tepi ranjang, menyilangkan kakinya dengan anggun."Ada skandal buruk tentangmu akhir-akhir ini," ucapnya dengan nada ringan, tetapi ada ketajaman tersembunyi dalam suaranya. "Bahkan aku tahu kau punya hubungan yang tidak baik dengan Laurent."Alicia mengernyit. "Jangan salah paham," kekehnya canggung, mencoba meredam ketegangan.Dianora tersenyum kecil, senyuman yang sulit diterjemahkan apakah itu ketulusan atau peringatan."Kakak ipar," katanya santai, nada suaranya seperti seseorang yang sedang memberi nasihat penuh makna. "Jangan sampai kau membuat berita buruk di keluarga ini. Kau tahu, kalau kau bertindak seenaknya… aku juga bisa ikut terkena dampaknya."Tatapannya
Usai menjalankan rencananya, Laurent melajukan mobilnya menuju rumah sakit jiwa. Hujan tipis membasahi jalan, menambah kesan muram yang sudah menyelimuti hatinya. Ia ingin melihat ibunya—ingin memastikan sendiri bagaimana keadaannya saat ini.Begitu sampai di rumah sakit jiwa, Laurent turun dari mobil dengan langkah hati-hati. Gedung tua berlantai tiga itu berdiri suram di bawah langit kelabu, dengan pagar besi tinggi yang mengelilinginya. Bau khas desinfektan bercampur dengan aroma lembab menyambutnya begitu ia melewati pintu masuk.Dia mengenakan kacamata hitam, topi, dan masker, sengaja menutupi sebagian besar wajahnya. Lorong rumah sakit itu sunyi, hanya sesekali terdengar suara langkah kaki perawat yang berlalu-lalang. Beberapa pasien duduk di kursi roda atau berdiri di dekat jendela dengan tatapan kosong. Cahaya lampu neon yang redup membuat suasana semakin dingin.Laurent tiba di depan kamar ibunya. Dengan hati berdebar, ia membuka pintu perlahan.Di dalam, ibunya duduk di
Siang itu, bandara terasa sesak dan panas. Suasana hiruk-pikuk kedatangan internasional terlihat di mana-mana—para penumpang keluar dari pintu kedatangan dengan langkah cepat. Beberapa langsung disambut pelukan keluarga, sementara yang lain tampak sibuk mencari jemputan atau sekadar menyesuaikan diri dengan suhu yang jauh lebih terik dibandingkan kabin pesawat. Suara koper-koper beroda bergesekan dengan lantai marmer bercampur dengan pengumuman penerbangan yang terus berkumandang dari pengeras suara.Dianora melangkah keluar dari terminal, kacamata hitamnya bertengger di hidung, melindungi matanya dari sinar matahari yang terik. Rambut panjangnya tertiup angin saat dia menyesuaikan tali tas di bahunya. Ponsel dalam genggamannya menunjukkan pesan dari sopir yang memberitahu bahwa ia akan sedikit terlambat. Dengan enggan, Dianora berdiri di dekat pilar besar yang sedikit memberikan bayangan, menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa penat setelah perjalanan panjang dari luar nege
"Jelaskan apa? Bahwa kau selingkuh?" suara Damian menggema di ruangan, dingin dan tajam seperti belati. Tatapannya menusuk, menuntut jawaban yang bisa meredam amarahnya.Alicia menelan ludah, tubuhnya menegang. "Itu bukan seperti yang kau pikirkan!" katanya cepat, mencoba mempertahankan ketenangan meski napasnya mulai memburu.Damian menggeleng, ekspresi wajahnya penuh kemarahan dan kekecewaan. "Kau tahu dampak dari apa yang kau lakukan saat menampar Laurent masih ada? Aku harus membereskannya, dan sekarang kau membuat masalah lagi?" nada suaranya meninggi, frustrasi yang sejak tadi ia tekan akhirnya meledak."Aku hanya bertemu dengan pria itu! Tak ada yang spesial, Damian. Aku hanya membahas masalah bisnis."Damian mendengus sinis. "Kau pikir aku percaya?"Alicia mendekat, menatap suaminya dengan mata penuh keyakinan. "Aku bersumpah, Damian! Aku dijebak! Kau harus percaya bahwa Elara sudah kembali dan sedang memanipulasi semuanya!"Namun, Damian hanya menghela napas panjang, kasar, p
Alicia melangkah perlahan di jalan setapak pemakaman yang mulai diselimuti kabut tipis. Angin bertiup lembut, mengusap helaian rambutnya yang tergerai di bahu. Tangannya merogoh tas, mengeluarkan ponsel, dan dengan cepat menekan nomor suaminya.Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara Damian yang dalam dan malas menanggapi."Damian... Wanita itu masih hidup," ujar Alicia, suaranya datar tapi penuh keyakinan.Terdengar tarikan napas dari seberang telepon. "Dari mana kau tahu?" tanya Damian, nada suaranya penuh ketidakpercayaan.Alicia membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam. Ia menyandarkan punggungnya ke jok, menatap lurus ke depan dengan ekspresi serius. "Aku baru saja ke makam ayahnya. Ada bunga yang masih segar di sana. Siapa lagi yang akan meninggalkannya kalau bukan dia?"Sejenak, Damian terdiam. Lalu, dengan suara yang lebih tajam, ia berkata, "Alicia, jangan mulai lagi."Namun, Alicia tidak peduli. Ia menyalakan mesin mobil dan tersenyum tipis. "Bagaimana kalau kita