“Saras, masuk ke kamar.” Ucap Liam yang sudah berada di ruang tamu.Ruang tamu yang sebelumnya penuh kehangatan karena tangisan Saras,kini terasa dingin dan tegang. Saras masih berdiri di samping Vinso,matanya terlihat kosong dan dingin, menatap Liam dengan tatapan tajam. Wajahnya pucat, dan tubuhnya terlihat lemah. Ia memegang tas kecil di tangan kanannya.Liam berdiri di seberangnya, matanya memancarkan kemarahan. "Kau tidak bisa pergi!" katanya dengan suara keras. "Kita masih terikat kontrak pernikahan. Kau tidak bisa meninggalkan aku begitu saja!"Saras tidak terpengaruh. Ia mempertahankan tatapannya, suaranya datar. "Aku tidak ingin tinggal di sini lagi. Aku tidak ingin hidup dengan pria yang tidak mengakui anakku."Vinso, pria paruh baya yang berdiri di samping Saras, menatap Liam dengan kekecewaan. "Liam, kau harus memahami. Saras sudah tidak tahan lagi."Liam mengambil langkah maju, matanya memancarkan kemarahan. "Kau tidak bisa membawanya pergi! Aku tidak akan membiarkannya!
Liam berangkat pagi-pagi sekali dari rumahnya, meninggalkan kesunyian rumah yang masih terasa hangat. Ia memandang ke luar jendela, melihat cahaya matahari yang mulai menyinari kota. Dengan napas dalam, ia meninggalkan rumah dan menuju ke kantor.Saat tiba di kantor, Liam langsung menuju ruang rapat yang disambut oleh Viktor. para pemegang saham sudah menunggu, berbincang-bincang dengan serius. Ia menyapa mereka dengan senyum tipis, tapi matahari pagi tidak bisa menghilangkan bayangan kelelahan di wajahnya.Rapat mingguan dimulai, dan Liam duduk di kursinya, memandang materi presentasi di layar. Namun, pikirannya melayang jauh, terpaut pada Saras dan kehamilannya yang tidak diakui. Perasaan bersalah dan kekecewaan menghantui hatinya.Suara orang-orang yang mengikuti rapat terdengar seperti kabur, tidak terlalu jelas. Liam berusaha fokus, tapi matanya terus berkelap-kelip, mengingat kata-kata Saras yang terus menggema di pikirannya.“Hiduplah dengan isi Kepalamu…”Liam menarik napas d
Saras berjalan pelan melintasi lobi Hotel, matahari sore memancarkan cahaya hangat melalui kaca besar. Ia tidak memperhatikan sekitarnya, pikirannya terpaut pada masalah keuangan dan kehamilannya. Langkahnya terhenti sejenak di depan lift, menunggu pintu terbuka.Saat itu, seorang pria tampan berusia tiga puluhan keluar dari ruang konferensi. Matanya cokelat, rambutnya hitam dan terurus rapi. Ia mengenakan setelan bisnis yang elegan. Pria itu tidak sengaja menabrak Saras, membuatnya terkejut."Maaf, Nyonya," katanya dengan sopan, memegang lengan Saras untuk menyeimbangkannya.Saras menatap wajahnya, terkejut. "Ricard! Apa yang kau lakukan?"Ricard tersenyum, menunjukkan kesenangan. "Saras! Lama tidak bertemu.bagaimana kabarmu?"Saras merasa tidak nyaman, mengingat keadaannya saat ini. "Aku... aku baik-baik saja," jawabnya singkat.Ricard memperhatikan ekspresi Saras. "Ada yang salah? kenapa kau ada di hotel?”Saras menggelengkan kepala, berusaha menyembunyikan perasaannya. "Tidak,saat
“Ap-apa?” Rosa menahan senyumnya, dalam hati ia bersorak gembira karena Ricard berada di pihaknya untuk memuluskan rencananya. Melihat respon yang diberikan ibunya, Ricard sudah tidak terkejut lagi. Rosa adalah wanita paling licik yang pernah ia temui, terkadang Ricard juga heran bagaimana Tuhan bisa memberikan amanah anak pada wanita yang ada di hadapannya itu. “Aku jatuh cinta pada Sarastika saat pertama kali melihatnya. jadi, tidak ada alasan tertentu.” “Ricard, jujurlah pada ibu,” potong Rosa yang terdengar tidak sabar. Ricard sedikit memiringkan kepalanya, sebuah respon alami dalam dirinya. sepertinya ibunya ingin mengatakan sesuatu yang begitu penting. “Apa benar kau sudah tidur dengan Saras, dimalam kau menculiknya?” Ricard tidak menjawab, kepalanya ditegakkan dan berusaha untuk mencerna perkataan Rosa. “Saat ini, Sarastika hamil dan Liam tidak percaya jika janin yang dikandungnya adalah darah dagingnya. Ia percaya, bahwa itu adalah darah dagingmu.” Rosa melanjutkan, kali
Liam memandang wajah Saras yang basah oleh air mata, hatinya teriris oleh penyesalan yang mendalam. Ia menyadari kesalahannya, memahami bahwa istrinya tidak mungkin melakukan hal terlarang dengan Ricard. Rasa bersalah dan penyesalan menghantui hatinya, membuatnya terasa tercekik. Saras berusaha melepaskan diri, berlari menjauhkan diri dari Liam dengan langkah yang terhambat. Namun, Liam cepat-cepat memeluknya dari belakang, menahan tubuhnya yang bergetar. "Jangan pergi, Saras," katanya, suaranya penuh penyesalan dan kesedihan. "Aku tidak bisa kehilanganmu lagi." Mungkin ini terdengar gila, tapi baru ditinggal selama satu malam rasanya sungguh sulit bagi Liam untuk menerima kenyataan bahwa Saras telah meninggalkan dirinya.Saras menangis keras, tubuhnya bergetar dalam pelukan Liam. "Aku tidak bisa lagi, Liam. Aku tidak bisa hidup dengan pria yang tidak percaya padaku. Aku merasa hina dan sakit. aku bersumpah, akan membayar uang pengganti kontrak pernikahan kita..."Liam memeluknya lebi
Rosa dan Luna berjalan dengan gembira di koridor mall, mengunjungi toko-toko fashion favorit mereka. Mereka berdua terlihat cantik dengan gaun mewah dan rambut yang terurus rapi. Suasana hari itu cerah, sesuai dengan mood mereka.Tiba-tiba, Rosa menerima panggilan telepon dari nomor tak dikenal. Ia menatap layar, kemudian menjawab panggilan tersebut." Halo?" kata Rosa dengan nada santai."Selamat siang, Nyonya Rosa. Saya memiliki informasi tentang Liam," kata suara di seberang telepon dengan nada pelan.Rosa memperhatikan suara tersebut dan langsung mengenali siapa itu. "Apa kabar? Apa yang kau ketahui tentang Liam?" tanyanya dengan penasaran."Liam telah membawa Saras ke rumahnya." jawab orang diseberang sana.Rosa merasa darahnya mendidih. Ia menatap Luna dengan marah. "Liam membawa Saras ke rumahnya!"Wajah Luna mengeras, "Apa? Dia berani!"Rosa menggenggam tangan Luna. "Kita harus bertindak cepat, Luna. Kita tidak bisa membiarkan Liam jatuh ke tangan Saras."Luna mengangguk. "Ki
Ruang rawat inap yang tenang dan nyaman menjadi saksi cinta Liam pada Saras. Ia duduk di samping tempat tidur, memandang wajah cantik istrinya yang terlelap. Cahaya lampu malam memancarkan cahaya lembut pada wajah Saras, membuatnya terlihat seperti malaikat.Liam mengambil tangan Saras, memperhatikan napasnya yang teratur. Ia merasa lega melihat istrinya akhirnya bisa beristirahat dengan tenang. Kecemasan dan kesedihan yang sebelumnya menghantui hatinya mulai memudar.Dengan hati-hati, Liam mengambil ponsel dari saku celananya dan menghubungi Viktor, anak buah setianya. Suara Viktor terdengar jelas di seberang telepon."Viktor, aku butuh bantuanmu," kata Liam dengan suara pelan."Siap, Tuan. Apa yang harus saya lakukan?" jawab Viktor."Aku ingin kau menemui Vinso. Cari tahu apa yang sebenarnya terjadi antara dia dan Saras. Aku tidak percaya Vinso tidak tahu apa-apa, terlebih Saras saat aku temukan sendirian.”perintah Liam dengan nada serius.Viktor mengangguk, meskipun Liam tidak meli
Sore hari yang cerah memancarkan cahaya hangat saat Saras dan Liam meninggalkan rumah sakit. Dokter telah menyatakan Saras sembuh dan siap pulang.Liam membantu Saras keluar dari mobil, memapahnya dengan hati-hati. Wajah Saras terlihat cerah, senyumnya mengembang. Ia merasa lega akhirnya bisa pulang dan beristirahat di rumah.Sesampainya di rumah, Liam membantu Saras masuk dan membaringkannya di sofa. Ia menyiapkan segelas air dan obat-obatan yang diresepkan dokter. Saras menatap Liam dengan mata penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Liam. aku masih merasa ini seperti mimpi."Liam tersenyum lembut, memijat lembut tangan Saras. "Aku ingin kau bahagia dan sehat, Saras. Aku akan selalu melindungimu."Suasana rumah menjadi hangat dan nyaman, dipenuhi cinta dan kasih sayang. Saras merasa aman dan nyaman bersama Liam."Terimakasih, Liam," kata Saras pelan, matanya terpejam, merasakan kelelahan.Liam menutup mata Saras dengan lembut dan mencium keningnya. "Istirahatlah, Sayang. Aku akan me
Danuarta berjalan menuju ke mobilnya yang terparkir di depan rumahnya, dengan langkah yang terlihat mantap dan percaya diri. Cahaya matahari sore yang memancar dari langit membuat bayangan Danuarta terlihat panjang dan gagah. Vinso, yang berdiri di sampingnya, mencoba untuk menghalangi keinginan Danuarta."Pak,saya mohon jangan lakukan ini," Vinso berkata, dengan suara yang terdengar khawatir. "anda tidak tahu apa yang akan terjadi jika anda mendatangi rumah Liam. Mungkin ada bahaya yang mengintai di sana."Namun, Danuarta tidak menghiraukan peringatan Vinso. ia sudah bersiap untuk ke rumah Liam, dan tidak ada yang bisa menghalangi keinginannya. ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya, dengan gerakan yang cepat dan percaya diri."Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi," Danuarta berkata, dengan suara yang mantap dan percaya diri."Aku tidak bisa hanya duduk dan menunggu. aku harus tahu kebenaran tentang Liam dan apa yang dia lakukan pada putriku. Karena surat perjanjian yang k
Mobil yang ditumpangi Saras dan Liam sudah sampai rumah, dan Viktor tidak ikut turun. ia hanya memandang ke arah Saras dan Liam dengan mata yang terlihat sedikit khawatir, sebelum memutuskan untuk tidak ikut turun. Viktor memutuskan untuk kembali ke Perusahaan.Saras dan Liam keluar dari mobil dan berjalan ke arah rumah. Mereka tidak berbicara apa-apa, dan hanya memandang ke arah depan dengan mata yang terlihat sedikit marah dan kecewa.Saat mereka memasuki rumah, Saras langsung memandang ke arah Liam dengan mata yang terlihat sedikit marah. "Liam, kau telah berbohong padaku," Saras berkata, dengan suara yang terdengar sedikit keras. Ia tidak peduli jika anak buah Liam yang berjaga diluar mendengar percakapan mereka. "Saras, aku tidak tahu apa maksud ucapanmu," sahut Liam mencoba untuk tetap tenang.Saras memandang ke arah Liam dengan mata yang terlihat sedikit marah. "Kau telah berbohong padaku tentang ayah," Saras berkata, dengan suara yang terdengar lebih keras. "Tuduhan Ricard b
Ricard memandang ke arah Saras dan Liam dengan tatapan mata penuh semangat. Jujur saja ia suka melihat ekspresi panik keduanya. "Aku menculik Vinso karena aku ingin membuat Danuarta keluar dari persembunyiannya," Ricard berkata, dengan suara yang terdengar meremehkan lawan bicaranya.Saras dan Liam terkejut dengan pengakuan Ricard. Mereka tidak bisa mempercayai bahwa Ricard telah menculik Vinso hanya untuk membuat Danuarta keluar dari persembunyiannya. darimana ia tahu, jika Danuarta masih hidup?"Apa yang kau maksud, Ricard?" Saras bertanya, dengan suara yang terdengar sedikit tidak percaya. "Aku telah menculik Vinso karena aku ingin membuat Danuarta keluar dari persembunyiannya," Ricard berkata, dengan suara yang terdengar sedikit lebih keras. "Aku telah memiliki insting bahwa Danuarta masih hidup, dan aku ingin membuktikannya.apakah penjelasanku ini masih kurang?”Liam memandang ke arah Ricard dengan mata yang terlihat sedikit marah. "Ricard, apa yang kau pikirkan?" Liam bertanya,
Saras terkejut mendengar perkataan Ricard yang mengatakan bahwa ayahnya, Danuarta, ternyata masih hidup. ia merasa dadanya sesak dan seperti ada batu besar yang tengah menindihnya."Apa... apa yang kau katakan?" Saras bertanya, dengan suara yang bergetar, menahan rasa sesak yang ia rasakan.Ricard memandang ke arah Saras dengan tatapan mata yang begitu tajam. "Aku mengatakan bahwa ayahmu, Danuarta, masih hidup," ulang Ricard ,dengan suara yang terdengar sedikit lebih keras.Saras merasa seperti telah kehilangan kesadaran. Ia tidak bisa berbicara apa-apa, dan hanya bisa memandang ke arah Ricard dengan mata yang terlihat sedikit kosong.Liam, yang duduk di sebelah Saras, memandang ke arah Ricard dengan mata yang terlihat sedikit tidak percaya. "Apa yang kau katakan, Ricard?" Liam bertanya, dengan suara yang terdengar yang lebih keras lagi, membuat suasana semakin tegang.Ricard memandang ke arah Liam, kali ini tatapan mata meremehkan itu terlihat begitu jelas. "Aku mengatakan bahwa mert
Liam berdiri dari tempat duduknya, dengan mata yang terlihat begitu marah. ia bersiap untuk menghajar Ricard, karena tidak bisa menolerir tatapan mata Ricard yang terlihat begitu intens terhadap Saras.Baru beberapa langkah, Liam sudah siap untuk menyerang Ricard. Tapi, tiba-tiba saja Saras memeluknya erat dari belakang. Saras tidak ingin ada pertengkaran, dan ia ingin melindungi Liam dari kemarahan yang sedang memuncak."Liam, jangan!" Saras berkata, dengan suara yang terdengar sedikit tidak nyaman. "Jangan lakukan hal itu, Liam. aku tidak ingin ada pertengkaran."Liam merasa tidak nyaman, karena Saras memeluknya erat dari belakang. ia tidak bisa bergerak, karena Saras memeluknya dengan begitu erat."Aku tidak bisa mentolerir hal itu, Saras," Liam berkata, dengan suara yang terdengar sedikit marah. "Aku tidak bisa menolerir Ricard yang memandangmu dengan tatapan seperti itu.”Saras memeluk Liam dengan lebih erat, dan ia memandang ke arah Ricard dengan mata yang terlihat sedikit tidak
Danuarta terkejut setelah mengetahui bahwa Saras telah hamil. ia merasa seperti telah dipukul oleh petir, dan tidak bisa berbicara apa-apa. Vinso, yang duduk di sebelahnya, memandang ke arah Danuarta dengan mata yang terlihat khawatir."Maaf pak, saya harus mengatakan hal ini. tapi, saya juga tidak dapat terus menutupi hal ini terus menerus, karena suatu saat nanti anda pun akan mendengarnya.”" Vinso bertanya, dengan suara yang terdengar sedikit khawatir.Danuarta tidak bisa berbicara apa-apa. ia hanya bisa memandang ke luar jendela, dengan mata yang terlihat sedikit kosong. ia merasa sangat sedih, karena dirinya telah mendorong Saras ke dalam lingkaran dendam antar keluarga.Danuarta memejamkan matanya, dengan wajah yang ia tundukan."Ya, aku telah mendorong Saras ke dalam lingkaran dendam antar dua keluarga," Danuarta berkata, dengan suara yang terdengar sedikit terharu. "Aku merasa sangat bersalah, karena aku telah membuat Saras hamil dalam keadaan seperti ini."Vinso memandang ke
Vinso duduk di atas tempat tidur rumah sakit, memandang ke luar jendela dengan mata yang terlihat sedikit lelah. ia baru saja selesai melakukan pemeriksaan dengan dokter, dan hasilnya sangat memuaskan. Dokter mengatakan bahwa keadaannya sudah mulai membaik, dan ia bisa pulang hari ini.Vinso merasa sangat lega mendengar kabar itu. ia sudah bosan berada di rumah sakit selama beberapa hari terakhir. ia ingin segera pulang dan kembali ke rutinitas normalnya. terutama memberikan kabar pada Saras tentang keadaannya.Danuarta, yang duduk di sebelah Vinso, ikut senang mendengar kabar itu. ia memandang ke arah Vinso dengan mata yang terlihat sedikit gembira."Senang sekali, Vinso," Danuarta berkata, dengan suara yang terdengar sedikit hangat. "Kau sudah bisa pulang hari ini."Vinso mengangguk, dan terlihat sedikit lega. "Ya, aku sudah bosan berada di sini," sahut Vinso dengan menampilkan senyum pada wajahnya.Danuarta mengangguk, dan segera mengambil ponselnya. "Aku akan menghubungi anak buah
Mobil Liam yang dikendarai oleh Viktor sudah sampai di rumah sakit. Viktor memandang ke sekelilingnya, mencari tempat parkir yang tersedia. Setelah beberapa detik, ia menemukan tempat parkir yang kosong dan memarkirkan mobil di sana.Liam memandang ke luar jendela, melihat rumah sakit yang terlihat sangat besar dan megah. ia merasa sedikit khawatir, tidak tahu apa yang akan terjadi ketika ibunya akan kembali pada setelan awal, yaitu kembali tidak menyukai Saras.Viktor memandang ke arah Liam, melihat bahwa bosnya terlihat sedikit khawatir. "Jangan khawatir, Tuan Liam," Viktor berkata, dengan suara yang terdengar sedikit menenangkan. "Semuanya akan baik-baik saja."Liam mengangguk, memandang ke luar jendela lagi. ia melihat bahwa Anjaswara dan Rosa sudah menunggunya di depan rumah sakit.Anjaswara dan Rosa berjalan menuju mobil, dan Viktor membuka pintu mobil untuk mereka. Mereka berdua masuk ke dalam mobil, dan Viktor menutup pintu mobil lagi.Liam memandang ke arah Rosa,melihat bahwa
Mobil Taksi yang ditumpangi Luna kehilangan jejak mobil yang saat ini membawa Liam. Luna begitu kesal, tapi tidak dapat berbuat banyak dan pasrah. ia memandang ke luar jendela, melihat mobil-mobil yang berlalu-lalang di jalan, tapi tidak ada tanda-tanda mobil yang membawa Liam.Luna menghela napas, merasa frustrasi karena tidak dapat menemukan Liam. ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi dia tahu bahwa dia tidak dapat menyerah. ia harus terus mencari Liam, tidak peduli apa pun yang terjadi.Sementara itu, Viktor yang sedang mengendarai mobil hanya duduk tenang menyetir. ia tidak terganggu oleh kejadian yang baru saja terjadi, dan ia terus memandang ke jalan, memastikan bahwa tidak melakukan kesalahan.Liam, yang duduk di sebelah Viktor, terlihat sedang menerima telepon dari seseorang."Ayah, apa yang terjadi?" Liam bertanya, dengan suara yang terdengar sedikit khawatir."Hari ini, ibumu, sudah diperbolehkan pulang ke rumah," Anjaswara berkata, dengan suara yang terdengar sedikit