Rumah Liam terasa seperti peti mati yang terbuka, mengeluarkan aroma kebusukan dan kebohongan. Suasana tegang menggantung di udara, seperti pedang yang siap menembus hati. Cahaya lampu yang lembut tidak bisa menghilangkan bayangan gelap yang menyelimuti ruangan.Liam berdiri di tengah ruangan, wajahnya penuh kekhawatiran. Rosa dan Luna berdiri di belakangnya, mata mereka terpaku pada Vinso yang terlihat duduk tenang namun ketenangan itu seperti sebuah bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu.Vinso, dengan wajah serius, kembali melanjutkan percakapan yang akan mengubah segalanya. "Anjaswara datang untuk memohon agar Perusahaannya diselamatkan." Suara Vinso memecah kesunyian, seperti guntur yang menghantam bumi. Liam dan Rosa saling menatap, kekhawatiran terlihat jelas di wajah mereka. Luna menggigit bibirnya, mata penuh kebencian menatap Sarastika.Sarastika berdiri tegak, hatinya berdebar. Ia siap menghadapi kebenaran yang akan mengubah hidupnya untuk selamanya. Viktor berdiri di
“Jaga mulut anda, Saras adalah gadis baik-baik dan tidak mungkin melakukan hal sekeji itu!” Vinso yang mendengar tuduhan Rosa langsung membela anak bosnya yang sudah ia anggap seperti anak kandungnya sendiri.“Aku percaya pada Saras, tapi bagaimana dengan Ricard? bisa saja, ia melakukannya tanpa sepengetahuan Saras. dan benih Ricard terta-”“Keluar!” nada dingin itu terdengar begitu menyeramkan di telinga setiap orang yang berada di dalam ruangan. mendengar hal itu, Viktor bergegas untuk mendampingi sang dokter agar keluar terlebih dahulu, disusul Vinso yang terlihat diberi isyarat agar mengikuti Viktor.“Apa kalian tuli?” Liam sudah tidak sabar saat melihat Luna dan Rosa yang masih berada didalam kamarnya. Tidak ingin mencari masalah dengan Liam, akhirnya Luna keluar disusul oleh Rosa. setelah semua orang pergi, Liam mengunci kamarnya.“Saras bangun!” katanya sambil terus menggoyangkan tubuh Saras berharap agar gadis cantik yang masih memejamkan matanya itu membuka mata. Karena tida
Setelah pergumulan panasnya dengan Saras, Liam masih betah berada di dalam kamar bersama dengan Saras yang kini nampak masih tertidur pulas. Liam berjalan menuju ke arah jendela kamar, ia nyalakan rokok. lalu menghisap rokoknya dalam-dalam, sebelum meniupkan asapnya ke udara. Pikirannya kembali pada kata dokter yang menyatakan bahwa saat ini Saras telah mengandung anaknya. namun, disisi lain ia masih belum bisa mengenyahkan pikirannya dari perkataan yang terlontar dari mulut ibunya. ya, bisa saja janin yang dikandung oleh Saras adalah milik Ricard, karena malam itu kakaknya telah menculik istrinya.“Li-liam…” Saras terlihat sudah bangun. gadis itu nampak malu dan berusaha untuk menutupi tubuhnya dengan selimut sampai ke leher.“Kau hamil.” Ucap Liam berterus terang.“Si-siapa yang hamil?” Saras masih berharap jika isi kepalanya tidak sama dengan ucapan yang nantinya Liam katakan.“Kau Saras, kau hamil.” Liam memandangnya dengan tatapan mata yang begitu dingin. Diam-diam, dari balik
Saras membuka pintu kamar mandi dengan lembut, kabut hangat mengikutinya seperti selubung misterius. Rambut hitamnya tergerai basah di bahu, memperlihatkan lekuk-lekuk wajah yang masih merona setelah mandi. Mata coklatnya berkilauan dengan senyum lembut. Handuk putih yang terlipat rapi menutupi tubuhnya, membuatnya terlihat seperti patung dewi yang elegan. Aroma sabun yang lembut dan harum mengisi ruangan, membangkitkan kesan kesegaran dan keanggunan.Liam menatap wajah Saras yang terlihat lelah, namun tetap terlihat begitu cantik. Gadis itu terlihat membuka pintu lemari, memiliki baju yang akan ia pakai. Liam pikir Saras akan kembali ke kamar mandi untuk memakai bajunya, nyatanya pikirannya salah besar. biasanya Saras akan bersikap malu-malu dan tidak berani ganti baju di hadapannya. tapi kini, yang Liam lihat adalah kebalikannya.Tanpa ada rasa malu, Saras membuka handuknya membuat tubuh polosnya terlihat jelas membelakangi Liam. Pria itu lantas mengalihkan pandangannya, jakunnya na
“M-menikah?” cicit Saras, melepas pelukan. Ia menatap wajah ayahnya yang terlihat begitu pucat, dan perasaan yang tidak ia pahami kembali merayap, menyesakkan dada. Kegelisahan itu bertambah saat matanya menyapu raut lelah sang ayah.“Tapi, Ayah ... kenapa begitu mendadak?” Suaranya bergetar, mencari jawaban yang terasa semakin sulit ia pahami. “Aku ... aku belum siap, Ayah.”Bagas hanya diam, memegang bahu Saras dengan tatapan penuh kepedihan, seolah setiap kata yang keluar adalah luka tersendiri baginya. “Ini sudah menjadi keputusan Ayah, Saras.” Kerutan di kening Saras semakin dalam. “Aku nggak mengerti ... Kenapa harus menikah? Apa karena—?” Tanyanya, dengan kebingungan dan ketakutan yang bercampur dalam dadanya.Bagas memegang erat tangan Saras, memotong perkataan Saras dan menuntunnya duduk di sofa. “Ayah hanya ingin memastikan kau aman. Kau harus menikah dengan pria yang bisa melindungi, yang bisa menggantikan Ayah kalau ... kalau terjadi sesuatu.”Saras terdiam. Kata-kata aya
“Menikah? Malam ini?” Saras nyaris tak percaya mendengar keputusan ayahnya yang begitu mendadak. Ia merasakan benaknya berputar-putar, menolak kenyataan yang bahkan belum bisa ia cerna sepenuhnya.Namun akhirnya, Saras hanya bisa menurut. Liam membawanya keluar dari rumah sakit, tetapi ke sebuah kantor pemerintahan yang telah disiapkan secara khusus malam itu untuk mengesahkan pernikahan mereka.Saras merasa seperti dalam mimpi, bahwa dirinya akan menjadi seorang istri, bahkan angan-angan untuk menikah saja tidak ia miliki, dan saat ini ia berjalan di belakang tubuh kekar Liam untuk menuju ruang pendaftaran. Di ruang itu, ia dan Liam dan Saras diminta untuk menandatangani berkas-berkas penting di hadapan seorang petugas. Setiap goresan tanda tangannya terasa berat, seolah ada bagian dari dirinya yang perlahan-lahan hilang. Namun, demi ayahnya, Saras mencoba memantapkan hati, mengikuti setiap prosedur yang diminta.Setelah semuanya rampung, mereka diarahkan ke ruang lain untuk sesi fo
Saat Liam keluar dari kamar mandi dengan wajah segar, ia langsung mengambil sebuah berkas tebal dari laci di samping tempat tidur dan menyerahkannya pada Saras yang masih berdiri bingung di tengah kamar.Saras yang melihatnya pun tertegun, Liam hanya mengenakan handuk yang menutupi bagian bawahnya, dengan air yang masih mengalir di tubuh kekarnya.“Pahami dan tanda tangani,” ucap Liam datar, membuyarkan pikiran kotor Saras. Liam berbicara dengan tatapan serius yang nyaris menembus pertahanan Saras.Saras ragu saat membuka halaman pertama. Tulisan di kontrak itu terasa sangat formal, kaku, dan jauh dari pernikahan yang selama ini ia bayangkan. Tanpa menyentuh tempat tidur, ia berdiri sambil membaca beberapa poin awal.Saras mengerutkan kening, merasa sedikit lega karena ia pikir pernikahan ini tidak akan melibatkan hal yang lebih jauh. Namun, semakin ia membaca, perasaannya berubah menjadi semakin bingung dan tidak nyaman. Saras kira, setelah menikah, Liam akan meminta mereka untuk tid
Setibanya di rumah keluarga Liam, dia tidak membuang waktu dan langsung masuk, ditemani oleh Saras yang mengekor di belakang.Saras hanya bisa mengikuti Liam tanpa mengucapkan sepatah kata pun saat pria itu berjalan memasuki rumah mewah yang belum pernah ia lihat sebelumnya.“Sudah pulang setelah membuat skandal baru dengan menikahi gadis bodoh ini!” Sambutan itu memang diarahkan pada Liam, tapi Saras bisa melihat jelas pandangan sinis dari wanita paruh baya itu tertuju padanya.Liam yang menerima pesan dari ibunya untuk pulang ke rumah keluarga. Hal itu yang membuat wajahnya mengeras.Liam tampak acuh, terus melangkah melewati ibunya tanpa memperdulikannya.“Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dengan menikahi keluarga Danuarta! Apalagi tua bangka itu sudah mati. Apa yang akan kau dapatkan, Liam?” Wanita itu mengalihkan tatapannya kepada Saras yang masih tertegun atas teriakan yang diterimanya.Saras menggigit bibirnya, merasakan nyeri di dadanya mendengar hinaan tentang kematian sang
Saras membuka pintu kamar mandi dengan lembut, kabut hangat mengikutinya seperti selubung misterius. Rambut hitamnya tergerai basah di bahu, memperlihatkan lekuk-lekuk wajah yang masih merona setelah mandi. Mata coklatnya berkilauan dengan senyum lembut. Handuk putih yang terlipat rapi menutupi tubuhnya, membuatnya terlihat seperti patung dewi yang elegan. Aroma sabun yang lembut dan harum mengisi ruangan, membangkitkan kesan kesegaran dan keanggunan.Liam menatap wajah Saras yang terlihat lelah, namun tetap terlihat begitu cantik. Gadis itu terlihat membuka pintu lemari, memiliki baju yang akan ia pakai. Liam pikir Saras akan kembali ke kamar mandi untuk memakai bajunya, nyatanya pikirannya salah besar. biasanya Saras akan bersikap malu-malu dan tidak berani ganti baju di hadapannya. tapi kini, yang Liam lihat adalah kebalikannya.Tanpa ada rasa malu, Saras membuka handuknya membuat tubuh polosnya terlihat jelas membelakangi Liam. Pria itu lantas mengalihkan pandangannya, jakunnya na
Setelah pergumulan panasnya dengan Saras, Liam masih betah berada di dalam kamar bersama dengan Saras yang kini nampak masih tertidur pulas. Liam berjalan menuju ke arah jendela kamar, ia nyalakan rokok. lalu menghisap rokoknya dalam-dalam, sebelum meniupkan asapnya ke udara. Pikirannya kembali pada kata dokter yang menyatakan bahwa saat ini Saras telah mengandung anaknya. namun, disisi lain ia masih belum bisa mengenyahkan pikirannya dari perkataan yang terlontar dari mulut ibunya. ya, bisa saja janin yang dikandung oleh Saras adalah milik Ricard, karena malam itu kakaknya telah menculik istrinya.“Li-liam…” Saras terlihat sudah bangun. gadis itu nampak malu dan berusaha untuk menutupi tubuhnya dengan selimut sampai ke leher.“Kau hamil.” Ucap Liam berterus terang.“Si-siapa yang hamil?” Saras masih berharap jika isi kepalanya tidak sama dengan ucapan yang nantinya Liam katakan.“Kau Saras, kau hamil.” Liam memandangnya dengan tatapan mata yang begitu dingin. Diam-diam, dari balik
“Jaga mulut anda, Saras adalah gadis baik-baik dan tidak mungkin melakukan hal sekeji itu!” Vinso yang mendengar tuduhan Rosa langsung membela anak bosnya yang sudah ia anggap seperti anak kandungnya sendiri.“Aku percaya pada Saras, tapi bagaimana dengan Ricard? bisa saja, ia melakukannya tanpa sepengetahuan Saras. dan benih Ricard terta-”“Keluar!” nada dingin itu terdengar begitu menyeramkan di telinga setiap orang yang berada di dalam ruangan. mendengar hal itu, Viktor bergegas untuk mendampingi sang dokter agar keluar terlebih dahulu, disusul Vinso yang terlihat diberi isyarat agar mengikuti Viktor.“Apa kalian tuli?” Liam sudah tidak sabar saat melihat Luna dan Rosa yang masih berada didalam kamarnya. Tidak ingin mencari masalah dengan Liam, akhirnya Luna keluar disusul oleh Rosa. setelah semua orang pergi, Liam mengunci kamarnya.“Saras bangun!” katanya sambil terus menggoyangkan tubuh Saras berharap agar gadis cantik yang masih memejamkan matanya itu membuka mata. Karena tida
Rumah Liam terasa seperti peti mati yang terbuka, mengeluarkan aroma kebusukan dan kebohongan. Suasana tegang menggantung di udara, seperti pedang yang siap menembus hati. Cahaya lampu yang lembut tidak bisa menghilangkan bayangan gelap yang menyelimuti ruangan.Liam berdiri di tengah ruangan, wajahnya penuh kekhawatiran. Rosa dan Luna berdiri di belakangnya, mata mereka terpaku pada Vinso yang terlihat duduk tenang namun ketenangan itu seperti sebuah bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu.Vinso, dengan wajah serius, kembali melanjutkan percakapan yang akan mengubah segalanya. "Anjaswara datang untuk memohon agar Perusahaannya diselamatkan." Suara Vinso memecah kesunyian, seperti guntur yang menghantam bumi. Liam dan Rosa saling menatap, kekhawatiran terlihat jelas di wajah mereka. Luna menggigit bibirnya, mata penuh kebencian menatap Sarastika.Sarastika berdiri tegak, hatinya berdebar. Ia siap menghadapi kebenaran yang akan mengubah hidupnya untuk selamanya. Viktor berdiri di
Langkah-langkah Vinso terdengar pelan di antara makam-makam yang berderet. ia membawa keranjang bunga, wajahnya menunjukkan kesedihan. Ketika melihat Sarastika menangis di depan makam Bagas Danuarta, Vinso terkejut."Sarastika?" katanya dengan suara yang terdengar begitu terkejut.Sarastika menoleh, mata coklatnya merah karena tangis. "Pak Vinso...," katanya dengan suara bergetar. "Pak Vinso, benarkah itu kau?"Vinso meletakkan keranjang bunga di dekat makam Bagas, lalu mendekati Sarastika. ia memeluknya dengan hangat. "Saras," katanya dengan suara penuh empati.Sarastika menangis lebih keras, melepaskan kesedihannya. Vinso membiarkannya menangis, memeluknya erat. Ia mengingat Bagas, merasa begitu bersalah.Setelah beberapa saat, Sarastika tenang. Vinso melepaskan pelukannya, menatap wajahnya dengan khawatir. "Ceritakan, apa yang dilakukan oleh Liam?"Sarastika mengambil napas dalam-dalam, menceritakan kesulitan rumah tangganya. Vinso mendengarkan dengan sabar, wajahnya menunjukkan ke
Pagi hari , rumah Liam terasa tegang. Aroma kopi dan roti panggang tidak bisa menghilangkan kesan tidak nyaman. Liam, Saras, dan mertuanya, Rosa, duduk di meja makan dengan suasana kaku.Rosa menatap Saras dengan mata yang dingin, tidak menyembunyikan kebencian. "Kamu masih di sini?" tanyanya dengan nada tajam.Liam mencoba menenangkan. "Bu, aku sudah menjelaskan--"Tiba-tiba, bel rumah berbunyi. Liam berdiri untuk membuka pintu. Dia terkejut melihat Luna berdiri di ambang pintu, wajahnya basah oleh air mata."Liam, aku tidak percaya kamu tidak datang ke acara ulang tahunku," kata Luna, suaranya bergetar.Rosa langsung berdiri, memeluk Luna. "Sayang, aku minta maaf atas kelakuan Liam."Saras merasa tidak nyaman, menatap Liam dengan keheranan. Suasana sarapan yang sudah kaku menjadi semakin tidak nyaman.Liam berusaha menjelaskan, tapi Rosa memotong. "Liam, kamu tidak perlu menjelaskan. Yang jelas, kamu menyakiti Luna."Luna menangis lebih keras, memeluk Liam. Rosa membantu Luna, menat
Suasana di bangunan kosong itu terasa mencekam, seperti udara yang terjebak dalam ruang hampa. Dinding-dinding yang retak dan kusam, lantai yang berdebu, dan jendela-jendela yang pecah, semuanya menambah kesan kemurungan dan kehancuran.Tiba-tiba, suara tembakan pecah, menghentakkan kesunyian. Dua kelompok besar, bersenjata dan berwajah keras, berhadapan dengan penuh kebencian. Suara tembakan terus menggema, seperti rentetan petir yang tidak berhenti.Cahaya matahari yang masuk melalui jendela pecah, memantulkan bayangan-bayangan yang bergerak cepat. Asap peluru mengambang di udara, menciptakan kabut yang mematikan. Suara teriakan dan raungan kesakitan terdengar di antara suara tembakan.Lantai bangunan bergetar di bawah kaki mereka, seperti gempa yang menghantam. Dinding-dinding retak semakin parah, seolah-olah bangunan itu sendiri merasakan sakit.Kelompok pertama, dipimpin oleh Liam, bergerak maju dengan strategis. Mereka menembakkan senjata dengan tepat, mengenai target dengan pre
Suasana dalam mobil terasa hangat dan tegang. Cahaya matahari sore memancar melalui kaca, menciptakan bayangan-bayangan yang lembut di wajah Liam dan Saras.Liam mengemudi dengan mata fokus pada jalan, wajahnya serius. Saras duduk di sebelahnya, memandang ke luar jendela dengan mata yang kosong.Udara dalam mobil terasa kaku, dipenuhi kesunyian yang tidak terputus. Suara mesin mobil terdengar monoton, seperti detak jantung yang berdegup kencang.Liam tidak berbicara, hanya memandang jalan. Saras juga diam, membiarkan kesunyian memisahkan mereka. Tapi, di balik kesunyian itu, terdapat kecemasan dan ketakutan yang tidak terucapkan.Tiba-tiba, Liam memperlambatkan mobil, memandang Saras dengan mata yang tajam. "Apa yang Ricard katakan padamu dan apa maksud Video yang kau ucapkan?" tanyanya dengan suara yang rendah.Saras menoleh, mata cokelatnya bertemu dengan mata hitam Liam. Ia melihat kekhawatiran dan kemarahan di mata itu. "Entahlah Liam, aku juga bingung dengan semua ini." jawabnya
Sore harinya, Saras meminta izin pada Liam untuk menikmati suasana sore hari setelah mendapatkan insiden di Mall tadi siang. Udara sore yang sejuk membelai wajahnya saat Viktor membuka pintu mobil dan membantu Saras keluar."Terima kasih, Viktor," kata Saras dengan senyum.Viktor tersenyum. "Saya hanya melakukan tugas, Nyonya. saya akan menunggu anda di luar,”Di dalam restoran, Saras memilih meja di sudut, memandang menu yang ditawarkan. Tiba-tiba, suara yang familiar terdengar. "Saras, apa kabar?"Saras menoleh, melihat Ricard berdiri di sebelahnya dengan senyum licik. "Ricard, apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan curiga.Ricard duduk di seberang Saras. "Aku hanya ingin berbicara. Bagaimana kabar Liam?"Saras memandang Ricard tajam. "Jangan berpura-pura peduli. Aku tahu apa yang kau inginkan dan lakukan pada kami.”Ricard tersenyum. "Aku hanya ingin membantu. Aku tahu siapa yang melakukan penembakan itu."Saras terkejut. "Siapa?"Ricard memandang sekitar sebelum menjawab, "Aku ak