Happy Reading, Sehat selalu untuk kita semua ❤️
Bab 35 Liam tidak menjawab, pria itu justru berdiri dan berjalan ke arah lemari pakaian lalu mengambil baju Saras. sebenarnya bukan baju Saras, tumpukan baju itu sudah ada semenjak Saras datang. baju-baju itu juga masih terbungkus rapi di dalam plastik. Liam mengedarkan pandangannya, menatap baju-baju yang tertata rapi. “Aku tidak pernah melihatmu memakai baju-baju ini.” Liam kembali menutup pintu lemari, lalu berjalan kembali ke arah Saras. memang selama ini Saras selalu memakai baju miliknya sendiri tanpa berani menyentuh tumpukan baju itu. “Bukankah itu untuk Luna?” Saras menautkan kedua tangannya, ada rasa takut karena mempertanyakan hal yang seharusnya ia sendiri sudah tahu jawabannya. jika bukan untuk Luna, lantas apa ada alasan lainnya? seharusnya Liam menikah dengan wanita cantik itu dan bukan pada dirinya yang biasa saja. Liam kembali diam, sorot matanya mengisyaratkan sesuatu saat bertemu pandang dengan Saras. “Kenapa berpikir begitu?” Liam memilih untuk berdiri di hada
“Apa anda ingin keluar, Nona?” Saras disambut oleh Viktor. pria itu nampak jelas menunggu waktu yang tepat saat Saras akan keluar rumah. Saras mendesah pasrah, sebenarnya ingin keluar sekedar untuk mencari udara segar. namun, kemunculan Viktor membuat Saras kembali mengingat kata-kata Liam semalam yang akan memastikan dirinya akan selalu diawasi. jadi, ini maksudnya? “Jadi, kau orang yang akan mengawasi ku?” Viktor mengangguk mengiyakan, lalu memberi jalan pada Saras agar terlebih dahulu berjalan ke arah parkiran mobil. “Kemana Tuanmu?” tanya Saras mencoba untuk basa-basi, karena tidak ada bahan pembicaraan yang tepat untuk dibicarakan selain tentang Liam. Viktor tidak lantas menjawab, pria itu nampak berpikir sejenak sebelum mengeluarkan kata-kata. “Tuan sedang ada kerjaan dan tidak dapat diwakilkan. apa Nona ingin menelponnya?” Saras menggeleng cepat, sebuah reaksi yang cukup membuat Viktor penasaran bagaimana interaksi antara bos dan istrinya itu jika sedang berduaan. Saras kem
Saras tersenyum bahagia saat memasuki gedung Perpustakaan yang berada tepat di jantung Kota. Perpustakaan dengan gaya bangunan klasik itu nampak begitu ramai pengunjung. Viktor menatap sekeliling, berjaga-jaga jika ada hal yang mencurigakan. “Kau suka membaca?” tanya Saras, langkahnya berhenti pada sebuah rak yang telah tersusun rapi berbagai macam jenis buku bacaan. “Tidak.” Sahut Viktor. pandangannya teralihkan saat seorang pria yang kedapatan menatap penuh minat pada Saras. tanpa ragu, pria berkacamata itu terlihat tersenyum lebar ketika beradu pandang dengan Saras. tatapan Viktor yang tadinya ramah berubah menjadi dingin dan ia tak segan untuk menjadi penghalang pandangan pria itu agar tidak bisa leluasa menatap wajah Saras. si pria berkacamata hanya dapat diam saat pandangannya tertutup oleh tubuh Viktor. mungkin itu adalah kekasihnya, pikirnya tanpa ambil pusing dan berlalu begitu saja. Saras terus melangkahkan kakinya, mencari buku yang sudah ada dalam daftar pencariannya. s
Saras dapat melihat dengan jelas dua orang pria yang tampak begitu serius membahas tentang sesuatu yang ia sendiri tidak tahu, apa yang dibicarakan dua pria itu. Yang dipikirkannya saat ini justru keberadaan Liam. “Maaf Nona, sudah menunggu terlalu lama.” Ucap Viktor yang baru saja masuk ke dalam mobil. lamunan Saras buyar seketika karena kedatangan Viktor yang tiba-tiba. Saras hanya tersenyum kaku, lalu kembali menatap ke jendela mobil. hal yang pertama ia lihat ialah lambaian tangan Ricard. “Tidak usah dipikirkan, anggap saja pria tidak waras.” Komentar Viktor saat mobil mulai bergerak meninggalkan parkiran. “Siapa pria itu?” tanya Saras saat mobil telah membelah jalanan kota. “Maaf Nona, saya tidak memiliki kuasa untuk menjawab pertanyaan anda.” Jawab Viktor tanpa mengalihkan pandangannya pada jalanan. “Apa perlu persetujuan suamiku hanya untuk menjawab pertanyaan sederhana ini?” Saras tidak pantang mundur. Ia ingin tahu, siapa sebenarnya pria itu. Bukan tanpa alasan, Saras b
Sesampainya di rumah, Sarastika bergegas untuk masuk ke dalam kamarnya dan mengambil sesuatu yang sudah lama ia simpan selama ini. tanpa sepengetahuan Liam. Saras mengeluarkan sebuah kotak kecil yang ia simpan di dalam kopernya. berharap kotak kecil pemberian Bagas masih ada. karena bisa saja, anak buah Liam menggeledah isi kopernya sebelum diantarkan ke rumah ini. “Masih ada!” seru Saras begitu bersemangat saat mengetahui kotak kecil pemberian Bagas masih ada. sebelum malam dimana dirinya dipaksa untuk menikah dengan Liam, ayahnya sudah mewanti-wanti agar membuka kotak ini setelah menikah dengan orang pilihannya. dengan hati-hati, Saras membuka kotak yang terbuat dari kayu itu dengan hati-hati. tidak ada sesuatu yang spesial, kecuali selembar kertas berwarna sedikit kusam. “Apa ini?” tanyanya keheranan. Saras mulai membuka lipatan kertas yang ternyata di dalamnya terdapat sebuah cincin emas dengan model yang begitu elegan. didalamnya terdapat ukiran nama Sarastika dan ditengah nya t
Keesokan harinya, Sarastika sudah bersiap untuk pergi ke kantor bersama dengan Liam. Saras terlihat begitu cantik dengan setelan kemeja putih yang kerahnya terbuka. berlengan pendek dengan dipadukan celana kain panjang berwarna peach. rambut panjangnya dibiarkan tergerai bebas. sedangkan Liam sendiri memakai kemeja formal dengan memadukan antara kemeja lengan panjang yang berkerah yang didalamnya terdapat kaos berwarna putih.dan celana kain panjang berwarna hitam. Liam menatap dingin pada sosok mungil yang baru saja turun dari tangga. Ia memang mengagumi keindahan tubuh istrinya itu, tapi hal itu tidak untuk dipamerkan terutama pada bagian rambutnya. “Kau lupa ucapanku?” Langkah kaki Saras terhenti, saat pertanyaan Liam menyambutnya dengan sikap dinginnya. “Apa?” jujur saja, Saras tidak mengerti. “Rambut.” Saras membelalakkan matanya, teringat akan sesuatu yang pernah Liam ucapkan. tidak ingin membuat Liam marah, Saras gegas mengambil ikat rambut yang biasa ia bawa di dalam tasnya
Sarastika memandang Perusahan milik sang ayah dengan perasaan berkecamuk. antara bahagia dan juga sedih melebur menjadi satu. bahagia karena bisa menginjakkan kaki kembali di tempat ini dan sedih karena sosok ayahnya yang sudah tidak akan pernah ia lihat lagi. Perusahaan ayahnya bergerak dalam berbagai macam bidang usaha antara lain adalah makanan olahan dari ikan dan daging. tidak sampai disitu, Perusahaan ayahnya juga mengelola olahan minuman dan juga penyedap rasa. semua merk dagang sudah hampir tersebar luas di seluruh Indonesia dan ada beberapa merk dagang tersebar sampai ke luar Negeri. “Ikuti aku.” Ucap Liam pada Saras tanpa memandang beberapa karyawan yang telah berusaha sekuat tenaga memberanikan diri untuk menyambut kedatangannya. Saras yang merasa kasihan pada karyawan itu berusaha untuk tersenyum dan memberikan semangat agar mereka tidak putus semangat. Setelah masuk ke dalam Lift, Saras dikejutkan dengan sikap Liam yang tiba-tiba saja menjepit dagunya, membuat gadis itu
“Liam!” Obrolan antara Liam dan Viktor terhenti saat keduanya mendengar ucapan lantang seseorang yang sudah berani masuk ke dalam ruangan kerja Liam. melihat sosok wanita yang baru saja menyebutkan namanya, membuat Liam mendengus dingin lalu mengisyaratkan agar Viktor keluar terlebih dahulu. “Tapi saya harap anda dapat mempertimbangkan aspek sosial yang nantinya akan berdampak terhadap lingkungan.” Setelah mengatakan hal itu, Viktor meninggalkan ruangan. walaupun ia sedikit kesal dengan kehadiran Luna yang menurutnya cukup mengganggu karena ia baru saja tengah membicarakan persoalan Perusahaan yang sangat penting. “Sudah berapa hari kau bersikap dingin padaku, Liam? apa salahku sehingga kau terus saja berusaha untuk menghindar? Apa karena gadis itu?” deretan pertanyaan itu sungguh membuat telinga Liam berdengung. “Aku sudah berusaha untuk meyakinkan diri, kau tidak akan tergoda padanya. namun, kau adalah pria normal.” Ada jeda waktu cukup lama, Luna terlihat memperhatikan wajah Li
Langkah-langkah Vinso terdengar pelan di antara makam-makam yang berderet. ia membawa keranjang bunga, wajahnya menunjukkan kesedihan. Ketika melihat Sarastika menangis di depan makam Bagas Danuarta, Vinso terkejut."Sarastika?" katanya dengan suara yang terdengar begitu terkejut.Sarastika menoleh, mata coklatnya merah karena tangis. "Pak Vinso...," katanya dengan suara bergetar. "Pak Vinso, benarkah itu kau?"Vinso meletakkan keranjang bunga di dekat makam Bagas, lalu mendekati Sarastika. ia memeluknya dengan hangat. "Saras," katanya dengan suara penuh empati.Sarastika menangis lebih keras, melepaskan kesedihannya. Vinso membiarkannya menangis, memeluknya erat. Ia mengingat Bagas, merasa begitu bersalah.Setelah beberapa saat, Sarastika tenang. Vinso melepaskan pelukannya, menatap wajahnya dengan khawatir. "Ceritakan, apa yang dilakukan oleh Liam?"Sarastika mengambil napas dalam-dalam, menceritakan kesulitan rumah tangganya. Vinso mendengarkan dengan sabar, wajahnya menunjukkan ke
Pagi hari , rumah Liam terasa tegang. Aroma kopi dan roti panggang tidak bisa menghilangkan kesan tidak nyaman. Liam, Saras, dan mertuanya, Rosa, duduk di meja makan dengan suasana kaku.Rosa menatap Saras dengan mata yang dingin, tidak menyembunyikan kebencian. "Kamu masih di sini?" tanyanya dengan nada tajam.Liam mencoba menenangkan. "Bu, aku sudah menjelaskan--"Tiba-tiba, bel rumah berbunyi. Liam berdiri untuk membuka pintu. Dia terkejut melihat Luna berdiri di ambang pintu, wajahnya basah oleh air mata."Liam, aku tidak percaya kamu tidak datang ke acara ulang tahunku," kata Luna, suaranya bergetar.Rosa langsung berdiri, memeluk Luna. "Sayang, aku minta maaf atas kelakuan Liam."Saras merasa tidak nyaman, menatap Liam dengan keheranan. Suasana sarapan yang sudah kaku menjadi semakin tidak nyaman.Liam berusaha menjelaskan, tapi Rosa memotong. "Liam, kamu tidak perlu menjelaskan. Yang jelas, kamu menyakiti Luna."Luna menangis lebih keras, memeluk Liam. Rosa membantu Luna, menat
Suasana di bangunan kosong itu terasa mencekam, seperti udara yang terjebak dalam ruang hampa. Dinding-dinding yang retak dan kusam, lantai yang berdebu, dan jendela-jendela yang pecah, semuanya menambah kesan kemurungan dan kehancuran.Tiba-tiba, suara tembakan pecah, menghentakkan kesunyian. Dua kelompok besar, bersenjata dan berwajah keras, berhadapan dengan penuh kebencian. Suara tembakan terus menggema, seperti rentetan petir yang tidak berhenti.Cahaya matahari yang masuk melalui jendela pecah, memantulkan bayangan-bayangan yang bergerak cepat. Asap peluru mengambang di udara, menciptakan kabut yang mematikan. Suara teriakan dan raungan kesakitan terdengar di antara suara tembakan.Lantai bangunan bergetar di bawah kaki mereka, seperti gempa yang menghantam. Dinding-dinding retak semakin parah, seolah-olah bangunan itu sendiri merasakan sakit.Kelompok pertama, dipimpin oleh Liam, bergerak maju dengan strategis. Mereka menembakkan senjata dengan tepat, mengenai target dengan pre
Suasana dalam mobil terasa hangat dan tegang. Cahaya matahari sore memancar melalui kaca, menciptakan bayangan-bayangan yang lembut di wajah Liam dan Saras.Liam mengemudi dengan mata fokus pada jalan, wajahnya serius. Saras duduk di sebelahnya, memandang ke luar jendela dengan mata yang kosong.Udara dalam mobil terasa kaku, dipenuhi kesunyian yang tidak terputus. Suara mesin mobil terdengar monoton, seperti detak jantung yang berdegup kencang.Liam tidak berbicara, hanya memandang jalan. Saras juga diam, membiarkan kesunyian memisahkan mereka. Tapi, di balik kesunyian itu, terdapat kecemasan dan ketakutan yang tidak terucapkan.Tiba-tiba, Liam memperlambatkan mobil, memandang Saras dengan mata yang tajam. "Apa yang Ricard katakan padamu dan apa maksud Video yang kau ucapkan?" tanyanya dengan suara yang rendah.Saras menoleh, mata cokelatnya bertemu dengan mata hitam Liam. Ia melihat kekhawatiran dan kemarahan di mata itu. "Entahlah Liam, aku juga bingung dengan semua ini." jawabnya
Sore harinya, Saras meminta izin pada Liam untuk menikmati suasana sore hari setelah mendapatkan insiden di Mall tadi siang. Udara sore yang sejuk membelai wajahnya saat Viktor membuka pintu mobil dan membantu Saras keluar."Terima kasih, Viktor," kata Saras dengan senyum.Viktor tersenyum. "Saya hanya melakukan tugas, Nyonya. saya akan menunggu anda di luar,”Di dalam restoran, Saras memilih meja di sudut, memandang menu yang ditawarkan. Tiba-tiba, suara yang familiar terdengar. "Saras, apa kabar?"Saras menoleh, melihat Ricard berdiri di sebelahnya dengan senyum licik. "Ricard, apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan curiga.Ricard duduk di seberang Saras. "Aku hanya ingin berbicara. Bagaimana kabar Liam?"Saras memandang Ricard tajam. "Jangan berpura-pura peduli. Aku tahu apa yang kau inginkan dan lakukan pada kami.”Ricard tersenyum. "Aku hanya ingin membantu. Aku tahu siapa yang melakukan penembakan itu."Saras terkejut. "Siapa?"Ricard memandang sekitar sebelum menjawab, "Aku ak
Karena merasa suasana rumah yang begitu kacau, Liam memutuskan untuk mengajak Saras ke Mall Grand City, pusat perbelanjaan mewah di jantung kota, yang dipenuhi pengunjung pada hari Sabtu sore. Liam dan Saras berjalan-jalan di antara toko-toko, menikmati suasana santai. walaupun luka tembak Saras belum sepenuhnya sembuh, tapi Saras sudah merasa cukup baik untuk menikmati udara luar. lagi pula, jika terus berada di rumah Saras tidak yakin jika ia akan mampu menahan lebih lama lagi rasa sabarnya untuk tidak beradu argumentasi dengan Rosa. Saat Liam akan mengajak Saras ke lantai atas, Tiba-tiba, suara tembakan keras terdengar dari lantai atas. mendengar suara itu, Liam mengurungkan niatnya.Suara tembakan kedua terdengar, disusul teriakan panik pengunjung.Saras begitu terkejut, memandang sekitar mencari sumber suara. Liam tetap berusaha untuk tenang sampai pandangannya tertuju pada Seorang pria berjas hitam, wajahnya tertutup topeng, muncul di atas eskalator, memegang senjata api.Pria it
Ricard, adik Liam, duduk di ruang tamu rumahnya, wajahnya penuh kebencian. Ia memandang Viktoria, wanita pemberani yang duduk di seberangnya."Kita harus menghancurkan Liam," kata Ricard, suaranya penuh dendam.Viktoria tersenyum. "Aku sudah siap membantumu."Ricard mengambil napas dalam-dalam. "Rencana kita harus sempurna. Kita tidak bisa gagal."Viktoria mengangguk. "Aku sudah mempersiapkan segalanya."“Jangan salah sasaran, aku tidak ingin sampai Saras-”“Saya tidak bodoh Tuan, anda tenang saja.” Senyum licik terpancar jelas dari wajahnya.***Di kamar Liam, suasananya begitu hening. Liam dan Saras berada di dalam satu kamar, tapi saling diam. Tidak ada kata-kata yang terucapkan.Liam duduk di samping jendela, memandang ke luar. Wajahnya tidak menunjukkan emosi. Saras terbaring di tempat tidur, memandang langit-langit.Suasana diam itu terasa menyakitkan. Saras ingin berbicara, tapi tidak tahu apa yang harus dikatakan. Liam juga tidak berbicara, seperti tidak peduli dengan keberada
Saras terbaring lemah di tempat tidur, luka tembaknya masih terasa sakit. Liam berdiri di sampingnya, wajahnya tidak menunjukkan emosi. ia memandang Saras dengan tatapan dingin, namun matanya terlihat peduli."Kau harus istirahat," kata Liam, suaranya datar.Saras mengangguk lemah. "Aku tahu."Liam mulai membersihkan luka Saras dengan lembut. Ia tidak menunjukkan kelemahan atau kecemasan, namun gerakannya penuh perhatian. Saras memandangnya dengan rasa heran."Kenapa kau melakukan ini?" tanya Saras.Liam tidak menjawab. ia terus membersihkan luka, kemudian membalutnya dengan perban. Liam memutuskan untuk merawat Saras di rumah karena ia tidak ingin sampai Ricard kembali datang menemui Saras.Rosa, ibu Liam, masuk ke kamar dengan wajah tidak senang. "Liam, apa yang kau lakukan? Kau tidak seharusnya merawatnya di rumah."Liam berdiri, menatap ibunya dengan tenang. "Aku bertanggung jawab atas keselamatannya."Rosa menggelengkan kepala. "Dia tidak layak mendapatkan perawatanmu. apa kau lu
"Jangan terlalu keras, pada ibu.” Kata Saras saat Liam sudah kembali masuk ke dalam ruangannya.“Disaat seperti ini, kau masih membelanya?” alis Liam terangkat satu, menambah kesan bingung pada wajahnya. Tentu saja ia tidak menyangka jika Saras masih bisa mengatakan hal-hal baik tentang Rosa. “Bukan membela Liam, hanya saja ini soal penghormatan anak pada ibunya. selebihnya, aku tidak pernah membenarkan tindakan atau sikap ibu, jika yang kau maksud adalah sikapnya terhadapku,” Saras mengganti posisi berbaring menjadi duduk. walaupun masih terasa nyeri di bagian tubuhnya yang tertembak, Saras tetap berusaha untuk meyakinkan dirinya dan tidak ingin terlihat lemah dihadapan Liam. Liam mendesah pelan saat mendapati Saras memaksakan diri untuk duduk bersandar, terasa sekali keras kepalanya gadis itu.“Satu jam lagi aku akan pergi ke kantor. apakah tidak masalah jika aku pergi sebentar?”Saras menggeleng cepat, senyumnya mengembang dan berkata, “ Liam, sudah banyak pengawal yang kau tugas