Indra terus berjalan kaki melewati bukit demi bukit, desa demi desa, kampung demi kampung hingga tanpa terasa lima hari sudah dia berjalan meninggalkan Perguruan Kencabuana. Dalam perjalanannya kali ini dia benar-benar merasa bosan karena tidak ada hal menarik yang dia alami, tidak ada bandit, tidak bertemu pendekar lain dan juga tidak bertemu dengan orang-orang aneh seperti sebelumnya.
Karena itulah selagi dalam perjalanan dia terus memilih untuk menguasai penggabungan gerakan silat pancalima dengan ajian tinju gelap atau ilmu kanuragan lainnya, namun nyatanya semua itu sangatlah sulit tidak seperti yang dia bayangkan. Untuk bisa melakukan penggabungan seperti yang ditunjukan oleh Karsa, dia perlu bisa berkonsentrasi ke dalam dua hal sekaligus, yakni membagi tenaga dalam untuk ilmu kanuragan dan gerakan silat sekaligus secara seimbang.“Hoam.. apa aku berjalan terlalu cepat ya?” ujar Indra seraya menguap dan mengayunkan langkahnya di jalanan se“Iya?” jawab Indra seraya berbalik. Terlihat di belakangnya sudah ada beberapa pemuda yang mungkin hampir seumuran dengannya, dari pakaian dan sorot matanya saja Indra bisa menyadari kalau mereka itu seorang pendekar.“Kami rasanya baru kali ini melihat kisanak, kalau boleh tahu apa tujuan kisanak datang kemari?” tanya salah seorang pemuda.“Oh. Saya kebetulan singgah saja di sini, sebenarnya saya bermaksud menuju ke Perguruan Sastrabuana,” jawab Indra seraya tersenyum ramah, dia sadar kalau mereka tampak begitu mewaspadainya. Sejenak para pendekar tersebut terlihat saling memandang satu sama lain.“Untuk apa kisanak ingin pergi ke Sastrabuana?” tanya seorang pendekar.“Saya hanya ingin bertamu ke sana sebentar saja, apakah itu cukup?” tanya Indra seraya tersenyum. Para pendekar itu hanya menatap tajam Indra, mendadak angin sejuk mulai bertiup dari arah belakang Indra, tib
Indra terus berjalan bersama Mira menuju ke kerumunan beberapa pendekar, di sana juga terdapat beberapa karung berisi beras, sayuran, buah-buahan, singkong, kopi, teh, garam, ikan asin dan beberapa jenis pangan lainnya. Seperti sebelumnya, tampak para pendekar yang ada di sana bersikap penuh hormat kepada Mira.Sepanjang jalan dia terus memperhatikan Mira. Pikirannya kembali melayang mengingat janjinya kepada wanita pujaan hatinya yang juga memiliki nama yang sama dengan pendekar cantik di dekatnya kini. Indra yakin akan lucu kalau nantinya dia menceritakan kepada Mira yang ada di Panjalu bahwa dia juga bertemu dengan wanita cantik bernama Mira di Kerajaan Galuh.“Hihihi.. apa yang namanya Mira emang cantik-cantik ya?” gumam Indra di dalam hatinya, Mira tidak mungkin bisa mendengarnya tapi Indra yang cengar cengir sejak tadi mungkin membuatnya bisa menebak isi hatinya.“Eh, ternyata pendekar wanita lainnya juga tidak kalah can
“Ngomong-ngomong, kenapa Akang tetap menggoda saya meski sudah mengira kalau saya punya hubungan dekat dengan Mahaguru Perguruan Sastrabuana? Padahal tadi Akang nebak saya istri muda Mahaguru loh, masa Akang berani menggoda istri Mahaguru dari perguruan yang akan Akang singgahi?” tanya Mira.“Hihihi.. itu mah cuma guyonan doang, yah meskipun ada alasan lain mengapa Akang mengatakannya. Sejak awal Akang itu mengira kalau Nyai memang putri dari Mahaguru Perguruan Sastrabuana,” jawab Indra.“Yah, meski saya putrinya kan seharusnya orang asing yang mau bertamu seperti Akang agak ragu untuk melakukannya,” tutur Mira.“Hihihi.. ini ngetes doang apa gimana nih?” tanya Indra.“Maksudnya gimana Kang?” Mira mengerungkan keningnya karena bingung Indra malah balik bertanya.“Yah. Meski Nyai bertanya seperti itu, tapi kelihatannya Nyai sudah bisa menebak alasannya, l
“Ada apa Kang?” tanya Mira yang ikut menghentikan langkahnya.“Hihihi.. tidak ada apa-apa kok,” jawab Indra sambil kembali berjalan. Dia benar-benar tidak menyangka kalau gadis cantik di sampingnya adalah istri dari Raka Adiyaksa, orang yang pertama kali mengajarinya gerakan pancalima saat di kediaman Maung Lara.“Ternyata Kang Raka bukan hanya hebat dalam masalah ilmu silat saja, dia juga pintar mencari calon istrinya. Umurnya bahkan lebih muda dariku, dia benar-benar mengesankan,” batin Indra sembari mengingat lagi rupa dari Raka.“Kalau boleh tahu suami Nyai itu ada di mana sekarang? Kok baru menikah sudah ditinggal tinggal?” tanya Indra.“Kakanda saat ini sedang ada urusan yang harus dia selesaikan. Yah sebelum menikah dengan saya juga sebenarnya dia sudah sibuk dan jarang ada di paguron nya. Jadi wajar saja meski baru menikah dia juga kembali sibuk,” jawab Mira.
‘Brakh’Mira hanya menggunakan satu tangan saja berhasil menghancurkan kedua ranting kayu tersebut hingga hancur berkeping-keping. Indra segera bergerak memalingkan wajahnya ke arah kanan saat dia merasakan ada orang yang mendekatinya. Benar saja, hembusan angin terasa sudah berada di depan wajahnya, dengan gesit Indra segera menundukan tubuhnya dan membalas dengan cepat menggunakan tendangan kaki kanannya. Tapi tendangannya hanya menghantam angin saja.“Cepat sekali,” gumam Indra, padahal dia sudah bergerak secepat yang dia bisa untuk membalas tapi entah mengapa lawannya seakan-akan menghindarinya.Indra kembali berkelit ke samping saat melihat pergerakan dedauan di tanah yang kembali bergeser mendekatinya pertanda ada orang yang menginjaknya, tapi ternyata yang dia lihat itu hanyalah tipuan belaka sebab dari arah belakangnya dia merasa sudah ada pergerakan yang siap menghantam lehernya.“Tidak mungki
“Kelihatannya perguruan ini sangat besar ya,” tutur Indra sembari berjalan mengikuti Saptrabira menuju pendopo perguruan. Jika dibandingkan Perguruan Kencabuana dan Jatibuana yang telah dia singgahi sebelumnya, tampak jelas kalau Perguruan Sastrabuana memang memiliki area yang lebih luas dari keduanya.“Maklumlah murid-murid di sini juga cukup banyak. Silakan duduk,” tukas Saptrabira seraya mempersilahkan Indra untuk duduk.Di sekitar area perguruan tampak banyak murid yang sedang sibuk membersihkan area perguruan, dari mulai merapikan pondok tempat mereka tidur hingga mencabut rumput-rumput liar yang sudah tinggi. Beberapa murid yang tadi datang bersama Indra tampak segera membawa bahan makanan yang dia bawa ke gudang penyimpanan. Setelah Indra duduk, Saptrabira segera memanggil seorang murid untuk membawakan makanan dan kopi bagi mereka berdua.“Jadi apa tujuan kisanak hingga jauh-jauh datang ke perguruan kami?&r
Indra terus berjalan mengikuti Saptabira menyusuri bangunan paling besar yang ada di area Perguruan Sastrabuana. Mereka langsung menuju sebuah ruangan besar layaknya aula di bangunan tersebut, tampak seorang pria tua berambut putih tengah duduk di sebuah kursi. Tangan kanannya terlihat menggenggam sebuah cangkir bambu berisi ramuan. Sejenak Indra tertegun sebab pria tua tersebut sudah kehilangan tangan kirinya tepat di bahunya, dari bekasnya tampaknya tangan kirinya tertebas dalam pertarungan. Pria tua itu tak lain adalah Mahaguru Dasanata.Saat melihat Saptabira datang pun Dasanata tidak menoleh kepadanya sedikitpun, dia tetap menatap ke arah jendela yang ada di ruangan tersebut. Dari helaan nafasnya saja terlihat dia seakan kesusahan untuk menghirup udara, tubuhnya kurus hingga beberapa tulang tubuhnya terlihat dibalik pakaiannya. Padahal menurut Saptabira, usianya belum terlalu tua, mungkin baru sekitar 50 tahunan namun semua itu terjadi semenjak dia kehilangan istri
“Apa maksud anda Mahaguru?” tanya Saptabira. Sementara itu Indra masih belum merespon apapun, dia masih bingung bagaimana Dasanata menyadarinya padahal sejak tadi dia terlihat biasa saja.“Keponakanmu yang mengatakannya, Ajinata bilang kalau pemuda ini menguasai salah satu ajian terlarang yang ada di Kerajaan Galuh,” jawab Dasanata sambil duduk lagi di kursinya.“Anak itu? Dia menyadarinya?” batin Indra dengan wajah terkejut bukan main, dia benar-benar telah meremehkan bocah kecil yang dihadapinya tadi, dia tidak pernah berpikir kalau Ajinata akan menyadarinya dari pandangan matanya saja karena masih terlalu kecil. Dia tidak menyangka karena kecerobohannya itu rahasianya malah diketahui Dasanata.“Ajinata?” ujar Saptabira seraya menatap Indra seakan meminta jawaban darinya.“Hmmh.. itu memang benar Mahaguru, saya menguasainya,” ucap Indra pelan setelah menghela nafas dalam
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari