“Kelihatannya perguruan ini sangat besar ya,” tutur Indra sembari berjalan mengikuti Saptrabira menuju pendopo perguruan. Jika dibandingkan Perguruan Kencabuana dan Jatibuana yang telah dia singgahi sebelumnya, tampak jelas kalau Perguruan Sastrabuana memang memiliki area yang lebih luas dari keduanya.
“Maklumlah murid-murid di sini juga cukup banyak. Silakan duduk,” tukas Saptrabira seraya mempersilahkan Indra untuk duduk.Di sekitar area perguruan tampak banyak murid yang sedang sibuk membersihkan area perguruan, dari mulai merapikan pondok tempat mereka tidur hingga mencabut rumput-rumput liar yang sudah tinggi. Beberapa murid yang tadi datang bersama Indra tampak segera membawa bahan makanan yang dia bawa ke gudang penyimpanan. Setelah Indra duduk, Saptrabira segera memanggil seorang murid untuk membawakan makanan dan kopi bagi mereka berdua.“Jadi apa tujuan kisanak hingga jauh-jauh datang ke perguruan kami?&rIndra terus berjalan mengikuti Saptabira menyusuri bangunan paling besar yang ada di area Perguruan Sastrabuana. Mereka langsung menuju sebuah ruangan besar layaknya aula di bangunan tersebut, tampak seorang pria tua berambut putih tengah duduk di sebuah kursi. Tangan kanannya terlihat menggenggam sebuah cangkir bambu berisi ramuan. Sejenak Indra tertegun sebab pria tua tersebut sudah kehilangan tangan kirinya tepat di bahunya, dari bekasnya tampaknya tangan kirinya tertebas dalam pertarungan. Pria tua itu tak lain adalah Mahaguru Dasanata.Saat melihat Saptabira datang pun Dasanata tidak menoleh kepadanya sedikitpun, dia tetap menatap ke arah jendela yang ada di ruangan tersebut. Dari helaan nafasnya saja terlihat dia seakan kesusahan untuk menghirup udara, tubuhnya kurus hingga beberapa tulang tubuhnya terlihat dibalik pakaiannya. Padahal menurut Saptabira, usianya belum terlalu tua, mungkin baru sekitar 50 tahunan namun semua itu terjadi semenjak dia kehilangan istri
“Apa maksud anda Mahaguru?” tanya Saptabira. Sementara itu Indra masih belum merespon apapun, dia masih bingung bagaimana Dasanata menyadarinya padahal sejak tadi dia terlihat biasa saja.“Keponakanmu yang mengatakannya, Ajinata bilang kalau pemuda ini menguasai salah satu ajian terlarang yang ada di Kerajaan Galuh,” jawab Dasanata sambil duduk lagi di kursinya.“Anak itu? Dia menyadarinya?” batin Indra dengan wajah terkejut bukan main, dia benar-benar telah meremehkan bocah kecil yang dihadapinya tadi, dia tidak pernah berpikir kalau Ajinata akan menyadarinya dari pandangan matanya saja karena masih terlalu kecil. Dia tidak menyangka karena kecerobohannya itu rahasianya malah diketahui Dasanata.“Ajinata?” ujar Saptabira seraya menatap Indra seakan meminta jawaban darinya.“Hmmh.. itu memang benar Mahaguru, saya menguasainya,” ucap Indra pelan setelah menghela nafas dalam
“Berapa lawan yang ingin kau hadapi?” tanya Saptabira.“Hihihi.. berapa ya, mungkin satu juga cukup Kang. Saya hanya ingin menambah pengalaman bertarung dengan menghadapi banyak pendekar dari perguruan yang berbeda,” jawab Indra.“Bagaimana kalau melawanku?” tawar Saptabira sambil tersenyum. Indra hanya tertawa kecil sejenak seraya menatap mata Saptabira.“Hihihi.. Tapi Kang Saptabira kelihatannya tidak sepenuhnya berniat seperti itu,” tukas Indra.“Hmm.. bagaimana ya, aku tidak tertarik bertarung dengan orang yang tidak akan menggunakan seluruh kemampuannya. Jika kau boleh menggunakan ajian gelap ngampar milikmu itu, mungkin aku baru tertarik menghadapimu sepenuh hati,” jelas Saptabira.“Hihihi.. mengerikan juga ya,” ujar Indra.“Yah setiap pendekar punya prinsip masing-masing yang dia pegang teguh. Bagiku, pertarungan yang tida
“Ada apa Ajinata?” tanya Saptabira. Tampak di tepi halaman tepatnya di sebuah dahan pohon, Ajinata sedang duduk santai seraya menggenggam sarung pedang di tangan kirinya.“Dasar anak nakal,” gerutu Mira pelan.“Hihihi.. bocah itu punya gaya juga rupanya,” pikir Indra seraya tersenyum melihat bocah berusia tujuh tahunan sudah berlagak seperti pendekar hebat dengan duduk di dahan pohon dengan santainya.“Maafkan saya paman. Tapi tadi Mahaguru sudah mengizinkan saya untuk melakukan latih tanding dengan tuan pendekar yang bertamu ke paguron kita. Jadi saya rasa alangkah baiknya jika saya yang menjadi lawan pertama bagi tuan pendekar,” jawab Ajinata.“Aku tidak akan mengizinkanmu bertarung dengannya!” tegas Saptabira.“Eh? Tapi ayah sudah mengizinkannya loh paman,” tukas Ajinata dengan raut wajah kecewa.“Itu benar, tapi Mahaguru suda
Perlahan Indra kembali berdiri setelah jantungnya kembali berdetak normal, Abad sendiri masih terlihat duduk dengan wajah pucat. Melihat Abad seperti itu Indra yakin kalau dia juga mengalami hal yang sama dengannya. Saptabira sendiri tampak menghela nafas dalam mengingat kelakuan keponakannya tadi.“Kelihatannya kalian perlu beristirahat sejenak sebelum melakukan latih tanding,” kata Saptabira.“Hihihi.. saya sebenarnya sudah tidak apa-apa, tapi tampaknya memang perlu istirahat,” ucap Indra sembari menatap Abad yang masih pucat pasi.Indra dan Saptabira kemudian membantu memapah Abad menuju ke pendopo, Sinta segera meminta beberapa murid wanita untuk membawakan air dan makanan untuk Indra dan Abad. Tanpa ragu lagi Abad dengan cepat meneguk air putih seakan-akan begitu kehausan. Indra sendiri hanya meneguk sekali air yang disediakan di sana, dia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya Abad tadi.“Aku
‘Deukh’“Heukh,” pekik Abad saat pukulan Indra dengan telak menghantam lehernya. Meski begitu tubuhnya tidak terpental sedikitpun pertanda fisiknya memang ada di atas rata-rata pendekar Kerajaan Panjalu pada umumnya.‘Beukh’‘Dakh’Indra secara beruntun melayangkan tendangan kaki kanannya ke arah dada dan perut Abad hingga terdengar suara benturan keras, kali ini tubuh Abad terjungkal ke belakang sampai punggungnya menghantam permukaan tanah. Darah terlihat mengalir dari tepi bibirnya, walaupun begitu dia segera bangkit lagi seakan serangan Indra tidaklah berdampak apa-apa kepada tubuhnya.“Pemuda ini, dia masih sanggup berdiri setelah tiga serangan telak mengenai tubuhnya?” batin Indra heran.Abad segera melesat lagi dengan pukulan tangan kanannya mengincar dada Indra, namun dengan tangkas Indra membelokan serangan Abad menggunakan tangan kirinya
“Hihihi.. tapi kalau begitu nanti dia sengsara,” pikir Indra lagi yang kini mengalihkan pandangannya kepada Abad kembali.“Kenapa? Apa kau takut?” tanya Abad.“Cuh..” Indra meludahkan darah dari mulutnya lalu tersenyum kepada Abad.“Jujur saja aku bosan dengan cara seperti ini, kenapa kita tidak bertarung seperti biasa saja?” jawab Indra.“Dia tidak termakan umpan Abad rupanya,” batin Saptabira.“Sayang sekali, aku pikir kau cukup berani untuk beradu ketahanan tubuh denganku,” ucap Abad.“Hihihi.. bukannya aku tidak berani, tapi akan membosankan bagi yang melihat pertarungan kita jika terus berlangsung seperti ini,” tutur Indra.“Lagipula aku bermaksud mencari pengalaman dengan melawan berbagai ilmu silat yang ada di Kerajaan Galuh ini,” sambung Indra.“Begitu ya, jika memang itu
Abad segera menundukan tubuhnya jauh ke bawah karena sejak tadi dia sudah melihat pergerakan tangan kanan Indra, tapi sejak awal Indra memang sengaja melakukannya untuk memancing pergerakan Abad. Ayunan tangan kanan Indra tidaklah cepat dan kuat sebab sejak awal dia tidak berencana memukul Abad, hanya dalam sekejap mata saat Abad menundukan tubuhnya ke bawah, tangan kanan Indra berayun cepat ke bawah dengan kepalan tangan terbuka membentuk totokan dengan jari tangan dan jari tengahnya.‘Deukh’Dengan telak totokan Indra berhasil mengenai titik saraf di leher Abad, sontak seketika itu juga pandangan Abad langsung buram seiring dengan tubuhnya yang serasa lemas tak berdaya. Tanpa menunggu waktu lama tubuh Abad langsung tumbang ambruk ke tanah dan tidak sadarkan diri. Sontak semua orang yang menyaksikan hal itu terkejut bukan main sebab mereka tidak menyangka kalau Indra akan mengubah pergerakannya seperti itu.“Kelihatannya pemu
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari