“Tapi mencari Nyi Sarwati akan tetap sulit. Pasti akan butuh waktu lama jika harus memeriksa setiap kelompok bandit. Terlebih mencari tempat persembunyian mereka juga akan memakan waktu lama,” ujar Indra.
“Itu benar,” timpal Astriani.“Jangan khawatir, kita akan memanfaatkan para pendekar Kerajaan Panjalu yang sudah menyusup ke Girilaya. Aku akan meminta Maharaja memerintahkan mereka memeriksa lokasi setiap kelompok bandit yang mereka ketahui beserta nama lokasi dan kondisi tempat persembunyiannya. Aku akan meminta mereka mengirimkannya ke Mahaguru Larasati di Wanasari, nanti kita akan mampir mengambilnya sebelum ke Girilaya,” tutur Mira.“Dengan begitu kita tidak perlu membuang waktu lama untuk mencari lokasi persembunyian kelompok bandit yang ada di Girilaya,” sambung Mira seraya tersenyum.“Hihihi.. kamu memang pintar. Perjalanan kita ke Wanasari saja pasti membutuhkan waktuIndra dan Mira terus memacu kudanya hingga berlalu dengan cepat meninggalkan kediaman Adipati Nanggala. Kuda mereka melesat cepat menuju ke arah Kadipaten Wanasari seolah ingin berlomba siapa yang paling cepat, mereka mulai menyusuri pedesaan dan hutan-hutan sebelum akhirnya sampai di ujung perbatasan sebelah timur Kadipaten Nanggala.Mereka terus bergerak ke arah barat dengan cepat. Beberapa kali mereka berhenti sejenak untuk mengistirahatkan kudanya sebelum kembali melaju menunggai kudanya lagi. Malam harinya mereka akhirnya berhenti di dekat sebuah sungai yang mengalir di sekitar hutan. Mereka berdua sengaja menambatkan kudanya di dekat sungai agar bisa meminum air sepuas mereka.Suara hewan-hewan malam mulai terdengar seiring dengan heningnya suasana di sekitar mereka berdua. Indra dan Mira mengisi lagi persediaan air minum mereka di dalam ruas bamboo yang dimasukan ke kantong kulit yang menempel di pelana kuda. Sejenak Indra menghela nafas dalam karena
Sementara itu Indra sambil mandi dia sengaja mencari ikan di sungai untuk dibakar guna sarapan pagi ini. Tanpa kesusahan dia sudah berhasil menangkap enam ikan yang besar-besar. Setelah puas mandi barulah dia beranjak dari sungai dan memakai lagi pakaiannya. Indra segera kembali ke tempat Mira setelah membersihkan keenam ikan yang telah ditangkapnya.Tak lupa Indra juga membawa beberapa helai daun pisang untuk membungkus sisa ikan yang tidak habis sebagai bekal perjalanan nantinya. Mereka berdua mulai membakar ikan sambil mengobrol ngaler ngidul. Setelah matang mereka segera menyantapnya dengan lahap. Masing-masing menghabiskan satu ekor ikan, empat sisanya mereka bungkus untuk bekal perjalanan.Setelah beristirahat sejenak mereka kembali menunggangi kuda mereka dan memacunya menuju Kadipaten Wanasari. Beberapa kampung dan desa mereka lewati, kadang menyusuri kebun, kadang hutan, kadang ladang. Rute yang mereka ambil kadang sama dengan yang dulu Indra jalan
“Tidak perlu repot-repot Mahaguru. Lagipula informasi ini juga sudah cukup,” kata Mira.“Eh? Bukankah kemungkinannya sangat besar kalau musuh ada di tempat yang jauh untuk menghindari kita?” tanya Indra.“Itu memang benar jika orang yang berpikir seperti biasa. Tapi ingatlah seperti apa kelicikan Wirarasa. Dia bukanlah orang yang suka berpikir secara wajar, semua rencananya tidak mudah ditebak. Kemungkinan dia sudah menentukan tempat bagi Nyi Sarwati untuk menyembunyikan diri supaya aman. Aku yakin jika bukan di daerah yang dekat dengan kita maka dia ada di daerah dekat dengan kekuatan utama Girilaya yakni di pertengahan,” jawab Mira.“Alasannya. Kadang kita berpikir tidak mungkin musuh bersembunyi di dekat kita saat dia terdesak karena pasti akan lebih bahaya. Lalu tidak mungkin juga musuh ada di dekat Ibukota Girilaya karena sudah jelas para petinggi Kerajaan Girilaya pasti akan mencarinya untuk dijad
Indra dan Mira terus memacu kudanya hingga melewati hutan belantara di perbatasan Kadipaten Oray dan Kadipaten Wanasari. Mereka mulai bergerak menaiki bukit dan menuruninya. Siang harinya mereka mulai melewati kebun-kebun kopi. Jika dilihat dari kondisinya terlihat jelas kalau tanah di sana memang kurang subur sebab bentuk pohon kopi yang ada di sana tidak sebagus pohon kopi yang tumbuh di Kerajaan Panjalu.Daun-daun kopi terlihat agak jarang dengan kulit tangkai-tangkainya tampak seakan mengelupas. Beberapa warga yang sedang menyiangi tanaman kopi tampak menatap mereka berdua yang terus memacu kudanya menuruni bukit. Tak jauh di depan mereka terlihat ada banyak atap rumah-rumah penduduk, mungkin itu akan menjadi kampung atau desa pertama yang mereka berdua lewati di Kerajaan Panjalu.“Kelihatannya kita sudah sampai di desa pertama, lalu di mana letak Desa Sanca yang kita tuju?” tanya Indra.“Masih jauh. Dalam tulisannya kita
“Hidup!” sahut para warga. Dari wajah mereka tidak terlihat rasa senang sedikitpun.“Hidup Kerajaan Girilaya!” teriak pengawal raja kembali.“Hidup!” teriak para warga lagi sambil mengacungkan tangannya.“Sebaiknya kita segera pergi dari sini,” ajak Mira. Dia khawatir saat melihat Indra terlihat mulai kesal dengan tingkah Raja Loba Doraka yang congkak tersebut.“Ya. Lama-lama di sini mungkin aku lempar juga raja itu ke sungai,” gerutu Indra sambil melangkah mengikuti Mira. Mereka menuntun kudanya menuju ke arah barat sesuai dengan lokasi yang dituliskan di surat.“Apakah masih ada yang mengawasi kita?” tanya Mira setengah berbisik.“Aku sudah tidak bisa merasakannya lagi. Kemungkinan memang sudah tidak ada, tapi mungkin saja ajian halimunan miliknya jauh berada di tingkat tertinggi hingga aku tidak bisa merasakannya,” jawab
“Keparat!” teriak Indra dengan kencang.‘Brugh’Pohon yang besar itu langsung tumbang seketika setelah sebagian batangnya hancur terkena pukulan Indra. Sementara itu Mira hanya bisa memejamkan matanya sambil menghela nafas dalam. Dia paham kalau Indra sangat kesal, dia sendiri sebenarnya merasakan hal yang sama. Tapi mau bagaimana lagi, kali ini mereka memiliki tugas yang lebih penting demi tanah airnya.“Apa kita harus mengirimkan surat agar Maharaja mengirimkan pasukannya dan menghabisi raja kurang ajar itu?” tanya Indra dengan nafas memburu. Dia benar-benar terlihat sangat marah, selama ini Mira belum pernah melihat raut wajah Indra semarah itu.“Tenanglah Indra. Aku tahu apa yang kau rasakan, aku juga merasa benar-benar kesal dan marah. Tapi saat ini kita memiliki tugas penting yang tidak boleh dilupakan. Masalah ini bisa diurus nanti oleh Maharaja,” kata Mira mencoba menenangkan
“Apa malam ini kita tidak akan bergerak?” tanya seorang pria agak tua sembari mengasah goloknya.“Untuk sementara Kang Kadut melarang kita bergerak. Dia bilang kalau Kerajaan Girilaya akhir-akhir ini sering mengawasi para bandit yang berkeliaran,” jawab pria paruh baya sambil duduk di teras rumah.“Mereka itu benar-benar brengsek ya. Mereka menganggap kita seolah bagaikan hama, padahal mereka sendiri adalah orang yang paling parah menghancurkan kerajaan ini. Kita mah nggak seberapa merusak, paling beberapa warga saja yang jadi korban. Lah mereka, semua rakyat Kerajaan Girilaya menderita karena ulah mereka,” gerutu pria tua yang mengasah golok.“Maklumlah. Meski sama-sama penjahat seperti kita tapi mereka kan punya jabatan di kerajaan, mereka punya prajurit untuk dikerahkan. Lah kita penjahat kecil-kecilan nggak bakalan menang melawan mereka,” timpal pria lainnya yang ada di sana. Jika ditotal mung
“Siapa kau?” tanya Kadut.“Aduh, siapa ya,” jawab Indra sambil pura-pura berpikir.“Jawab yang bener kalau kau masih mau hidup,” gerutu pria paruh baya di belakang Indra setengah berbisik.“Kau berani mempermainkan diriku ya!” bentak Kadut sambil melayangkan tendangannya mengarah ke kepala Indra.‘Beukh’“Haduh!” jerit pria paruh baya di belakang Indra saat kepalanya terkena tendangan Kadut. Indra sendiri berhasil menghindari tendangan Kadut dengan cara membungkukan tubuhnya ke bawah. Karena itulah pria paruh baya di belakang Indra malah yang terkena tendangan Kadut.‘Bret’“Hihihi.. jangan buru-buru main kasar dong. Kasian anak buahmu,” ucap Indra sambil menghentakan kedua tangannya sekaligus hingga tali yang mengikat tangannya putus seketika. Semua bandit di belakang Indra segera mundur selangkah
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari