“Setahuku, Perguruan Margabuana memanglah sebuah perguruan yang paling banyak memiliki ilmu kanuragan tingkat tinggi. Sebab Mahaguru mereka yang bernama Purbakala sangat berambisi untuk menguasai seluruh ilmu kanuragan yang ada di dunia ini. Jika dia tidak bisa mempelajarinya maka dia akan menirunya, jika tidak bisa menirunya maka dia akan menciptakan ilmu kanuragan yang sangat mirip dengan incarannya,” tutur Ki Sukmara.
“Hingga saat ini ada empat ilmu kanuragan tingkat tinggi yang aku tahu berasal dari Margabuana. Pertama adalah ajian ekabaya, sebuah ajian yang penggunaannya dihantamkan ke permukaan tanah. Kedua ajian dwibaya yang penggunaannya dihantamkan ke udara melalu kedua tangan, ketiga ajian tribaya yakni ajian yang mampu membakar musuhnya sampai jadi abu, yang terakhir ajian caturbaya yaitu ajian yang mampu menghancurkan tubuh musuhnya sampai berkeping-keping,” sambung Ki Sukmara.“Begitu ya. Saya pernah berhadapan den“Ada apa Indra?” tanya Ki Sukmara saat melihat Indra merenung dan menghela nafas dalam.“Aku hanya ingat masa laluku Ki,” jawab Indra sambil tersenyum.“Oh. Kalau tidak salah kau juga mengatakan kalau Pasir Gede itu di Kadipaten Mandala ya?” tukas Ki Sukmara.“Iya Ki. Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat,” jawab Indra seraya menghela nafas dalam lagi.“Yah itulah namanya hidup. Di saat kau seumur denganku nanti kau malah akan merasakan waktu yang berlalu lebih cepat dari sekarang, kau akan sadar ketika orang-orang yang pernah bersamamu meninggalkanmu satu persatu. Aku sendiri merasa kalau kemarin-kemarin aku masih gagah perkasa, mengelana ke seluruh penjuru kerajaan. Rasanya baru kemarin aku bermain bersama kakakku,” timpal Ki Sukmara sambil terus berjalan bersama Indra.Sore harinya mereka akhirnya sampai di kediaman Adipati Nanggala yang ada di perbatasan
“Tanah air saya,” jawab Indra dengan cepat.“Aku akan mengatakan suatu hal yang mungkin tidak kau ketahui Indra. Sebenarnya Wirarasa menawarkan sesuatu agar perang ini tidak terjadi, aku tidak tahu dari mana dia mengetahui tentang dirimu. Tapi dia menawarkan jika aku mengirimkan kepalamu kepadanya maka perang ini tidak akan terjadi dan dia akan pergi meninggalkan Panjalu,” tutur Kalya Cakra. Sontak saja Indra terperanjat kaget. Bukan hanya Indra tapi petinggi kerajaan yang ada di sana juga kaget, sepertinya mereka baru mendengar tawaran tersebut.“Kelihatannya dia tahu kalau Maung Lara bukanlah ancaman lagi, kelihatannya dia juga tahu kalau kau adalah satu-satunya ancaman bagi dirinya saat ini. Karena itu aku akan bertanya kepadamu, jika aku perintahkan kau untuk mati demi mencegah perang ini apakah kau bersedia?” tanya Kalya Cakra. Indra hanya menghela nafas dalam lalu tersenyum.“Saya akan menolaknya,
“Kami ingin kau tidak ikut turun langsung ke medan perang, tapi mencari celah untuk menghabisi Wirarasa yang ada di Perguruan Manahsulaya,” timpal Saktiwaja.“Saya siap. Tapi menyelinap di medan perang untuk sampai ke markas musuh adalah hal yang cukup sulit,” ujar Indra. Jujur saja jika harus menyelinap di tengah-tengah medan perang dan pergi ke markas musuh akan sangat menyulitkan, terlebih ajian halimunan yang dikuasainya tidak sehebat Windu.“Kau tidak perlu menyelinap di medan perang. Sebab kau akan menyelinap dari belakang Perguruan Manahsulaya dan menghabisi Wirarasa tanpa harus turun ke medan perang,” jawab Saktiwaja.“Jadi saya harus berjalan memutari Gunung Manahsulaya dan menyerang mereka dari arah belakang?” tanya Indra memastikan tebakannya.“Ya, kau akan berangkat lebih dulu dari yang lain sebelum perang dimulai. Meski begitu aku yakin Wirarasa juga tidak akan leng
Indra terus berjalan keluar kediaman Adipati Nanggala. Mira dan Rima masih terus cekcok tak berhenti. Sementara itu Astriani dan Elin hanya membiarkan mereka berdua tanpa mau terlibat. Sesampainya di luar Indra langsung bersandar ke tiang rumah sambil menatap kedua gadis yang sedang perang dingin tersebut, perlahan Indra menghela nafas dalam.“Jadi sebenarnya bagaimana ceritnya kalian bisa bersama seperti ini?” tanya Indra. Merasa tidak ada yang kunjung menjawab, Elin terlihat menghela nafas panjang.“Beberapa hari yang lalu saat perwakilan dari semua perguruan besar berkumpul dengan para Adipati dan petinggi kerajaan lainnya Maharaja mengatakan membutuhkan empat orang pendekar untuk menemani Kang Indra dan Ki Sukmara dalam menjalankan tugas khusus. Awalnya Mahaguru Maung Lodra meminta saya dan Kang Bara untuk ikut, lalu Guru Kawung Cala mengajukan Kang Purba dan Astriani untuk ikut juga. tapi besoknya saat berkumpul ternyata Kang Purba da
“Hihihi.. Loh-loh diam-diam ternyata kalian bisa akur juga ya,” sindir Indra sambil tersenyum dan berjalan mundur karena menghadap keempat gadis cantik yang terus mengikutinya.“Ih siapa yang akur? Sama dia? Ogah deh,” kata Mira sambil bergidik.“Eh wanita angkuh, siapa juga yang mau akur sama kamu!” balas Rima seraya bergidik.“Hihihi.. Siapa yang menyindir kalian? Aku lagi ngobrol kok sama Astri dan Elin,” kata Indra sambil tertawa. Mendengar hal itu Astriani serta Elin langsung tersenyum kecil, sementara Rima dan Mira terlihat kesal karena merasa dipermainkan oleh Indra.“Kalian berdua itu udah cantik, ramah, murah senyum gampang akur lagi,” goda Indra kepada Asti dan Elin.“Kang Indra memang kebiasaan,” tukas Elin tersipu malu.“Kang Indra emang nggak berubah ya, padahal udah lama kita nggak bertemu,” tutur Astriani. Me
Sementara itu di dekat perbatasan selatan Kadipaten Kupa sendiri para prajurit kerajaan dan para pendekar aliran putih sudah berkumpul dan siap untuk berangkat ke medan perang. Mahapatih Candra Durgala yang menjadi panglima perang sudah siap dengan pakaian perangnya. Jika sesuai waktunya siang hari ini mereka akan bergerak ke perbatasan Kadipaten Kupa yang akan menjadi medan perang besok harinya.Kawung Cala, Mahaguru Pratiwi serta Mahaguru Maung Lodra tampak berada di tenda Candra Durgala bersama Senopati Saktiwaja dan beberapa tokoh pendekar aliran putih serta petinggi kerajaan lainnya, hadir pula di sana Adipati Kupa, Adipati Tohaga dan Adipati Rohaka yang kekuasannya diambil oleh pendekar aliran hitam. Mereka tampak sedang mendengarkan laporan dari prajurit yang diutus untuk mengawasi medan perang.“Semua warga yang beradai di perbatasan Kadipaten Kupa sudah mengungsi semuanya. Penduduk yang berada di sekitar Gunung Manahsulaya juga sudah mengungs
“He? Jadi itu ya Gunung Manahsulaya,” ucap Indra sambil menatap gunung yang tinggi menjulang di depannya. Ki Sukmara dan yang lainnya juga ikut berhenti berjalan dan menatap gunung yang masih agak jauh dari tempat mereka berada.“Apa kita tidak salah jalan Ki?” tanya Mira.“Kelihatannya tidak,” jawab Ki Sukmara sambil terus memandang gunung tempat salah satu perguruan besar di Kerajaan Panjalu itu berada.“Memangnya kenapa Teh?” tanya Astriani seraya menatap Mira.“Aku hanya heran saja sebab kita rasanya terlalu mudah masuk ke wilayah musuh,” jawab Mira sambil merenung. Semua orang yang ada di sana tiba-tiba ikut terdiam, jika dipahami lebih dalam memang terasa cukup aneh.“Bukankah itu bagus? Kita bisa berjalan dengan sangat lancar seperti ini, apa yang harus dikhawatirkan,” tukas Rima yang seperti biasa selalu memilih untuk menentang pendapat Rim
“Heh tengil! Jaga ucapanmu. Aku tidak peduli kalian mau ada urusan atau tidak, yang jelas aku tidak akan membiarkan si peot Sukmara itu pergi begitu saja!” bentak Ki Baplang.“Indra sebaiknya kalian pergi saja melanjutkan perjalanan. Aku akan menghadapinya di sini. Kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu yang ada. Jika tidak maka perang akan keburu terjadi, terlebih aku yakin di Gunung Manahsulaya itu Wirarasa sudah menyiapkan pasukan untuk melindunginya dari berbagai titik. Kalian pasti akan berhadapan dengan mereka dulu sebelum bertemu Wirarasa, karena itu jangan buang-buang waktu di sini karena perjalanan kalian masih panjang,” ucap Ki Sukmara sambil memainkan tongkat di tangannya.“Loh, dia kan cuma sendiri Ki. Kalau kita keroyok bisa cepet mati dia,” kata Indra yang tidak setuju dengan usul Ki Sukmara.“Sudah aku bilang jaga ucapanmu! Kalau tidak kau juga akan mati di sini!” bentak Ki Baplang.
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari