“He? Jadi itu ya Gunung Manahsulaya,” ucap Indra sambil menatap gunung yang tinggi menjulang di depannya. Ki Sukmara dan yang lainnya juga ikut berhenti berjalan dan menatap gunung yang masih agak jauh dari tempat mereka berada.
“Apa kita tidak salah jalan Ki?” tanya Mira.“Kelihatannya tidak,” jawab Ki Sukmara sambil terus memandang gunung tempat salah satu perguruan besar di Kerajaan Panjalu itu berada.“Memangnya kenapa Teh?” tanya Astriani seraya menatap Mira.“Aku hanya heran saja sebab kita rasanya terlalu mudah masuk ke wilayah musuh,” jawab Mira sambil merenung. Semua orang yang ada di sana tiba-tiba ikut terdiam, jika dipahami lebih dalam memang terasa cukup aneh.“Bukankah itu bagus? Kita bisa berjalan dengan sangat lancar seperti ini, apa yang harus dikhawatirkan,” tukas Rima yang seperti biasa selalu memilih untuk menentang pendapat Rim“Heh tengil! Jaga ucapanmu. Aku tidak peduli kalian mau ada urusan atau tidak, yang jelas aku tidak akan membiarkan si peot Sukmara itu pergi begitu saja!” bentak Ki Baplang.“Indra sebaiknya kalian pergi saja melanjutkan perjalanan. Aku akan menghadapinya di sini. Kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu yang ada. Jika tidak maka perang akan keburu terjadi, terlebih aku yakin di Gunung Manahsulaya itu Wirarasa sudah menyiapkan pasukan untuk melindunginya dari berbagai titik. Kalian pasti akan berhadapan dengan mereka dulu sebelum bertemu Wirarasa, karena itu jangan buang-buang waktu di sini karena perjalanan kalian masih panjang,” ucap Ki Sukmara sambil memainkan tongkat di tangannya.“Loh, dia kan cuma sendiri Ki. Kalau kita keroyok bisa cepet mati dia,” kata Indra yang tidak setuju dengan usul Ki Sukmara.“Sudah aku bilang jaga ucapanmu! Kalau tidak kau juga akan mati di sini!” bentak Ki Baplang.
‘Tap’Hampir saja Ki Baplang terkena serangan andaikan dia tidak menggerakan tubuhnya ke samping. Ki Sukmara langsung memutar tubuhnya sembari memegang tongkat dengan kedua tangan secara horizontal menempel di punggungnya. Ki Baplang langsung menundukan tubuhnya ke bawah untuk menghindar hantaman tongkat. Akan tetapi Ki Sukmara mengubah gerakan tongkatnya secara diagonal mengincar tubuh Ki Baplang yang ada di bawah.‘Trang’Satu hantaman berhasil dihalau oleh Ki Baplang dengan goloknya, tapi tubuh Ki Sukmara langsung berputar berlawanan arah dengan sebelumnya membuat hantaman ujung tongkat lainnya datang dan berhasil menghantam leher bagian belakang Ki Baplang dengan telak. Suara benturan keras terdengar seiring dengan raut wajah Ki Baplang yang meringis kesakitan. Kemudian Ki Sukmara tidak membiarkan semuanya berakhir, dia mengayunkan tendangannya mengincar dada lawan.Kali ini Ki Baplang berhasil menahan t
Ki Sukmara mengelap darah dari tepi mulutnya sebelum dia membuat kuda-kuda gerakan silatnya lagi. Sementara itu Ki Baplang dengan sombongnya masih bertolak pinggang sambil tersenyum meremehkan. Saat Ki Sukmara maju menyerang barulah Ki Baplang memainkan golok di tangannya dan menangkis hantaman tongkat Ki Sukmara dengan mudah.Kali ini Ki Sukmara menghujani Ki Baplang dengan serangan tongkat secara beruntun, Ki Baplang sendiri dengan lincah terus meladeni setiap serangan lawannya. Semua serangan dari tongkat milik Sukmara berhasil ditangkis menggunakan goloknya, tak lama kemudian Ki Sukmara kembali mundur untuk menjaga jarak dan menghela nafas setelah cukup lama dia menyerang Baplang.“Hahaha.. kelihatannya nafasmu sudah semakin pendek Sukmara. Itu tandanya kau sebentar lagi akan mati,” ejek Ki Baplang sambil memainkan golok di tangannya.“Hehehe.. kematianku bukan ditentukan oleh dirimu Baplang, aku hanya berniat melihat seja
Deru angin yang riuh bergemuruh mulai bertambah kencang. Dedaunan dari batang pohon yang tumbang di belakang Ki Baplang bahkan langsung beterbangan karena sapuan angin yang bertiup bersama debu-debu dan kerikil. Kini kedua tangan Ki Baplang terlihat seakan-akan menjadi lebih banyak hingga mencapai sepuluh tangan di mata Ki Sukmara, tapi dia tidak gentar dan terus berkonsentrasi hingga kedua ujung tongkatnya mulai memerah layaknya besi yang dibakar. Getaran tanah terus terasa seiring angin yang terus bergemuruh.“Jangan remehkan umurku Baplang. Tubuhku memang sudah renta, tapi pengalamanku jauh lebih banyak darimu!” bentak Ki Sukmara seraya menghentakan kakinya ke tanah. Tubuhnya terlontar melesat secepat kilat menuju tubuh Ki Baplang yang masih terdiam dengan kuda-kudanya.‘Wwrrrrr’‘Ddhhhooommmrrrrr’‘Ggggrrrrrr’Riuh angin yang bertiup langsung bergemuruh mengiringi han
Saat suasana sudah gelap sepenuhnya Indra, Elin, Mira, Astriani dan Rima akhirnya sampai ke puncak gunung. Mereka tampak berdiam sebentar untuk beristirahat, jika sesuai arahan dari Maung Lodra seharusnya mereka tinggal sedikit menuruni gunung agar sampai di Perguruan Manahsulaya yang dikuasai Wirarasa.“Sejauh ini kita belum dihadang siapapun? Benar-benar tidak masuk akal,” ucap Rima.“Meski begitu kita harus tetap waspada,” kata Mira seraya meneguk air dari ruas bambu yang mereka bawa.“Hihihi.. mungkin mereka masih sibuk menyiapkan kejutan untuk kita,” ucap Indra yang langsung duduk di tanah.“Aku harap kejutannya bukan binatang melata,” tukas Astriani sambil tersenyum menimpali guyonan Indra.Tapi belum berapa lama mereka menghela nafas tiba-tiba saja belasan bayangan pendekar melesat mengepung mereka dari berbagai sisi. Sontak saja Indra dan yang lainnya langsung ber
“Apa kau tidak mau maju duluan?” tanya Ki Ireng.“Akumah duluan atau belakangan nggak ada masalah,” jawab Indra seraya berjalan mendekati Ki Ireng. Sementara itu Elin dan Rima sudah berhadapan dengan pria tinggi besar yang kedua tangannya masih berlumuran darah. Mira dan Astriani juga mulai saling menatap wanita paruh baya yang memegang kipas di tangannya.“Apa kau mengkhawatirkan mereka berempat?” tanya Ki Ireng sambil memainkan tongkat di tangannya.“Untuk apa? Asal kau tahu, mereka lebih kuat dari yang kau kira,” jawab Indra.“Hehe.. mungkin kau tidak tahu, tapi mereka berdua adalah pendekar aliran hitam yang tangguh dari Kerajaan Girilaya. Mereka adalah Brawara dan Nyi Rukmini. Bocah ingusan sepertimu pasti tidak akan tahu, tapi semua pendekar Kerajaan Girilaya mengenal mereka,” kata Ki Ireng yang kelihatannya coba menakut nakuti Indra. Ki Ireng tampak mulai membuat po
Ki Ireng berusaha bangkit lagi, tapi Indra tidak membuang waktu. Dia sadar jika melawan orang tua seperti Ki Ireng maka dia harus menguras tenaga lawannya secepat mungkin dan tidak boleh membiarkannya beristirahat. Indra melesat lagi dalam gerakan pertama pancalima, Ki Ireng yang baru bangkit langsung memainkan tongkatnya menghalau setiap pukulan beruntun yang datang.Tapi Indra terlihat berada di atas angin karena Ki Ireng mulai mundur perlahan agar bisa meladeni setiap serangan yang datang dari Indra. Suara benturan demi benturan terdengar begitu keras saat pukulan Indra ditahan oleh tongkat milik Ki Ireng. Indra yang memang dalam kondisi primanya terlihat bisa terus mendesak Ki Ireng tanpa henti.Beberapa kali Indra bisa menghujamkan serangan berbahaya yang hampir mengenai Ki Ireng. Andaikan lawan Indra adalah pendekar yang awam dengan gerakan pancalima niscaya sejak tadi dia sudah babak belur, namun Ki Ireng dengan segala pengalamannya bisa mengantisipa
‘Bregh’‘Beukh’Suara hujaman kaki Rima terdengar kencang saat menghantam tanah hingga berhamburan. Sementara itu tendangan kaki Brawara berhasil ditahan lengan kiri Rima meskipun dia terlihat kesakitan. Tubuh Rima langsung terdorong beberapa langkah ke samping saking kuatnya tenaga dari Brawara.“Serang lehernya teh,” ucap Elin pelan sambil mendekati Rima.“Ya, aku akan membuka celah. Jika ada kesempatan gunakan ilmu kanuraganmu untuk mengalahkannya,” bisik Rima seraya terus menatap Brawara yang baru bangkit kembali.“Kelihatannya dua wanita ini tidak bisa aku remehkan. Meski usia mereka begitu muda, tapi serangan mereka memang berbahaya dan sangat terlatih. Aku tidak menyangka para pendekar muda penerus di Kerajaan Panjalu bisa sekuat ini. terutama wanita mungil itu, Pemikirannya sangat tajam,” batin Brawara sambil menatap Elin.Di sisi lain Mir
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari