“Menurutmu bagaimana kekuatan pendekar dari kerajaan ini setelah bertarung dengan Jala?” tanya Juhama setelah cukup lama mereka berjalan.
“Hmm.. aku belum bisa menyimpulkannya, terlebih pertarungan tadi tidak menggunakan ilmu kanuragan sedikitpun,” jawab Indra.“Eh? Bukankah pukulan jarak jauh tadi merupakan ilmu kanuragan?” tanya Juhama.“Hihi.. bukan itumah, gampangnya itu cuma menggunakan tenaga dalam saja,” jelas Indra singkat.“Memangnya kau belum pernah bertarung dengan murid Perguruan Megasagara?” tanya Indra. Sebab seharusnya jika Juhama pernah berhadapan dengan murid Perguruan Megasagara dia mungkin tahu tentang gerakan pancalima.“Pendekar dari Megasagara ya. Rasanya belum pernah, terlebih tempat perguruan kami sama saja dengan dari ujung selatan Panjalu ke ujung utara. Jadi jarang-jarang ada murid perguruan kami yang bertemu dengan pendekar da“Yah mau bagaimana lagi. Padahal kerajaan kita bukanlah kerajaan yang miskin, para petingginya juga kebanyakan masih peduli kepada kondisi rakyatnya. Tapi tetap saja ada orang-orang yang serakah dan menghancurkan segalanya demi kepentingan pribadi saja. Kebanyakan sih biasanya orang-orang kaya yang begitu, kalau orang kecil sih mana berani melakukan hal itu. toh mereka juga tahu kalau hutan sangat bermanfaat bagi mereka sendiri,” timpal Juhama yang sependapat dengan Indra.“Nah itu. Padahal hanya ada beberapa orang kaya serakah saja di kerajaan kita tapi tetap saja menyusahkan. Coba bayangkan kalau semua orang kaya sama petinggi kerajaan di kerajaan kita serakah semua, bisa-bisa dijual kerajaan kita ke negara lain. Hihi.. kita warga aslinya makin sengsara nanti, tanah-tanah direbut sampe terpaksa ngontrak di tanah air sendiri,” tutur Indra sembari tertawa kecil.“Hahaha.. kau benar. Nanti nasibnya bisa jadi kaya Kerajaan Girila
“Kelihatannya kita sudah sampai di Perguruan Jatibuana,” ucap Juhama sambil berhenti berjalan setelah bisa melihat bangunan beberapa pondok besar dari kayu di kejauhan.“Ya, akhirnya perjalanan kita tidak sia-sia juga,” timpal Indra. Dia tidak berhenti melangkah dan terus berjalan menuju ke pagar bambu yang mengelilingi area Perguruan Jatibuana. Juhama juga kembali melangkah mengikuti Indra dari belakang.Terlihat jelas banyak murid-murid Perguruan Jatibuana sedang berlatih di halaman perguruan yang cukup luas. Jumlahnya mungkin ada sekitar tiga puluh orang lebih. Indra dan Juhama terus berjalan mendekati pintu masuk diantara pagar bambu yang terpancang rapi di sekitar area perguruan. Perhatian beberapa murid tampak mulai tertuju kepada mereka meskipun saat ini tidak ada satupun dari mereka yang menghentikan latihan.Dua pemuda dengan tubuh kekar serta tatapan tajam tampak memimpin jalannya latihan. Satu orang pemuda ber
“Hihihi.. nggak enak kalo harus memanggil nama tuan secara langsung. Terlebih tuan seorang guru di perguruan ini,” tolak Indra seraya tertawa kecil.“Itu benar tuan. Bagaimanapun kami tidak bisa selancang itu kepada tuan rumah,” timpal Juhama.“Yah, sebenarnya saya tidak terlalu terbiasa sih,” tukas Patra sembari menggaruk-garuk kepalanya.Tak lama kemudian dua pendekar wanita yang tadi pergi ke pondok lain kini datang ke gubug tersebut sambil membawa minuman dan makanan khas pegunungan. Mereka dengan hormat meletakannya di depan mereka bertiga, setelah menuangkan air putih ke dalam tiga cangkir bambu mereka kemudian pergi lagi untuk melanjutkan tugasnya.“Silahkan kisanak, cuma hanya ada ini saja di sini soalnya tidak ada makanan mewah di sini,” kata Patra seraya tersenyum.“Aduh malah jadi repot-repot,” tukas Indra seraya menggaruk garuk kepalanya karena mer
“Jadi kau sudah yakin akan berguru di sini?” tanya Indra kepada Juhama.“Tentu saja, tapi mungkin jika nanti telah melakukan latih tanding bisa saja pikiranku berubah,” jawab Juhama.“Kenapa tidak ikut saja denganku mengunjungi setiap perguruan besar di kerajaan ini? Mungkin nanti kau akan menemukan perguruan yang lebih cocok lagi,” usul Indra.“Kelihatannya akan memerlukan waktu lama untuk mengunjungi semua perguruan tersebut. Daripada membuang waktu untuk melakukannya lebih baik aku terus berlatih di sini,” kata Juhama.Tak lama kemudian Patra kembali datang menghampiri mereka berdua. Para murid yang tadi berlatih kini juga telah selesai dan sedang beristirahat di sekitar area perguruan. Seorang pemuda yang memimpin latihan tadi tampak segera mengikuti Patra. Jika dilihat jelas usianya kemungkinan jauh lebih tua dari Patra, mungkin dia hampir seumuran Indra atau lebih tua sedikit.
“Aku mengerti. Baiklah untuk Juhama, aku ingin melihat kemampuanmu untuk mempertimbangkan apakah kau bisa kami terima di sini atau tidak. Karena itu aku ingin kau bertarung dengan murid paguronku ini,” kata Waluya sembari mengalihkan pandangannya lagi kepada Juhama.“Baik Mahaguru, saya pasti akan menunjukan semua kemampuan saya,” jawab Juhama dengan girang.“Maaf Mahaguru, apakah saya juga diperbolehkan melakukan latih tanding dengan murid Perguruan Jatibuana?” tanya Indra seraya tersenyum.“Hahaha.. tentu saja. Lagipula murid-muridku tidak akan mundur menerima tantangan dari siapapun juga,” jawab Waluya sambil tertawa.“Patra, siapkan segalanya. Juhama, kau juga harus bersiap-siap. Sementara untukmu Indra, aku ingin berbicara empat mata denganmu di sini,” sambung Waluya dengan nada serius.“Baik Mahaguru,” jawab Patra.Sementera itu
“Apa maksud Mahaguru Waluya? Kenapa tiba-tiba saya berada dalam bahaya?” tanya Indra seraya mengernyitkan keningnya.“Aku yakin sebelum mengajarkan ajian gelap ngampar kepadamu kau pernah diberitahu oleh Maung Lara bahwa ajian terlarang milik paguron besar Kerajaan Galuh tidak boleh diajarkan kepada siapapun kecuali kepada keturunan Mahaguru paguron tersebut. Kepada murid dari Kerajaan Galuh sendiri saja tidak diperbolehkan, apalagi kepada orang luar kerajaan sebab itu sama saja dengan memberikan senjata rahasia Kerajaan Galuh,” jawab Waluya.“Mungkin itu semua pengecualian untuk para murid Margabuana sebab Purbakala sejak dulu memang tidak pernah peduli dengan aturan seperti itu. Hampir semua muridnya dia ajarkan ajian terlarang tersebut. Karena itulah dulu Margabuana tidak ada yang bisa menandingi sebab setiap muridnya saja bisa menggunakan ajian terlarang. Tapi sekarang berbeda, Margabuana juga sudah tidak ada,” lanjut
“Oh. Ya, tentu saja. Setiap paguron besar biasanya memiliki sebuah kitab berisi ilmu-ilmu kanuragan di paguron tersebut. Ajian terlarang juga ditulis di sana, hal itu bertujuan andaikan Mahaguru sebelumnya belum sempat mengajarkannya kepada penerusnya maka penerusnya masih tetap bisa mempelajari ajian terlarang tersebut dengan tujuan baik tentunya,” jelas Waluya.“Oh begitu. Pantas saja, hihi.. saya kira tadinya murid bisa mencuri begitu saja lewat mimpinya atau bagaimana,” tukas Indra.“Haha.. tidak juga. Yah meskipun sebenarnya ada Trah (keturunan) spesial di Galuh yang bisa melakukannya,” kata Waluya sembari tertawa.“Eh? Maksudnya bagaimana?” tanya Indra lagi agak terkejut mendengar perkataan Waluya barusan.“Lupakan saja. jika tidak ada pertanyaan lain lagi sebaiknya kau juga bersiap untuk latih tanding, kecuali kalau kau memang tidak ingin melakukannya,” ucap Waluya
“Serang aku kapanpun kau mau,” tantang Darga kepada Juhama setelah mereka berdua saling berhadapan satu sama lain.“Tanpa ragu aku akan melakukannya!” tegas Juhama yang wujudnya seketika lenyap dari pandangan Darga.“Ajian halimunan ya,” ujar Darga sambil menyeringai seakan tidak takut sedikitpun.“Tidak ada angin, di lapangan itu juga tidak terlalu berdebu dan berumput pendek saja. Akan sangat sulit mengantisipasi pergerakan dari Juhama kalau seperti itu,” batin Indra. Jika dia ada di posisi Darga mungkin satu-satunya pilihannya untuk menahan serangan Juhama hanyalah dengan memperhatikan rumput-rumput yang ada di tanah yang pasti bergerak saat dipijak.Namun Darga sama sekali tidak menundukan kepalanya, dia tidak bergerak sedikitpun dan menatap ke depannya seperti tadi. Indra mulai menyipitkan matanya seakan ingin lebih jelas melihat cara seperti apa yang Darga gunakan untuk menganti
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.âSilahkan temui Mahaguru di sana,â tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
âItu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,â potong Laila.âItu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,â kata Purnakala.âEh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?â tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.âSetââTapâTiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.âAda apa ini?â tanya Indra dengan waspada.âCih, gesit juga,â gerutu Laila.âBeukhââHeukh..â pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.âMaafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,â terdengar suara Purnakala pelan.âKenapa?â batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.âAku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
âSaya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,â ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.âPadahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,â batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
âApakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?â tanya Jaka dengan raut wajah serius.âTidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,â tegas Adiyaksa.âYahuuu! Huaaaahh!â tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.âApakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?â batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
âMira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?â batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.âHmmh..â Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari