"Apa maksudmu dengan ayah? Apa ia ayahmu?" Ki Janggan Nayantaka bertanya karena bingung dan begitu terkejut.
"Ia membuang aku dan ibuku. Ayahku membuang ibuku dan mengusirnya keluar dari Sundapura ketika aku berumur sepuluh tahun. Kami berdua hidup di gubuk tua dan berakhir dengan kematian ibuku karena penyakit aneh yang menyerangnya." Rangga Jaya menundukkan wajahnya. Ia teringat kembali dengan mendiang ibunya."Penyakit aneh? Penyakit seperti apa maksudmu?" Ki Janggan Nayantaka kembali bertanya."Seseorang yang memiliki kemampuan penyembuhan dan memiliki kesaktian mengatakan kepadaku tentang kebenaran dari penyakit itu. Ia bilang bahwa ada roh jahat yang merasuki tubuh ibuku dan menghisap semua saripati hidupnya. Dan orang yang melakukan semua itu adalah Raden Jaya Balangkara, ayahku sendiri." Rangga Jaya mengepalkan erat tangan kanannya. Amarah eindakam hatinya timbul."Sungguh biadab! Ia bukan ayahmu, ia adalah iblis! Menumbalkan istrinya send"Sangat menyusahkan! Ingin sekali aku segera menebas kepala orang itu!" Dewi Sari Kencana menunjuk ke arah Raden Jaya Balangkara. "Sebaiknya kita masuk sekarang. Tidak ada Buto dan para roh jahat lagi. Kita bisa memasuki kediaman Raden Jaya Balangkara dengan mudah saat ini." Rangga Jaya coba memberi saran. "Aku setuju dengannya." Dewi Sari Kencana menoleh ke Ki Janggan Nayantaka dan Larasati. "Aku ikut saja, bagaimana menurutmu, Ki Janggan Nayantaka?" Larasati bertanya. "Heuh… baiklah! Cepat kita masuk!" Ki Janggan Nayantaka akhirnya setuju. Rangga Jaya memandu mereka bertiga untuk melewati gerbang utama kediaman rumah Raden Jaya Balangkara. Anehnya tabir pelindung hitam yang menyelimuti rumah tersebut begitu mudah dilewati oleh Rangga Jaya yang merupakan manusia biasa. Melihat hal itu, Ki Janggan Nayantaka yang segera ingin masuk langsung menghentikan langkah dua wanita di belakangnya. Ia merasa ada yang aneh dari gelagat Rangga Jaya. Bagaimana mungkin manusia biasa bisa melewa
Panah Agneyastra melesak cepat menuju ke arah Rangga Jaya. Bola api raksasa yang besarnya sampai menutupi wilayah sebesar Sundapura pun juga dilemparkan oleh Rangga Jaya."Apa itu?!" Dewi Sari Kencana begitu terkejut dengan besarnya bola api tersebut."Bila bola api tersebut sampai menghantam permukaan tanah, maka Sundapura akan menjadi kawah raksasa." Ki Janggan Nayantaka yang ikut membantu mengungsikan penduduk terlihat khawatir."Apa kita harus membantu Arya Santanu?" Larasati ikut khawatir."Tidak perlu. Ia menyuruh kita untuk pergi, artinya ia memiliki rencana lain. Tapi, aku meragukannya. Kuharap ia tidak bodoh dan mati konyol di sana." Ki Janggan Nayantaka berdoa untuk keselamatan pemuda itu.Panah Agneyastra coba dikendalikan oleh Rangga Jaya dengan pengendalian api dan teknik pengekang udara milik Pilar Udara. Namun kedua hal tersebut tidak bisa dilakukan. Panah Agneyastra adalah kumpulan energi api suci milik Dewa Agni yang merupakan senjata berbentuk pusaka Dewata. Sulit un
Asura menggunakan kontak batin dengan memanfaatkan fungsi dari gelang pemberian Ki Janggan Nayantaka. Ia memberikan pesan kepada mereka semua. Kali ini, Asura akan melawan boneka milik Hirayaksa bersama Arya Santanu saja. Ia meminta kepada semuanya untuk bergegas pergi menuju ke pelabuhan dan berlayar menuju ke Swarnadwipa. "Kau yakin dengan keputusanmu? Kita tidak tahu seberapa kuat boneka itu." Ki Janggan Nayantaka berbisik ke arah Asura."Jangan meremehkanku, Kakek tua. Aku bahkan belum menggunakan bola jiwaku yang kedua." Asura bersikeras dengan keputusannya."Ingatlah, jangan sampai mati. Setidaknya kembali dan menyusul ke Swarnadwipa meski kau telah kehilangan kedua tangan dan kakimu." Dewi Sari Kencana pamit."Jaga dirimu baik-baik, tikus." Larasati menepuk pundak Asura."Aku bukan tikus! Setidaknya panggil namaku, dasar wanita bodoh!" Asura kesal dengan celotehan Larasati."Hati-hatilah, kita tidak tahu apa lagi rencana milik para iblis itu. Aku takut kapal kalian akan diteng
Kedua mata Asura terbelalak ketika seratus tombak tersebut datang ke arahnya. Sekilas ia melihat raut wajah Hirayasura yang begitu senang dengan membuka kedua mulutnya dan mata melotot tajam, seakan ia menginginkan kematian Asura. Arya Santanu mencoba untuk melakukan sesuatu, namun tidak ada satu pun jalan keluar yang ia pikirkan untuk menyelamatkan si iblis tersebut. "Teknik gerak kilat!" Tanpa diketahui, sukma milik Aji Sangkala mendatangi Asura dan berdiri di belakang iblis merah tersebut. Saat ia berada di belakang Asura dengan menggunakan gerak kilat miliknya, pancaran kilat dari petir putih miliknya bersinar terang. Seratus tombak yang ingin menghujam tubuh iblis tersebut terlihat melambat."A–Aji Sangkala…?" Asura merasakan kehadiran sukma dari temannya. Ia sangat terkejut ketika ia mendatangi dirinya. Aji Sangkala menepuk punggung Asura dan mereka berdua menghilang begitu cepat dari sana. BRAK!!!Seratus tombak logam hitam saling menghantam satu sama lain. Suaranya begitu
Api suci keluar dari mata pedang dan membakar tubuh Hirayasura dengan begitu cepat. Tubuh dari boneka itu perlahan hangus terbakar menjadi abu, di mulai dari pusat tempat ia ditusuk, lalu semuanya menjalar ke bagian tubuh lainnya. Pedang Anala bahkan mampu untuk melelehkan satu buah gunung dan menguapkan air sungai dengan sangat cepat saat ia ditenggelamkan ke dasarnya. "Ku–Kurang ajar!" Hirayasura berusaha untuk melarikan diri sebelum tubuhnya benar-benar hancur seutuhnya. Ia mengayunkan pedang Tembadau Ireng miliknya ke arah belakang. Hirayasura mencoba menggapai tubuh Arya Santanu yang dikendalikan oleh Asura agar ia memiliki kesempatan untuk membebaskan diri. Namun sayangnya kesempatan seperti itu tidak diberikan oleh Asura. Ia menggenggam erat pedangnya dan menarik pedang Anala ke atas. Asura memotong leher Hirayasura hingga menuju ke kepala. Akhirnya, pedang Anala memotong kepala boneka itu dan bebas dari tubuh Hirayasura. Asura langsung berpindah tempat dengan gerak kilat mi
Awan hitam berselimut kilatan petir yang bergemuruh sangat kencang terlihat begitu menakutkan dari sudut pandang kapal layar usang milik Banyu Sangkala. Tiupan angin yang menggerakkan air laut hingga menciptakan ombak besar membuat kapal layar itu terombang-ambing. Beberapa awak siaga di setiap sudut kapal. Ada yang menjaga tali layar dan kemudi kapal. Banyu Sangkala memberi perintah kepada para awaknya untuk tetap waspada terhadap terjangan ombak besar. Terutama pada bagian layar yang harus memastikan kecepatan angin. Ia sendiri berada di belakang kemudi kapal bersama ahli navigasinya. "Entah kenapa, aku ingin sekali muntah.""Uuuok!"Larasati mulai mabuk laut. Beberapa kali ia mencoba untuk muntah, namun ia menahannya sambil berpegangan pada tiang layar. Dewi Sari Kencana yang memiliki elemen es tidak begitu peduli dengan guncangan dan goyangan kapal karena ombak lautan. Ia justru bermeditasi dengan duduk bersila di atas geladak kapal. Namun beberapa kali air laut mengguyur tubuhn
Makara hitam tersebut belum mengetahui kedatangan dari sukma Aji Sangkala yang melesak cepat ke arah dirinya. Laju makhluk tersebut semakin cepat dan kian mendekati kapal layar milik Banyu Sangkala. Beberapa meter saja sebelum kapal tersebut dilahap masuk ke dalam mulut makhluk besar itu. "Banyu! Cepat berbelok!" Larasati melihat besar mulut dari makhluk tersebut sampai membuatnya terbelalak.Ia melotot dan menganga menyaksikan gigi runcing sebesar kapal layar yang kian mendekat. Bahkan hawa napasnya pun semakin terasa. Larasati merasa degup jantungnya menjadi lebih cepat. Rasa takutnya merubah pikirannya menjadi tidak karuan. Ia panik."Banyu, cepat!" Larasati berteriak."Kapal ini bergerak tergantung angin dan arus laut! Kau pikir kapal ini bisa bergerak sendiri?!" Banyu Sangkala belum mengetahui bila kapalnya juga dibantu bergerak dengan ditarik oleh seekor paus putih.Namun, kecepatan paus putih berenang tidak mampu menandingi kecepatan milik Makara hitam. "Busur Wijaya; panah p
Dewi Sari Kencana mengayunkan pedangnya ke arah puluhan panah. Ia membekukan mereka semua dan membuat seluruh anak panah tersebut berjatuhan bagaikan burung yang mati. Larasati mengubah pedangnya menjadi kelopak bunga cempaka putih. Ia mengendalikannya dan membuat seluruh kelopak bunga menerjang ke arah dermaga pelabuhan. Ia membuat seluruh siluman tersebut terkena ilusi. "Kurasa mereka sudah tidak berulah lagi." Dewi Sari Kencana menyarungkan pedangnya. "Cepat berlabuh, aku ingin tahu siapa para siluman ini." Ki Janggan Nayantaka meminta kepada Banyu Sangkala.Kapal layar Banyu Sangkala tidak bisa berlabuh terlalu dekat. Ia takut bila ada serangan kejutan dan malah membuat kapal tersebut kenapa-napa. Banyu Sangkala memilih untuk menurunkan perahu kecil dan meminta Ki Janggan Nayantaka, Larasati, Dewi Sari Kencana, Arya Santanu dan Asura untuk mendayung ke daratan."Aku akan kembali ke Sundapura. Bila ada apa-apa segera hubungi aku." B