“Nah, sekarang giliran kau, Arya. Coba kau praktekkan jurus yang baru saja aku peragakan,” kata Wisangpati ingin segera melihat apakah Arya Wisesa langsung paham dan langsung bisa memperaktikkan jurus yang diajarkannya.‘Hiatttt….!’Arya Wisesa langsung bergerak memutar tubuhnya sambil mengeluarkan dua pukulan dan satu tendangan, mencoba menggerakkan jurus itu sesuai dengan yang sudah dicontohkan oleh Wisangpati. Dan ia juga mengakhiri jurus itu dengan sebuah lompatan tinggi dan tendangan beruntun ke arah delapan penjuru mata angin.“Arya, gerakanmu masih belum sempurna. Kau harus memperhatikan lagi sasaran dari pukulan dan tendanganmu itu. Tidak boleh asal menyerang saja,” kata Wisangpati, tampaknya ia masih belum puas dengan gerakan Arya Wisesa.“Oh, baik Paman. Aku akan mencobanya lagi,” sahut Arya Wisesa.Namun setelah mencoba untuk yang kedua kalinya, Wisangpati masih belum puas dengan gerakan Arya Wisesa. Dan menurutnya serangan-serangannya itu belum benar-benar tepat mengarah k
Arya Wisesa benar-benar menuruti perintah Wisangpati dan hampir setiap malam ia tidak tidur karena melatih teknik pernafasannya demi bisa mengaktifkan cakra dalam tubuhnya. Setelah dua minggu berlalu, maka ia pun memperoleh hasilnya.Wisangpati langsung menguji kekuatan tubuhnya. Pada minggu ke dua itu masih di halaman rumahnya pula pada siang hari yang terik, ia menyuruh Arya Wisesa melepas bajunya dan melakukan sikap kuda-kuda tegak dengan kedua lutut menekuk ke samping.Laki-laki paruh baya itu pun mengambil sebatang kayu keras seukuran betisnya lalu berkata pada Arya Wisesa, “Pejamkan matamu, tarik nafas dalam-dalam lalu tahan nafasmu di perut.”Arya Wisesa pun langsung melakukan apa yang diperintahkan Wisangpati. Dan ketika ia terlihat sudah menahan nafasnya sambil terpejam seperti itu, sekonyong-konyong Wisangpati langsung mengayunkan batang kayu yang keras itu memukul perutnya!‘Krakkkk….!’Batang kayu itu langsung patah menjadi dua! Tubuhnya menjadi keras, seolah kayu itu dipu
“Tapi apakah Paman akan ikut mengantarku ke bukit yang akan menjadi tempat meditasiku itu?” tanya Arya Wisesa.“Ya, aku akan ikut, tapi hanya sekadar mengantarmu saja. Jadi apa pun yang terjadi padamu, kau sendiri yang harus menyelesaikannya. Aku tak berhak untuk memberi bantuan atau pun bimbingan lagi. Selanjutnya kau punya kendali sendiri atas apa yang terjadi. Kau punya pilihan untuk menyerah atau terus melanjutkan meditasimu hingga berhasil. Semuanya bergantung pada dirimu sendiri,” jawab Wisangpati.*****Keesokannya pada malam hari mereka berangkat menuju bukit. Bulan bersinar terang menyinari keadaan sekitar, itu adalah tempat yang tenang dan hening, dan tampaknya memang sangat cocok digunakan untuk bermeditasi.Bukit itu tampak seperti taman yang lapang dengan rumputnya sangat halus. Di sekelilingnya tumbuh pohon cemara dan pohon pinus yang mengitari bukit itu.“Silahkan kau persiapkan dirimu, Arya. Ambil posisi yang nyaman, karena kau akan bermeditasi dalam waktu yang cukup l
Ia sudah benar-benar ingin menyerah, fisiknya benar-benar terkuras habis dan mentalnya mulai menciut. Ia sudah tidak tahan dengan gangguan-gangguan itu lagi. Namun di saat-saat kritis seperti itu ia berusaha mengingat pesan Wisangpati agar berusaha tetap tenang pada saat situasi tersebut, karena bagaimanapun ini adalah meditasi tingkat akhir menuju tingkat ke lima yang sebisa mungkin harus berhasil dilaluinya.Setelah ingat pesan dari gurunya itu, maka Arya Wisesa tak berusaha melawan ketakutan itu, melainkan mencoba berdamai dan menerima rasa takut yang ‘menyerang’ dirinya itu. Ia membiarkan semuanya terjadi apa adanya dan kembali melihat ke dalam dirinya bahwa rasa takut adalah perasaan alamiah yang dimiliki oleh setiap manusia.Lambat laun sosok ular yang membelit tubuhnya itu melepaskan dirinya sendiri. Rasa sakit dan panas yang sempat menjalari tubuhnya juga perlahan hilang. Nafasnya kembali melambat dan ia kembali lebih tenang daripada sebelumnya.Dan tiba-tiba ular besar berkep
Pagi itu mereka berdua ditugaskan oleh Wisangpati untuk berbelanja ke pasar, dengan berjalan kaki menyusuri jalan desa. Cuaca cukup cerah dan keduanya tampak semangat setelah sekian lama bisa berjalan berdua kembali.“Dengan keadaanmu sekarang, seandainya ayahku memerintahkan kita kembali ke Hutan Balungan untuk meringkus rampok-rampok jahat itu, apakah kau siap, Arya?” tanya Dewi Raraswati sambil tersenyum.“Aha-ha, tentu saja aku siap, Dewi. Paman Wisangpati telah mengajariku jurus untuk menghadapi keroyokan lawan, aku pasti tidak akan gagal lagi dalam meringkus mereka semua,” sahut Arya Wisesa.“Oh, rupanya kau tidak kapok juga ya?” ledek gadis itu.Arya Wisesa tersenyum, lalu menyahut, “Sudah berulang kali kukatakan, Dewi. Akan kupertaruhkan seluruh jiwa dan ragaku untuk membela kebenaran, dan tentu saja untuk menjagamu.”“Duh, kenapa perutku tiba-tiba mual ya, setelah mendengar gombalanmu itu?” respon gadis itu agak menyebalkan, sambil berpura-pura memegangi perutnya.Membuat Ary
“Kemana kita akan pergi, Ayah?” tanya Dewi Raraswati, setelah ia mendengar keputusan dari ayahnya yang akan segera meninggalkan Desa Gandareksa demi keselamatan Arya Wisesa.“Aku sudah punya tujuan, kita akan pergi ke Gunung Kaweruh yang berada di arah timur. Kira-kira butuh perjalanan lima hari dari desa ini untuk sampai di sana,” jawab Wisangpati.Gadis itu pun mengangguk, dan laki-laki paruh baya itu pun menceritakan tentang tempat itu serta alasannya kenapa ia memilih untuk memutuskan pergi ke sana.“Ketahuilah Arya, tempat itulah yang dulu pernah menjadi pusat belajarnya para pendekar-pendekar hebat, termasuk aku dan gurumu Saka Dirga. Bahkan Bara Jugal juga pernah belajar ilmu silat di sana, tapi sayangnya dia justru melanggar sumpahnya sendiri dan malah berubah menjadi pendekar jahat.Meski hanya setahun aku belajar di sana, tapi banyak sekali kenangan yang tak bisa aku lupakan. Karena sebab itulah aku ingin pergi ke sana. Aku merasa rindu berlatih di tempat itu. Dan sudah saat
“Sial! Sepertinya mereka sudah pergi dari rumah ini,” gerutu Garang Bonggol.“Aku yakin, mereka belum jauh dari sekitar sini, Ketua.” Salahsatu anak buahnya menyahut.“Ya, tapi kemana perginya mereka? Hanya ini saja informasi yang berhasil kita dapat,” kata Garang Bonggol.“Sepertinya hanya ada dua kemungkinan. Mereka pasti tidak akan berani pergi ke arah selatan karena mereka harus melewati keramaian. Mereka juga pasti tak akan mungkin pergi ke Hutan Balungan karena tau kita menghuni hutan tersebut. Jadi hanya ada dua pilihan bagi mereka, arah timur atau arah barat.” Anak buahnya yang bernama Muladra itu kembali menyahut dan memberikan jawaban yang masuk akal.“Ah, kau benar juga, Muladra. Nah, sekarang begini saja, kita bagi tugas. Aku bersama Sukoco akan pergi ke arah barat. Sedangkan kau Muladra, pergilah ke arah timur bersama Balabrak dan Malawi. Dan tempat ini kita jadikan sebagai titik kumpul kita. Bagaimana, setuju?” Ketua rampok itu langsung memberi perintah sekaligus usulan
“Apa rencanamu, Muladra?” tanya Balabrak.“Bila situasinya sudah tepat, kita sergap gadis itu dari belakang. Kita culik dan ikat dia sebagai tawanan. Pasti bocah tengik itu tidak akan berkutik, dan kita bisa menaklukkannya dengan mudah. Dia pasti menyerah tanpa syarat dan mau mengikuti kemauan kita karena tidak mau gadis itu celaka!” ujar Muladra dan tampak senyum seringai jahat di wajahnya.“Aha-ha, kau memang pintar Muladra. Aku sangat setuju dengan rencanamu,” sahut Balabrak makin semringah.“Tolol! Sudah kubilang jangan berisik, kau masih juga tertawa!” tegur Muladra. “Kita akan bagis tugas, aku akan menyergap dan mentotok gadis itu dari belakang, dan kau bersama Malawi bersiaga untuk berjaga-jaga, siapa tahu ada orang yang tiba-tiba datang menolong gadis itu.”“Beres, itu perkara mudah!” sahut Malawi.Mereka pun langsung menjalankan rencananya.Saat Dewi Raraswati sedang lengah, Muladra langsung keluar dari semak-semak dan berlari tampak ringan dan senyap, lalu langsung menyergap
“Ya, betul. Mulai saat ini aku dan seluruh pendekar Gagak Hitam menyatakan akan selalu setia pada Saudara Arya Wisesa. Untuk itu kami mempersilahkan Saudara Arya yang memilih sendiri nama perguruan yang cocok untuk kami.” Jaya Wiguna ikut menambahkan.“Terimakasih atas penawaran dari Saudara semuanya. Untuk menjadi pemimpin, sepertinya aku masihlah belum layak. Aku sungguh sangat menghargai niat Saudara berdua yang ingin menyatukan perguruan, aku mendukung niat baik Saudara berdua. Tapi maaf aku belum bersedia untuk menerima tawaran ini.” Arya Wisesa menjawab.Namun penolakan itu sepertinya membuat Purwasena dan Jaya Wiguna makin berusaha keras membujuknya untuk bersedia menjadi pemimpin mereka dan mendirikan perguruan baru yang lebih kuat.Karena tentu harus ada pemimpin baru ketika dua perguruan ini ingin bersatu. Tak mungkin Purwasena atau Jaya Wiguna sendiri yang menjadi pemimpin dari dua perguruan ini, yang pasti akan menimbulkan banyak ketidaksetujuan. Mereka hanya ingin Arya Wis
Para pendekar itu menjadi saling pandang dan bertanya-tanya, pedang apa yang sedang dipegang oleh Arya Wisesa? Dan dari mana pula ia bisa mendapatkan pedang sebagus itu? Mereka tampak takjub dan perhatian mereka kini justru menjadi terfokus pada Arya Wisesa. Dan untuk sementara menghentikan pertarungan yang sempat berlangsung sengit.“Sekali lagi kuperingatkan! Hentikan pertarungan kalian, atau akan kubuat rata tempat ini!” ancam Arya Wisesa tak main-main sambil ia mengacungkan pedang itu ke atas langit.Sebuah sinar hijau terus memancar dan kini bumi menjadi sedikit bergoncang. Membuat mereka tak percaya dan tubuh mereka sedikit terhuyung terombang-ambing ke kanan dan ke kiri.Mereka mulai takut dan dibikin ngeri oleh Arya Wisesa. Kepanikan itu tak bisa disembunyikan dari wajah mereka. Membuat salahsatu pendekar Bangau Merah akhirnya mau menuruti perintah Arya Wisesa.“Cukup Saudara, kami mengakui kau pendekar hebat. Dan pedang yang kau punya itu sepertinya punya kekuatan yang tak ter
Mereka berlari ke arah gerobak yang ditarik oleh kuda itu. Dan ketika kain hitam itu tersingkap, barulah ketahuan bahwa yang mereka bawa digerobak itu ternyata adalah senjata! Bukan perbekalan atau pun logistik seperti yang dikatakan oleh Jaya Wiguna.Apakah Gagak Hitam sengaja melakukan itu? Kalau itu sengaja dan sudah direncanakan, maka jelas Jaya Wiguna telah berdusta dan melanggar kesepakatan. Ia telah berkhianat dan ia bukan saja telah menyakiti hati para pendekar Bangau Merah, tapi juga sudah memicu api dendam dalam diri mereka.Kini bukan saja jumlah mereka yang jauh lebih unggul, tapi mereka juga menggunakan senjata untuk bertarung. Situasi seperti ini tentu saja tidak menguntungkan bagi Bangau Merah. Sehingga itu membuat Purwasena makin naik darah.“Jahanam, kau Jaya Wiguna! Rupanya kau telah berdusta dan melanggar kesepakatan di antara kita. Kau memang bedebah dan licik!” gerutu Purwasena, wajahnya makin membesi dibalut amarah.“Hua-ha-ha, ini konsekuensi yang pantas diterim
“Saudara Jaya Wiguna seharusnya menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas kejadian ini. Saudara seharusnya bisa mencegah hal itu tidak terjadi. Saudara tidak bisa lepas tangan begitu saja!” kata Purwasena mulai menekan.“Saudara tidak perlu menasehatiku terlalu jauh! Muridku juga tidak akan bertindak sejauh itu, kalau Saudara bisa mendidik murid Saudara sendiri dengan benar! Dan tidak menjadi pendekar yang gemar mengeroyok pendekar perguruan lain sampai meninggal!” Jaya Wiguna tak mau kalah dan malah balik menekan.“Aku tidak bermaksud menasehati, Saudara. Tapi aku sangat menyayangkan tindakan dari pendekar Gagak Hitam yang merespon kejadian itu terlalu berlebihan dan sangat tidak manusiawi! Itu sangat biadab, Saudara!” Purwasena tidak berhenti dan terus menekan.“Huh! Lalu apakah tindakan pengeroyokan sampai menghilangkan nyawa itu adalah tindakan yang tidak biadab? Saudara harusnya berkaca dulu sebelum berbicara!” timpal Jaya Wiguna tak kalah keras.Kedua pemimpin Perguruan
“Baik, kami akan menyampaikan ini pada Perguruan Bangau Merah. Semoga pada waktunya kita bisa bertemu kembali dan menyepakati apa yang telah kita bicarakan.” Wisangpati menyahut.“Oh ya, sebelumnya aku meminta izin untuk memperkenalkan diri. Aku Jaya Wiguna, ketua Perguruan Gagak Hitam.” Akhirnya orang itu memberi tahu namanya.“Sebuah kehormatan bagiku bisa bertemu dengan saudara Jaya Wiguna,” sahut Wisangpati.“Baiklah saudara Wisangpati, kami perkenankan kalian berdua untuk kembali ke Perguruan Bangau Merah dan menyampaikan apa yang menjadi keinginan kami,” kata Jaya Wiguna.Wisangpati dan Arya Wisesa kompak menjura dan mereka pun segera bergegas kembali ke Perguruan Bangau Merah.Dengan menunggangi kuda perjalanan mereka menjadi lebih cepat. Terlihat para pendekar Bangau Merah sudah menunggu kepulangan mereka sore itu. Mereka penasaran apa hasil yang didapat oleh Wisangpati dan Arya Wisesa yang mereka utus melaksanakan misi diplomasi mewakili perguruan mereka.Namun karena hari ma
Mereka segera berangkat ke Perguruan Gagak Hitam yang ada di desa sebelah utara. Memang batas desa ini hanya dipisah oleh sebuah sungai lebar yang membentang dari timur ke barat.Untuk masuk ke desa itu harus melalui sebuah jembatan yang lebarnya hanya bisa dimasuki dua kuda. Itu sudah cukup bagi mereka. Dan Perguruan Bangau Merah tak keberatan untuk meminjamkan kuda sebagai tumpangan mereka.Cukup dalam setengah hari dengan menunggangi kuda waktu yang mereka tempuh untuk sampai di Padepokan Perguruan Gagak Hitam. Saat mereka tiba di sana, situasi tak kalah ramai dan nampaknya orang-orang di perguruan itu juga sedang mengadakan rapat darurat. Rapat itu lebih sunyi dan rahasia, karena mereka terlihat hanya berbisik satu sama lain.Namun mereka terlihat panik tatkala melihat kedatangan dua orang asing yang menunggangi kuda menuju padepokan mereka. Beberapa orang langsung cabut senjata dari balik pinggang mereka, hanya pemimpinnya saja yang terlihat tenang sambil memperhatikan waspada.D
“Mereka semua sangat biadab! Kenapa harus menyerang warga desa yang tidak bersalah? Mereka telah melanggar sumpah mereka sendiri sebagai seorang pendekar!” Arya Wisesa ikut marah ketika mendengar penjelasan dari nenek tua itu. Ia tampak terkejut dan tidak percaya dengan kebiadaban yang telah dilakukan oleh Perguruan Gagak Hitam.“Aku pun tak tahu, Den. Sepertinya tidak lama lagi akan terjadi peperangan besar antara dua perguruan ini. Aku hanya bisa berharap pertolongan Dewa segera datang. Dan ada orang yang bisa menengahi konflik ini, agar tidak ada lagi korban yang berjatuhan,“ sahut si nenek terlihat lemas dan pasrah terhadap keadaan.“Kalau kami boleh tahu, di mana letak Perguruan Bangau Merah itu, Nek?” tanya Wisangpati.“Kisanak berdua terus saja menyusuri jalan desa ini. Setelah melewati rumah terakhir, Kisanak berdua belok saja ke kanan, ada jalan yang agak menanjak menuju sebuah bukit. Nah, dari kejauhan pasti terlihat ada bangunan padepokan di bukit itu,” jawab si nenek.Mere
“Idemu tidak terlalu buruk,” kata Garang Bonggol.“Tapi sedari awal aku ingin pemuda itu yang berhasil kautangkap, sehingga aku bisa langsung membawa pemuda itu ke hadapan Tuan Bara Jagal. Dengan begitu, dia akan memberiku imbalan besar dan kenaikan pangkat. Sayangnya kau tak bisa memenuhi keinginanku, jadi aku terpaksa tak akan memberimu imbalan tambahan,” lanjutnya.“Sekarang, begini saja Tuan, cepat atau lambat pemuda itu pasti akan datang ke Padepokan Perguruan Naga Api. Kita sebar seluruh pasukan kita untuk berpatroli di setiap sudut sebelum masuk ke area padepokan. Saat dia datang dan sebelum benar-benar sampai di padepokan, kita akan sergap dan lumpuhkan dia bersama-sama!” Kebo Ijo memberi ide lagi.Garang Bonggol tampak berpikir dan tak langsung setuju dengan ide Kebo Ijo. Setelah berpikir sejenak ia pun menyahut, “Hmmm, aku kurang setuju dengan idemu. Karena tentu kita perlu mengerahkan pasukan yang lumayan banyak, sedangkan kita tidak tahu pemuda itu akan masuk ke padepokan
“Kalian semua mundur! Dan kembalilah ke kuda kalian masing-masing!” seru Kebo Ijo kepada sepuluh orang prajurit itu.Mereka senang bukan kepalang, karena beberapa orang di antaranya terlihat sudah mulai kehabisan tenaga. Ada yang terpincang-pincang, ada yang lebam-lebam di bagian wajah, ada yang memegangi perutnya, dan ada yang terluka di bagian bibirnya akibat bertarung dengan Wisangpati.“Dengar, orangtua payah dan pemuda bodoh! Jika kalian ingin gadis ini selamat, temui aku di Padepokan Perguruan Naga Api!” kata Kebo Ijo memberi pesan ancaman kepada Arya Wisesa dan Wisangpati.“Keparat kau, manusia hina! Aku akan menghajar dan memenggal kepalamu sekarang juga!” bentak Arya Wisesa seraya berdiri dan satu tangannya sudah mulai memegang hulu pedang yang tergantung di punggungnya.Ia sadar kekuatan fisiknya mulai melemah akibat racun yang terus masuk menjalari seluruh tubuhnya itu.“Terus saja kau mengoceh sesukamu! Dan serang aku jika tenagamu masih cukup. Ketahuilah, kalau kau tak pa