Gangguan-gangguan yang mereka terima selama perjalanan di hutan itu tidak hanya berlangsung pada siang hari saja, tapi ketika malam tiba mereka dikejutkan oleh suara-suara aneh yang terdengar menggema di sekeliling mereka. Jelas saja, itu membuat keduanya gelisah dan menjadi terganggu akhirnya waktu istirahat mereka.Suara itu terdengar mirip seperti suara tawa raksasa, terdengar besar dan menggelegar.Mula-mula suara itu hanya terdengar dari kejauhan, lalu suara itu lama-lama makin terdengar mendekat dan semakin terdengar jelas oleh telinga mereka.‘Hua-ha-ha-ha-ha…!’Seperti itulah bunyi suara tawa yang terdengar menyeramkan itu.Ditambah keadaan hutan yang gelap dan sepi membuat suasana terasa makin mencekam, dan hawa dingin makin terasa menyentuh kulit mereka.Tidak ada bulan, juga tidak ada bintang yang bersinar di atas langit sana, benar-benar gelap. Hanya api unggun satu-satunya yang menerangi sekeliling mereka.“Arya, kau dengar suara itu?” tanya Dewi Raraswati.“Ya, aku bisa
“Awas, Dewi….!” teriak Arya Wisesa yang berdiri paling depan.Ia langsung saja melompat ke depan sambil merunduk rendahkan tubuh, dengan posisi langsung tiarap di tanah. Sementara Dewi Raraswati memilih meloncat ke atas, sejauh lima tombak dengan ilmu meringankan tubuhnya.Hampir saja sejengkal lagi batang pohon itu menghantam kakinya, tapi beruntunglah gadis itu cukup cepat dan tak terlambat, sehingga ia berhasil menghindar dan batang pohon itu hanya menabrak pohon lain yang ada di belakangnya hingga patah jadi dua.Sekarang giliran Arya Wisesa yang meloncat ke atas sejauh tiga tombak, sambil melemparkan sebuah batu yang ia pungut dan disertai kekuatan tenaga dalamnya menyasar kepala makhluk tinggi besar itu.Sialnya, sebelum batu itu benar-benar mendarat di kepalanya, makhluk penunggu hutan itu tiba-tiba lenyap menghilang, mengeluarkan asap putih tebal, seolah batu yang dilemparkannya itu menembus tubuhnya yang berubah menjadi asap itu. Dan tahu-tahu, makhluk itu sudah berpindah ada
Dari perjalanan yang banyak membuahkan pengalaman penting itu, akhirnya ikatan batin di antara mereka terus tumbuh dan menjadikan keduanya sepasang pendekar yang saling melengkapi satu sama lain.Di situlah letak kekuatan yang sesungguhnya, karena sesulit dan seberat apa pun ujian yang dihadapi akan terasa lebih ringan apabila diselesaikan bersama-sama. Saat satu dari kedua yang berpasangan itu hilang, maka tentu saja setengah kekuatannya pun akan hilang.Setelah keadaan yang cukup berbahaya dan mengancam nyawa itu berhasil mereka kendalikan, mereka pun memutuskan kembali melanjutkan perjalanan. Keduanya harus segera sampai di tempat yang mereka tuju sebelum matahari tenggelam, agar tidak sampai kemalaman. Karena keadaan itu akan menyulitkan mereka berdua dan pastilah lebih menguntungkan para perampok itu.Khawatir masih ada buaya lain yang hidup di sungai itu, Arya Wisesa berkata pada Dewi Raraswati, “Tak aman sepertinya kalau kita langsung terjun ke air untuk menyebrangi sungai ini.
“Itu baru permulaan, bocah tengik!” kata si ketua rampok yang masih berdiri di atas sana. “Kasihan juga melihatmu bertarung sendirian. Baiklah kukabulkan permintaanmu!”Maka melesatlah parangnya yang seperti bumerang itu berputar-putar di udara dan memutus tali yang mengikat kaki Dewi Raraswati.Melihat keadaan itu, Arya Wisesa langsung berlari dan melompat ke area di mana Dewi Raraswati akan segera mendarat setelah meluncur dari atas dalam posisi menukik. Ia langsung merentangkan kedua tangan di depan, bersiap menangkap tubuh Dewi Raraswati.Gadis itu menjerit karena tampak kesulitan menyeimbangkan tubuhnya. Dan sekira tujuh detik lagi gadis itu akan segera terjatuh ke tanah, Arya Wisesa langsung menangkapnya dan berhasil menyelamatkan si gadis dalam dekapannya. Hingga mereka terguling-guling bersama dengan posisi tak sengaja berpelukan.Keadaan itu membuat kening gadis itu terluka dan mengeluarkan darah. Kepalanya membentur tanah yang berkerikil sehingga keningnya itu sedikit tergor
Garang Bonggol si ketua rampok itu langsung menggerutu ketika melihat ketiga anak buahnya mundur terhuyung dari gelanggang pertarungan. “Huh! Bodoh kalian! Menghadapi bocah-bocah ingusan seperti itu saja tak becus!”“Ternyata bocah-bocah itu punya ilmu silat yang lumayan, Ketua. Apalagi yang lelaki, dia cukup berbahaya dan bertarung seperti srigala,” sahut anak buahnya yang terkena cakaran itu.“Ahhh, banyak alasan! Biar aku sendiri yang turun tangan!” katanya sambil mengepalkan kedua tangan.Ia langsung melompat sambil menjulurkan satu kakinya hendak menendang ke arah Arya Wisesa, namun sebelum lima detik lagi tendangan itu mendarat di dadanya, dengan cepat Arya Wisesa elakkan tubuh ke samping dan hantamkan satu pukulan ke arah leher, tapi dengan mudah pukulan itu ditepis oleh Garang Bonggol dan ia balas hantamkan lulutnya ke perut Arya Wisesa.Pemuda itu kalah cepat dan telat menghindar, sehingga ia sedikit terkena dengkulan Garang Bonggol dan langsung terseret beberapa langkah ke b
Sambil masih terduduk dan dalam keputusasaannya itu Dewi Raraswati langsung berkata lantang penuh amarah, “Ayo, bunuhlah aku iblis-iblis hina! Bunuhlah aku dan biarkan kami berdua mati di sini!” Pipinya tampak basah dibanjiri oleh air mata.“Tanpa kau minta, dengan senang hati aku akan mengirim lelakimu ke neraka! Ah, tapi sayang sekali kalau aku harus membunuh gadis manis sepertimu. Karena kau sangat cocok kujadikan sebagai istriku!” sahut Garang Bonggol sambil tertawa jahat.Setelah berkata begitu, langsung saja Garang Bonggol meloncat sampai lima tombak ke udara, hendak menamatkan riwayat Arya Wisesa dalam sekali tendangan menukik dengan kedua kakinya dari atas. Namun di saat bersamaan sebelum hantaman kaki itu benar-benar mendarat di dada pemuda itu, tiba-tiba sekelebat bayangan hitam melesat cepat mengadang ketua rampok itu dan ia mendapat hantaman tendangan di bagian rusuknya sampai terpental sejauh sepuluh tombak!Ketika sudah menapaki tanah barulah terlihat jelas, bahwa sekele
Gadis itu pun akhirnya berhenti mengoceh dan tidak berusaha mendebat ayahnya lagi. Laki-laki paruh baya itu memang mempunyai pendirian yang teguh dan tak mudah digoyahkan. Sudah bertahun-tahun pula ia memutuskan untuk tidak lagi terlibat dalam dunia persilatan.Kalaupun ia harus bertarung, maka itu hanya pada saat dibutuhkan dan kondisinya memang benar-benar memaksa ia untuk turun tangan. Ia masih menganggap bahwa keberadaan perampok yang sudah meresahkan warga desa itu bukanlah sebuah ancaman besar, sehingga ia merasa tak perlu sampai turun tangan.Itulah kenapa ia memerintahkan Arya Wisesa untuk meringkusnya, namun rupanya pendekar muda itu pulang membawa kegagalan dan bahkan hampir mati di tangan rampok-rampok itu.Begitulah Wisangpati, memilih kehidupan yang tenang dan hidup dalam kesederhanaan di tepi hutan. Padahal dalam kesederhanaannya itu tersimpan kekuatan dalam dirinya yang tentu saja masih dapat diperhitungkan. Namun sayang, ia seolah tak mau tahu dan tak ingin ikut campur
“Sebaiknya kau jangan dulu banyak bergerak, istirahatlah Arya,” kata Dewi Raraswati sambil membantu pemuda itu kembali ke posisinya semula.“Kepalaku terasa sangat pusing sekali dan sekujur tubuhku terasa sakit,” sahut Arya Wisesa.“Minum dulu ramuan yang sudah kubuat ini untuk memulihkan tenagamu, Arya. Setelah itu kau beristirahatlah sampai pulih kembali.” Wisangpati menyodorkan ramuan yang sudah ia buat itu pada Arya Wisesa.Baru saja ia teguk sedikit, ramuan itu langsung disemburkannya kembali secara kontan sambil terbatuk-batuk.“Maaf Paman, ramuan ini rasanya pahit sekali. Aku belum pernah minum ramuan sepahit ini,” kata Arya Wisesa sambil meleletkan lidah.“Kalau kau tak mau meminumnya, maka kau akan terus terbaring seperti ini. Dan penyembuhan luka di dalam tubuhmu akan lebih lama,” respon Wisangpati.“Ya, minumlah Arya, untuk kesembuhanmu.” Dewi Raraswati ikut menyahut.Maka dengan terpaksa ia meminum ramuan itu sambil menahan pahit seraya memejamkan matanya. Lalu ia berbarin
“Ya, betul. Mulai saat ini aku dan seluruh pendekar Gagak Hitam menyatakan akan selalu setia pada Saudara Arya Wisesa. Untuk itu kami mempersilahkan Saudara Arya yang memilih sendiri nama perguruan yang cocok untuk kami.” Jaya Wiguna ikut menambahkan.“Terimakasih atas penawaran dari Saudara semuanya. Untuk menjadi pemimpin, sepertinya aku masihlah belum layak. Aku sungguh sangat menghargai niat Saudara berdua yang ingin menyatukan perguruan, aku mendukung niat baik Saudara berdua. Tapi maaf aku belum bersedia untuk menerima tawaran ini.” Arya Wisesa menjawab.Namun penolakan itu sepertinya membuat Purwasena dan Jaya Wiguna makin berusaha keras membujuknya untuk bersedia menjadi pemimpin mereka dan mendirikan perguruan baru yang lebih kuat.Karena tentu harus ada pemimpin baru ketika dua perguruan ini ingin bersatu. Tak mungkin Purwasena atau Jaya Wiguna sendiri yang menjadi pemimpin dari dua perguruan ini, yang pasti akan menimbulkan banyak ketidaksetujuan. Mereka hanya ingin Arya Wis
Para pendekar itu menjadi saling pandang dan bertanya-tanya, pedang apa yang sedang dipegang oleh Arya Wisesa? Dan dari mana pula ia bisa mendapatkan pedang sebagus itu? Mereka tampak takjub dan perhatian mereka kini justru menjadi terfokus pada Arya Wisesa. Dan untuk sementara menghentikan pertarungan yang sempat berlangsung sengit.“Sekali lagi kuperingatkan! Hentikan pertarungan kalian, atau akan kubuat rata tempat ini!” ancam Arya Wisesa tak main-main sambil ia mengacungkan pedang itu ke atas langit.Sebuah sinar hijau terus memancar dan kini bumi menjadi sedikit bergoncang. Membuat mereka tak percaya dan tubuh mereka sedikit terhuyung terombang-ambing ke kanan dan ke kiri.Mereka mulai takut dan dibikin ngeri oleh Arya Wisesa. Kepanikan itu tak bisa disembunyikan dari wajah mereka. Membuat salahsatu pendekar Bangau Merah akhirnya mau menuruti perintah Arya Wisesa.“Cukup Saudara, kami mengakui kau pendekar hebat. Dan pedang yang kau punya itu sepertinya punya kekuatan yang tak ter
Mereka berlari ke arah gerobak yang ditarik oleh kuda itu. Dan ketika kain hitam itu tersingkap, barulah ketahuan bahwa yang mereka bawa digerobak itu ternyata adalah senjata! Bukan perbekalan atau pun logistik seperti yang dikatakan oleh Jaya Wiguna.Apakah Gagak Hitam sengaja melakukan itu? Kalau itu sengaja dan sudah direncanakan, maka jelas Jaya Wiguna telah berdusta dan melanggar kesepakatan. Ia telah berkhianat dan ia bukan saja telah menyakiti hati para pendekar Bangau Merah, tapi juga sudah memicu api dendam dalam diri mereka.Kini bukan saja jumlah mereka yang jauh lebih unggul, tapi mereka juga menggunakan senjata untuk bertarung. Situasi seperti ini tentu saja tidak menguntungkan bagi Bangau Merah. Sehingga itu membuat Purwasena makin naik darah.“Jahanam, kau Jaya Wiguna! Rupanya kau telah berdusta dan melanggar kesepakatan di antara kita. Kau memang bedebah dan licik!” gerutu Purwasena, wajahnya makin membesi dibalut amarah.“Hua-ha-ha, ini konsekuensi yang pantas diterim
“Saudara Jaya Wiguna seharusnya menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas kejadian ini. Saudara seharusnya bisa mencegah hal itu tidak terjadi. Saudara tidak bisa lepas tangan begitu saja!” kata Purwasena mulai menekan.“Saudara tidak perlu menasehatiku terlalu jauh! Muridku juga tidak akan bertindak sejauh itu, kalau Saudara bisa mendidik murid Saudara sendiri dengan benar! Dan tidak menjadi pendekar yang gemar mengeroyok pendekar perguruan lain sampai meninggal!” Jaya Wiguna tak mau kalah dan malah balik menekan.“Aku tidak bermaksud menasehati, Saudara. Tapi aku sangat menyayangkan tindakan dari pendekar Gagak Hitam yang merespon kejadian itu terlalu berlebihan dan sangat tidak manusiawi! Itu sangat biadab, Saudara!” Purwasena tidak berhenti dan terus menekan.“Huh! Lalu apakah tindakan pengeroyokan sampai menghilangkan nyawa itu adalah tindakan yang tidak biadab? Saudara harusnya berkaca dulu sebelum berbicara!” timpal Jaya Wiguna tak kalah keras.Kedua pemimpin Perguruan
“Baik, kami akan menyampaikan ini pada Perguruan Bangau Merah. Semoga pada waktunya kita bisa bertemu kembali dan menyepakati apa yang telah kita bicarakan.” Wisangpati menyahut.“Oh ya, sebelumnya aku meminta izin untuk memperkenalkan diri. Aku Jaya Wiguna, ketua Perguruan Gagak Hitam.” Akhirnya orang itu memberi tahu namanya.“Sebuah kehormatan bagiku bisa bertemu dengan saudara Jaya Wiguna,” sahut Wisangpati.“Baiklah saudara Wisangpati, kami perkenankan kalian berdua untuk kembali ke Perguruan Bangau Merah dan menyampaikan apa yang menjadi keinginan kami,” kata Jaya Wiguna.Wisangpati dan Arya Wisesa kompak menjura dan mereka pun segera bergegas kembali ke Perguruan Bangau Merah.Dengan menunggangi kuda perjalanan mereka menjadi lebih cepat. Terlihat para pendekar Bangau Merah sudah menunggu kepulangan mereka sore itu. Mereka penasaran apa hasil yang didapat oleh Wisangpati dan Arya Wisesa yang mereka utus melaksanakan misi diplomasi mewakili perguruan mereka.Namun karena hari ma
Mereka segera berangkat ke Perguruan Gagak Hitam yang ada di desa sebelah utara. Memang batas desa ini hanya dipisah oleh sebuah sungai lebar yang membentang dari timur ke barat.Untuk masuk ke desa itu harus melalui sebuah jembatan yang lebarnya hanya bisa dimasuki dua kuda. Itu sudah cukup bagi mereka. Dan Perguruan Bangau Merah tak keberatan untuk meminjamkan kuda sebagai tumpangan mereka.Cukup dalam setengah hari dengan menunggangi kuda waktu yang mereka tempuh untuk sampai di Padepokan Perguruan Gagak Hitam. Saat mereka tiba di sana, situasi tak kalah ramai dan nampaknya orang-orang di perguruan itu juga sedang mengadakan rapat darurat. Rapat itu lebih sunyi dan rahasia, karena mereka terlihat hanya berbisik satu sama lain.Namun mereka terlihat panik tatkala melihat kedatangan dua orang asing yang menunggangi kuda menuju padepokan mereka. Beberapa orang langsung cabut senjata dari balik pinggang mereka, hanya pemimpinnya saja yang terlihat tenang sambil memperhatikan waspada.D
“Mereka semua sangat biadab! Kenapa harus menyerang warga desa yang tidak bersalah? Mereka telah melanggar sumpah mereka sendiri sebagai seorang pendekar!” Arya Wisesa ikut marah ketika mendengar penjelasan dari nenek tua itu. Ia tampak terkejut dan tidak percaya dengan kebiadaban yang telah dilakukan oleh Perguruan Gagak Hitam.“Aku pun tak tahu, Den. Sepertinya tidak lama lagi akan terjadi peperangan besar antara dua perguruan ini. Aku hanya bisa berharap pertolongan Dewa segera datang. Dan ada orang yang bisa menengahi konflik ini, agar tidak ada lagi korban yang berjatuhan,“ sahut si nenek terlihat lemas dan pasrah terhadap keadaan.“Kalau kami boleh tahu, di mana letak Perguruan Bangau Merah itu, Nek?” tanya Wisangpati.“Kisanak berdua terus saja menyusuri jalan desa ini. Setelah melewati rumah terakhir, Kisanak berdua belok saja ke kanan, ada jalan yang agak menanjak menuju sebuah bukit. Nah, dari kejauhan pasti terlihat ada bangunan padepokan di bukit itu,” jawab si nenek.Mere
“Idemu tidak terlalu buruk,” kata Garang Bonggol.“Tapi sedari awal aku ingin pemuda itu yang berhasil kautangkap, sehingga aku bisa langsung membawa pemuda itu ke hadapan Tuan Bara Jagal. Dengan begitu, dia akan memberiku imbalan besar dan kenaikan pangkat. Sayangnya kau tak bisa memenuhi keinginanku, jadi aku terpaksa tak akan memberimu imbalan tambahan,” lanjutnya.“Sekarang, begini saja Tuan, cepat atau lambat pemuda itu pasti akan datang ke Padepokan Perguruan Naga Api. Kita sebar seluruh pasukan kita untuk berpatroli di setiap sudut sebelum masuk ke area padepokan. Saat dia datang dan sebelum benar-benar sampai di padepokan, kita akan sergap dan lumpuhkan dia bersama-sama!” Kebo Ijo memberi ide lagi.Garang Bonggol tampak berpikir dan tak langsung setuju dengan ide Kebo Ijo. Setelah berpikir sejenak ia pun menyahut, “Hmmm, aku kurang setuju dengan idemu. Karena tentu kita perlu mengerahkan pasukan yang lumayan banyak, sedangkan kita tidak tahu pemuda itu akan masuk ke padepokan
“Kalian semua mundur! Dan kembalilah ke kuda kalian masing-masing!” seru Kebo Ijo kepada sepuluh orang prajurit itu.Mereka senang bukan kepalang, karena beberapa orang di antaranya terlihat sudah mulai kehabisan tenaga. Ada yang terpincang-pincang, ada yang lebam-lebam di bagian wajah, ada yang memegangi perutnya, dan ada yang terluka di bagian bibirnya akibat bertarung dengan Wisangpati.“Dengar, orangtua payah dan pemuda bodoh! Jika kalian ingin gadis ini selamat, temui aku di Padepokan Perguruan Naga Api!” kata Kebo Ijo memberi pesan ancaman kepada Arya Wisesa dan Wisangpati.“Keparat kau, manusia hina! Aku akan menghajar dan memenggal kepalamu sekarang juga!” bentak Arya Wisesa seraya berdiri dan satu tangannya sudah mulai memegang hulu pedang yang tergantung di punggungnya.Ia sadar kekuatan fisiknya mulai melemah akibat racun yang terus masuk menjalari seluruh tubuhnya itu.“Terus saja kau mengoceh sesukamu! Dan serang aku jika tenagamu masih cukup. Ketahuilah, kalau kau tak pa