Sambil masih terduduk dan dalam keputusasaannya itu Dewi Raraswati langsung berkata lantang penuh amarah, “Ayo, bunuhlah aku iblis-iblis hina! Bunuhlah aku dan biarkan kami berdua mati di sini!” Pipinya tampak basah dibanjiri oleh air mata.“Tanpa kau minta, dengan senang hati aku akan mengirim lelakimu ke neraka! Ah, tapi sayang sekali kalau aku harus membunuh gadis manis sepertimu. Karena kau sangat cocok kujadikan sebagai istriku!” sahut Garang Bonggol sambil tertawa jahat.Setelah berkata begitu, langsung saja Garang Bonggol meloncat sampai lima tombak ke udara, hendak menamatkan riwayat Arya Wisesa dalam sekali tendangan menukik dengan kedua kakinya dari atas. Namun di saat bersamaan sebelum hantaman kaki itu benar-benar mendarat di dada pemuda itu, tiba-tiba sekelebat bayangan hitam melesat cepat mengadang ketua rampok itu dan ia mendapat hantaman tendangan di bagian rusuknya sampai terpental sejauh sepuluh tombak!Ketika sudah menapaki tanah barulah terlihat jelas, bahwa sekele
Gadis itu pun akhirnya berhenti mengoceh dan tidak berusaha mendebat ayahnya lagi. Laki-laki paruh baya itu memang mempunyai pendirian yang teguh dan tak mudah digoyahkan. Sudah bertahun-tahun pula ia memutuskan untuk tidak lagi terlibat dalam dunia persilatan.Kalaupun ia harus bertarung, maka itu hanya pada saat dibutuhkan dan kondisinya memang benar-benar memaksa ia untuk turun tangan. Ia masih menganggap bahwa keberadaan perampok yang sudah meresahkan warga desa itu bukanlah sebuah ancaman besar, sehingga ia merasa tak perlu sampai turun tangan.Itulah kenapa ia memerintahkan Arya Wisesa untuk meringkusnya, namun rupanya pendekar muda itu pulang membawa kegagalan dan bahkan hampir mati di tangan rampok-rampok itu.Begitulah Wisangpati, memilih kehidupan yang tenang dan hidup dalam kesederhanaan di tepi hutan. Padahal dalam kesederhanaannya itu tersimpan kekuatan dalam dirinya yang tentu saja masih dapat diperhitungkan. Namun sayang, ia seolah tak mau tahu dan tak ingin ikut campur
“Sebaiknya kau jangan dulu banyak bergerak, istirahatlah Arya,” kata Dewi Raraswati sambil membantu pemuda itu kembali ke posisinya semula.“Kepalaku terasa sangat pusing sekali dan sekujur tubuhku terasa sakit,” sahut Arya Wisesa.“Minum dulu ramuan yang sudah kubuat ini untuk memulihkan tenagamu, Arya. Setelah itu kau beristirahatlah sampai pulih kembali.” Wisangpati menyodorkan ramuan yang sudah ia buat itu pada Arya Wisesa.Baru saja ia teguk sedikit, ramuan itu langsung disemburkannya kembali secara kontan sambil terbatuk-batuk.“Maaf Paman, ramuan ini rasanya pahit sekali. Aku belum pernah minum ramuan sepahit ini,” kata Arya Wisesa sambil meleletkan lidah.“Kalau kau tak mau meminumnya, maka kau akan terus terbaring seperti ini. Dan penyembuhan luka di dalam tubuhmu akan lebih lama,” respon Wisangpati.“Ya, minumlah Arya, untuk kesembuhanmu.” Dewi Raraswati ikut menyahut.Maka dengan terpaksa ia meminum ramuan itu sambil menahan pahit seraya memejamkan matanya. Lalu ia berbarin
“Nah, sekarang giliran kau, Arya. Coba kau praktekkan jurus yang baru saja aku peragakan,” kata Wisangpati ingin segera melihat apakah Arya Wisesa langsung paham dan langsung bisa memperaktikkan jurus yang diajarkannya.‘Hiatttt….!’Arya Wisesa langsung bergerak memutar tubuhnya sambil mengeluarkan dua pukulan dan satu tendangan, mencoba menggerakkan jurus itu sesuai dengan yang sudah dicontohkan oleh Wisangpati. Dan ia juga mengakhiri jurus itu dengan sebuah lompatan tinggi dan tendangan beruntun ke arah delapan penjuru mata angin.“Arya, gerakanmu masih belum sempurna. Kau harus memperhatikan lagi sasaran dari pukulan dan tendanganmu itu. Tidak boleh asal menyerang saja,” kata Wisangpati, tampaknya ia masih belum puas dengan gerakan Arya Wisesa.“Oh, baik Paman. Aku akan mencobanya lagi,” sahut Arya Wisesa.Namun setelah mencoba untuk yang kedua kalinya, Wisangpati masih belum puas dengan gerakan Arya Wisesa. Dan menurutnya serangan-serangannya itu belum benar-benar tepat mengarah k
Arya Wisesa benar-benar menuruti perintah Wisangpati dan hampir setiap malam ia tidak tidur karena melatih teknik pernafasannya demi bisa mengaktifkan cakra dalam tubuhnya. Setelah dua minggu berlalu, maka ia pun memperoleh hasilnya.Wisangpati langsung menguji kekuatan tubuhnya. Pada minggu ke dua itu masih di halaman rumahnya pula pada siang hari yang terik, ia menyuruh Arya Wisesa melepas bajunya dan melakukan sikap kuda-kuda tegak dengan kedua lutut menekuk ke samping.Laki-laki paruh baya itu pun mengambil sebatang kayu keras seukuran betisnya lalu berkata pada Arya Wisesa, “Pejamkan matamu, tarik nafas dalam-dalam lalu tahan nafasmu di perut.”Arya Wisesa pun langsung melakukan apa yang diperintahkan Wisangpati. Dan ketika ia terlihat sudah menahan nafasnya sambil terpejam seperti itu, sekonyong-konyong Wisangpati langsung mengayunkan batang kayu yang keras itu memukul perutnya!‘Krakkkk….!’Batang kayu itu langsung patah menjadi dua! Tubuhnya menjadi keras, seolah kayu itu dipu
“Tapi apakah Paman akan ikut mengantarku ke bukit yang akan menjadi tempat meditasiku itu?” tanya Arya Wisesa.“Ya, aku akan ikut, tapi hanya sekadar mengantarmu saja. Jadi apa pun yang terjadi padamu, kau sendiri yang harus menyelesaikannya. Aku tak berhak untuk memberi bantuan atau pun bimbingan lagi. Selanjutnya kau punya kendali sendiri atas apa yang terjadi. Kau punya pilihan untuk menyerah atau terus melanjutkan meditasimu hingga berhasil. Semuanya bergantung pada dirimu sendiri,” jawab Wisangpati.*****Keesokannya pada malam hari mereka berangkat menuju bukit. Bulan bersinar terang menyinari keadaan sekitar, itu adalah tempat yang tenang dan hening, dan tampaknya memang sangat cocok digunakan untuk bermeditasi.Bukit itu tampak seperti taman yang lapang dengan rumputnya sangat halus. Di sekelilingnya tumbuh pohon cemara dan pohon pinus yang mengitari bukit itu.“Silahkan kau persiapkan dirimu, Arya. Ambil posisi yang nyaman, karena kau akan bermeditasi dalam waktu yang cukup l
Ia sudah benar-benar ingin menyerah, fisiknya benar-benar terkuras habis dan mentalnya mulai menciut. Ia sudah tidak tahan dengan gangguan-gangguan itu lagi. Namun di saat-saat kritis seperti itu ia berusaha mengingat pesan Wisangpati agar berusaha tetap tenang pada saat situasi tersebut, karena bagaimanapun ini adalah meditasi tingkat akhir menuju tingkat ke lima yang sebisa mungkin harus berhasil dilaluinya.Setelah ingat pesan dari gurunya itu, maka Arya Wisesa tak berusaha melawan ketakutan itu, melainkan mencoba berdamai dan menerima rasa takut yang ‘menyerang’ dirinya itu. Ia membiarkan semuanya terjadi apa adanya dan kembali melihat ke dalam dirinya bahwa rasa takut adalah perasaan alamiah yang dimiliki oleh setiap manusia.Lambat laun sosok ular yang membelit tubuhnya itu melepaskan dirinya sendiri. Rasa sakit dan panas yang sempat menjalari tubuhnya juga perlahan hilang. Nafasnya kembali melambat dan ia kembali lebih tenang daripada sebelumnya.Dan tiba-tiba ular besar berkep
Pagi itu mereka berdua ditugaskan oleh Wisangpati untuk berbelanja ke pasar, dengan berjalan kaki menyusuri jalan desa. Cuaca cukup cerah dan keduanya tampak semangat setelah sekian lama bisa berjalan berdua kembali.“Dengan keadaanmu sekarang, seandainya ayahku memerintahkan kita kembali ke Hutan Balungan untuk meringkus rampok-rampok jahat itu, apakah kau siap, Arya?” tanya Dewi Raraswati sambil tersenyum.“Aha-ha, tentu saja aku siap, Dewi. Paman Wisangpati telah mengajariku jurus untuk menghadapi keroyokan lawan, aku pasti tidak akan gagal lagi dalam meringkus mereka semua,” sahut Arya Wisesa.“Oh, rupanya kau tidak kapok juga ya?” ledek gadis itu.Arya Wisesa tersenyum, lalu menyahut, “Sudah berulang kali kukatakan, Dewi. Akan kupertaruhkan seluruh jiwa dan ragaku untuk membela kebenaran, dan tentu saja untuk menjagamu.”“Duh, kenapa perutku tiba-tiba mual ya, setelah mendengar gombalanmu itu?” respon gadis itu agak menyebalkan, sambil berpura-pura memegangi perutnya.Membuat Ary
Dipanggillah Garang Bonggol yang ikut menumpang di kuda rombongan pasukannya itu untuk mendekat ke arahnya dan ia pun langsung menggerendeng, “Sudah berhari-hari kita naik turun menerobos hutan demi hutan, tapi aku belum juga menemukan bocah itu, apakah kau membohongiku?!” Tatapannya begitu tajam dan mengintimidasi.“Ampun Kisanak, aku tidak berbohong, anak buahku sendiri yang bersaksi bahwa mereka sempat bertarung dengan bocah yang dilindungi oleh pendekar bertudung caping itu. Mereka benar-benar bergerak ke arah timur,” sahut Garang Bonggol sedikit gugup.“Kalau benar dia bergerak ke arah timur, kita sudah pasti menemukannya dan berhasil menyusulnya. Tapi kau bisa saksikan sendiri sudah berhari-hari kita menjelajah hingga sampai di kaki gunung ini, tapi kita belum juga menemukannya!” Bara Jagal kembali menggerutu.Tiba-tiba Muladra yang juga ikut menumpang di kuda rombongan pasukan itu ikut mendekat ke arah Bara Jagal dan berkata dengan sopan, “Ampun Kisanak, menurut pengamatanku, m
“Jangan bergerak! Rumah ini sudah kami kepung, kalau kalian bertiga macam-macam, maka kami semua akan menghabisi kalian!” kata pemuda yang paling depan yang memimpin penyergapan itu sambil mengacungkan goloknya ke arah Arya Wisesa, Dewi Raraswati, dan juga Wisangpati.Ketiganya dibuat bingung oleh tingkah si pemuda ini. Pemuda ini pula yang tadi berteriak-teriak histeris sambil berlari singgah dari rumah ke rumah memberi tahu warga desa, bahwa ada orang asing yang datang ke desanya. Tingkahnya begitu aneh dan tampak panik, padahal ketiganya terlihat tidak mengancam sama sekali.Namun sebelum mereka benar-benar berbuat anarkis, si pemilik rumah langsung menenangkan situasi.“Tenanglah, jangan berbuat kasar! Mereka bukan orang jahat, mereka dari Desa Gandareksa dan hanya menumpang sebentar di desa ini. Kami baik-baik saja, jangan khawatir. Kalian kembalilah ke rumah masing-masing,” kata si pemilik rumah.“Bagaimana kalau ketiga orang ini hanya pura-pura baik dan punya maksud tersembunyi
“Tenanglah, aku bukan orang jahat, aku hanya ingin berbicara denganmu. Kau sangat cantik sekali,” kata Dewi Raraswati, memuji sekaligus menenangkan anak itu sambil mengusap kepalanya dengan lembut.Namun tiba-tiba saja pintu rumah itu terbuka dan dua orang dewasa sudah berdiri di ambang pintu dengan memegang senjata di masing-masing tangannya.Seorang pria telah menarik busur panah, dan mengarahkan panah itu ke arah Dewi Raraswati. Sementara seorang wanita telah siap dengan golok panjang di tangannya. Tatapan mereka begitu tajam sekali. Dan pria itu menggertak pada Dewi Raraswati, “Siapa kau orang asing?! Jangan macam-macam! Jika kau berani menyentuh anak kami, maka anak panah ini akan melesat menembus kepalamu!”“Cepat kau pergi dari desa ini, atau kami berdua akan berteriak memanggil warga yang lain untuk mengeroyokmu sampai tewas!” Si wanita yang juga pemilik rumah itu ikut menggertak sambil mengacungkan goloknya ke arah Dewi Raraswati.Mendengar ada keributan di depan rumah itu, A
Setelah berjuang begitu hebat mengerahkan seluruh tenaga dan ilmu kanuragannya, akhirnya Arya Wisesa berhasil mencabut pedang itu. Dan senjata pusaka itu kini telah menjadi miliknya. Tampak keringat membanjiri tubuhnya setelah ia berjuang dengan keras untuk mendapatkan pedang itu dan wajahnya menjadi tampak semringah sekali ketika pedang itu masih saja mengeluarkan cahaya hijau menyelimuti seluruh bilahnya.Namun mereka harus cepat-cepat keluar dari gua itu sebelum atap gua itu benar-benar ambruk, karena tanahnya terus berjatuhan ke bawah dan bebatuan atap gua itu mulai retak pertanda akan juga segera tumpah ke bawah. Mereka harus segera lari melewati lorong demi lorong gua itu kalau tidak ingin mati terkubur hidup-hidup.Karena pedang itu tidak memiliki warangka, bergegas Arya Wisesa membungkus bilahnya dengan kain putih, lalu ia ikatkan tali di kedua ujung pedang itu untuk kemudian ia sarungkan di balik punggungnya. Karena bagaimanapun pedang itu cukup panjang dan memiliki bilah yan
“Aku memang sosok siluman yang telah berpuluh-puluh tahun tinggal di gua ini. Dan aku bukan pemilik pedang pusaka itu, tapi aku punya kewajiban untuk menjaga pedang pusaka itu agar tidak jatuh ke tangan orang yang jahat. Aku juga tidak bermaksud hendak membuat kalian celaka, atau berbuat jahat pada kalian, karena itu bukanlah watakku sebagai siluman golongan putih. Aku menyerang kalian karena aku ingin memastikan kalian bukan hendak berbuat onar. Dan sepertinya kalian adalah orang-orang baik dan jujur yang tampak sesuai dengan tingkah laku kalian,” tutur Wirageni.“Terimakasih atas pengertian Saudara Wirageni, sebuah kehormatan bagiku bisa bertemu denganmu. Saudara telah menjalankan tugas dengan baik. Soal kejadian tadi, menurutku tak perlu dipersoalkan, karena yang terpenting adalah kita sudah mengenal satu sama lain. Dan Saudara menjadi saksi bahwa muridku Arya Wisesa telah bertekad dan bersumpah untuk menjaga pedang pusaka itu sebaik-baiknya,” sahut Wisangpati berbicara dengan sopa
Sementara di saat bersamaan, Wisangpati tidak kalah berjuang hebat demi bisa lolos dari jerat akar yang tiba-tiba membelit kakinya dengan misterius itu. Ia justru membiarkan tubuhnya terus ditarik oleh akar itu dan mengikuti kemana akar itu bergerak dengan terus melemaskan tubuhnya.Ia hanya memindahkan dan sedikit menggerakkan tubuhnya apabila ia terseret di area yang cukup membahayakan dirinya. Dan saat ia tau bahwa akar itu menariknya mendekati sebuah pohon dan pastilah ia akan menabrak pohon besar tersebut, maka cepat-cepat ia menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, sehingga ia terangkat dan mengapung ke atas.Lalu ia meraih salahsatu dahan pohon itu dan di saat bersamaan mengayunkan kakinya ke atas kuat-kuat disertai tenaga dalamnya. Hingga akhirnya akar pohon yang membelit kedua kakinya itu pun putus. Dan ia tampak bergelantungan di pohon, setelah berhasil meloloskan diri dari jerat akar yang misterius itu.Mereka berkumpul kembali setelah terpisah puluhan tombak, akibat terkena
Tak disangka pada saat mereka baru saja melewati setengah panjang danau itu, hujan yang begitu deras tiba-tiba turun merepotkan mereka bertiga. Angin bertiup kencang menggoyang keseimbangan mereka. Raut panik mulai terpancar di wajah mereka. Kondisi cuaca nampaknya sedang kurang bersahabat, namun dengan sekuat tenaga mereka berpegangan erat pada rakit itu dan terus mendayung lebih cepat.Petir terus menggelegar di seantero langit, kondisi air yang sebelumnya tampak tenang menjadi sedikit bergejolak beriak-riak, membuat laju rakit yang mereka dayung itu menjadi tersendat-sendat, sehingga mereka tampak terombang-ambing di tengah danau.Seluruh tubuh mereka kontan basah kuyup, dan untung saja kitab itu mempunyai sampul pelindung yang berbahan perak, sehingga tahan dari serangan air yang berusaha menembus kitab itu. Itulah barang yang paling berharga yang harus dijaga oleh Arya Wisesa dalam keadaan seperti itu.Karena riak-riak air disertai angin yang semakin kencang menggoyang rakit mere
“Aku tidak peduli dengan laki-laki paruh baya itu, dan seberapa sakti ilmu yang dia miliki. Yang sedang aku cari saat ini hanyalah pemuda itu, pemuda bernama Arya Wisesa yang telah lama kucari sejak berbulan-bulan yang lalu. Tapi apabila laki-laki paruh baya itu yang menjadi penghalang untuk menangkap pemuda itu, maka pedangku sendiri yang akan memenggal kepalanya!” tegas Bara Jagal.“Ya, kisanak. Sejauh ini hanya itu yang aku ketahui. Karena sejak beredarnya selebaran itu, kami juga jadi ikut mencari-cari di mana pemuda itu. Tapi sebaiknya kisanak merubah tujuan ke arah timur, karena pemuda itu memang sudah meninggalkan Desa Gandareksa beberapa hari yang lalu.” Garang Bonggol memberanikan diri memberi saran pada Bara Jagal.“Hmmm, kau benar juga. Apakah kau masih tertarik mengikuti sayembara itu dan mendapatkan hadiahnya?” tanya Bara Jagal.“Oh, tentu saja kisanak, bagiku itu adalah hadiah yang sangat besar, karena bagi perampok pinggiran desa seperti kami butuh waktu berbulan-bulan
Di kuil yang ada di puncak gunung itu Arya Wisesa menjadi semakin rajin melakukan meditasi.Di tempat itulah, dari hasil meditasinya ia mulai mendapat petunjuk tentang di mana keberadaan dua pedang sakti yang saat ini sedang ia cari. Ia menyimpan petunjuk yang telah ia baca di dalam kitab ilmu silat itu dalam kepalanya. Setelah ini, ia akan memulai perjalanan baru untuk menemukan kedua pedang tersebut.Pada pagi hari, setelah lima hari berturut-turut bermeditasi di kuil tersebut, Arya Wisesa memberi tahu Wisangpati tentang rencananya yang akan segera pergi mencari kedua pedang sakti sesuai dengan petunjuk yang telah didapatkannya.Sambil duduk bersila berhadap-hadapan, mereka pun terlihat mengobrol dengan serius.“Paman, dari petunjuk yang telah aku dapat dari kitab ilmu silat, dua pedang sakti itu berada di arah barat. Tersimpan di sebuah gua yang berbeda. Aku meminta izin untuk pergi mencari kedua pedang tersebut,” kata Arya Wisesa.“Apa kau sudah benar-benar yakin, Arya? Kedua peda