Matahari mulai redup, pertanda sore akan segera datang. Lekas-lekas ia mencari tempat yang lebih datar di lereng itu. Lantas ia kumpulkan kayu-kayu dan ranting kering. Setelah dirasa cukup, diarahkanlah telapak tangannya ke tumpukan kayu itu. Maka tak berapa lama api pun menyala dan berkobar dengan cepat, siap digunakan untuk memanggang ayam buruannya.Dengan menggunakan tenaga dalamnya pula ia merontokkan bulu lebat yang menempel pada tubuh ayam itu, lalu mengambil kayu kecil yang ujungnya rucing dan ia tusukan kayu itu ke tubuh si ayam untuk dibuatnya menjadi bekakak.Ia taruh ayam yang ditusuk itu di atas bara api sambil terus membolak-balikkan badannya. Hingga beberapa puluh menit kemudian, ayam yang dipanggang itu pun matang dan siap disantap. Aroma lezat yang menguar dari ayam panggang itu sungguh menggoda seleranya. Ia pun memakan ayam itu dengan lahapnya.“Ah, nikmat sekali,” ujarnya sambil bersendawa beberapa kali.Perutnya kini sudah kenyang dan dahaganya sudah terobati, seh
Sejak hari masih gelap Arya Wisesa sudah mulai mendaki. Dan ketika waktu pagi datang bersama matahari yang sangat cerah dari arah timur, ia telah sampai di puncak bukit.Dari kejauhan terlihat sebuah pedesaan di arah utara dari tempatnya berdiri. Ia akan pergi ke desa itu untuk mencari siapa pun yang bisa mengajarinya bahasa kuno. Ia tak akan berlama-lama di puncak itu dan akan kembali menempuh perjalanan puluhan kilo meter untuk bisa sampai ke desa yang ada di seberang bukit itu.Meski masih sangat jauh, namun perjalanannya kini tak akan terasa melelahkan dan menguras tenaganya dibanding pada saat ia terus menanjak hingga sampai ke puncak bukit.Dalam perjalanannya kali ini ia akan terus menurun dan melewati jalan datar menerobos hutan yang ditumbuhi pepohonan dan semak belukar yang sangat lebat. Persediaan air pun masih cukup aman untuknya dan tidak akan lagi kehausan di perjalanan.Sejauh ini belum ada satu pun manusia yang ia temui di hutan itu. Ia hanya perlu waspada pada babi hu
Terpaksa ia mengeluarkan ilmu Lompatan Raja Srigala. Kini gerakannya lebih gesit daripada sebelumnya. Membuat serangan-serangan si gadis menjadi tampak mudah terbaca. Dan ketika gadis itu hendak menendang sekuat-kuatnya ke arah perut Arya Wisesa, cepat-cepat ia merendahkan tubuhnya ke bawah menghindari serangan.Lantas ia hantam balik kaki si gadis dengan sebuah tendangan sapuan yang memutar, sebuah serangan tak terduga yang membuat gadis itu sedikit terkejut dan gagal segera meloncat. Alhasil, tendangan dari Arya Wisesa berhasil mendarat di betis kirinya. Membuat ia hilang keseimbangan dan akhirnya jatuh terduduk ke tanah.“Ahhhh….!” Si gadis langsung mendesah kesakitan sambil memegangi betisnya.Arya Wisesa yang tak tega cepat-cepat langsung mendekat menghampirinya, menyentuh betisnya dan memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.Karena sebelum melancarkan serangan balik itu, ia sudah memperkirakan bahwa tendangannya tak akan menimbulkan efek yang sangat parah. Ia sudah mengukurnya
“Aduhhh…, kakiku.” Si gadis mendesah lagi, tampak kesakitan.“Saudari, tak perlu memaksakan. Kumohon, jangan menolak bantuanku. Sudah seharusnya aku menolongmu,” kata Arya Wisesa sangat peduli pada si gadis.Lantas ia pun mengambil posisi membelakangi si gadis dan merendahkan tubuhnya, namun si gadis tak kunjung paham apa yang menjadi maksud Arya Wisesa.“Apa yang mau kamu lakukan?” tanya si gadis.“Menggendongmu Saudari,” jawab Arya Wisesa. “Cepatlah, hari sudah semakin sore sebelum kita kemalaman di sini. Tolong tunjukkan saja jalannya, ke mana arah rumahmu.”“Tapi bagaimana dengan kayu bakar yang kau bawa?” Si gadis bertanya.“Ah, aku hampir lupa. Tolong kau bantu ikat kayu ini di depan badanku, dan kau akan kugendong di belakang,” kata Arya Wisesa.Maka diikatkanlah kayu bakar itu di depan badannya. Sementara si gadis ikut di belakang gendongannya, dan mereka pun melanjutkan perjalanan.Dalam gendongan pemuda itu, berbinarlah kedua mata si gadis. Diam-diam ia memancarkan senyum le
“Apa yang telah kau lakukan pada putriku?” tanya lelaki paruh baya itu dengan tatapan tajam.Meski umurnya tidak lagi muda, ia masih tampak gagah dan berwibawa.“Ma– maaf, Paman. Ak– aku ….”“Ini salahku Ayah, aku yang menyerangnya terlebih dahulu. Aku telah salah menuduhnya sebagai pencuri.” Si gadis tiba-tiba menyela dan membela Arya Wisesa.“Kalau ternyata benar pemuda ini adalah pencuri, bagaimana?” tanya sang ayah.Baru berbicara saja, lelaki itu sudah memancarkan aura yang sangat dominan. Suaranya penuh wibawa dan dalam dirinya tersimpan sebuah ketegasan yang bisa terbaca dan dirasakan langsung oleh Arya Wisesa.“Aku yakin dia bukan pencuri, Ayah. Dia orang baik,” jawab si gadis.“Hmmm…,” respon lelaki paruh baya itu hanya mendeham saja.Ia lantas kembali mengamati pendekar muda yang berpakaian putih-putih dan berambut gondrong itu dari ujung kepala, hingga ujung kaki. Dengan serius dan tatapan tajamnya, diamatilah pula logo kecil bergambar srigala yang menempel di baju sebelah
Maka bertanyalah Arya Wisesa, “Apa itu, Paman? Apa yang harus aku lakukan?”“Tolong kau selidiki dan tangkap para perampok jahat yang sudah mencuri ternak warga desa,” perintah si laki-laki paruh baya.“Kuperingatkan kau agar berhati-hati dan tak menyepelekan mereka. Perampok itu bergerombol dan dipimpin oleh orang yang ilmu silatnya lumayan tinggi. Mereka sangat kejam dan tidak segan-segan membunuh orang yang berusaha melawan. Dan kabarnya, sekarang mereka mulai merampok perhiasan dan juga barang-barang berharga milik warga.” Si laki-laki paruh baya mewanti-wanti pada Arya Wisesa.“Baik, Paman. Aku akan segera menyelidiki dan melumpuhkan para perampok itu,” jawab Arya Wisesa menyanggupi permintaan si laki-laki paruh baya.“Tidak mesti sekarang juga, Anak Muda. Kau istirahatlah terlebih dahulu. Hari ini aku membuat sup ayam hutan dan kau pasti sudah sangat lapar,” sahutnya.Si gadis yang ternyata mendengarkan dengan sangat serius percakapan dua orang laki-laki yang ada di ruangan itu,
Setelah meletakkan cangkulnya, laki-laki tua itu pun akhirnya menghampiri mereka yang berada di tepi sawah.“Ada apa memanggilku, Anak Muda?” tanya laki-laki tua itu.“Maaf Kakek, kami mengganggu pekerjaan Kakek. Kami datang dari pojok desa dan bermaksud ingin bertanya pada Kakek, apakah benar di desa ini ada rampok yang sering mencuri ternak dan perhiasan milik warga desa?” sahut Arya Wisesa sekaligus bertanya dengan sopan.“Ah, betul sekali Anak Muda, kami sudah sangat resah dengan para perampok itu. Tak terhitung sudah berapa banyak kerugian yang kami alami. Sudah dua kambingku yang mereka curi. Mereka benar-benar serakah dan kejam sekali Anak Muda,” jawab si kakek.“Jumlah mereka ada berapa orang, Kek?” Arya Wisesa bertanya lagi. “Dan apakah Kakek tahu di mana persembunyian mereka?”“Oh, setahuku mereka berjumlah lima orang. Tapi mereka bukan perampok biasa, mereka kuat-kuat dan nampaknya punya ilmu silat yang lumayan tinggi,” kata si laki-laki tua itu menjawab.“Ah, soal di mana
Saat Arya Wisesa sedang memesan makanan dan bercakap-cakap seperti itu dengan pemilik kedai, di bagian meja paling pojok terlihat empat orang pemuda berbisik-bisik sambil melirik ke arah Dewi Raraswati.“Hei lihat, gadis itu sangat cantik sekali,” kata salahsatu dari empat pemuda itu, memberi tahu temannya. Ia tampak yang paling gendut di antara yang lain.Keempatnya terlihat sedang ngobrol-ngobrol sambil minum-minum tuak di kedai itu. Dari sikap dan bagaimana cara mereka bertingkah, sudah dapat terbaca bahwa mereka bukanlah orang baik-baik.Dari cara duduknya saja, mereka sudah terlihat tidak sopan. Mengangkat kaki mereka tinggi-tinggi, hingga ada yang menyelonjorkan kakinya di atas meja, seolah mereka paling berkuasa di kedai itu.“Oh, itu anaknya Wisangpati, si petani tua yang rumahnya di tepi hutan itu,” sahut temannya. Yang ini berperawakan sedang dan berwajah serius.“Sayang sekali, kalau gadis cantik yang sedang mekar-mekarnya itu jarang dijamah,” sahut si pemuda yang satu lagi
Dipanggillah Garang Bonggol yang ikut menumpang di kuda rombongan pasukannya itu untuk mendekat ke arahnya dan ia pun langsung menggerendeng, “Sudah berhari-hari kita naik turun menerobos hutan demi hutan, tapi aku belum juga menemukan bocah itu, apakah kau membohongiku?!” Tatapannya begitu tajam dan mengintimidasi.“Ampun Kisanak, aku tidak berbohong, anak buahku sendiri yang bersaksi bahwa mereka sempat bertarung dengan bocah yang dilindungi oleh pendekar bertudung caping itu. Mereka benar-benar bergerak ke arah timur,” sahut Garang Bonggol sedikit gugup.“Kalau benar dia bergerak ke arah timur, kita sudah pasti menemukannya dan berhasil menyusulnya. Tapi kau bisa saksikan sendiri sudah berhari-hari kita menjelajah hingga sampai di kaki gunung ini, tapi kita belum juga menemukannya!” Bara Jagal kembali menggerutu.Tiba-tiba Muladra yang juga ikut menumpang di kuda rombongan pasukan itu ikut mendekat ke arah Bara Jagal dan berkata dengan sopan, “Ampun Kisanak, menurut pengamatanku, m
“Jangan bergerak! Rumah ini sudah kami kepung, kalau kalian bertiga macam-macam, maka kami semua akan menghabisi kalian!” kata pemuda yang paling depan yang memimpin penyergapan itu sambil mengacungkan goloknya ke arah Arya Wisesa, Dewi Raraswati, dan juga Wisangpati.Ketiganya dibuat bingung oleh tingkah si pemuda ini. Pemuda ini pula yang tadi berteriak-teriak histeris sambil berlari singgah dari rumah ke rumah memberi tahu warga desa, bahwa ada orang asing yang datang ke desanya. Tingkahnya begitu aneh dan tampak panik, padahal ketiganya terlihat tidak mengancam sama sekali.Namun sebelum mereka benar-benar berbuat anarkis, si pemilik rumah langsung menenangkan situasi.“Tenanglah, jangan berbuat kasar! Mereka bukan orang jahat, mereka dari Desa Gandareksa dan hanya menumpang sebentar di desa ini. Kami baik-baik saja, jangan khawatir. Kalian kembalilah ke rumah masing-masing,” kata si pemilik rumah.“Bagaimana kalau ketiga orang ini hanya pura-pura baik dan punya maksud tersembunyi
“Tenanglah, aku bukan orang jahat, aku hanya ingin berbicara denganmu. Kau sangat cantik sekali,” kata Dewi Raraswati, memuji sekaligus menenangkan anak itu sambil mengusap kepalanya dengan lembut.Namun tiba-tiba saja pintu rumah itu terbuka dan dua orang dewasa sudah berdiri di ambang pintu dengan memegang senjata di masing-masing tangannya.Seorang pria telah menarik busur panah, dan mengarahkan panah itu ke arah Dewi Raraswati. Sementara seorang wanita telah siap dengan golok panjang di tangannya. Tatapan mereka begitu tajam sekali. Dan pria itu menggertak pada Dewi Raraswati, “Siapa kau orang asing?! Jangan macam-macam! Jika kau berani menyentuh anak kami, maka anak panah ini akan melesat menembus kepalamu!”“Cepat kau pergi dari desa ini, atau kami berdua akan berteriak memanggil warga yang lain untuk mengeroyokmu sampai tewas!” Si wanita yang juga pemilik rumah itu ikut menggertak sambil mengacungkan goloknya ke arah Dewi Raraswati.Mendengar ada keributan di depan rumah itu, A
Setelah berjuang begitu hebat mengerahkan seluruh tenaga dan ilmu kanuragannya, akhirnya Arya Wisesa berhasil mencabut pedang itu. Dan senjata pusaka itu kini telah menjadi miliknya. Tampak keringat membanjiri tubuhnya setelah ia berjuang dengan keras untuk mendapatkan pedang itu dan wajahnya menjadi tampak semringah sekali ketika pedang itu masih saja mengeluarkan cahaya hijau menyelimuti seluruh bilahnya.Namun mereka harus cepat-cepat keluar dari gua itu sebelum atap gua itu benar-benar ambruk, karena tanahnya terus berjatuhan ke bawah dan bebatuan atap gua itu mulai retak pertanda akan juga segera tumpah ke bawah. Mereka harus segera lari melewati lorong demi lorong gua itu kalau tidak ingin mati terkubur hidup-hidup.Karena pedang itu tidak memiliki warangka, bergegas Arya Wisesa membungkus bilahnya dengan kain putih, lalu ia ikatkan tali di kedua ujung pedang itu untuk kemudian ia sarungkan di balik punggungnya. Karena bagaimanapun pedang itu cukup panjang dan memiliki bilah yan
“Aku memang sosok siluman yang telah berpuluh-puluh tahun tinggal di gua ini. Dan aku bukan pemilik pedang pusaka itu, tapi aku punya kewajiban untuk menjaga pedang pusaka itu agar tidak jatuh ke tangan orang yang jahat. Aku juga tidak bermaksud hendak membuat kalian celaka, atau berbuat jahat pada kalian, karena itu bukanlah watakku sebagai siluman golongan putih. Aku menyerang kalian karena aku ingin memastikan kalian bukan hendak berbuat onar. Dan sepertinya kalian adalah orang-orang baik dan jujur yang tampak sesuai dengan tingkah laku kalian,” tutur Wirageni.“Terimakasih atas pengertian Saudara Wirageni, sebuah kehormatan bagiku bisa bertemu denganmu. Saudara telah menjalankan tugas dengan baik. Soal kejadian tadi, menurutku tak perlu dipersoalkan, karena yang terpenting adalah kita sudah mengenal satu sama lain. Dan Saudara menjadi saksi bahwa muridku Arya Wisesa telah bertekad dan bersumpah untuk menjaga pedang pusaka itu sebaik-baiknya,” sahut Wisangpati berbicara dengan sopa
Sementara di saat bersamaan, Wisangpati tidak kalah berjuang hebat demi bisa lolos dari jerat akar yang tiba-tiba membelit kakinya dengan misterius itu. Ia justru membiarkan tubuhnya terus ditarik oleh akar itu dan mengikuti kemana akar itu bergerak dengan terus melemaskan tubuhnya.Ia hanya memindahkan dan sedikit menggerakkan tubuhnya apabila ia terseret di area yang cukup membahayakan dirinya. Dan saat ia tau bahwa akar itu menariknya mendekati sebuah pohon dan pastilah ia akan menabrak pohon besar tersebut, maka cepat-cepat ia menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, sehingga ia terangkat dan mengapung ke atas.Lalu ia meraih salahsatu dahan pohon itu dan di saat bersamaan mengayunkan kakinya ke atas kuat-kuat disertai tenaga dalamnya. Hingga akhirnya akar pohon yang membelit kedua kakinya itu pun putus. Dan ia tampak bergelantungan di pohon, setelah berhasil meloloskan diri dari jerat akar yang misterius itu.Mereka berkumpul kembali setelah terpisah puluhan tombak, akibat terkena
Tak disangka pada saat mereka baru saja melewati setengah panjang danau itu, hujan yang begitu deras tiba-tiba turun merepotkan mereka bertiga. Angin bertiup kencang menggoyang keseimbangan mereka. Raut panik mulai terpancar di wajah mereka. Kondisi cuaca nampaknya sedang kurang bersahabat, namun dengan sekuat tenaga mereka berpegangan erat pada rakit itu dan terus mendayung lebih cepat.Petir terus menggelegar di seantero langit, kondisi air yang sebelumnya tampak tenang menjadi sedikit bergejolak beriak-riak, membuat laju rakit yang mereka dayung itu menjadi tersendat-sendat, sehingga mereka tampak terombang-ambing di tengah danau.Seluruh tubuh mereka kontan basah kuyup, dan untung saja kitab itu mempunyai sampul pelindung yang berbahan perak, sehingga tahan dari serangan air yang berusaha menembus kitab itu. Itulah barang yang paling berharga yang harus dijaga oleh Arya Wisesa dalam keadaan seperti itu.Karena riak-riak air disertai angin yang semakin kencang menggoyang rakit mere
“Aku tidak peduli dengan laki-laki paruh baya itu, dan seberapa sakti ilmu yang dia miliki. Yang sedang aku cari saat ini hanyalah pemuda itu, pemuda bernama Arya Wisesa yang telah lama kucari sejak berbulan-bulan yang lalu. Tapi apabila laki-laki paruh baya itu yang menjadi penghalang untuk menangkap pemuda itu, maka pedangku sendiri yang akan memenggal kepalanya!” tegas Bara Jagal.“Ya, kisanak. Sejauh ini hanya itu yang aku ketahui. Karena sejak beredarnya selebaran itu, kami juga jadi ikut mencari-cari di mana pemuda itu. Tapi sebaiknya kisanak merubah tujuan ke arah timur, karena pemuda itu memang sudah meninggalkan Desa Gandareksa beberapa hari yang lalu.” Garang Bonggol memberanikan diri memberi saran pada Bara Jagal.“Hmmm, kau benar juga. Apakah kau masih tertarik mengikuti sayembara itu dan mendapatkan hadiahnya?” tanya Bara Jagal.“Oh, tentu saja kisanak, bagiku itu adalah hadiah yang sangat besar, karena bagi perampok pinggiran desa seperti kami butuh waktu berbulan-bulan
Di kuil yang ada di puncak gunung itu Arya Wisesa menjadi semakin rajin melakukan meditasi.Di tempat itulah, dari hasil meditasinya ia mulai mendapat petunjuk tentang di mana keberadaan dua pedang sakti yang saat ini sedang ia cari. Ia menyimpan petunjuk yang telah ia baca di dalam kitab ilmu silat itu dalam kepalanya. Setelah ini, ia akan memulai perjalanan baru untuk menemukan kedua pedang tersebut.Pada pagi hari, setelah lima hari berturut-turut bermeditasi di kuil tersebut, Arya Wisesa memberi tahu Wisangpati tentang rencananya yang akan segera pergi mencari kedua pedang sakti sesuai dengan petunjuk yang telah didapatkannya.Sambil duduk bersila berhadap-hadapan, mereka pun terlihat mengobrol dengan serius.“Paman, dari petunjuk yang telah aku dapat dari kitab ilmu silat, dua pedang sakti itu berada di arah barat. Tersimpan di sebuah gua yang berbeda. Aku meminta izin untuk pergi mencari kedua pedang tersebut,” kata Arya Wisesa.“Apa kau sudah benar-benar yakin, Arya? Kedua peda