Arya Wisesa disambut oleh cahaya matahari pagi yang cerah, udara sejuk, dan kicau burung yang saling bersahutan ketika ia sudah menginjakkan kakinya di lereng bukit. Ia sudah berjalan cukup jauh, melewati pepohonan yang lebat dan rapat serta semak belukar yang ada di kanan kirinya selama perjalanan. Maka kini posisinya sudah sangat aman dari kejaran musuh.Dilihatnya sebuah pohon besar yang menghadap ke bawah bukit, sejenak ia duduk di bawah pohon besar yang rindang itu untuk mengistirahatkan tubuhnya sebelum kembali melanjutkan perjalanan.Ia bahkan masih belum punya rencana, kemanakah setelah ini? Ia belum tahu, tempat mana yang mesti dituju. Yang menjadi tujuannya hanyalah ingin membalaskan dendam atas kematian guru dan kehancuran perguruannya.Alhasil, ia jadi terlihat melamun sendirian, sambil memandangi luas bentang alam yang indah di depannya.“Andai manusia tak punya sifat keserakahan dan bisa mengendalikan nafsunya, mungkin tak akan ada pertumpahan darah dan kekacauan di duni
Matahari mulai redup, pertanda sore akan segera datang. Lekas-lekas ia mencari tempat yang lebih datar di lereng itu. Lantas ia kumpulkan kayu-kayu dan ranting kering. Setelah dirasa cukup, diarahkanlah telapak tangannya ke tumpukan kayu itu. Maka tak berapa lama api pun menyala dan berkobar dengan cepat, siap digunakan untuk memanggang ayam buruannya.Dengan menggunakan tenaga dalamnya pula ia merontokkan bulu lebat yang menempel pada tubuh ayam itu, lalu mengambil kayu kecil yang ujungnya rucing dan ia tusukan kayu itu ke tubuh si ayam untuk dibuatnya menjadi bekakak.Ia taruh ayam yang ditusuk itu di atas bara api sambil terus membolak-balikkan badannya. Hingga beberapa puluh menit kemudian, ayam yang dipanggang itu pun matang dan siap disantap. Aroma lezat yang menguar dari ayam panggang itu sungguh menggoda seleranya. Ia pun memakan ayam itu dengan lahapnya.“Ah, nikmat sekali,” ujarnya sambil bersendawa beberapa kali.Perutnya kini sudah kenyang dan dahaganya sudah terobati, seh
Sejak hari masih gelap Arya Wisesa sudah mulai mendaki. Dan ketika waktu pagi datang bersama matahari yang sangat cerah dari arah timur, ia telah sampai di puncak bukit.Dari kejauhan terlihat sebuah pedesaan di arah utara dari tempatnya berdiri. Ia akan pergi ke desa itu untuk mencari siapa pun yang bisa mengajarinya bahasa kuno. Ia tak akan berlama-lama di puncak itu dan akan kembali menempuh perjalanan puluhan kilo meter untuk bisa sampai ke desa yang ada di seberang bukit itu.Meski masih sangat jauh, namun perjalanannya kini tak akan terasa melelahkan dan menguras tenaganya dibanding pada saat ia terus menanjak hingga sampai ke puncak bukit.Dalam perjalanannya kali ini ia akan terus menurun dan melewati jalan datar menerobos hutan yang ditumbuhi pepohonan dan semak belukar yang sangat lebat. Persediaan air pun masih cukup aman untuknya dan tidak akan lagi kehausan di perjalanan.Sejauh ini belum ada satu pun manusia yang ia temui di hutan itu. Ia hanya perlu waspada pada babi hu
Terpaksa ia mengeluarkan ilmu Lompatan Raja Srigala. Kini gerakannya lebih gesit daripada sebelumnya. Membuat serangan-serangan si gadis menjadi tampak mudah terbaca. Dan ketika gadis itu hendak menendang sekuat-kuatnya ke arah perut Arya Wisesa, cepat-cepat ia merendahkan tubuhnya ke bawah menghindari serangan.Lantas ia hantam balik kaki si gadis dengan sebuah tendangan sapuan yang memutar, sebuah serangan tak terduga yang membuat gadis itu sedikit terkejut dan gagal segera meloncat. Alhasil, tendangan dari Arya Wisesa berhasil mendarat di betis kirinya. Membuat ia hilang keseimbangan dan akhirnya jatuh terduduk ke tanah.“Ahhhh….!” Si gadis langsung mendesah kesakitan sambil memegangi betisnya.Arya Wisesa yang tak tega cepat-cepat langsung mendekat menghampirinya, menyentuh betisnya dan memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.Karena sebelum melancarkan serangan balik itu, ia sudah memperkirakan bahwa tendangannya tak akan menimbulkan efek yang sangat parah. Ia sudah mengukurnya
“Aduhhh…, kakiku.” Si gadis mendesah lagi, tampak kesakitan.“Saudari, tak perlu memaksakan. Kumohon, jangan menolak bantuanku. Sudah seharusnya aku menolongmu,” kata Arya Wisesa sangat peduli pada si gadis.Lantas ia pun mengambil posisi membelakangi si gadis dan merendahkan tubuhnya, namun si gadis tak kunjung paham apa yang menjadi maksud Arya Wisesa.“Apa yang mau kamu lakukan?” tanya si gadis.“Menggendongmu Saudari,” jawab Arya Wisesa. “Cepatlah, hari sudah semakin sore sebelum kita kemalaman di sini. Tolong tunjukkan saja jalannya, ke mana arah rumahmu.”“Tapi bagaimana dengan kayu bakar yang kau bawa?” Si gadis bertanya.“Ah, aku hampir lupa. Tolong kau bantu ikat kayu ini di depan badanku, dan kau akan kugendong di belakang,” kata Arya Wisesa.Maka diikatkanlah kayu bakar itu di depan badannya. Sementara si gadis ikut di belakang gendongannya, dan mereka pun melanjutkan perjalanan.Dalam gendongan pemuda itu, berbinarlah kedua mata si gadis. Diam-diam ia memancarkan senyum le
“Apa yang telah kau lakukan pada putriku?” tanya lelaki paruh baya itu dengan tatapan tajam.Meski umurnya tidak lagi muda, ia masih tampak gagah dan berwibawa.“Ma– maaf, Paman. Ak– aku ….”“Ini salahku Ayah, aku yang menyerangnya terlebih dahulu. Aku telah salah menuduhnya sebagai pencuri.” Si gadis tiba-tiba menyela dan membela Arya Wisesa.“Kalau ternyata benar pemuda ini adalah pencuri, bagaimana?” tanya sang ayah.Baru berbicara saja, lelaki itu sudah memancarkan aura yang sangat dominan. Suaranya penuh wibawa dan dalam dirinya tersimpan sebuah ketegasan yang bisa terbaca dan dirasakan langsung oleh Arya Wisesa.“Aku yakin dia bukan pencuri, Ayah. Dia orang baik,” jawab si gadis.“Hmmm…,” respon lelaki paruh baya itu hanya mendeham saja.Ia lantas kembali mengamati pendekar muda yang berpakaian putih-putih dan berambut gondrong itu dari ujung kepala, hingga ujung kaki. Dengan serius dan tatapan tajamnya, diamatilah pula logo kecil bergambar srigala yang menempel di baju sebelah
Maka bertanyalah Arya Wisesa, “Apa itu, Paman? Apa yang harus aku lakukan?”“Tolong kau selidiki dan tangkap para perampok jahat yang sudah mencuri ternak warga desa,” perintah si laki-laki paruh baya.“Kuperingatkan kau agar berhati-hati dan tak menyepelekan mereka. Perampok itu bergerombol dan dipimpin oleh orang yang ilmu silatnya lumayan tinggi. Mereka sangat kejam dan tidak segan-segan membunuh orang yang berusaha melawan. Dan kabarnya, sekarang mereka mulai merampok perhiasan dan juga barang-barang berharga milik warga.” Si laki-laki paruh baya mewanti-wanti pada Arya Wisesa.“Baik, Paman. Aku akan segera menyelidiki dan melumpuhkan para perampok itu,” jawab Arya Wisesa menyanggupi permintaan si laki-laki paruh baya.“Tidak mesti sekarang juga, Anak Muda. Kau istirahatlah terlebih dahulu. Hari ini aku membuat sup ayam hutan dan kau pasti sudah sangat lapar,” sahutnya.Si gadis yang ternyata mendengarkan dengan sangat serius percakapan dua orang laki-laki yang ada di ruangan itu,
Setelah meletakkan cangkulnya, laki-laki tua itu pun akhirnya menghampiri mereka yang berada di tepi sawah.“Ada apa memanggilku, Anak Muda?” tanya laki-laki tua itu.“Maaf Kakek, kami mengganggu pekerjaan Kakek. Kami datang dari pojok desa dan bermaksud ingin bertanya pada Kakek, apakah benar di desa ini ada rampok yang sering mencuri ternak dan perhiasan milik warga desa?” sahut Arya Wisesa sekaligus bertanya dengan sopan.“Ah, betul sekali Anak Muda, kami sudah sangat resah dengan para perampok itu. Tak terhitung sudah berapa banyak kerugian yang kami alami. Sudah dua kambingku yang mereka curi. Mereka benar-benar serakah dan kejam sekali Anak Muda,” jawab si kakek.“Jumlah mereka ada berapa orang, Kek?” Arya Wisesa bertanya lagi. “Dan apakah Kakek tahu di mana persembunyian mereka?”“Oh, setahuku mereka berjumlah lima orang. Tapi mereka bukan perampok biasa, mereka kuat-kuat dan nampaknya punya ilmu silat yang lumayan tinggi,” kata si laki-laki tua itu menjawab.“Ah, soal di mana
“Ya, betul. Mulai saat ini aku dan seluruh pendekar Gagak Hitam menyatakan akan selalu setia pada Saudara Arya Wisesa. Untuk itu kami mempersilahkan Saudara Arya yang memilih sendiri nama perguruan yang cocok untuk kami.” Jaya Wiguna ikut menambahkan.“Terimakasih atas penawaran dari Saudara semuanya. Untuk menjadi pemimpin, sepertinya aku masihlah belum layak. Aku sungguh sangat menghargai niat Saudara berdua yang ingin menyatukan perguruan, aku mendukung niat baik Saudara berdua. Tapi maaf aku belum bersedia untuk menerima tawaran ini.” Arya Wisesa menjawab.Namun penolakan itu sepertinya membuat Purwasena dan Jaya Wiguna makin berusaha keras membujuknya untuk bersedia menjadi pemimpin mereka dan mendirikan perguruan baru yang lebih kuat.Karena tentu harus ada pemimpin baru ketika dua perguruan ini ingin bersatu. Tak mungkin Purwasena atau Jaya Wiguna sendiri yang menjadi pemimpin dari dua perguruan ini, yang pasti akan menimbulkan banyak ketidaksetujuan. Mereka hanya ingin Arya Wis
Para pendekar itu menjadi saling pandang dan bertanya-tanya, pedang apa yang sedang dipegang oleh Arya Wisesa? Dan dari mana pula ia bisa mendapatkan pedang sebagus itu? Mereka tampak takjub dan perhatian mereka kini justru menjadi terfokus pada Arya Wisesa. Dan untuk sementara menghentikan pertarungan yang sempat berlangsung sengit.“Sekali lagi kuperingatkan! Hentikan pertarungan kalian, atau akan kubuat rata tempat ini!” ancam Arya Wisesa tak main-main sambil ia mengacungkan pedang itu ke atas langit.Sebuah sinar hijau terus memancar dan kini bumi menjadi sedikit bergoncang. Membuat mereka tak percaya dan tubuh mereka sedikit terhuyung terombang-ambing ke kanan dan ke kiri.Mereka mulai takut dan dibikin ngeri oleh Arya Wisesa. Kepanikan itu tak bisa disembunyikan dari wajah mereka. Membuat salahsatu pendekar Bangau Merah akhirnya mau menuruti perintah Arya Wisesa.“Cukup Saudara, kami mengakui kau pendekar hebat. Dan pedang yang kau punya itu sepertinya punya kekuatan yang tak ter
Mereka berlari ke arah gerobak yang ditarik oleh kuda itu. Dan ketika kain hitam itu tersingkap, barulah ketahuan bahwa yang mereka bawa digerobak itu ternyata adalah senjata! Bukan perbekalan atau pun logistik seperti yang dikatakan oleh Jaya Wiguna.Apakah Gagak Hitam sengaja melakukan itu? Kalau itu sengaja dan sudah direncanakan, maka jelas Jaya Wiguna telah berdusta dan melanggar kesepakatan. Ia telah berkhianat dan ia bukan saja telah menyakiti hati para pendekar Bangau Merah, tapi juga sudah memicu api dendam dalam diri mereka.Kini bukan saja jumlah mereka yang jauh lebih unggul, tapi mereka juga menggunakan senjata untuk bertarung. Situasi seperti ini tentu saja tidak menguntungkan bagi Bangau Merah. Sehingga itu membuat Purwasena makin naik darah.“Jahanam, kau Jaya Wiguna! Rupanya kau telah berdusta dan melanggar kesepakatan di antara kita. Kau memang bedebah dan licik!” gerutu Purwasena, wajahnya makin membesi dibalut amarah.“Hua-ha-ha, ini konsekuensi yang pantas diterim
“Saudara Jaya Wiguna seharusnya menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas kejadian ini. Saudara seharusnya bisa mencegah hal itu tidak terjadi. Saudara tidak bisa lepas tangan begitu saja!” kata Purwasena mulai menekan.“Saudara tidak perlu menasehatiku terlalu jauh! Muridku juga tidak akan bertindak sejauh itu, kalau Saudara bisa mendidik murid Saudara sendiri dengan benar! Dan tidak menjadi pendekar yang gemar mengeroyok pendekar perguruan lain sampai meninggal!” Jaya Wiguna tak mau kalah dan malah balik menekan.“Aku tidak bermaksud menasehati, Saudara. Tapi aku sangat menyayangkan tindakan dari pendekar Gagak Hitam yang merespon kejadian itu terlalu berlebihan dan sangat tidak manusiawi! Itu sangat biadab, Saudara!” Purwasena tidak berhenti dan terus menekan.“Huh! Lalu apakah tindakan pengeroyokan sampai menghilangkan nyawa itu adalah tindakan yang tidak biadab? Saudara harusnya berkaca dulu sebelum berbicara!” timpal Jaya Wiguna tak kalah keras.Kedua pemimpin Perguruan
“Baik, kami akan menyampaikan ini pada Perguruan Bangau Merah. Semoga pada waktunya kita bisa bertemu kembali dan menyepakati apa yang telah kita bicarakan.” Wisangpati menyahut.“Oh ya, sebelumnya aku meminta izin untuk memperkenalkan diri. Aku Jaya Wiguna, ketua Perguruan Gagak Hitam.” Akhirnya orang itu memberi tahu namanya.“Sebuah kehormatan bagiku bisa bertemu dengan saudara Jaya Wiguna,” sahut Wisangpati.“Baiklah saudara Wisangpati, kami perkenankan kalian berdua untuk kembali ke Perguruan Bangau Merah dan menyampaikan apa yang menjadi keinginan kami,” kata Jaya Wiguna.Wisangpati dan Arya Wisesa kompak menjura dan mereka pun segera bergegas kembali ke Perguruan Bangau Merah.Dengan menunggangi kuda perjalanan mereka menjadi lebih cepat. Terlihat para pendekar Bangau Merah sudah menunggu kepulangan mereka sore itu. Mereka penasaran apa hasil yang didapat oleh Wisangpati dan Arya Wisesa yang mereka utus melaksanakan misi diplomasi mewakili perguruan mereka.Namun karena hari ma
Mereka segera berangkat ke Perguruan Gagak Hitam yang ada di desa sebelah utara. Memang batas desa ini hanya dipisah oleh sebuah sungai lebar yang membentang dari timur ke barat.Untuk masuk ke desa itu harus melalui sebuah jembatan yang lebarnya hanya bisa dimasuki dua kuda. Itu sudah cukup bagi mereka. Dan Perguruan Bangau Merah tak keberatan untuk meminjamkan kuda sebagai tumpangan mereka.Cukup dalam setengah hari dengan menunggangi kuda waktu yang mereka tempuh untuk sampai di Padepokan Perguruan Gagak Hitam. Saat mereka tiba di sana, situasi tak kalah ramai dan nampaknya orang-orang di perguruan itu juga sedang mengadakan rapat darurat. Rapat itu lebih sunyi dan rahasia, karena mereka terlihat hanya berbisik satu sama lain.Namun mereka terlihat panik tatkala melihat kedatangan dua orang asing yang menunggangi kuda menuju padepokan mereka. Beberapa orang langsung cabut senjata dari balik pinggang mereka, hanya pemimpinnya saja yang terlihat tenang sambil memperhatikan waspada.D
“Mereka semua sangat biadab! Kenapa harus menyerang warga desa yang tidak bersalah? Mereka telah melanggar sumpah mereka sendiri sebagai seorang pendekar!” Arya Wisesa ikut marah ketika mendengar penjelasan dari nenek tua itu. Ia tampak terkejut dan tidak percaya dengan kebiadaban yang telah dilakukan oleh Perguruan Gagak Hitam.“Aku pun tak tahu, Den. Sepertinya tidak lama lagi akan terjadi peperangan besar antara dua perguruan ini. Aku hanya bisa berharap pertolongan Dewa segera datang. Dan ada orang yang bisa menengahi konflik ini, agar tidak ada lagi korban yang berjatuhan,“ sahut si nenek terlihat lemas dan pasrah terhadap keadaan.“Kalau kami boleh tahu, di mana letak Perguruan Bangau Merah itu, Nek?” tanya Wisangpati.“Kisanak berdua terus saja menyusuri jalan desa ini. Setelah melewati rumah terakhir, Kisanak berdua belok saja ke kanan, ada jalan yang agak menanjak menuju sebuah bukit. Nah, dari kejauhan pasti terlihat ada bangunan padepokan di bukit itu,” jawab si nenek.Mere
“Idemu tidak terlalu buruk,” kata Garang Bonggol.“Tapi sedari awal aku ingin pemuda itu yang berhasil kautangkap, sehingga aku bisa langsung membawa pemuda itu ke hadapan Tuan Bara Jagal. Dengan begitu, dia akan memberiku imbalan besar dan kenaikan pangkat. Sayangnya kau tak bisa memenuhi keinginanku, jadi aku terpaksa tak akan memberimu imbalan tambahan,” lanjutnya.“Sekarang, begini saja Tuan, cepat atau lambat pemuda itu pasti akan datang ke Padepokan Perguruan Naga Api. Kita sebar seluruh pasukan kita untuk berpatroli di setiap sudut sebelum masuk ke area padepokan. Saat dia datang dan sebelum benar-benar sampai di padepokan, kita akan sergap dan lumpuhkan dia bersama-sama!” Kebo Ijo memberi ide lagi.Garang Bonggol tampak berpikir dan tak langsung setuju dengan ide Kebo Ijo. Setelah berpikir sejenak ia pun menyahut, “Hmmm, aku kurang setuju dengan idemu. Karena tentu kita perlu mengerahkan pasukan yang lumayan banyak, sedangkan kita tidak tahu pemuda itu akan masuk ke padepokan
“Kalian semua mundur! Dan kembalilah ke kuda kalian masing-masing!” seru Kebo Ijo kepada sepuluh orang prajurit itu.Mereka senang bukan kepalang, karena beberapa orang di antaranya terlihat sudah mulai kehabisan tenaga. Ada yang terpincang-pincang, ada yang lebam-lebam di bagian wajah, ada yang memegangi perutnya, dan ada yang terluka di bagian bibirnya akibat bertarung dengan Wisangpati.“Dengar, orangtua payah dan pemuda bodoh! Jika kalian ingin gadis ini selamat, temui aku di Padepokan Perguruan Naga Api!” kata Kebo Ijo memberi pesan ancaman kepada Arya Wisesa dan Wisangpati.“Keparat kau, manusia hina! Aku akan menghajar dan memenggal kepalamu sekarang juga!” bentak Arya Wisesa seraya berdiri dan satu tangannya sudah mulai memegang hulu pedang yang tergantung di punggungnya.Ia sadar kekuatan fisiknya mulai melemah akibat racun yang terus masuk menjalari seluruh tubuhnya itu.“Terus saja kau mengoceh sesukamu! Dan serang aku jika tenagamu masih cukup. Ketahuilah, kalau kau tak pa