Setelah meletakkan cangkulnya, laki-laki tua itu pun akhirnya menghampiri mereka yang berada di tepi sawah.“Ada apa memanggilku, Anak Muda?” tanya laki-laki tua itu.“Maaf Kakek, kami mengganggu pekerjaan Kakek. Kami datang dari pojok desa dan bermaksud ingin bertanya pada Kakek, apakah benar di desa ini ada rampok yang sering mencuri ternak dan perhiasan milik warga desa?” sahut Arya Wisesa sekaligus bertanya dengan sopan.“Ah, betul sekali Anak Muda, kami sudah sangat resah dengan para perampok itu. Tak terhitung sudah berapa banyak kerugian yang kami alami. Sudah dua kambingku yang mereka curi. Mereka benar-benar serakah dan kejam sekali Anak Muda,” jawab si kakek.“Jumlah mereka ada berapa orang, Kek?” Arya Wisesa bertanya lagi. “Dan apakah Kakek tahu di mana persembunyian mereka?”“Oh, setahuku mereka berjumlah lima orang. Tapi mereka bukan perampok biasa, mereka kuat-kuat dan nampaknya punya ilmu silat yang lumayan tinggi,” kata si laki-laki tua itu menjawab.“Ah, soal di mana
Saat Arya Wisesa sedang memesan makanan dan bercakap-cakap seperti itu dengan pemilik kedai, di bagian meja paling pojok terlihat empat orang pemuda berbisik-bisik sambil melirik ke arah Dewi Raraswati.“Hei lihat, gadis itu sangat cantik sekali,” kata salahsatu dari empat pemuda itu, memberi tahu temannya. Ia tampak yang paling gendut di antara yang lain.Keempatnya terlihat sedang ngobrol-ngobrol sambil minum-minum tuak di kedai itu. Dari sikap dan bagaimana cara mereka bertingkah, sudah dapat terbaca bahwa mereka bukanlah orang baik-baik.Dari cara duduknya saja, mereka sudah terlihat tidak sopan. Mengangkat kaki mereka tinggi-tinggi, hingga ada yang menyelonjorkan kakinya di atas meja, seolah mereka paling berkuasa di kedai itu.“Oh, itu anaknya Wisangpati, si petani tua yang rumahnya di tepi hutan itu,” sahut temannya. Yang ini berperawakan sedang dan berwajah serius.“Sayang sekali, kalau gadis cantik yang sedang mekar-mekarnya itu jarang dijamah,” sahut si pemuda yang satu lagi
Setelah keadaan sudah kembali tenang, mereka pun bersiap untuk menyantap makanan. Diteguklah segelas air bening oleh Arya Wisesa. Ia mungkin cukup haus karena sudah mengeluarkan tenaga untuk melawan keempat pemuda berandalan tadi.“Apa tadi kau bilang? Kau berkata pada mereka bahwa aku ini kekasihmu? Enak saja kau mengaku-ngaku kekasihku!” kata Dewi Raraswati sedikit memprotes.Ia yang baru saja hendak menyantap makanan, jadi terhenti sejenak oleh pertanyaan Dewi Raraswati yang sedikit mengejutkannya.“Mungkin kau salah dengar, yang bilang kau kekasihku itu kan, mereka. Bukan aku,” sahut Arya Wisesa coba mengelak.Padahal jelas-jelas tadi ia berkata demikian. Dewi Raraswati mendengarnya sendiri, karena ia berdiri persis di belakangnya.“Ah, bisa saja kau membuat alasan. Yasudah, aku lapar mau makan saja,” katanya agak cemberut.Sebenarnya jauh di lubuk hatinya, gadis itu merasa girang ketika Arya Wisesa mengaku-ngaku sebagai kekasihnya. Bahkan lebih jauh ia sebenarnya juga ingin pende
‘Kenapa kau tidak mengerti juga, Arya? Bukan hutan itu yang membuatku takut, tapi yang lebih aku takutkan adalah kehilanganmu. Aku tidak ingin kau kenapa-kenapa, Arya.’Melihat gadis di depannya hanya diam saja tak merespon dan hanya melirik ke arah lain, Arya Wisesa kembali berbicara pada Dewi Raraswati.“Dewi? Kau tidak apa-apa? Apakah ada yang salah dengan ucapanku?” tanya Arya Wisesa menyadarkan lamunannya.Gadis itu hanya menggelengkan kepala, lalu menunduk. Wajahnya masih terlihat cemberut.‘Aku tak menyangka ucapanku bisa membuatmu menangis, Dewi. Ingin sekali rasanya aku memelukmu, tapi aku tak bisa, aku tak kuasa melakukannya.’Diusaplah air mata yang tersisa di pelupuk matanya. Arya Wisesa tampak menyesal sudah membuat gadis itu menangis. Ia pikir, Dewi Raraswati tak akan merespon sampai sebegitunya. Rupanya, di balik sikapnya yang ketus, cuek, dan sedikit menyebalkan, ia juga memiliki hati yang lembut dan sangat perasa sekali.“Baiklah, kita istirahat terlebih dulu. Tak per
Arya Wisesa pun tersenyum ketika mendengar ucapan bocah itu. Dan tujuannya menjadi seorang pendekar masih perlu dimaklumi. Itu normal dan wajar, karena selama ini mungkin ia sering dianggap lemah dan disepelekan oleh teman-temannya karena tidak memiliki orangtua.“Cita-cita yang bagus, Paman sangat mendukung cita-citamu. Tapi ketahuilah, untuk menjadi seorang pendekar yang hebat itu tidak mudah. Diperlukan usaha dan latihan yang keras untuk mencapainya. Menjadi kuat saja tidak cukup, karena itu bukanlah tujuan utama seorang pendekar sejati.Karena sudah banyak pendekar kuat dan hebat di dunia ini, tapi tidak semua pendekar itu mengabdi pada kebenaran dan membantu orang-orang yang lemah. Justru banyak dari mereka malah menciptakan malapetaka dan kejahatan di mana-mana yang merugikan banyak orang.Maka, untuk jadi seorang pendekar yang hebat dan tangguh, diperlukan juga sebuah niat dan hati yang bersih. Seorang pendekar tidak boleh sombong dan menyalahgunakan kekuatannya untuk tujuan yan
Meski yang lainnya tidak percaya dan tampak ragu dengan apa yang diceritakan oleh Arya Wisesa, namun ia sangat begitu yakin dengan apa yang telah ia lihat. Bukan hanya sebatas halusinasi atau perasaannya saja.Sementara Dewi Raraswati terlihat sudah merebahkan badan sambil memejamkan matanya. Tidur terlentang di atas dipan di ruang tengah rumah nenek tua itu.Arya Wisesa melakukan hal yang sama, namun dirinya masih saja diliputi perasaan gelisah. Alhasil, ia jadi susah tidur dan hanya memandangi langit-langit rumah dengan tatapan kosong. Tampak melamun sendirian saat yang lainnya sudah tertidur.Suara jangkrik dan belalang makin terdengar bersahutan di luar rumah, pertanda bahwa waktu sudah memasuki tengah malam. Kelalawar mulai beterbangan terlihat aktif beraktivitas di malam hari.Namun baru saja ia tidur sebentar dan hampir terlelap, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara kegaduhan dari arah desa sebelah utara. Ada suara-suara derap kaki, seperti banyak orang berlari dan lama kelama
Ucapan si pemuda warga desa itu terasa menyakitkan, namun Arya Wisesa berusaha tetap sabar dan hanya diam saja tak menyahut.“Kau bukannya berterimakasih akan kami tolong, tapi malah meremehkan kami, huh!” gerutu Dewi Raraswati pada pemuda warga desa itu.“Aha-ha, memang seperti itu kenyataannya, Saudari. Silahkan saja kau pergi ke sana bila tak percaya, mereka pasti tak akan segan-segan mencelakaimu!” katannya lagi sambil tertawa pula.“Tutup mulutmu, Saudara! Tak usah banyak bicara! Dan kenapa tidak kau sendiri saja yang menangkap para perampok itu jika kau punya nyali?!” sahut gadis itu makin ketus.“Cukup! Tak ada gunanya kita berdebat seperti ini. Percuma saja, tak akan menyelesaikan masalah. Biarlah ini menjadi tanggung jawabku dan ini sudah menjadi tugasku, meski nyawa yang akan menjadi taruhannya!” sergah Arya Wisesa.Tak menyahut lagi, gadis itu langsung melengos begitu saja masuk kembali ke dalam rumah si nenek. Mukanya cemberut dan kembali merajuk.Karena merasa pengejaran
“Kakimu terluka, Dewi. Kau jangan dulu banyak bergerak, biar kubasuh dulu luka di kakimu itu,” kata pemuda itu tampak sangat perhatian.Darah itu mengucur setetes demi tetes di bagian betisnya. Gadis itu pun menurut dan sejenak ia duduk sambil menyelonjorkan kedua kakinya di hadapan Arya Wisesa.“Iya Arya, tidak apa-apa. Kau tak perlu khawatir, ini hanya luka biasa.” Gadis itu berusaha untuk tetap terlihat kuat.Namun Arya Wisesa merasa luka di kaki Dewi Raraswati itu cukup serius. Karena ketika ia selesai membasuh kaki gadis itu, dilihatnya ranting kering sebesar ujung kelingking yang ternyata menancap di betisnya.Diam-diam pada saat gadis itu sedang melirik ke arah lain, dengan cepat ia mencongkel ranting itu dengan ujung kuku telunjuknya sehingga membuat si gadis mendesah sesaat karena kesakitan.“Ahhhhh….!” desah si gadis.“Lihat Dewi, ada ranting kering yang menancap di kakimu. Ini bukan luka biasa, dan harus segera diobati!” kata Arya Wisesa.Ia tampak agak kesal juga sebenarny
Dipanggillah Garang Bonggol yang ikut menumpang di kuda rombongan pasukannya itu untuk mendekat ke arahnya dan ia pun langsung menggerendeng, “Sudah berhari-hari kita naik turun menerobos hutan demi hutan, tapi aku belum juga menemukan bocah itu, apakah kau membohongiku?!” Tatapannya begitu tajam dan mengintimidasi.“Ampun Kisanak, aku tidak berbohong, anak buahku sendiri yang bersaksi bahwa mereka sempat bertarung dengan bocah yang dilindungi oleh pendekar bertudung caping itu. Mereka benar-benar bergerak ke arah timur,” sahut Garang Bonggol sedikit gugup.“Kalau benar dia bergerak ke arah timur, kita sudah pasti menemukannya dan berhasil menyusulnya. Tapi kau bisa saksikan sendiri sudah berhari-hari kita menjelajah hingga sampai di kaki gunung ini, tapi kita belum juga menemukannya!” Bara Jagal kembali menggerutu.Tiba-tiba Muladra yang juga ikut menumpang di kuda rombongan pasukan itu ikut mendekat ke arah Bara Jagal dan berkata dengan sopan, “Ampun Kisanak, menurut pengamatanku, m
“Jangan bergerak! Rumah ini sudah kami kepung, kalau kalian bertiga macam-macam, maka kami semua akan menghabisi kalian!” kata pemuda yang paling depan yang memimpin penyergapan itu sambil mengacungkan goloknya ke arah Arya Wisesa, Dewi Raraswati, dan juga Wisangpati.Ketiganya dibuat bingung oleh tingkah si pemuda ini. Pemuda ini pula yang tadi berteriak-teriak histeris sambil berlari singgah dari rumah ke rumah memberi tahu warga desa, bahwa ada orang asing yang datang ke desanya. Tingkahnya begitu aneh dan tampak panik, padahal ketiganya terlihat tidak mengancam sama sekali.Namun sebelum mereka benar-benar berbuat anarkis, si pemilik rumah langsung menenangkan situasi.“Tenanglah, jangan berbuat kasar! Mereka bukan orang jahat, mereka dari Desa Gandareksa dan hanya menumpang sebentar di desa ini. Kami baik-baik saja, jangan khawatir. Kalian kembalilah ke rumah masing-masing,” kata si pemilik rumah.“Bagaimana kalau ketiga orang ini hanya pura-pura baik dan punya maksud tersembunyi
“Tenanglah, aku bukan orang jahat, aku hanya ingin berbicara denganmu. Kau sangat cantik sekali,” kata Dewi Raraswati, memuji sekaligus menenangkan anak itu sambil mengusap kepalanya dengan lembut.Namun tiba-tiba saja pintu rumah itu terbuka dan dua orang dewasa sudah berdiri di ambang pintu dengan memegang senjata di masing-masing tangannya.Seorang pria telah menarik busur panah, dan mengarahkan panah itu ke arah Dewi Raraswati. Sementara seorang wanita telah siap dengan golok panjang di tangannya. Tatapan mereka begitu tajam sekali. Dan pria itu menggertak pada Dewi Raraswati, “Siapa kau orang asing?! Jangan macam-macam! Jika kau berani menyentuh anak kami, maka anak panah ini akan melesat menembus kepalamu!”“Cepat kau pergi dari desa ini, atau kami berdua akan berteriak memanggil warga yang lain untuk mengeroyokmu sampai tewas!” Si wanita yang juga pemilik rumah itu ikut menggertak sambil mengacungkan goloknya ke arah Dewi Raraswati.Mendengar ada keributan di depan rumah itu, A
Setelah berjuang begitu hebat mengerahkan seluruh tenaga dan ilmu kanuragannya, akhirnya Arya Wisesa berhasil mencabut pedang itu. Dan senjata pusaka itu kini telah menjadi miliknya. Tampak keringat membanjiri tubuhnya setelah ia berjuang dengan keras untuk mendapatkan pedang itu dan wajahnya menjadi tampak semringah sekali ketika pedang itu masih saja mengeluarkan cahaya hijau menyelimuti seluruh bilahnya.Namun mereka harus cepat-cepat keluar dari gua itu sebelum atap gua itu benar-benar ambruk, karena tanahnya terus berjatuhan ke bawah dan bebatuan atap gua itu mulai retak pertanda akan juga segera tumpah ke bawah. Mereka harus segera lari melewati lorong demi lorong gua itu kalau tidak ingin mati terkubur hidup-hidup.Karena pedang itu tidak memiliki warangka, bergegas Arya Wisesa membungkus bilahnya dengan kain putih, lalu ia ikatkan tali di kedua ujung pedang itu untuk kemudian ia sarungkan di balik punggungnya. Karena bagaimanapun pedang itu cukup panjang dan memiliki bilah yan
“Aku memang sosok siluman yang telah berpuluh-puluh tahun tinggal di gua ini. Dan aku bukan pemilik pedang pusaka itu, tapi aku punya kewajiban untuk menjaga pedang pusaka itu agar tidak jatuh ke tangan orang yang jahat. Aku juga tidak bermaksud hendak membuat kalian celaka, atau berbuat jahat pada kalian, karena itu bukanlah watakku sebagai siluman golongan putih. Aku menyerang kalian karena aku ingin memastikan kalian bukan hendak berbuat onar. Dan sepertinya kalian adalah orang-orang baik dan jujur yang tampak sesuai dengan tingkah laku kalian,” tutur Wirageni.“Terimakasih atas pengertian Saudara Wirageni, sebuah kehormatan bagiku bisa bertemu denganmu. Saudara telah menjalankan tugas dengan baik. Soal kejadian tadi, menurutku tak perlu dipersoalkan, karena yang terpenting adalah kita sudah mengenal satu sama lain. Dan Saudara menjadi saksi bahwa muridku Arya Wisesa telah bertekad dan bersumpah untuk menjaga pedang pusaka itu sebaik-baiknya,” sahut Wisangpati berbicara dengan sopa
Sementara di saat bersamaan, Wisangpati tidak kalah berjuang hebat demi bisa lolos dari jerat akar yang tiba-tiba membelit kakinya dengan misterius itu. Ia justru membiarkan tubuhnya terus ditarik oleh akar itu dan mengikuti kemana akar itu bergerak dengan terus melemaskan tubuhnya.Ia hanya memindahkan dan sedikit menggerakkan tubuhnya apabila ia terseret di area yang cukup membahayakan dirinya. Dan saat ia tau bahwa akar itu menariknya mendekati sebuah pohon dan pastilah ia akan menabrak pohon besar tersebut, maka cepat-cepat ia menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, sehingga ia terangkat dan mengapung ke atas.Lalu ia meraih salahsatu dahan pohon itu dan di saat bersamaan mengayunkan kakinya ke atas kuat-kuat disertai tenaga dalamnya. Hingga akhirnya akar pohon yang membelit kedua kakinya itu pun putus. Dan ia tampak bergelantungan di pohon, setelah berhasil meloloskan diri dari jerat akar yang misterius itu.Mereka berkumpul kembali setelah terpisah puluhan tombak, akibat terkena
Tak disangka pada saat mereka baru saja melewati setengah panjang danau itu, hujan yang begitu deras tiba-tiba turun merepotkan mereka bertiga. Angin bertiup kencang menggoyang keseimbangan mereka. Raut panik mulai terpancar di wajah mereka. Kondisi cuaca nampaknya sedang kurang bersahabat, namun dengan sekuat tenaga mereka berpegangan erat pada rakit itu dan terus mendayung lebih cepat.Petir terus menggelegar di seantero langit, kondisi air yang sebelumnya tampak tenang menjadi sedikit bergejolak beriak-riak, membuat laju rakit yang mereka dayung itu menjadi tersendat-sendat, sehingga mereka tampak terombang-ambing di tengah danau.Seluruh tubuh mereka kontan basah kuyup, dan untung saja kitab itu mempunyai sampul pelindung yang berbahan perak, sehingga tahan dari serangan air yang berusaha menembus kitab itu. Itulah barang yang paling berharga yang harus dijaga oleh Arya Wisesa dalam keadaan seperti itu.Karena riak-riak air disertai angin yang semakin kencang menggoyang rakit mere
“Aku tidak peduli dengan laki-laki paruh baya itu, dan seberapa sakti ilmu yang dia miliki. Yang sedang aku cari saat ini hanyalah pemuda itu, pemuda bernama Arya Wisesa yang telah lama kucari sejak berbulan-bulan yang lalu. Tapi apabila laki-laki paruh baya itu yang menjadi penghalang untuk menangkap pemuda itu, maka pedangku sendiri yang akan memenggal kepalanya!” tegas Bara Jagal.“Ya, kisanak. Sejauh ini hanya itu yang aku ketahui. Karena sejak beredarnya selebaran itu, kami juga jadi ikut mencari-cari di mana pemuda itu. Tapi sebaiknya kisanak merubah tujuan ke arah timur, karena pemuda itu memang sudah meninggalkan Desa Gandareksa beberapa hari yang lalu.” Garang Bonggol memberanikan diri memberi saran pada Bara Jagal.“Hmmm, kau benar juga. Apakah kau masih tertarik mengikuti sayembara itu dan mendapatkan hadiahnya?” tanya Bara Jagal.“Oh, tentu saja kisanak, bagiku itu adalah hadiah yang sangat besar, karena bagi perampok pinggiran desa seperti kami butuh waktu berbulan-bulan
Di kuil yang ada di puncak gunung itu Arya Wisesa menjadi semakin rajin melakukan meditasi.Di tempat itulah, dari hasil meditasinya ia mulai mendapat petunjuk tentang di mana keberadaan dua pedang sakti yang saat ini sedang ia cari. Ia menyimpan petunjuk yang telah ia baca di dalam kitab ilmu silat itu dalam kepalanya. Setelah ini, ia akan memulai perjalanan baru untuk menemukan kedua pedang tersebut.Pada pagi hari, setelah lima hari berturut-turut bermeditasi di kuil tersebut, Arya Wisesa memberi tahu Wisangpati tentang rencananya yang akan segera pergi mencari kedua pedang sakti sesuai dengan petunjuk yang telah didapatkannya.Sambil duduk bersila berhadap-hadapan, mereka pun terlihat mengobrol dengan serius.“Paman, dari petunjuk yang telah aku dapat dari kitab ilmu silat, dua pedang sakti itu berada di arah barat. Tersimpan di sebuah gua yang berbeda. Aku meminta izin untuk pergi mencari kedua pedang tersebut,” kata Arya Wisesa.“Apa kau sudah benar-benar yakin, Arya? Kedua peda