Ucapan si pemuda warga desa itu terasa menyakitkan, namun Arya Wisesa berusaha tetap sabar dan hanya diam saja tak menyahut.“Kau bukannya berterimakasih akan kami tolong, tapi malah meremehkan kami, huh!” gerutu Dewi Raraswati pada pemuda warga desa itu.“Aha-ha, memang seperti itu kenyataannya, Saudari. Silahkan saja kau pergi ke sana bila tak percaya, mereka pasti tak akan segan-segan mencelakaimu!” katannya lagi sambil tertawa pula.“Tutup mulutmu, Saudara! Tak usah banyak bicara! Dan kenapa tidak kau sendiri saja yang menangkap para perampok itu jika kau punya nyali?!” sahut gadis itu makin ketus.“Cukup! Tak ada gunanya kita berdebat seperti ini. Percuma saja, tak akan menyelesaikan masalah. Biarlah ini menjadi tanggung jawabku dan ini sudah menjadi tugasku, meski nyawa yang akan menjadi taruhannya!” sergah Arya Wisesa.Tak menyahut lagi, gadis itu langsung melengos begitu saja masuk kembali ke dalam rumah si nenek. Mukanya cemberut dan kembali merajuk.Karena merasa pengejaran
“Kakimu terluka, Dewi. Kau jangan dulu banyak bergerak, biar kubasuh dulu luka di kakimu itu,” kata pemuda itu tampak sangat perhatian.Darah itu mengucur setetes demi tetes di bagian betisnya. Gadis itu pun menurut dan sejenak ia duduk sambil menyelonjorkan kedua kakinya di hadapan Arya Wisesa.“Iya Arya, tidak apa-apa. Kau tak perlu khawatir, ini hanya luka biasa.” Gadis itu berusaha untuk tetap terlihat kuat.Namun Arya Wisesa merasa luka di kaki Dewi Raraswati itu cukup serius. Karena ketika ia selesai membasuh kaki gadis itu, dilihatnya ranting kering sebesar ujung kelingking yang ternyata menancap di betisnya.Diam-diam pada saat gadis itu sedang melirik ke arah lain, dengan cepat ia mencongkel ranting itu dengan ujung kuku telunjuknya sehingga membuat si gadis mendesah sesaat karena kesakitan.“Ahhhhh….!” desah si gadis.“Lihat Dewi, ada ranting kering yang menancap di kakimu. Ini bukan luka biasa, dan harus segera diobati!” kata Arya Wisesa.Ia tampak agak kesal juga sebenarny
Hanya seperlima tenaga dalamnya saja yang mereka gunakan, karena mereka memang tidak berniat untuk membunuh ajak-ajak itu.Namun baru saja selesai urusan mereka dengan dua ajak itu, tiba-tiba muncul lagi enam ekor ajak dari balik semak-semak. Hewan ini memang hidup berkelompok, sehingga tak heran apabila mereka menyerbu secara keroyokan pula.Terkejutlah mereka dan mukanya langsung berubah panik, melihat kawanan ajak yang beringas dan ganas itu hendak menyerang ke arah mereka. Lidah-lidahnya terjulur tampak lapar, sehingga manusia pun tak luput dari sasaran buruan mereka.Kini mereka jadi lebih sibuk daripada sebelumnya karena harus menghadapi hewan ganas itu dari berbagai sisi.Mereka tak boleh kalah gesit dari ajak-ajak itu dalam hal bergerak maupun mengelak. Jika tidak, pastilah mereka akan kena terkam lalu ajak-ajak itu secara sadis mengoyak tubuh mereka dan memakan dagingnya untuk dijadikan sebagai santapan ramai-ramai.Celakanya, empat ekor ajak justru memilih mengeroyok Dewi Ra
Gangguan-gangguan yang mereka terima selama perjalanan di hutan itu tidak hanya berlangsung pada siang hari saja, tapi ketika malam tiba mereka dikejutkan oleh suara-suara aneh yang terdengar menggema di sekeliling mereka. Jelas saja, itu membuat keduanya gelisah dan menjadi terganggu akhirnya waktu istirahat mereka.Suara itu terdengar mirip seperti suara tawa raksasa, terdengar besar dan menggelegar.Mula-mula suara itu hanya terdengar dari kejauhan, lalu suara itu lama-lama makin terdengar mendekat dan semakin terdengar jelas oleh telinga mereka.‘Hua-ha-ha-ha-ha…!’Seperti itulah bunyi suara tawa yang terdengar menyeramkan itu.Ditambah keadaan hutan yang gelap dan sepi membuat suasana terasa makin mencekam, dan hawa dingin makin terasa menyentuh kulit mereka.Tidak ada bulan, juga tidak ada bintang yang bersinar di atas langit sana, benar-benar gelap. Hanya api unggun satu-satunya yang menerangi sekeliling mereka.“Arya, kau dengar suara itu?” tanya Dewi Raraswati.“Ya, aku bisa
“Awas, Dewi….!” teriak Arya Wisesa yang berdiri paling depan.Ia langsung saja melompat ke depan sambil merunduk rendahkan tubuh, dengan posisi langsung tiarap di tanah. Sementara Dewi Raraswati memilih meloncat ke atas, sejauh lima tombak dengan ilmu meringankan tubuhnya.Hampir saja sejengkal lagi batang pohon itu menghantam kakinya, tapi beruntunglah gadis itu cukup cepat dan tak terlambat, sehingga ia berhasil menghindar dan batang pohon itu hanya menabrak pohon lain yang ada di belakangnya hingga patah jadi dua.Sekarang giliran Arya Wisesa yang meloncat ke atas sejauh tiga tombak, sambil melemparkan sebuah batu yang ia pungut dan disertai kekuatan tenaga dalamnya menyasar kepala makhluk tinggi besar itu.Sialnya, sebelum batu itu benar-benar mendarat di kepalanya, makhluk penunggu hutan itu tiba-tiba lenyap menghilang, mengeluarkan asap putih tebal, seolah batu yang dilemparkannya itu menembus tubuhnya yang berubah menjadi asap itu. Dan tahu-tahu, makhluk itu sudah berpindah ada
Dari perjalanan yang banyak membuahkan pengalaman penting itu, akhirnya ikatan batin di antara mereka terus tumbuh dan menjadikan keduanya sepasang pendekar yang saling melengkapi satu sama lain.Di situlah letak kekuatan yang sesungguhnya, karena sesulit dan seberat apa pun ujian yang dihadapi akan terasa lebih ringan apabila diselesaikan bersama-sama. Saat satu dari kedua yang berpasangan itu hilang, maka tentu saja setengah kekuatannya pun akan hilang.Setelah keadaan yang cukup berbahaya dan mengancam nyawa itu berhasil mereka kendalikan, mereka pun memutuskan kembali melanjutkan perjalanan. Keduanya harus segera sampai di tempat yang mereka tuju sebelum matahari tenggelam, agar tidak sampai kemalaman. Karena keadaan itu akan menyulitkan mereka berdua dan pastilah lebih menguntungkan para perampok itu.Khawatir masih ada buaya lain yang hidup di sungai itu, Arya Wisesa berkata pada Dewi Raraswati, “Tak aman sepertinya kalau kita langsung terjun ke air untuk menyebrangi sungai ini.
“Itu baru permulaan, bocah tengik!” kata si ketua rampok yang masih berdiri di atas sana. “Kasihan juga melihatmu bertarung sendirian. Baiklah kukabulkan permintaanmu!”Maka melesatlah parangnya yang seperti bumerang itu berputar-putar di udara dan memutus tali yang mengikat kaki Dewi Raraswati.Melihat keadaan itu, Arya Wisesa langsung berlari dan melompat ke area di mana Dewi Raraswati akan segera mendarat setelah meluncur dari atas dalam posisi menukik. Ia langsung merentangkan kedua tangan di depan, bersiap menangkap tubuh Dewi Raraswati.Gadis itu menjerit karena tampak kesulitan menyeimbangkan tubuhnya. Dan sekira tujuh detik lagi gadis itu akan segera terjatuh ke tanah, Arya Wisesa langsung menangkapnya dan berhasil menyelamatkan si gadis dalam dekapannya. Hingga mereka terguling-guling bersama dengan posisi tak sengaja berpelukan.Keadaan itu membuat kening gadis itu terluka dan mengeluarkan darah. Kepalanya membentur tanah yang berkerikil sehingga keningnya itu sedikit tergor
Garang Bonggol si ketua rampok itu langsung menggerutu ketika melihat ketiga anak buahnya mundur terhuyung dari gelanggang pertarungan. “Huh! Bodoh kalian! Menghadapi bocah-bocah ingusan seperti itu saja tak becus!”“Ternyata bocah-bocah itu punya ilmu silat yang lumayan, Ketua. Apalagi yang lelaki, dia cukup berbahaya dan bertarung seperti srigala,” sahut anak buahnya yang terkena cakaran itu.“Ahhh, banyak alasan! Biar aku sendiri yang turun tangan!” katanya sambil mengepalkan kedua tangan.Ia langsung melompat sambil menjulurkan satu kakinya hendak menendang ke arah Arya Wisesa, namun sebelum lima detik lagi tendangan itu mendarat di dadanya, dengan cepat Arya Wisesa elakkan tubuh ke samping dan hantamkan satu pukulan ke arah leher, tapi dengan mudah pukulan itu ditepis oleh Garang Bonggol dan ia balas hantamkan lulutnya ke perut Arya Wisesa.Pemuda itu kalah cepat dan telat menghindar, sehingga ia sedikit terkena dengkulan Garang Bonggol dan langsung terseret beberapa langkah ke b
Dipanggillah Garang Bonggol yang ikut menumpang di kuda rombongan pasukannya itu untuk mendekat ke arahnya dan ia pun langsung menggerendeng, “Sudah berhari-hari kita naik turun menerobos hutan demi hutan, tapi aku belum juga menemukan bocah itu, apakah kau membohongiku?!” Tatapannya begitu tajam dan mengintimidasi.“Ampun Kisanak, aku tidak berbohong, anak buahku sendiri yang bersaksi bahwa mereka sempat bertarung dengan bocah yang dilindungi oleh pendekar bertudung caping itu. Mereka benar-benar bergerak ke arah timur,” sahut Garang Bonggol sedikit gugup.“Kalau benar dia bergerak ke arah timur, kita sudah pasti menemukannya dan berhasil menyusulnya. Tapi kau bisa saksikan sendiri sudah berhari-hari kita menjelajah hingga sampai di kaki gunung ini, tapi kita belum juga menemukannya!” Bara Jagal kembali menggerutu.Tiba-tiba Muladra yang juga ikut menumpang di kuda rombongan pasukan itu ikut mendekat ke arah Bara Jagal dan berkata dengan sopan, “Ampun Kisanak, menurut pengamatanku, m
“Jangan bergerak! Rumah ini sudah kami kepung, kalau kalian bertiga macam-macam, maka kami semua akan menghabisi kalian!” kata pemuda yang paling depan yang memimpin penyergapan itu sambil mengacungkan goloknya ke arah Arya Wisesa, Dewi Raraswati, dan juga Wisangpati.Ketiganya dibuat bingung oleh tingkah si pemuda ini. Pemuda ini pula yang tadi berteriak-teriak histeris sambil berlari singgah dari rumah ke rumah memberi tahu warga desa, bahwa ada orang asing yang datang ke desanya. Tingkahnya begitu aneh dan tampak panik, padahal ketiganya terlihat tidak mengancam sama sekali.Namun sebelum mereka benar-benar berbuat anarkis, si pemilik rumah langsung menenangkan situasi.“Tenanglah, jangan berbuat kasar! Mereka bukan orang jahat, mereka dari Desa Gandareksa dan hanya menumpang sebentar di desa ini. Kami baik-baik saja, jangan khawatir. Kalian kembalilah ke rumah masing-masing,” kata si pemilik rumah.“Bagaimana kalau ketiga orang ini hanya pura-pura baik dan punya maksud tersembunyi
“Tenanglah, aku bukan orang jahat, aku hanya ingin berbicara denganmu. Kau sangat cantik sekali,” kata Dewi Raraswati, memuji sekaligus menenangkan anak itu sambil mengusap kepalanya dengan lembut.Namun tiba-tiba saja pintu rumah itu terbuka dan dua orang dewasa sudah berdiri di ambang pintu dengan memegang senjata di masing-masing tangannya.Seorang pria telah menarik busur panah, dan mengarahkan panah itu ke arah Dewi Raraswati. Sementara seorang wanita telah siap dengan golok panjang di tangannya. Tatapan mereka begitu tajam sekali. Dan pria itu menggertak pada Dewi Raraswati, “Siapa kau orang asing?! Jangan macam-macam! Jika kau berani menyentuh anak kami, maka anak panah ini akan melesat menembus kepalamu!”“Cepat kau pergi dari desa ini, atau kami berdua akan berteriak memanggil warga yang lain untuk mengeroyokmu sampai tewas!” Si wanita yang juga pemilik rumah itu ikut menggertak sambil mengacungkan goloknya ke arah Dewi Raraswati.Mendengar ada keributan di depan rumah itu, A
Setelah berjuang begitu hebat mengerahkan seluruh tenaga dan ilmu kanuragannya, akhirnya Arya Wisesa berhasil mencabut pedang itu. Dan senjata pusaka itu kini telah menjadi miliknya. Tampak keringat membanjiri tubuhnya setelah ia berjuang dengan keras untuk mendapatkan pedang itu dan wajahnya menjadi tampak semringah sekali ketika pedang itu masih saja mengeluarkan cahaya hijau menyelimuti seluruh bilahnya.Namun mereka harus cepat-cepat keluar dari gua itu sebelum atap gua itu benar-benar ambruk, karena tanahnya terus berjatuhan ke bawah dan bebatuan atap gua itu mulai retak pertanda akan juga segera tumpah ke bawah. Mereka harus segera lari melewati lorong demi lorong gua itu kalau tidak ingin mati terkubur hidup-hidup.Karena pedang itu tidak memiliki warangka, bergegas Arya Wisesa membungkus bilahnya dengan kain putih, lalu ia ikatkan tali di kedua ujung pedang itu untuk kemudian ia sarungkan di balik punggungnya. Karena bagaimanapun pedang itu cukup panjang dan memiliki bilah yan
“Aku memang sosok siluman yang telah berpuluh-puluh tahun tinggal di gua ini. Dan aku bukan pemilik pedang pusaka itu, tapi aku punya kewajiban untuk menjaga pedang pusaka itu agar tidak jatuh ke tangan orang yang jahat. Aku juga tidak bermaksud hendak membuat kalian celaka, atau berbuat jahat pada kalian, karena itu bukanlah watakku sebagai siluman golongan putih. Aku menyerang kalian karena aku ingin memastikan kalian bukan hendak berbuat onar. Dan sepertinya kalian adalah orang-orang baik dan jujur yang tampak sesuai dengan tingkah laku kalian,” tutur Wirageni.“Terimakasih atas pengertian Saudara Wirageni, sebuah kehormatan bagiku bisa bertemu denganmu. Saudara telah menjalankan tugas dengan baik. Soal kejadian tadi, menurutku tak perlu dipersoalkan, karena yang terpenting adalah kita sudah mengenal satu sama lain. Dan Saudara menjadi saksi bahwa muridku Arya Wisesa telah bertekad dan bersumpah untuk menjaga pedang pusaka itu sebaik-baiknya,” sahut Wisangpati berbicara dengan sopa
Sementara di saat bersamaan, Wisangpati tidak kalah berjuang hebat demi bisa lolos dari jerat akar yang tiba-tiba membelit kakinya dengan misterius itu. Ia justru membiarkan tubuhnya terus ditarik oleh akar itu dan mengikuti kemana akar itu bergerak dengan terus melemaskan tubuhnya.Ia hanya memindahkan dan sedikit menggerakkan tubuhnya apabila ia terseret di area yang cukup membahayakan dirinya. Dan saat ia tau bahwa akar itu menariknya mendekati sebuah pohon dan pastilah ia akan menabrak pohon besar tersebut, maka cepat-cepat ia menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, sehingga ia terangkat dan mengapung ke atas.Lalu ia meraih salahsatu dahan pohon itu dan di saat bersamaan mengayunkan kakinya ke atas kuat-kuat disertai tenaga dalamnya. Hingga akhirnya akar pohon yang membelit kedua kakinya itu pun putus. Dan ia tampak bergelantungan di pohon, setelah berhasil meloloskan diri dari jerat akar yang misterius itu.Mereka berkumpul kembali setelah terpisah puluhan tombak, akibat terkena
Tak disangka pada saat mereka baru saja melewati setengah panjang danau itu, hujan yang begitu deras tiba-tiba turun merepotkan mereka bertiga. Angin bertiup kencang menggoyang keseimbangan mereka. Raut panik mulai terpancar di wajah mereka. Kondisi cuaca nampaknya sedang kurang bersahabat, namun dengan sekuat tenaga mereka berpegangan erat pada rakit itu dan terus mendayung lebih cepat.Petir terus menggelegar di seantero langit, kondisi air yang sebelumnya tampak tenang menjadi sedikit bergejolak beriak-riak, membuat laju rakit yang mereka dayung itu menjadi tersendat-sendat, sehingga mereka tampak terombang-ambing di tengah danau.Seluruh tubuh mereka kontan basah kuyup, dan untung saja kitab itu mempunyai sampul pelindung yang berbahan perak, sehingga tahan dari serangan air yang berusaha menembus kitab itu. Itulah barang yang paling berharga yang harus dijaga oleh Arya Wisesa dalam keadaan seperti itu.Karena riak-riak air disertai angin yang semakin kencang menggoyang rakit mere
“Aku tidak peduli dengan laki-laki paruh baya itu, dan seberapa sakti ilmu yang dia miliki. Yang sedang aku cari saat ini hanyalah pemuda itu, pemuda bernama Arya Wisesa yang telah lama kucari sejak berbulan-bulan yang lalu. Tapi apabila laki-laki paruh baya itu yang menjadi penghalang untuk menangkap pemuda itu, maka pedangku sendiri yang akan memenggal kepalanya!” tegas Bara Jagal.“Ya, kisanak. Sejauh ini hanya itu yang aku ketahui. Karena sejak beredarnya selebaran itu, kami juga jadi ikut mencari-cari di mana pemuda itu. Tapi sebaiknya kisanak merubah tujuan ke arah timur, karena pemuda itu memang sudah meninggalkan Desa Gandareksa beberapa hari yang lalu.” Garang Bonggol memberanikan diri memberi saran pada Bara Jagal.“Hmmm, kau benar juga. Apakah kau masih tertarik mengikuti sayembara itu dan mendapatkan hadiahnya?” tanya Bara Jagal.“Oh, tentu saja kisanak, bagiku itu adalah hadiah yang sangat besar, karena bagi perampok pinggiran desa seperti kami butuh waktu berbulan-bulan
Di kuil yang ada di puncak gunung itu Arya Wisesa menjadi semakin rajin melakukan meditasi.Di tempat itulah, dari hasil meditasinya ia mulai mendapat petunjuk tentang di mana keberadaan dua pedang sakti yang saat ini sedang ia cari. Ia menyimpan petunjuk yang telah ia baca di dalam kitab ilmu silat itu dalam kepalanya. Setelah ini, ia akan memulai perjalanan baru untuk menemukan kedua pedang tersebut.Pada pagi hari, setelah lima hari berturut-turut bermeditasi di kuil tersebut, Arya Wisesa memberi tahu Wisangpati tentang rencananya yang akan segera pergi mencari kedua pedang sakti sesuai dengan petunjuk yang telah didapatkannya.Sambil duduk bersila berhadap-hadapan, mereka pun terlihat mengobrol dengan serius.“Paman, dari petunjuk yang telah aku dapat dari kitab ilmu silat, dua pedang sakti itu berada di arah barat. Tersimpan di sebuah gua yang berbeda. Aku meminta izin untuk pergi mencari kedua pedang tersebut,” kata Arya Wisesa.“Apa kau sudah benar-benar yakin, Arya? Kedua peda