‘Kenapa kau tidak mengerti juga, Arya? Bukan hutan itu yang membuatku takut, tapi yang lebih aku takutkan adalah kehilanganmu. Aku tidak ingin kau kenapa-kenapa, Arya.’Melihat gadis di depannya hanya diam saja tak merespon dan hanya melirik ke arah lain, Arya Wisesa kembali berbicara pada Dewi Raraswati.“Dewi? Kau tidak apa-apa? Apakah ada yang salah dengan ucapanku?” tanya Arya Wisesa menyadarkan lamunannya.Gadis itu hanya menggelengkan kepala, lalu menunduk. Wajahnya masih terlihat cemberut.‘Aku tak menyangka ucapanku bisa membuatmu menangis, Dewi. Ingin sekali rasanya aku memelukmu, tapi aku tak bisa, aku tak kuasa melakukannya.’Diusaplah air mata yang tersisa di pelupuk matanya. Arya Wisesa tampak menyesal sudah membuat gadis itu menangis. Ia pikir, Dewi Raraswati tak akan merespon sampai sebegitunya. Rupanya, di balik sikapnya yang ketus, cuek, dan sedikit menyebalkan, ia juga memiliki hati yang lembut dan sangat perasa sekali.“Baiklah, kita istirahat terlebih dulu. Tak per
Arya Wisesa pun tersenyum ketika mendengar ucapan bocah itu. Dan tujuannya menjadi seorang pendekar masih perlu dimaklumi. Itu normal dan wajar, karena selama ini mungkin ia sering dianggap lemah dan disepelekan oleh teman-temannya karena tidak memiliki orangtua.“Cita-cita yang bagus, Paman sangat mendukung cita-citamu. Tapi ketahuilah, untuk menjadi seorang pendekar yang hebat itu tidak mudah. Diperlukan usaha dan latihan yang keras untuk mencapainya. Menjadi kuat saja tidak cukup, karena itu bukanlah tujuan utama seorang pendekar sejati.Karena sudah banyak pendekar kuat dan hebat di dunia ini, tapi tidak semua pendekar itu mengabdi pada kebenaran dan membantu orang-orang yang lemah. Justru banyak dari mereka malah menciptakan malapetaka dan kejahatan di mana-mana yang merugikan banyak orang.Maka, untuk jadi seorang pendekar yang hebat dan tangguh, diperlukan juga sebuah niat dan hati yang bersih. Seorang pendekar tidak boleh sombong dan menyalahgunakan kekuatannya untuk tujuan yan
Meski yang lainnya tidak percaya dan tampak ragu dengan apa yang diceritakan oleh Arya Wisesa, namun ia sangat begitu yakin dengan apa yang telah ia lihat. Bukan hanya sebatas halusinasi atau perasaannya saja.Sementara Dewi Raraswati terlihat sudah merebahkan badan sambil memejamkan matanya. Tidur terlentang di atas dipan di ruang tengah rumah nenek tua itu.Arya Wisesa melakukan hal yang sama, namun dirinya masih saja diliputi perasaan gelisah. Alhasil, ia jadi susah tidur dan hanya memandangi langit-langit rumah dengan tatapan kosong. Tampak melamun sendirian saat yang lainnya sudah tertidur.Suara jangkrik dan belalang makin terdengar bersahutan di luar rumah, pertanda bahwa waktu sudah memasuki tengah malam. Kelalawar mulai beterbangan terlihat aktif beraktivitas di malam hari.Namun baru saja ia tidur sebentar dan hampir terlelap, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara kegaduhan dari arah desa sebelah utara. Ada suara-suara derap kaki, seperti banyak orang berlari dan lama kelama
Ucapan si pemuda warga desa itu terasa menyakitkan, namun Arya Wisesa berusaha tetap sabar dan hanya diam saja tak menyahut.“Kau bukannya berterimakasih akan kami tolong, tapi malah meremehkan kami, huh!” gerutu Dewi Raraswati pada pemuda warga desa itu.“Aha-ha, memang seperti itu kenyataannya, Saudari. Silahkan saja kau pergi ke sana bila tak percaya, mereka pasti tak akan segan-segan mencelakaimu!” katannya lagi sambil tertawa pula.“Tutup mulutmu, Saudara! Tak usah banyak bicara! Dan kenapa tidak kau sendiri saja yang menangkap para perampok itu jika kau punya nyali?!” sahut gadis itu makin ketus.“Cukup! Tak ada gunanya kita berdebat seperti ini. Percuma saja, tak akan menyelesaikan masalah. Biarlah ini menjadi tanggung jawabku dan ini sudah menjadi tugasku, meski nyawa yang akan menjadi taruhannya!” sergah Arya Wisesa.Tak menyahut lagi, gadis itu langsung melengos begitu saja masuk kembali ke dalam rumah si nenek. Mukanya cemberut dan kembali merajuk.Karena merasa pengejaran
“Kakimu terluka, Dewi. Kau jangan dulu banyak bergerak, biar kubasuh dulu luka di kakimu itu,” kata pemuda itu tampak sangat perhatian.Darah itu mengucur setetes demi tetes di bagian betisnya. Gadis itu pun menurut dan sejenak ia duduk sambil menyelonjorkan kedua kakinya di hadapan Arya Wisesa.“Iya Arya, tidak apa-apa. Kau tak perlu khawatir, ini hanya luka biasa.” Gadis itu berusaha untuk tetap terlihat kuat.Namun Arya Wisesa merasa luka di kaki Dewi Raraswati itu cukup serius. Karena ketika ia selesai membasuh kaki gadis itu, dilihatnya ranting kering sebesar ujung kelingking yang ternyata menancap di betisnya.Diam-diam pada saat gadis itu sedang melirik ke arah lain, dengan cepat ia mencongkel ranting itu dengan ujung kuku telunjuknya sehingga membuat si gadis mendesah sesaat karena kesakitan.“Ahhhhh….!” desah si gadis.“Lihat Dewi, ada ranting kering yang menancap di kakimu. Ini bukan luka biasa, dan harus segera diobati!” kata Arya Wisesa.Ia tampak agak kesal juga sebenarny
Hanya seperlima tenaga dalamnya saja yang mereka gunakan, karena mereka memang tidak berniat untuk membunuh ajak-ajak itu.Namun baru saja selesai urusan mereka dengan dua ajak itu, tiba-tiba muncul lagi enam ekor ajak dari balik semak-semak. Hewan ini memang hidup berkelompok, sehingga tak heran apabila mereka menyerbu secara keroyokan pula.Terkejutlah mereka dan mukanya langsung berubah panik, melihat kawanan ajak yang beringas dan ganas itu hendak menyerang ke arah mereka. Lidah-lidahnya terjulur tampak lapar, sehingga manusia pun tak luput dari sasaran buruan mereka.Kini mereka jadi lebih sibuk daripada sebelumnya karena harus menghadapi hewan ganas itu dari berbagai sisi.Mereka tak boleh kalah gesit dari ajak-ajak itu dalam hal bergerak maupun mengelak. Jika tidak, pastilah mereka akan kena terkam lalu ajak-ajak itu secara sadis mengoyak tubuh mereka dan memakan dagingnya untuk dijadikan sebagai santapan ramai-ramai.Celakanya, empat ekor ajak justru memilih mengeroyok Dewi Ra
Gangguan-gangguan yang mereka terima selama perjalanan di hutan itu tidak hanya berlangsung pada siang hari saja, tapi ketika malam tiba mereka dikejutkan oleh suara-suara aneh yang terdengar menggema di sekeliling mereka. Jelas saja, itu membuat keduanya gelisah dan menjadi terganggu akhirnya waktu istirahat mereka.Suara itu terdengar mirip seperti suara tawa raksasa, terdengar besar dan menggelegar.Mula-mula suara itu hanya terdengar dari kejauhan, lalu suara itu lama-lama makin terdengar mendekat dan semakin terdengar jelas oleh telinga mereka.‘Hua-ha-ha-ha-ha…!’Seperti itulah bunyi suara tawa yang terdengar menyeramkan itu.Ditambah keadaan hutan yang gelap dan sepi membuat suasana terasa makin mencekam, dan hawa dingin makin terasa menyentuh kulit mereka.Tidak ada bulan, juga tidak ada bintang yang bersinar di atas langit sana, benar-benar gelap. Hanya api unggun satu-satunya yang menerangi sekeliling mereka.“Arya, kau dengar suara itu?” tanya Dewi Raraswati.“Ya, aku bisa
“Awas, Dewi….!” teriak Arya Wisesa yang berdiri paling depan.Ia langsung saja melompat ke depan sambil merunduk rendahkan tubuh, dengan posisi langsung tiarap di tanah. Sementara Dewi Raraswati memilih meloncat ke atas, sejauh lima tombak dengan ilmu meringankan tubuhnya.Hampir saja sejengkal lagi batang pohon itu menghantam kakinya, tapi beruntunglah gadis itu cukup cepat dan tak terlambat, sehingga ia berhasil menghindar dan batang pohon itu hanya menabrak pohon lain yang ada di belakangnya hingga patah jadi dua.Sekarang giliran Arya Wisesa yang meloncat ke atas sejauh tiga tombak, sambil melemparkan sebuah batu yang ia pungut dan disertai kekuatan tenaga dalamnya menyasar kepala makhluk tinggi besar itu.Sialnya, sebelum batu itu benar-benar mendarat di kepalanya, makhluk penunggu hutan itu tiba-tiba lenyap menghilang, mengeluarkan asap putih tebal, seolah batu yang dilemparkannya itu menembus tubuhnya yang berubah menjadi asap itu. Dan tahu-tahu, makhluk itu sudah berpindah ada
“Ya, betul. Mulai saat ini aku dan seluruh pendekar Gagak Hitam menyatakan akan selalu setia pada Saudara Arya Wisesa. Untuk itu kami mempersilahkan Saudara Arya yang memilih sendiri nama perguruan yang cocok untuk kami.” Jaya Wiguna ikut menambahkan.“Terimakasih atas penawaran dari Saudara semuanya. Untuk menjadi pemimpin, sepertinya aku masihlah belum layak. Aku sungguh sangat menghargai niat Saudara berdua yang ingin menyatukan perguruan, aku mendukung niat baik Saudara berdua. Tapi maaf aku belum bersedia untuk menerima tawaran ini.” Arya Wisesa menjawab.Namun penolakan itu sepertinya membuat Purwasena dan Jaya Wiguna makin berusaha keras membujuknya untuk bersedia menjadi pemimpin mereka dan mendirikan perguruan baru yang lebih kuat.Karena tentu harus ada pemimpin baru ketika dua perguruan ini ingin bersatu. Tak mungkin Purwasena atau Jaya Wiguna sendiri yang menjadi pemimpin dari dua perguruan ini, yang pasti akan menimbulkan banyak ketidaksetujuan. Mereka hanya ingin Arya Wis
Para pendekar itu menjadi saling pandang dan bertanya-tanya, pedang apa yang sedang dipegang oleh Arya Wisesa? Dan dari mana pula ia bisa mendapatkan pedang sebagus itu? Mereka tampak takjub dan perhatian mereka kini justru menjadi terfokus pada Arya Wisesa. Dan untuk sementara menghentikan pertarungan yang sempat berlangsung sengit.“Sekali lagi kuperingatkan! Hentikan pertarungan kalian, atau akan kubuat rata tempat ini!” ancam Arya Wisesa tak main-main sambil ia mengacungkan pedang itu ke atas langit.Sebuah sinar hijau terus memancar dan kini bumi menjadi sedikit bergoncang. Membuat mereka tak percaya dan tubuh mereka sedikit terhuyung terombang-ambing ke kanan dan ke kiri.Mereka mulai takut dan dibikin ngeri oleh Arya Wisesa. Kepanikan itu tak bisa disembunyikan dari wajah mereka. Membuat salahsatu pendekar Bangau Merah akhirnya mau menuruti perintah Arya Wisesa.“Cukup Saudara, kami mengakui kau pendekar hebat. Dan pedang yang kau punya itu sepertinya punya kekuatan yang tak ter
Mereka berlari ke arah gerobak yang ditarik oleh kuda itu. Dan ketika kain hitam itu tersingkap, barulah ketahuan bahwa yang mereka bawa digerobak itu ternyata adalah senjata! Bukan perbekalan atau pun logistik seperti yang dikatakan oleh Jaya Wiguna.Apakah Gagak Hitam sengaja melakukan itu? Kalau itu sengaja dan sudah direncanakan, maka jelas Jaya Wiguna telah berdusta dan melanggar kesepakatan. Ia telah berkhianat dan ia bukan saja telah menyakiti hati para pendekar Bangau Merah, tapi juga sudah memicu api dendam dalam diri mereka.Kini bukan saja jumlah mereka yang jauh lebih unggul, tapi mereka juga menggunakan senjata untuk bertarung. Situasi seperti ini tentu saja tidak menguntungkan bagi Bangau Merah. Sehingga itu membuat Purwasena makin naik darah.“Jahanam, kau Jaya Wiguna! Rupanya kau telah berdusta dan melanggar kesepakatan di antara kita. Kau memang bedebah dan licik!” gerutu Purwasena, wajahnya makin membesi dibalut amarah.“Hua-ha-ha, ini konsekuensi yang pantas diterim
“Saudara Jaya Wiguna seharusnya menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas kejadian ini. Saudara seharusnya bisa mencegah hal itu tidak terjadi. Saudara tidak bisa lepas tangan begitu saja!” kata Purwasena mulai menekan.“Saudara tidak perlu menasehatiku terlalu jauh! Muridku juga tidak akan bertindak sejauh itu, kalau Saudara bisa mendidik murid Saudara sendiri dengan benar! Dan tidak menjadi pendekar yang gemar mengeroyok pendekar perguruan lain sampai meninggal!” Jaya Wiguna tak mau kalah dan malah balik menekan.“Aku tidak bermaksud menasehati, Saudara. Tapi aku sangat menyayangkan tindakan dari pendekar Gagak Hitam yang merespon kejadian itu terlalu berlebihan dan sangat tidak manusiawi! Itu sangat biadab, Saudara!” Purwasena tidak berhenti dan terus menekan.“Huh! Lalu apakah tindakan pengeroyokan sampai menghilangkan nyawa itu adalah tindakan yang tidak biadab? Saudara harusnya berkaca dulu sebelum berbicara!” timpal Jaya Wiguna tak kalah keras.Kedua pemimpin Perguruan
“Baik, kami akan menyampaikan ini pada Perguruan Bangau Merah. Semoga pada waktunya kita bisa bertemu kembali dan menyepakati apa yang telah kita bicarakan.” Wisangpati menyahut.“Oh ya, sebelumnya aku meminta izin untuk memperkenalkan diri. Aku Jaya Wiguna, ketua Perguruan Gagak Hitam.” Akhirnya orang itu memberi tahu namanya.“Sebuah kehormatan bagiku bisa bertemu dengan saudara Jaya Wiguna,” sahut Wisangpati.“Baiklah saudara Wisangpati, kami perkenankan kalian berdua untuk kembali ke Perguruan Bangau Merah dan menyampaikan apa yang menjadi keinginan kami,” kata Jaya Wiguna.Wisangpati dan Arya Wisesa kompak menjura dan mereka pun segera bergegas kembali ke Perguruan Bangau Merah.Dengan menunggangi kuda perjalanan mereka menjadi lebih cepat. Terlihat para pendekar Bangau Merah sudah menunggu kepulangan mereka sore itu. Mereka penasaran apa hasil yang didapat oleh Wisangpati dan Arya Wisesa yang mereka utus melaksanakan misi diplomasi mewakili perguruan mereka.Namun karena hari ma
Mereka segera berangkat ke Perguruan Gagak Hitam yang ada di desa sebelah utara. Memang batas desa ini hanya dipisah oleh sebuah sungai lebar yang membentang dari timur ke barat.Untuk masuk ke desa itu harus melalui sebuah jembatan yang lebarnya hanya bisa dimasuki dua kuda. Itu sudah cukup bagi mereka. Dan Perguruan Bangau Merah tak keberatan untuk meminjamkan kuda sebagai tumpangan mereka.Cukup dalam setengah hari dengan menunggangi kuda waktu yang mereka tempuh untuk sampai di Padepokan Perguruan Gagak Hitam. Saat mereka tiba di sana, situasi tak kalah ramai dan nampaknya orang-orang di perguruan itu juga sedang mengadakan rapat darurat. Rapat itu lebih sunyi dan rahasia, karena mereka terlihat hanya berbisik satu sama lain.Namun mereka terlihat panik tatkala melihat kedatangan dua orang asing yang menunggangi kuda menuju padepokan mereka. Beberapa orang langsung cabut senjata dari balik pinggang mereka, hanya pemimpinnya saja yang terlihat tenang sambil memperhatikan waspada.D
“Mereka semua sangat biadab! Kenapa harus menyerang warga desa yang tidak bersalah? Mereka telah melanggar sumpah mereka sendiri sebagai seorang pendekar!” Arya Wisesa ikut marah ketika mendengar penjelasan dari nenek tua itu. Ia tampak terkejut dan tidak percaya dengan kebiadaban yang telah dilakukan oleh Perguruan Gagak Hitam.“Aku pun tak tahu, Den. Sepertinya tidak lama lagi akan terjadi peperangan besar antara dua perguruan ini. Aku hanya bisa berharap pertolongan Dewa segera datang. Dan ada orang yang bisa menengahi konflik ini, agar tidak ada lagi korban yang berjatuhan,“ sahut si nenek terlihat lemas dan pasrah terhadap keadaan.“Kalau kami boleh tahu, di mana letak Perguruan Bangau Merah itu, Nek?” tanya Wisangpati.“Kisanak berdua terus saja menyusuri jalan desa ini. Setelah melewati rumah terakhir, Kisanak berdua belok saja ke kanan, ada jalan yang agak menanjak menuju sebuah bukit. Nah, dari kejauhan pasti terlihat ada bangunan padepokan di bukit itu,” jawab si nenek.Mere
“Idemu tidak terlalu buruk,” kata Garang Bonggol.“Tapi sedari awal aku ingin pemuda itu yang berhasil kautangkap, sehingga aku bisa langsung membawa pemuda itu ke hadapan Tuan Bara Jagal. Dengan begitu, dia akan memberiku imbalan besar dan kenaikan pangkat. Sayangnya kau tak bisa memenuhi keinginanku, jadi aku terpaksa tak akan memberimu imbalan tambahan,” lanjutnya.“Sekarang, begini saja Tuan, cepat atau lambat pemuda itu pasti akan datang ke Padepokan Perguruan Naga Api. Kita sebar seluruh pasukan kita untuk berpatroli di setiap sudut sebelum masuk ke area padepokan. Saat dia datang dan sebelum benar-benar sampai di padepokan, kita akan sergap dan lumpuhkan dia bersama-sama!” Kebo Ijo memberi ide lagi.Garang Bonggol tampak berpikir dan tak langsung setuju dengan ide Kebo Ijo. Setelah berpikir sejenak ia pun menyahut, “Hmmm, aku kurang setuju dengan idemu. Karena tentu kita perlu mengerahkan pasukan yang lumayan banyak, sedangkan kita tidak tahu pemuda itu akan masuk ke padepokan
“Kalian semua mundur! Dan kembalilah ke kuda kalian masing-masing!” seru Kebo Ijo kepada sepuluh orang prajurit itu.Mereka senang bukan kepalang, karena beberapa orang di antaranya terlihat sudah mulai kehabisan tenaga. Ada yang terpincang-pincang, ada yang lebam-lebam di bagian wajah, ada yang memegangi perutnya, dan ada yang terluka di bagian bibirnya akibat bertarung dengan Wisangpati.“Dengar, orangtua payah dan pemuda bodoh! Jika kalian ingin gadis ini selamat, temui aku di Padepokan Perguruan Naga Api!” kata Kebo Ijo memberi pesan ancaman kepada Arya Wisesa dan Wisangpati.“Keparat kau, manusia hina! Aku akan menghajar dan memenggal kepalamu sekarang juga!” bentak Arya Wisesa seraya berdiri dan satu tangannya sudah mulai memegang hulu pedang yang tergantung di punggungnya.Ia sadar kekuatan fisiknya mulai melemah akibat racun yang terus masuk menjalari seluruh tubuhnya itu.“Terus saja kau mengoceh sesukamu! Dan serang aku jika tenagamu masih cukup. Ketahuilah, kalau kau tak pa