Beranda / Pendekar / Pendekar Pedang Naga / 70. Mencari Informasi

Share

70. Mencari Informasi

Penulis: PengkhayalMalam
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-19 20:46:01

Pertempuran berlangsung sengit, namun seiring waktu, ritme Kael dan Arsel semakin selaras. Tebasan Kael yang cepat dan gelap menyatu dengan serangan Arsel yang kuat dan berkilau seperti cahaya matahari yang membelah bayang-bayang. Setiap gerakan mereka seperti sudah terlatih sejak lama—mereka saling melindungi, saling membuka celah, dan saling mempercayai tanpa ragu.

Musuh yang awalnya bergerak lincah dan mengerikan, kini mulai goyah.

Kael melompat tinggi, menebas dari udara, sementara Arsel menyapu tanah dengan putaran pedangnya yang menghancurkan barisan lawan. Satu per satu para penjaga inti sihir runtuh, tubuh mereka pecah menjadi abu dan asap hitam.

Saat suara pertempuran berhenti, hanya suara napas mereka yang tersisa.

Kael menoleh pada Arsel yang berdiri tak jauh darinya, pedang emasnya masih bersinar hangat.

“Kalau kau tak datang, aku mungkin sudah jadi abu di tengah lembah.”

Arsel menghela napas sambil tersenyum, “Kalau kau jadi abu, siapa yang akan kuberi pelajaran saat du
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Pendekar Pedang Naga   71. Markas Musuh

    Sinar senja mulai memudar di balik barisan pepohonan rimbun yang melindungi perkemahan mereka. Udara terasa dingin, namun bukan hawa malam yang membuat Kael merasa berat. Ia duduk bersandar pada batang pohon tua, memandang jauh ke arah cakrawala yang mulai dilahap kegelapan."Kita udah kumpulin cukup info. Tapi tetap aja… tempat itu bisa jadi jebakan," ucap Kael pelan, matanya tetap menatap lurus seolah sedang mencoba membaca isi kegelapan malam. Dalam pikirannya, peta kuil dan informasi samar tentang pergerakan kelompok Bayangan Hitam terus berputar.Arsel berdiri di dekat api unggun kecil, tangannya sibuk mengasah ujung tombak cadangan. Ia tak langsung menjawab, tapi ketika suaranya terdengar, itu penuh tekad. "Aku tahu. Tapi kalau kita nunggu lebih lama, mereka bisa pindah lagi. Kita harus ambil risiko."Kael menoleh, menatap Arsel dengan sedikit kelelahan. "Kau selalu bicara soal risiko, tapi kadang aku bingung, Kael… kau sebenarnya punya rencana matang, atau kau hanya mengandal

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-19
  • Pendekar Pedang Naga   72. Menghancurkan Kuil

    Dengan segenap kekuatan, Kael dan Arsel mengerahkan segala yang mereka miliki. Ruangan tempat ritual berlangsung berubah menjadi medan pertempuran sengit. Api kecil dari ledakan awal masih membakar reruntuhan altar, menciptakan cahaya berkedip yang membuat bayangan menari-nari di dinding batu.Kael maju dengan sigap, menangkis serangan sihir dari salah satu penyihir dengan gerakan pedangnya yang cepat. Meskipun pedang naga hitam belum kembali sepenuhnya, kekuatan sejatinya sudah terasah—tubuhnya bergerak seperti air, mengikuti naluri dan pengalaman yang telah ia tempa selama ini.Di sisi lain, Arsel menebas musuh dengan pedang naga emas yang bersinar terang di tengah gelap. Cahaya dari pedangnya seperti mengusir keputusasaan yang menyelimuti ruangan. Ia tak membiarkan satu pun serangan musuh mengenai Kael—mereka saling menutup celah, saling melindungi.“Kita harus hancurkan simbol utama di tengah ruangan itu!” teriak Kael sambil menunjuk lingkaran sihir berwarna merah gelap di lantai.

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-20
  • Pendekar Pedang Naga   73. Kuil kuno dan Bayangan Hitam

    Senja hampir merayap ketika Kael dan Arsel akhirnya tiba di gerbang utama Akademi Pedang. Langit berwarna jingga keemasan, seolah menyambut kepulangan dua pendekar muda yang membawa lebih dari sekadar debu perjalanan. Di tangan mereka—dan dalam ingatan mereka—tersimpan serpihan penting tentang ancaman yang lebih besar dari sekadar bandit biasa.Saat mereka turun dari kuda, penjaga gerbang langsung membuka jalan. Salah satu murid senior segera berlari ke dalam, memberi tahu para pengajar bahwa Kael dan Arsel telah kembali.Tak butuh waktu lama sebelum mereka diantar langsung ke ruang Guru Besar.Di ruangan yang tenang dan dingin itu, Kael meletakkan gulungan catatan dan potongan artefak dari kuil yang mereka temukan di atas meja batu.“Ini bukan kuil utama,” ucap Kael. “Tapi cukup untuk memberi gambaran tentang pola gerakan mereka. Ada lebih dari satu tempat yang dipakai kelompok bayangan hitam. Dan… mereka tampaknya sudah merancang jaringan kuil gelap jauh hari sebelumnya.”Guru Besar

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-21
  • Pendekar Pedang Naga   75 Kuil Kuno Selanjutanya

    Perjalanan mereka dimulai sebelum fajar menyingsing. Hutan di depan membentang seperti rimba mimpi buruk—lebat, sunyi, dan dipenuhi aura tua yang membisikkan kutukan dalam setiap desiran angin. Langkah Kael mantap di depan, sementara Arsel membuntuti dengan tatapan siaga. Tak ada yang bicara untuk waktu yang lama. Mereka tahu, diam kadang lebih berguna daripada kata-kata.“Masih ingat kuil di utara lembah Kauren?” tanya Arsel akhirnya, suaranya nyaris tenggelam oleh suara ranting yang patah di bawah langkah mereka.Kael mengangguk. “Kuil dengan patung yang menangis darah. Aku tak pernah lupa.”“Kuil yang sekarang… lebih tua dari itu. Dan lebih hidup.”Mereka tiba di dataran tinggi menjelang senja, dan di sanalah berdiri kuil itu—tertutup kabut, dindingnya retak tapi tak roboh, seperti makhluk tua yang menolak mati. Pilar-pilar batu menjulang seperti jari raksasa yang hendak mencengkeram langit, dan di antara celah-celahnya, semburat merah samar menyala… seperti nafas dari dalam.Kael

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-22
  • Pendekar Pedang Naga   76. Dua Pilihan Sulit

    Udara di sana lebih tipis, matahari jarang muncul, dan kabut abadi menyelimuti kaki gunung seperti tirai dari masa lalu yang menolak dibuka. Penduduk desa terdekat menolak menyebutkan nama tempat itu. Mereka menyebutnya hanya dengan satu julukan:“Lubang ingatan.”“Dulu ada desa di atas sana,” ujar seorang tetua sebelum mereka berangkat. “Tapi sekarang, tak ada yang kembali dari atas sana. Kalau kalian tetap naik, bawalah satu sama lain sebagai jaminan. Kalau salah satu hilang, setidaknya yang lain bisa mengingatkan dunia bahwa kalian pernah ada.”Kael tak menjawab, hanya menatap Arsel, dan Arsel membalas tatapannya dengan anggukan. Mereka tahu risikonya. Tapi mereka juga tahu: kuil ini menyimpan kebenaran.Tiga hari naik. Dua hari tanpa cahaya. Dan pada malam keempat, mereka menemukannya.Tidak berdiri megah. Tidak seperti kuil-kuil lain yang menampakkan sisa-sisa kejayaan masa lalu. Kuil ini… terkubur. Dindingnya menyatu dengan akar dan bebatuan. Hanya satu pintu, sempit, dengan u

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-22
  • Pendekar Pedang Naga   76. Misi Selanjutnya

    Kabut putih mulai turun perlahan, menyelimuti bumi seperti lembaran kain duka. Api unggun mereka kecil, tapi cukup untuk mengusir dingin dari kulit. Bukan dari hati.Kael duduk diam, memandangi artefak yang kini tertutup kain. Di dekatnya, Arsel sedang mengasah pedangnya, tapi matanya tak pernah benar-benar meninggalkan sahabatnya.Kael akhirnya bicara, suara serak oleh keraguan yang jarang ia akui.“Arsel…” Arsel berhenti, menunggu.“Kau tahu aku tak pernah suka bertanya. Tapi… kali ini, aku butuh pendapatmu.” “Kita sudah melihat tanda-tandanya. Dunia… perlahan hancur. Tapi bagian dari diriku merasa ini bukan kehancuran, melainkan peringatan.”Ia menatap api. “Kalau naga putih benar akan bangkit dan menilai dunia… apa kita harus membiarkannya?”Sunyi.Arsel menghela napas pelan, menaruh pedangnya di pangkuan. “Aku pernah ingin membakar semua ini. Kekaisaran, perang, kebohongan—semua.” “Tapi saat aku berdiri di sisimu, aku belajar bahwa tidak semua yang rusak harus dihancurk

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-23
  • Pendekar Pedang Naga   77. Kalajengking Merah

    Pagi berikutnya disambut kabut tipis dan embun yang menempel di dedaunan. Kael sudah bangun lebih dulu, duduk di beranda sambil menulis ulang potongan peta yang ia susun dari berbagai informasi. Arsel datang membawa dua cangkir teh hangat, meletakkannya di sebelah Kael.“Kukira istirahatmu cukup,” kata Arsel dengan nada menggoda.Kael hanya mengangguk singkat. “Cukup untuk mengingat sesuatu.”Ia membuka halaman catatan yang sebelumnya tampak acak. Tapi pagi ini, pikirannya terasa jernih. Ada satu simbol yang terus muncul di berbagai cerita rakyat, potongan peta, bahkan di tembok kuil ketiga yang mereka hancurkan: seekor burung yang menggenggam bulan.“Burung Bulan,” Kael menggumam. “Itu bukan nama kuil. Tapi bisa jadi nama penjaganya… atau pelindung lokasi kuil.”Arsel mengernyit. “Burung bulan? Aku pernah dengar itu. Dari seorang pengelana tua. Ia bilang pernah melihat patung itu di tebing patah, arah barat laut dari sini.”Tebing Patah. Nama itu menggema dalam ingatan Kael. Se

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-24
  • Pendekar Pedang Naga   78. Terget Utama Musuh

    Kuil keempat berdiri seperti hantu di tengah reruntuhan batu dan hutan kering. Tak ada suara burung. Tak ada angin. Hanya keheningan yang menekan dada.Kael berdiri di hadapan pintu batu raksasa, telapak tangannya meraba ukiran lama yang hampir terhapus waktu. “Ini kuil yang berbeda,” bisiknya. “Yang ini… bangga.”Arsel menatap sekeliling, berjaga. “Apa maksudmu?”Kael menoleh, matanya serius. “Tiga kuil sebelumnya menyembunyikan bayang hitam. Tapi kuil ini… menjaganya. Menyatu dengannya.”Ia menarik pedangnya—naga hitam berdenyut pelan, seolah merespons aura kelam dari dalam.Kael menancapkan pedangnya ke tanah di depan pintu, lalu menarik gulungan yang dicuri dari Kalajengking Merah. Ia mulai membacakan potongan mantra pemecah segel—sebuah bahasa lama yang bahkan angin pun enggan menyentuh.Tanah bergetar. Pintu batu retak perlahan… tapi saat celah terbuka, kabut hitam menyembur keluar disertai suara raungan rendah, seperti ribuan suara berbisik dalam satu napas.Arsel mundu

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-25

Bab terbaru

  • Pendekar Pedang Naga   80. Bertemu Musuh Lama

    Keesokan paginya, Kael dan Arsel bergerak cepat. Mereka berpisah di dalam kota, saling menyamar sebagai pelancong biasa. Target mereka jelas: mencari jejak tentang kuil berikutnya.Kael masuk ke beberapa kios tua di pasar belakang. Ia pura-pura mengamati gulungan peta dan perhiasan antik, sambil mendengarkan percakapan orang-orang."Kau dengar soal reruntuhan di sebelah utara?" bisik seorang pedagang tua pada temannya. "Katanya, tanahnya retak sendiri… ada sesuatu yang terbangun di bawahnya."Kael mencatatnya dalam pikirannya. Reruntuhan di utara—mungkin itu kuil keempat.Sementara itu, Arsel berbicara dengan pemilik kedai. Mencoba mengorek informasi dengan santai, seolah sekadar penasaran tentang legenda lokal. Tapi saat Arsel menyebut "reruntuhan," wajah pemilik kedai itu mendadak kaku."Kau sebaiknya menjauh dari sana," katanya. "Banyak yang pergi… tak ada yang kembali."Arsel hanya tersenyum tipis, membayar minuman, lalu pergi.Mereka bertemu kembali di sudut pasar, sali

  • Pendekar Pedang Naga   79. Hari-hari Yang Sulit

    Malam itu, mereka beristirahat di sebuah dataran kecil di atas tebing, jauh dari jalur utama. Api kecil menyala di antara mereka, cukup untuk menghangatkan tubuh tanpa menarik perhatian.Kael duduk bersandar di sebuah batu besar, pedangnya bersandar di sisi tubuhnya. Arsel, di sisi lain, sibuk membungkus luka kecil di lengannya sambil sesekali melirik ke arah temannya.“Kita terlalu ceroboh.” Arsel membuka percakapan, nada suaranya santai tapi serius.Kael menghela napas panjang, membenarkan posisi duduknya. “Mungkin. Tapi kita tak punya kemewahan untuk berhenti lama-lama.”Arsel tersenyum tipis, mengambil ranting kecil dan mengaduk-aduk api. “Bukan berarti kita harus membabi buta. Sekarang mereka tahu siapa kita. Mereka akan menunggu, menjebak, bahkan mungkin memanfaatkan kuil-kuil tersisa untuk melawan kita.”Kael memejamkan mata sejenak, berpikir. “Kuil-kuil itu tidak hanya berfungsi sebagai segel… tapi juga sebagai alat komunikasi bagi para pengikut bayang. Jika satu han

  • Pendekar Pedang Naga   78. Terget Utama Musuh

    Kuil keempat berdiri seperti hantu di tengah reruntuhan batu dan hutan kering. Tak ada suara burung. Tak ada angin. Hanya keheningan yang menekan dada.Kael berdiri di hadapan pintu batu raksasa, telapak tangannya meraba ukiran lama yang hampir terhapus waktu. “Ini kuil yang berbeda,” bisiknya. “Yang ini… bangga.”Arsel menatap sekeliling, berjaga. “Apa maksudmu?”Kael menoleh, matanya serius. “Tiga kuil sebelumnya menyembunyikan bayang hitam. Tapi kuil ini… menjaganya. Menyatu dengannya.”Ia menarik pedangnya—naga hitam berdenyut pelan, seolah merespons aura kelam dari dalam.Kael menancapkan pedangnya ke tanah di depan pintu, lalu menarik gulungan yang dicuri dari Kalajengking Merah. Ia mulai membacakan potongan mantra pemecah segel—sebuah bahasa lama yang bahkan angin pun enggan menyentuh.Tanah bergetar. Pintu batu retak perlahan… tapi saat celah terbuka, kabut hitam menyembur keluar disertai suara raungan rendah, seperti ribuan suara berbisik dalam satu napas.Arsel mundu

  • Pendekar Pedang Naga   77. Kalajengking Merah

    Pagi berikutnya disambut kabut tipis dan embun yang menempel di dedaunan. Kael sudah bangun lebih dulu, duduk di beranda sambil menulis ulang potongan peta yang ia susun dari berbagai informasi. Arsel datang membawa dua cangkir teh hangat, meletakkannya di sebelah Kael.“Kukira istirahatmu cukup,” kata Arsel dengan nada menggoda.Kael hanya mengangguk singkat. “Cukup untuk mengingat sesuatu.”Ia membuka halaman catatan yang sebelumnya tampak acak. Tapi pagi ini, pikirannya terasa jernih. Ada satu simbol yang terus muncul di berbagai cerita rakyat, potongan peta, bahkan di tembok kuil ketiga yang mereka hancurkan: seekor burung yang menggenggam bulan.“Burung Bulan,” Kael menggumam. “Itu bukan nama kuil. Tapi bisa jadi nama penjaganya… atau pelindung lokasi kuil.”Arsel mengernyit. “Burung bulan? Aku pernah dengar itu. Dari seorang pengelana tua. Ia bilang pernah melihat patung itu di tebing patah, arah barat laut dari sini.”Tebing Patah. Nama itu menggema dalam ingatan Kael. Se

  • Pendekar Pedang Naga   76. Misi Selanjutnya

    Kabut putih mulai turun perlahan, menyelimuti bumi seperti lembaran kain duka. Api unggun mereka kecil, tapi cukup untuk mengusir dingin dari kulit. Bukan dari hati.Kael duduk diam, memandangi artefak yang kini tertutup kain. Di dekatnya, Arsel sedang mengasah pedangnya, tapi matanya tak pernah benar-benar meninggalkan sahabatnya.Kael akhirnya bicara, suara serak oleh keraguan yang jarang ia akui.“Arsel…” Arsel berhenti, menunggu.“Kau tahu aku tak pernah suka bertanya. Tapi… kali ini, aku butuh pendapatmu.” “Kita sudah melihat tanda-tandanya. Dunia… perlahan hancur. Tapi bagian dari diriku merasa ini bukan kehancuran, melainkan peringatan.”Ia menatap api. “Kalau naga putih benar akan bangkit dan menilai dunia… apa kita harus membiarkannya?”Sunyi.Arsel menghela napas pelan, menaruh pedangnya di pangkuan. “Aku pernah ingin membakar semua ini. Kekaisaran, perang, kebohongan—semua.” “Tapi saat aku berdiri di sisimu, aku belajar bahwa tidak semua yang rusak harus dihancurk

  • Pendekar Pedang Naga   76. Dua Pilihan Sulit

    Udara di sana lebih tipis, matahari jarang muncul, dan kabut abadi menyelimuti kaki gunung seperti tirai dari masa lalu yang menolak dibuka. Penduduk desa terdekat menolak menyebutkan nama tempat itu. Mereka menyebutnya hanya dengan satu julukan:“Lubang ingatan.”“Dulu ada desa di atas sana,” ujar seorang tetua sebelum mereka berangkat. “Tapi sekarang, tak ada yang kembali dari atas sana. Kalau kalian tetap naik, bawalah satu sama lain sebagai jaminan. Kalau salah satu hilang, setidaknya yang lain bisa mengingatkan dunia bahwa kalian pernah ada.”Kael tak menjawab, hanya menatap Arsel, dan Arsel membalas tatapannya dengan anggukan. Mereka tahu risikonya. Tapi mereka juga tahu: kuil ini menyimpan kebenaran.Tiga hari naik. Dua hari tanpa cahaya. Dan pada malam keempat, mereka menemukannya.Tidak berdiri megah. Tidak seperti kuil-kuil lain yang menampakkan sisa-sisa kejayaan masa lalu. Kuil ini… terkubur. Dindingnya menyatu dengan akar dan bebatuan. Hanya satu pintu, sempit, dengan u

  • Pendekar Pedang Naga   75 Kuil Kuno Selanjutanya

    Perjalanan mereka dimulai sebelum fajar menyingsing. Hutan di depan membentang seperti rimba mimpi buruk—lebat, sunyi, dan dipenuhi aura tua yang membisikkan kutukan dalam setiap desiran angin. Langkah Kael mantap di depan, sementara Arsel membuntuti dengan tatapan siaga. Tak ada yang bicara untuk waktu yang lama. Mereka tahu, diam kadang lebih berguna daripada kata-kata.“Masih ingat kuil di utara lembah Kauren?” tanya Arsel akhirnya, suaranya nyaris tenggelam oleh suara ranting yang patah di bawah langkah mereka.Kael mengangguk. “Kuil dengan patung yang menangis darah. Aku tak pernah lupa.”“Kuil yang sekarang… lebih tua dari itu. Dan lebih hidup.”Mereka tiba di dataran tinggi menjelang senja, dan di sanalah berdiri kuil itu—tertutup kabut, dindingnya retak tapi tak roboh, seperti makhluk tua yang menolak mati. Pilar-pilar batu menjulang seperti jari raksasa yang hendak mencengkeram langit, dan di antara celah-celahnya, semburat merah samar menyala… seperti nafas dari dalam.Kael

  • Pendekar Pedang Naga   73. Kuil kuno dan Bayangan Hitam

    Senja hampir merayap ketika Kael dan Arsel akhirnya tiba di gerbang utama Akademi Pedang. Langit berwarna jingga keemasan, seolah menyambut kepulangan dua pendekar muda yang membawa lebih dari sekadar debu perjalanan. Di tangan mereka—dan dalam ingatan mereka—tersimpan serpihan penting tentang ancaman yang lebih besar dari sekadar bandit biasa.Saat mereka turun dari kuda, penjaga gerbang langsung membuka jalan. Salah satu murid senior segera berlari ke dalam, memberi tahu para pengajar bahwa Kael dan Arsel telah kembali.Tak butuh waktu lama sebelum mereka diantar langsung ke ruang Guru Besar.Di ruangan yang tenang dan dingin itu, Kael meletakkan gulungan catatan dan potongan artefak dari kuil yang mereka temukan di atas meja batu.“Ini bukan kuil utama,” ucap Kael. “Tapi cukup untuk memberi gambaran tentang pola gerakan mereka. Ada lebih dari satu tempat yang dipakai kelompok bayangan hitam. Dan… mereka tampaknya sudah merancang jaringan kuil gelap jauh hari sebelumnya.”Guru Besar

  • Pendekar Pedang Naga   72. Menghancurkan Kuil

    Dengan segenap kekuatan, Kael dan Arsel mengerahkan segala yang mereka miliki. Ruangan tempat ritual berlangsung berubah menjadi medan pertempuran sengit. Api kecil dari ledakan awal masih membakar reruntuhan altar, menciptakan cahaya berkedip yang membuat bayangan menari-nari di dinding batu.Kael maju dengan sigap, menangkis serangan sihir dari salah satu penyihir dengan gerakan pedangnya yang cepat. Meskipun pedang naga hitam belum kembali sepenuhnya, kekuatan sejatinya sudah terasah—tubuhnya bergerak seperti air, mengikuti naluri dan pengalaman yang telah ia tempa selama ini.Di sisi lain, Arsel menebas musuh dengan pedang naga emas yang bersinar terang di tengah gelap. Cahaya dari pedangnya seperti mengusir keputusasaan yang menyelimuti ruangan. Ia tak membiarkan satu pun serangan musuh mengenai Kael—mereka saling menutup celah, saling melindungi.“Kita harus hancurkan simbol utama di tengah ruangan itu!” teriak Kael sambil menunjuk lingkaran sihir berwarna merah gelap di lantai.

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status